Kafka yang kini sedang di bantu berdiri oleh Shaka bergerak gelisah. Matanya terus saja melihat ke arah pintu kamar, jaga-jaga jika teman-temannya ke rumah sakit. Namun, sepuluh menit setelah tweet tadi teman-temannya itu belum juga memunculkan batang hidung.

Kafka menghela nafas lega, mungkin mereka tidak serius untuk datang ke rumah sakit pikirnya.

Kelakuan Kafka terus di perhatikan oleh Shaka yang kini terlihat sangat amat menawan dan juga cantik untuk seukuran pria. Dengan jas dokter kebanggaannya, serta bando lucu yang mungkin lupa untuk ia lepas. Senyuman kecil Shaka tunjukan ketika obsidian hitam milik Kafka tak sengaja bertatapan langsung dengan obsidian kecoklatan milik Shaka.

“Aduh dok, jangan senyumin saya kaya gitu dong. Pingsan beneran nih saya.” ujar Kafka bercanda.

Shaka terkekeh, ia mendudukan Kafka ke kursi roda. “Kamu lucu, saya perhatiin dari tadi kaya gelisah banget. Mau cepet-cepet pulang ya?”

“Engga dok, saya takut temen-temen saya kesini. takut berisik terus ganggu pasien lain.”

“Loh ya asik dong kalo mereka kesini, kamu jadi ada temen pulang nanti kan?”

“Engga dok, mereka kalo kesini takut malu-maluin. Mereka kaya orang utan lepas soalnya.”

Ucapan kafka tadi berhasil membuat Shaka tertawa, bukan tertawa hingga hilang kontrol. Tetapi ketawa yang cantik dan anggun, tidak tahu seperti apa, hanya Kafka yang tahu.

“Dokter,” panggil Kafka, membuat Shaka yang masih tertawa menoleh ke arahnya.

“Kenapa Kafka, ada yang sakit?”

“Enggak dok, cuman mau bilang kalo ketawa dokter cantik. Sering-sering deh dok, tapi jangan keseringan juga sih takut sayanya mimisan.”

Shaka bersumpah ia akan memukul brondong satu ini jika sekali lagi membuatnya tersipu malu. Oh astaga, meskipun umurnya sudah dua puluh enam tahun, tapi perasaan seperti itu masih ada pada dirinya.

“Ah kamu, bisa saja. kamu juga ganteng kalo lagi senyum, sering-sering ya soalnya saya suka.”

Anjing. batin kafka.

Kafka menelan ludahnya dengan susah payah, ia bisa melihat setelah mengucapkan kalimat itu sang dokter mengedipkan sebelah matanya seolah sedang menggoda. Makin jatuh cinta saja Kafka dengan sang dokter.

“Saya juga suka dokter kok. Apalagi kalo lagi pake bando kaya gini, lucu pengen cium.” balas Kafka.

Shaka yang tidak sadar jika bando yang di berikan salah satu pasien anak perempuan kepada dirinya belum ia lepas. Jadi, sedari tadi banyak dokter yang memperhatikannya itu karena bando ini kah? Oh astaga Shaka sungguh malu.

“Astaga saya malu, kamu kenapa gak bilang dari awal sih?”

“Sengaja, soalnya saya suka.”

Shaka mendorong Kafka yang memakai kursi roda hingga pintu keluar rumah sakit. Niatnya Shaka akan memesankan Kafka taxi online saja supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan karena pasalnya Kafka sempat memberitahu bahwa dirinya tidak ada yang menjemput pulang.

“Nanti di rumah jangan ceroboh, kalo mau turun minta bantuan orang lain ya?”

Kafka yang sejak tadi menolehkan kepalanya ke belakang dan agak mendongak malah di sentil pelan oleh Shaka yang sejak tadi terus memberi nasihat untuk Kafka agar lebih hati-hati.

“Aw, sayanya kok di sentil?”

“Lihat ke depan, nanti kamu pusing.”

“Pusing karena dokter cantik banget, kenapa ya?”

Shaka memutar bola matanya malas, sementara Kafka hanya terkekeh ketika melihat dokter yang ia suka mulai jengah olehnya.

Keduanya hampir sampai pada pintu keluar, tepat ketika baru dua langkah kaki Shaka melewati pintu dengan Kafka yang ia dorong, sebuah bucket bunga langsung menghalangi pandangan. Di sana tertulis nama Kafka dengan bait kalimat “Selamat kembali ke rumah.” sukses membuat Shaka berhenti mendadak.

