04. Interaksi

Learning to appreciate a process for a change.


   Bintang meraih ponselnya yang terus bergetar di dalam saku celana yang ia kenakan, ingin tahu apa penyebabnya. Namun, jantungnya hampir merosot ketika ia melihat barisan nontifikasi dari aplikasi berlogo hijau itu.

“Langit?”

Nontifikasi yang dibanjiri dengan nama sang pengirim, kasihnya memulai percapakan dengannya setelah satu bulan lamanya. Jarinya terus ia bawa untuk menggeser semua nontifikasi, membacanya satu per-satu hingga satu buah nontifikasi menarik perhatiannya.

“Arah jam tiga?”

Bintang menolehkan kepalanya ke arah kanan, ia dapat melihat sosok Langit yang ia rindukan tengah bersandar pada motor hitam kesayangannya. Kepalanya tertunduk, mungkin mengantuk. Bintang terkekeh ketika melihat Langit yang masih memakai seragam sekolah, pasti belum pulang ke rumah— tebaknya dalam hati.

Kaki jenjangnya ia bawa untuk berjalan mendekat ke arah Langit yang masih belum menyadari kehadirannya, maka ketika Bintang sudah dihadapan Langit— lelaki yang menjadi alasannya uring-uringan selama sebulan. Ia berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Langit.

“Langit,” panggil Bintang pelan.

“Eh, ayo naik! kita pulang.”

“Bentar dulu deh, lo kayaknya masih ngantuk. Belum pulang ke rumah ya?”

Langit hanya mengangguk. Bintang tersenyum tipis dan berdiri, membuat Langit mau tidak mau ikut berdiri juga.

“Kalo lo masih ngantuk mending pulang aja gapapa, gue bisa cari taxi online kok.”

“Engga, balik bareng gue aja! lo trauma sama angkutan umum, Bi.”

Bintang tertegun, Langit masih ingat ternyata.

“Mau ya gue anterin?”

Karena melihat wajah Langit yang memelas, Bintang jadi tidak tega untuk menolak. Lagian ia juga kasian pada Langit yang sudah datang jauh-jauh untuk menjemputnya, meskipun Langit tidak menyebutkan alasannya kemari tapi Bintang akan sedikit percaya diri jika Langit datang hanya untuk menjemputnya.

“Yaudah, maaf ya gue ngerepotin lo.”

“Gak akan ngerepotin kalo orangnya itu lo, Bi.”


©vivi.