Mungkin ini akhirnya.

Begitu berharganya perasaan memiliki. Jangan lukai lagi.

•••

#Jatuh cinta. Bintang pasti tahu bahwa akhirnya selalu tak bisa ditebak. Dan terkadang, ia menuntut air mata ikut terjatuh, entah karena terlalu bahagia ataupun karena luka. Sesungguhnya bukan begini ide kisah cinta yang Bintang inginkan. Bukan dia dan Langit yang terpisah tanpa kejelasan, lalu kembali hidup seperti saling tak mengenal.

Bintang menyeka matanya yang berair kembali. Saat itu, senja menjelang, dan ia berada di sebuah rooftop sekolah sejak satu jam yang lalu. Duduk sambil menatap kejauhan, langit sedang tampak cerah hari ini. Tidak seperti satu minggu yang lalu, langit mengeluarkan ribuan air mata bak ikut menangisi apa yang tengah Bintang rasakan.

Kepalanya ia senderkan pada bagian dinding salah satu tembok. Menenggelamkan dirinya lagi dalam lamunan yang panjang. Sambil menunggu yang terkasih datang menemuinya, ia tidak ingin memaksa Langit untuk kembali padanya. Ia hanya ingin mengetahui, apa yang menjadi alasan Langit mengakhiri hubungan dengannya.

Kriet.

Bintang menoleh ketika mendengar suara pintu dibuka, matanya yang sembab kini kembali bersinar ketika melihat lelaki yang ia sayang ada dihadapannya. Tapi, tatapan yang selalu menatap kagum padanya kini sudah tidak bisa ia lihat lagi pada kedua pada kasihnya. Tatapannya datar seolah tak antusias melihat keberadaan dirinya.

Bintang berdiri dari duduknya, berjalan tertatih untuk mendekati Langit yang hanya berjarak sepuluh langkah dari hadapannya. Tangannya ia angkat untuk meraba salah satu sisi wajah Langit yang amat ia rindukan. Namun, tangannya terhenti ketika Langit menahannya.

“Kita udah selesai Bi. Lo jangan jadiin gue orang jahat lagi disini, gue udah nyakitin lo dengan pacaran sama orang lain.” Langit mengusap kedua mata Bintang perlahan, ia menindukan kasihnya. Namun, apa boleh buat.

“Aku kangen.” ucap Bintang memecah ketegangan. Sudah lama ia tidak mengayakan kata ini, menyimpan perasaan rindu itu di relung terdalam.

Hmmm, kita pulang ya? lo dicariin sama Sean dari tadi.” Langit hanya bersuara seperti itu, seakan enggan untuk menanggapi apa yang Bintang katakan.

Bintang lupa, kapan terakhir kali dirinya berbincang dengan Langit seperti ini, berhadap-hadapan menatap wajah satu sama lain dan mengucap rindu, menikmati hangatnya rengkuhan satu sama lain. Dulu Langit selalu membawakan cerita baru untuk dibagi dengannya, namun petang ini Langit begitu pendiam. Atau barangkali, hanya merasa canggung karena sudah lama tidak berbicara.

Bintang menghela nafas pelan, lalu menatap mata Langit kembali sambil tersenyum tipis. “Gimana hari ini? ada hal yang mau kamu ceritain ke aku?” tanya Bintang, tak yakin harus bertanya apa. Mengapa dirinya dan Langit bisa begitu asing?

“Baik. Yaudah kita pulang ya? lo kusut banget Bi.” ajak yang tertua mencoba membujuk yang lebih muda.

“Aku cuman mau ketemu kamu. Duduk yang lama. Mandangin Langit yang lama. Aku butuh waktu buat beradaptasi, karna aku tau kamu gak bakalan sama aku lagi. Aku cuman mau sama kamu, yang lama. Hari ini aja, kamu mau kan nemenin?”

Hati Langit ikut terenyuh, ia tidak tega melihat orang yang pernah—atau bahkan yang masih ia sayang menangis karenanya. Bintang jauh dari kata baik-baik saja, kedua matanya sembab serta tubuhnya yang semakin kecil. Maka dengan anggukan kepala Langit menjawab.

“Iya, aku temenin.”

Maka dengan senyum merekah, Bintang menuntun Langit untuk mengikutinya. Duduk disalah satu meja yang sudah tidak terpakai dan mulai bercerita banyak hal di pertemuan pertamanya dengan Langit. Wajahnya yang tadinya murung, kini bercahaya kembali. Seolah kehadiran Langit saja sudah mampu membuatnya cukup.

Langit terus memandang wajah Bintang dari samping. Mengagumi setiap lekuk wajah yang amat sangat indah. Kehangatan setiap kata yang Bintang lontarkan membuat Langit tersenyum tipis dibuatnya.

“Salah ya, berharap terlalu banyak dari orang yang kita cintai?” tanya Bintang. Langit memalingkan wajahnya, mulai gundah.

“Nggak, tapi yang pasti, kalau berharap, harus siap kecewa juga.”