“Halo dokter selamat siang, kami teman-temannya Kafka bermaksud menjemput dia untuk pulang. Boleh dok?” ini Haikal.

Shaka menatap kelima anak muda yang ia yakini umur dua puluhan itu dengan senyum mengembang. Lantas menyingkir dari belakang Kafka untuk mempersilahkan teman-teman pasiennya untuk mengambil alih.

“Terimakasih ya dokter cantik, udah jagain abang saya sampe sempuh. Semoga dokter tambah cantik dan selalu sehat.” Rafael menyalimi tangan Shaka dengan sedikit brutal, buat Shaka terkesiap.

“Eh iya, sama-sama.”

“Dok, saya Javier. Apa ada jadwal check up untuk teman saya? kalo ada biar saya saja yang antar.” Javier menyalimi tangan Shaka sedikit lama, buat Kafka yang memperhatikan sejak tadi langsung menggeplak tangan Javier dengan paksa.

“Lepas, tangan lu tau tengi.”

“Sembarangan.”

Shaka melirik Kafka yang tengah cemberut, sangat lucu. Kemudian pandangannya melihat kepada dua pemuda lain yang hanya tersenyum dan memperhatikan dirinya, saat dirinya mendekat kedua orang itu malah menjauh. Membuat Shaka bingung dan kembali mendekati mereka.

“Dok udah dok, diem di situ. Kita gak mau mimisan kalo liat kecantikan dokter dari deket. Cukup segini aja.” ucap Putra sambil memajukan kedua tangannya, pertanda untuk Shaka agar tidak melangkah lebih maju.

Sementara Astra kini sudah melongo sejadi-jadinya ketika Shaka berada beberapa langkah di depannya. “Nama kamu siapa?” tanya Shaka kepada Astra.

“Astra dok, bapak saya juragan lele. Dokter mau gak sama saya?” ucapnya tanpa sadar.

Buat Shaka terbahak, kemudian ia melirik Kafka yang semakin naik pitam. Melihat pasiennya yang seperti itu, Shaka kembali mendekat dan berjongkok di hadapan Kafka.

“Kafka tadi di ingat ya yang saya bilang? kamu check up ke sini seminggu sekali, nanti ketemu lagi sama saya.”

“Iya dok, nanti saya kesini sendiri.”

“Loh kok sendiri, itu temennya udah sedia nganter loh.” ucap Shaka sembari melihat satu-persatu teman Kafka yang kini menampilkan wajah memelas tanda ingin si kasihani.

“Enggak, yang ada saya makin sakit kalo di anter sama mereka. Sendiri aja, gapapa kan cantik?”

Shaka mengangguk lalu penepuk kepala Kafka sekali, buat senyuman Kafka mengembang. Namun semenit kemudian senyumnya langsung luntur ketika kelima temannya berjejer rapih di hadapan Shaka.

“Loh ini juga kenapa malah ngejejer?”

“Kita mau di puk-puk sama dokter juga.” ucap kelimanya kompak, buat Kafka semakin naik pitam.

“Oh oke, makasih ya udah mau jemput Kafka.” Shaka menepuk-nepuk pucuk kepala kelima teman Kafka seperti ia menepuk kepala Kafka dengan pelan.

“Yaudah, kamu pulang ya. Saya mau balik ke ruangan, hati-hati di jalan. Kalian juga hati-hati ya bawa mobilnya, jangan ngebut.”

“Siap dokter cantik.” jawab kelimanya sambil memberi hormat.

Shaka mengangguk dan mulai berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan keenam pemuda yang kini sama-sama melihatnya hingga akan mencapai pintu. Namun, ketika Shaka akan melangkah masuk, tiba-tiba ada anak remaja berusia sekitar lima belas tahunan memeluknya dari belakang sambil menggemakan nama 'Papi'.

Buat Kafka dkk, mematung. Hingga ada satu orang pria lainnya yang ikut datang sambil membawa satu kantong hitam yang di yakini milik remaja tadi. Shaka di cium keningnya, keduanya saling melempar senyuman. Hingga si pria tadi merangkul pinggang ramping Shaka dan membawanya masuk, sementara remaja tadi berbalik ke arah Kafka dan mendekat.

“Jangan posting-posting foto papi lagi! Keenan gak suka!” ucapnya, kemudian meninggalkan keenam pemuda yang masih melongo sejadi-jadinya.

“Anjir, udah ada pawang.”

“Yah pupus harapan.”

“Ayo balik, kita menyerah saja kawan.”