Chapter of : Breaking Heart II.

Jangan sia-siakan yang sudah ada, jika hilang maka kamu juga yang kehilangan arah.


📍R.S Hallym University Medical Center, Korea Selatan.

29 August 2022, 20.00 am.

Sudah sekitar empat jam lamanya Jenan tertidur karena efek obat bius dari obat yang di suntikan oleh dokter. Pemandangan pertama yang Jenan bisa tangkap ketika dirinya membuka mata adalah dirinya yang tertidur dengan perban di kepala, serta ruangan serba putih dan bau obat yang menusuk langsung pada indera penciumannya, sangat menyengat.

Jenan mengalami luka pendarahan pada kepalanya yang di sebabkan oleh pukulan benda keras pada kepalanya.

Jenan memegang kepalanya ketika di rasa sedikit nyeri, ia meringis kesakitan. Efek pukulan dan minuman keras sepertinya. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi setelah ia tidak sadar karena mabuk, Jenan memijat pelipisnya karena pusing yang melanda.

Akhirnya Jenan ingat, ingat semuanya.

”.....Sena!”

Saat dirinya hendak turun dari bangsal tempatnya di rawat, tiba-tiba pintu ruangan tempat ia di rawat terbuka. Menampilkan Jastara dan Tamara.

Jenan tersenyum, senang. Ia melangkahkan kakinya meskipun tertatih-tatih, bersiap berhambur ke pelukan sang mamah yang tidak menunjukan ekspresi apapun.

“Mah, Pah...kalian jenguk Jenan?”

“Sena di mana? Jenan enggak liat dia dimana-mana, Sena baik-baik saja kan mah, pah?”

Hening. Jastara dan Tamaranya hanya diam membisu sambil menatap Jenan yang kini sudah berada di hadapan mereka berdua. Di rasa tidak puas karena pertanyaannya tidak diberikan jawaban, Jenan menarik tangan Tamara yang menggantung bebas di sebelah tubuhnya.

“Mah...”

Bug.

Jenan limbung sebab Jastara memukulnya tiba-tiba. Jenan terdiam ketika melihat Papahnya mendekat dan menarik kerah bajunya, hingga membuat Jenan bangun dengan leher yang sedikit tercekik.

“Bangun, saya bilang bangun!”

“Pah—”

Bug.

Tanpa menunggu anak semata wayangnya menjelaskan semuanya, Jastara kembali menampar pipi Jenan yang sudah merah dimana-mana. Jenan terbatuk ketika Jastara mulai memukul perutnya.

“Anak gak tahu di untung, seharusnya anda itu menjaga cucu nyonya Rosabella! bukan malah menyakiti hatinya.” Jastara menampar kedua pipi Jenan lagi.

Tamara yang tidak tega melihat anak kesayangannya di perlakukan seperti itu hanya menangis, mencoba menahan suaminya agar tidak bertindak gegabah.

“Mas, udah.”

“Seharusnya kamu itu turuti perkataan saya, bukan malah memilih pelacur seperti wanita itu!”

Bug.

“**Uhuk...uhuk...Ampun pah, jenan minta maaf.” Jenan mulai bersujud ketika Jastara melepaskan cengkraman pada kerah bajunya.

“Seharusnya dari awal saya tidak percaya dengan anda. Pergi, jangan pulang ke rumah saya lagi.”

Tamara melotot karena ucapan suaminya, “Mas, aku mohon mas.”

“Pah..maafin jenan.”

“Saya tidak sudi memiliki anak seperti anda. Setelah ini, jangan pernah injakkan kaki anda ke runah saya. Saya tidak mau rumah saya kotor.”

Jenan tatap kedua orang tuanya, dirinya menyesal. Jenan menatap Tamara, namun ibunya itu memalingkan muka. Tamara menangis, namun tidak bisa apa-apa.

Tamara tahu jika anaknya salah, Tamara tidak bisa berbuat apa-apa karena suaminya sudah memilih keputusan.

“Ayo, kita pergi.” ucap Jastara pada istrinya, meninggalkan Jenan yang berlutut penuh dengan luka.