Bintang mengangguk setuju pada pendapat Langit. Bintang berhenti, dan tak lagi bercerita. Langit meremas jemari Bintang, yang membuat Bintang menoleh. Jika boleh, Langit ingin memberi satu pelukan. Langit ingin kasihnya tahu, terlalu sia-dia untuk menangisi orang sepertinya. Langit merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah bolu dengan rasa tiramisu kesukaan Bintang.

“Gue tau lo pasti belum makan, ini gue bawain bolu kesukaan lo, lo hrusnya makan teratur Bi. Liat muka sama badan lo!”

Bintang memperhatikan setiap gerak-gerik Langit, ia masih berharap bahwa lelaki ini masih berstatus kekasihnya. Ia tertawa pelan, membuat atensi Langit berubah padanya.

“Kenapa?”

“Gimana aku bisa lupain kamu, kalo kamunya masih gini ke aku Langit.” setetes air mata yang sejak tadi ditahan oleh Bintang, kini meluncur kembali.

“Kenapa kamu nyakitin aku? kalo kamu udah bosen bilang sama aku. Biar aku bisa perbaiki diri.”

Langit memalingkan wajahnya. Nafasnya memburu ketika melihat Bintang yang kini sudah berdiri dihadapannya, dengan air mata yang terus mengalir. Berharap Bintang akan berhenti untuk membahas topik ini.

“Bukannya kita udah berjalan beriring sekian lama? apa itu ngga cukup buat kamu ngejaga perasaan aku, dan setia sama aku?.” tanya Bintang nyaris berbisik, namun masih bisa didengar jelas oleh Langit.

Dan dengan begitu. Bintang terisak untuk kesekian kalinya, mencoba menyublimkan air matanya yang terus mengalir tanpa henti. Berharap dengan sangat, takdir yang begitu saja berubah, lalu kembali pada kasihnya yang mendua.

“Kamu gak sayang aku lagi? LANGIT JAWAB!”

“IYA! GUE SAYANG LO, TAPI ITU DULU. SAAT LO MASIH BINTANG YANG LUGU, YANG GAK PERNAH NGEKANG GUE INI DAN ITU!” balas Langit dengan teriakan yang menggelar.

Bintang yang terkejut mengambil langkah mundur. Tidak, ini bukan Langitnya. Ini bukan Langit yang ia kenal.

“Gue udah jelasin semua itu di chat, dan lo! kenapa gak pernah ngertiin gue Bi? sedikit aja, gue capek kalo harus pura-pura terus. Jadi, gue minta. Lupain gue, jalanin hidup lo kaya sebelum ketemu gue.” maka dengan ini, Langit meninggalkan Bintang yang mematung.

Meninggalkan tubuh ringkih dan rapuh itu sendirian. Katanya tiap kali kalian merasa marah sekaligus sedih, langit selalu berubah mendung. Dan itu terjadi pada Bintang, gemuruh dan hujan mengguyur dan menderas ketika Bintang melihat Langit melaju menjauh dari parkiran sekolah. Ia benar-benar sendirian sekarang.

Bintang terduduk lemas, matanya terus saja mengeluarkan air mata yang sudah tidak bisa dihitung lagi berapa jumlahnya. Dirinya memeluk kedua kakinya, ia kesepian. Isakan kecil terdengar semakin menyayat hati, tangan Bintang yang sejak tadi mengeluarkan darah karena menggenggam sebuah liontin yang ingin ia berikan pada Langit kini tidak lagi ia rasakan bagaimana sakitnya. Ia hanya merasakan rasa sakit di dadanya.

“Langit, aku sayang kamu.”

Maka dengan raungan keras Bintang benturkan kepalanya pada kursi hayu yang sudah mulai roboh karena rayap. Darah segar keluar begitu saja, ini bukan Bintang.

AGRRRR— bundaa...”

Brak.

“KAKAK, ASTAGA.” dengan langkah yang cepat, Sean dan Ryan termenung ketika melihat Bintang yang kusut. Sean membawa tubuh ringkih itu ke dalam dekapannya. Mengusap punggung itu supaya lebih kuat.

“Sakit Sean, rasanya sakit.”

“Iya kakak iya, aku ngerti. Tapi kakak jangan gini, please....” Sean terisak semakin keras ketika ia sadar bahwa Bintang mencoba melukai dirinya sendiri.

“Langit jahat, Sean gue sayang Langit...” rengek Bintang.

“Iya, tapi pulang dulu yu? kakak jangan gini. Nanti bunda khawatir.”

“Seann...”

Ini akhirnya. Kisah Langit dan Bintang yang manis dan penuh romansa berakhir dengan mudahnya. Hubungan yang terjalin hampir satu tahun lamanya, kini kandas hanya karena orang ketiga. Hubungan yang terjalin di atas Langit senja sore yang indah, dan berakhir pada senja yang sama. Bahkan langit juga ikut menangisi takdir Bintang yang sekarang.

Bintang menangis dan kecewa kepada Langit yang meninggalkannya. Tanpa tahu, bahwa Langit tengah bersembunyi pada salah satu pohon dan menangis juga. Ryan yang tahu, ia melihat ke bawah dan mendapati punggung Langit yang bersembunyi di balik pohon dekat sekolah. Yang mengarah langsung pada atap sekolah yang tengah ia pijak, Ryan tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ryan tahu itu.