Prewedding.
Rayyan tidak pernah senang ketika melihat seseorang yang bersedih, apalagi karenanya. Rayyan jelas merasa tidak tega kepada seseorang yang kini masih berdiam diri di dalam mobilnya, dengan tatapan kosong yang menerawang jauh keluar jendela. Sejak lima menit yang lalu, mobil yang Rayyan kendarai sudah terparkir dengan rapih pada parkiran sebuah studio foto yang sudah ia booking dari jauh-jauh hari untuk pemotretan prewedding keduanya.
Rayyan bisa melihat dengan jelas kesedihan yang terpancar pada wajah yang lebih muda. Sejujurnya ia merasa bersalah karena dengan lancang mengobrak-abrik kehidupan tentram Rumi dalam sekejap mata, pun itu juga tanpa izin yang lebih muda. Namun apa dayanya, ia juga terpaksa, karena ini sebuah perintah dan janji yang sudah di tetapkan sebelum Rumi lahir ke dunia. Rayyan putuskan untuk menunggu Rumi di luar mobil saja, membiarkan yang lebih muda menuntaskan segala urusan hati dan pikirannya yang mungkin sedang berisik hari ini.
Namun, ketika sudah lima belas menit berlalu, tampaknya si bintang utama enggan meninggalkan kursi penumpang, hingga dengan terpaksa Rayyan harus mengintrupsi Rumi dari lamunan panjangnya.
“Rumi, maaf. Kita sudah sampai, sebaiknya kita segera masuk dan melakukan pemotretan.” Rayyan bisa lihat Rumi mulai menoleh ke arahnya, namun hatinya tiba-tiba mencelos ketika melihat sebulir air mata jatuh dengan cepat dari kedua netra yang lebih muda.
Rumi menghapus air matanya dengan kasar, ia hanya mengangguk dan keluar dari dalam mobil. “Ayo!” katanya.
“Maaf, kakaknya bisa miring sedikit? jaraknya agak lebih deketan ya kak sama masnya! kalo jauh-jauhan gitu nanti di sangkanya kalian nikah karena terpaksa,” ucap sang fotografer kepada Rumi.
Rumi tidak bergeming, ia tetap menjaga jarak dengan Rayyan. Pakaian keduanya bertemakan pakaian santai, Rumi dengan pakaian hitam dengan belahan dada yang lumayan panjang, dan Rayyan memakai sebuah kemeja berbahan levis.
Merasa intruksinya tidak di dengar, sang Fotografer mencoba mengarahkan kembali kedua pasangan ini untuk mendekat. “Boleh di geser lagi masnya? pinggang kakaknya boleh di rangkul juga kalo bisa, biar lebih romantis,” arahan-arahan sang potografer terus Rumi acuhkan, alhasil fotonya belum ada satupun yang bagus.
Hal itu membuat Rayyan agak geram sebenarnya, setidak mau itukah Rumi berdekatan dengan dirinya?
Dengan satu langkah besar, ia menarik pinggang Rumi pelan. Saat Ray merangkul pinggangnya, tampaknya Rumi sedang melamun karena terlihat dari raut wajahnya yang tenang berubah menjadi terkejut.
“Om, ngapain?” bisik Rumi, tangannya mencoba melepaskan rangkulan tangan Rayyan yang bertengger dengan apik disana.
Rayyan melirik Rumi sekilas sebelum matanya tertuju kembali kepada lensa kamera yang sejak tadi sudah di arahkan kepada keduanya. Rayyan berbisik pelan, “Saya tau kamu terpaksa, saya juga tau kamu muak dengan semua ini. Tapi saya minta, untuk kali ini saja kamu bisa di ajak kerjasama, agar pemotretan ini cepat selesai dan kamu bisa pulang.”
Rumi menunduk, perkataan Rayyan ada benarnya juga. Jika ia tidak bisa di ajak kerjasama, maka proses pemotretan akan semakin lama. Rayyan tidak lepaskan tatapannya dari wajah Rumi yang kembali terlihat sendu, ketika dirinya sedang mengamati wajah yang lebih muda, tiba-tiba terdengar suara jepretan kamera beruntun.
