Pukul sepuluh malam lewat tiga puluh menit sebuah gerungan sepedah motor capai rungu pemuda berambut pirang dengan hidung bangir yang tengah menyiapkan makan malam di dapur bersama dengan asisten rumah tangga yang tinggal di rumah megah miliknya.
Rumah mewah dengan gaya eropa, serta di jaga oleh beberapa satpam di luar. Rumah Varelino Dhafian, sahabat baik Rumi Athaya. Keduanya tinggal di sebuah komplek yang berbeda, komplek elite yang berjarak lima kilometer dari rumah Rumi berada.
Di bandingkan dengan Laras, Rumi lebih dekat dengan Varel karena status mereka yang berteman dari kecil. Bahkan, Rumi tidak segan-segan untuk membawa Varel ke dalam rumahnya saat malam hari tanpa memberitahu siapapun.
Keluarganya dan juga keluarga Varel sudah saling mengenal sejak lama, status pertemanan yang terjalin oleh bisnis kedua orang tuanya membuat Rumi kecil yang pemalu menerima ajakan Varel kecil yang jahil untuk menjadi sahabat.
Varel mengecilkan kobaran api yang keluar dari kompor, mencegah makanan yang ia masak gosong. Kemudian ia membasuh kedua tangannya sebelum berpesan kepada sang bibi asisten rumah tangga untuk menyelesaikan masakan mereka karena ia akan menyambut Rumi ke depan sebentar.
“Bi Sum, nanti tolong kasih garam sedikit lagi ya ke Samgyetang nya. Varel mau ke depan sebentar.”
Varel merupakan pemasak handal, sejak kecil ia belajar dan mengambil les tambahan yang tidak berhubungan dengan pelajaran. Dulu ia pernah mengambil les biola, masak, dan juga menyanyi. Semua itu bukan keinginannya, melainkan tuntutan sang ayah yang ingin membuat nama keluarganya jauh lebih unggul dengan para saudaranya yang lain. Semuanya itu bertujuan untuk mengambil hati sang nenek agar menjatuhkan seluruh hartanya pada sang ayah.
Daun pintu coklat dengan ukuran yang lebih besar dari tubuhnya terbuka perlahan, di sana ada Rumi yang cemberut menenteng helm full face miliknya, di belakangnya ada salah satu ajudan kepercayaan ayah Varel yang membawa sekantong cemilan yang Rumi bawa.
“Lo ngapain bawa cemilan segini banyak?”
Rumi dengan mata yang sembab dan berkaca-kaca mulai merengek dan memeluk tubuh Varel hingga si empunya terhuyung ke belakang. “Gue tinggal di sini boleh enggak? gamau pulang!”
Varel mencoba melepas pelukan Rumi dengan paksa, hadiahkan pukulan ringan pada pundak yang lebih muda. “Gila! kalo lo tinggal di sini bokap gue ngamuknya ke gue bukan ke elo!”
Rumi mencebik kembali ketika Varel melengos pergi ke arah dapur. Dirinya mengekor sambil menunduk lesu. Namun, ketika indera pembaunya mencium aroma nikmat dari makanan kepalanya langsung mendongak.
“Bi sum lagi masak apa? baunya wangi banget, Rumi jadi laper nih.” ucap Rumi yang di hadiahi delikan malas dari Varel.
“Ini den Rumi, tadi den Varel ajak saya buat masak makanan Korea. Katanya sih enak, bibi cuman nyelesain doang. Yang beneran masak dari awal sampe ngebumbuin mah den Varel.”
Varel mengambil dua mangkuk kosong untuk ia isi dengan sup ayam ala Korea yang baru ia pelajari dua jam tadi. Ekor matanya menangkap Rumi yang terus memperhatikan empat ekor ayam utuh yang ia isi oleh beras, hampir saja Rumi meneteskan air liur jika tidak di kejutkan oleh Varel yang memukul bokongnya.
“Mingkem entar lo nyeces gimana? ini kita makan di balkon aja sambil cerita.” ujar Varel yang di balas oleh cengiran lucu dari yang lebih muda.
“Bi Sum, ini sisanya bagiin aja ke pak Budi sama yang lainnya. Bi Sum juga jangan lupa makan, aku sama Rumi mau naik ke atas sambil ngobrol.”
“Baik den Varel, kalo ada yang di perluin panggil bibi saja ya?”
“Oke bi, Varel sama Rumi pergi dulu ya.”
Rumi melambai lucu kepada bi Sumi yang di balas oleh kekehan dari sang art. Sudah empat belas tahun Rumi hampir mengenal semua pekerja yang ada di rumah Varel, setengahnya ia masih belum bisa menghafal karena mereka pekerja baru. Namun, ia berusaha untuk membuat semuanya akrab padanya karena ia akan sering main ke rumah majikan mereka jika senggang.
Kedua pemuda itu naik lewat anak tangga, satu nampan penuh dengan makanan mereka angkat berdua. Sebenarnya Varel tidak masalah jika harus membawa nampan itu sendirian karena tidak berat juga, namun yang namanya Rumi Athaya mana pernah mendengarkan orang lain. Sikap keras kepala yang di miliki oleh sahabatnya kadang membuat Varel geleng-geleng kepala.