“Nah! ini yang saya maksud, posenya sangat romantis. Tahan ya kak, Mas! oh itu tolong kakaknya dongak sedikit buat tatap masnya!” saut fotografer itu dengan semangat, terlihat dari cara ia mengarahkan dan mengambil foto dari berbagai arah.
Rayyan perlahan mengarahkan jarinya untuk memegang dagu yang lebih muda, buat Rumi mendongak ke arahnya. “Permisi, saya izin untuk memegang kamu Rumi. Maaf jika saya tidak sopan!”
Jepretan kamera kembali terdengar, Rumi pun tak alihkan tatapannya dari kedua jenggala sehitam burung gagak milik Rayyan. Tatapan keduanya seolah terkunci, tangan Rumi berlahan naik untuk mencapai leher yang lebih tua, mengalungkan tangannya disana.
“Maaf,” hanya satu kata yang bisa Rumi ucapkan, setelahnya ia membuang pandangannya ke arah kamera.
Rangkulan pada pinggang Rumi semakin mengerat, hal itu membuat Rumi menatap Rayyan kembali berniat bertanya kenapa. Namun, hatinya mendadak terkejut ketika Rayyan daratkan satu kecupan pada dahinya, telinga Rumi menangkap teriakan dan jepretan kamera yang semakin gencar memotret keduanya. Entah kenapa, tapi ketika Rayyan menciumnya, Rumi tidak risih dan menolak. Ia hanya membiarkan hal itu terjadi, kepalanya semakin bersandar pada dada bidang Rayyan, sehingga ia bisa mendengar suara degup jantung milik Rayyan yang berdegup kencang.
“Sejujurnya saya capek Om, saya dari kecil selalu dijadiin tumbal sama papi. Saya pengen ngeluh, tapi saya gak tau mau ngeluh sama siapa,” Rumi rasakan rangkulan pada pinggangnya berubah menjadi sebuah pelukan, pelukan hangat yang selama ini ia butuhkan.
Rayyan menelusupkan kepalanya pada perpotongan leher Rumi, keduanya mencari rasa nyaman dari diri masing-masing. Usapan-usapan lembut tak lupa Rayyan berikan pada punggung yang lebih muda, bergumam kata maaf karena ia juga terpaksa melakukan semua ini.
“Saya kadang bingung, saya anak kandungnya papi atau bukan, saya capek Om. Saya kaya barang buat dijual belikan, saya capek.”
“Maaf, maafkan saya Rumi,” Rayyan berikan kecupan-kecupan kecil pada pucuk kepala yang lebih muda.
Sadar dengan situasi yang terjadi didepan matanya, sang fotografer memutuskan untuk keluar dan meninggalkan kedua pasangan itu untuk menyelesaikan masalah mereka. Sejujurnya ia tidak peduli, namun entah kenapa ketika melihat Rumi yang sejak datang pun sudah terlihat sedih ia ikut bersimpati. Ia pun terlihat salut dengan perlakuan lembut Rayyan, yang seolah mencoba meyakinkan semua ini salahnya.
Sang fotografer berpikir bahwa mempelai yang lebih muda mungkin gugup karena akan menikah, makannya yang lebih tua mencoba membujuk dan menenangkan. Namun, tanpa ia ketahui masalah keduanya lebih rumit dari yang ia kira.
“Mas, sama kakaknya saya izin keluar sebentar ya untuk cek tempat selanjutnya yang akan kita gunakan untuk pemotretan. Untuk kostum, khusus tema kali ini di pilihkan langsung oleh ibu dari masnya. Kalo begitu, saya permisi,”
Rayyan tidak pernah tau bagaimana jalan pikir sang ibu. Pasalnya tema yang dipilih oleh Renjani berhubungan dengan air, bisa Rayyan lihat kolam renang yang sudah dihias dengan apik di depan matanya.
Dia sudah berganti bajunya ngomong-ngomong, Rayyan memakai sebuah pakaian dengan warna putih mirip seperti kemeja, sementara Rumi belum keluar dari dalam bilik ganti. Takut terjadi hal yang buruk, Rayyan mencoba menyusul Rumi, namun ketika baru beberapa langkah, Rayyan bisa melihat Rumi keluar dengan pakaian berwarna senada dengan dirinya. Bedanya, Pakaian Rumi memiliki hiasan pada rompi bergelombang dan juga tambahan tali pada sekitar lehernya.
Cantik. Rayyan tertegun sejenak. Penampilan Rumi yang sekarang sangat berbeda dengan Rumi yang pertama kali Rayyan lihat. Rayyan bisa melihat Rumi dengan versi yang lebih lembut dan anggun, ia suka.
Rayyan bisa melihat Rumi yang berjalan mendekat ke arahnya, tangan Rumi menarik Rayyan untuk turun ke dalam kolam. Tanpa menunggu lama, Rumi mengambil tangan Rayyan yang bebas untuk memeluk pinggangnya dari belakang. Sementara Rayyan, kesadarannya sudah di ambil sepenuhnya oleh pesona yang lebih muda, buat dirinya tidak waras.
“Ayo mas, kita udah siap. Bisa di mulai pemotretannya,” ucap Rumi.
Berbeda dengan kali ini, jika tadi Rayyan yang memimpin untuk melakukan pose maka kali ini Rumi yang mengarahkan Rayyan untuk berpose dengannya. Keduanya saling berhadapan kembali dengan Rayyan yang membelakangi kamera, dan Rumi yang menempel padanya dan menghadap kamera. Awalnya Rayyan biasa saja, namun ketika jarak antara keduanya semakin menyempit dan hembusan nafas milik Rumi menerpa lehernya, Rayyan merinding.
Sadar akan sikap Rayyan yang berubah, Rumi hanya tersenyum tipis. Rumi bisa rasakan Rayyan yang memberi jarak, namun ia dengan gesit semakin mendekatkan dirinya sendiri. Bukan tanpa alasan, Rumi hanya ingin segera selesai karena tubuhnya saat ini rasanya sudah seperti batu es yang membeku, air kolam yang disediakan oleh sang fotografer sangatlah dingin, membuat Rumi beberapa kali menarik ingusnya masuk.
Rayyan sadar akan hal itu, maka ia bertanya kepada sang fotografer. “Apa sudah ada foto yang bagus?” tanyanya.
“Sudah mas, banyak lagi. Mau liat?” jawab sang fotografer antusias, namun ketika ia akan mengarahkan kameranya pada Rayyan, ia malah mendapat menolakan halus.
“Nanti saja. Jika sudah banyak foto yang bagus kita sudahi saja pemotretannya, sepertinya calon suami saya kedinginan,” Rayyan menuntun tangan Rumi yang masih berada di dada bidangnya.
Ia membantu Rumi untuk naik ke permukaan, ketika kaki Rumi baru menapak pada permukaan kering, tubuhnya limbung. Dengan gerakan cepat Rayyan kembali menggendong Rumi ala bridal style, Rumi pasrah-pasrah saja kamera memang ia sepertinya kedinginan.
“Rumi, buka mata kamu! kita hangatkan tubuh kamu terlebih dahulu, oke?” ucap Rayyan.
Rumi hanya menganggukan kepalanya saja, ia kembali pening luar biasa. Bibirnya pun pucat pasi, maka dengan nyaman ia sandarkan kepalanya pada pundak Rayyan lagi, tangannya semakin erat mengalung pada leher yang lebih muda. Kedua kelopak mata Rumi semakin tertutup, Rumi rasanya ingin tidur saja karena tak kuat dengan pusing di kepalanya, namun sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, Rumi bisa mendengar suara Rayyan meskipun samar-samar.
“Tolong jangan sakit, saya tidak suka melihatnya Rumi. Saya khawatir, cukup waktu itu saja.”