Keduanya sampai pada kamar milik Varel, mereka memilih untuk duduk diam di balkon super besar yang ada di kamar Varel sambil melihat kilauan bintang di langit malam kota Jakarta. Dua anak ini sangat suka dengan hamparan luas langit malam yang menyuguhkan triliyunan bintang dan rembulan.
Keduanya memilih duduk lesehan di atas bantal empuk yang di sediakan di balkon. Melihat Rumi yang sudah tidak sabar untuk menyantap masakannya membuat hati Varel menghangat.
“Makan yang banyak, gue gamau pas cerita lo malah motong buat makan dulu.”
“Oke.” balas Rumi di sertai anggukan.
Kurang dari dua puluh menit keduanya selesai menyantap makanan masing-masing. Rumi menyantap makanan yang di masak Varel dengan lahap, hal kecil seperti itu mampu membuat hati Varel yang kesepian menghangat.
“Enak banget makanannya. Makasih ya Varel-ku sayang.” Rumi hendak mendekat dan memberikan pelukan dan ciuman kasih sayang, namun jidatnya di tahan oleh yang lebih tua. Buat yang lebih muda mencebik sedih.
“Jangan harap gue mau di cium sama bibir belepotan bekas makan lo itu, nih lap dulu pake tisu basah!” Varel menyodorkan selembar tisu basah kepada Rumi yang cekikikan, puas dengan usahanya yang ingin membuat Varel tampak kesal.
“Udah?” tanya Varel kepada Rumi.
“Udah.”
“Jadi tujuan lo buat balapan liar malem-malem tuh apa?” tanya Varel yang di balas oleh tundukan kepala dari yang di hadiahi pertanyaan.
“Sebenernya enggak mau balapan tadi tuh.” jawab Rumi lesu, tangannya membuat pola memutar di atas karpet berbulu lembut milik Varel.
“Terus?”
“Tadi tuh gue lagi diem di pasar malem, soalnya di sana ada bianglala. Gue tadinya mau naik, tapi lo keburu nanya gue ada dimana.”
“Terus kenapa harus bohong sama gue?” balas Varel sambil mencubit hidung Rumi hingga si empunya merengut kesakitan.
“Takut lo bilang sama Aa kalo gue ada di pasar malem.” adunya sambil manyun-manyun.
Varel merotasikan bola matanya malas. “Jadi lo mau cerita tentang perjodohan itu?” tanya Varel yang di angguki kepala sebagai tanda 'iya' oleh Rumi.
“Kan pas waktu itu tuh bang Aldi ngisengin gue dengan embel-embel mau jodohin gue dan di bilangin ke papi. Nah, pas malemnya itu tiba-tiba bang Aldi chat gue lagi katanya gue beneran mau di jodohin sama papi. Dia gak sengaja nguping omongan papi waktu lagi telponan sama orang, nah awalnya gue gak percaya dong soalnya bang Aldi kan emang tabiatnya gitu.”
Varel mengangguk-anggukan kepalanya ketika Rumi fokus bercerita.
“Terus gue tanya lah tuh ke papi lewat room chat, pi masa kata abang aku mau di jodohin sih. Gue bilang gitu tuh ke papi, nah terus mami bales gue kaya kok kamu taunya dari abang bukan dari papi sih? di situ gue melongo kaya orang bego. Gue mikir kaya ini gue yang bego atau mereka yang sekongkol sama abang, eh taunya papi bilang beneran mau jodohin gue. Lo tau enggak perasaan gue waktu itu, Rel?”
Varel yang kini sudah tengkurap sambil memakan permen jelly hanya menggeleng. Membuat Rumi kembali menyambung ceritanya yang sempat terhenti.
“Perasaan gue di situ kaya sedih, campur aduk, lunglai, dan mulai gak semangat buat menjalani hari-hari.” ucapnya lebay, sangat dramatis hingga membuat Varel langsung terduduk.
“Lebay banget.”
“Tapi seriusan tau apii! kan pas kemarin tuh gue sempet bilang papi mau ngomong sesuatu ke gue, nah gue beneran nyamperin papi buat dengerin apa yang mau dia omongin. Katanya dia jodohin gue tuh dengan dasar kasih sayang, padahal mah buat alat bisnis doang.”
“Terus?”
“Terus abis itu gue langsung cabut ke pasar malem sambil nangis-nangis kaya orang gila. Tadinya gue beneran mau balapan aja, tapi pas liat bianglala gue langsung belok ke sana.”
Varel menyela cerita Rumi dengan menyumpal mulutnya dengan permen jelly yang langsung di kunyah oleh Rumi.
“Lo cabut tanpa dengerin penjelasan yang belum papi lo kasih tau?”
“Iya.” balas Rumi sambil mengunyah permen jelly milik Varel hingga habis.
“Duh Thay! lo mikir enggak sih kalo papi lo beneran punya alasan kuat buat jodohin lo? padahal beliau jelas-jelas udah tau kalo lo udah punya pacar?” perkataan Varel hanya di balas gelengan pelan oleh Rumi.
Varel menepuk jidatnya prustasi. Ia mengguncang badan Rumi hingga membuat si empunya memukul Varel hingga mengaduh kesakitan. “Mau di dengerin juga udah jelas Varel! papi jodohin gue sama om-om buat jadi alat bisnis, papi jadiin gue sebagai alat kontrak kerja sama biar papi gak susah-susah buat bujuk itu orang biar bisa kerja sama.”
“Tapi kalo misalkan ada alasan lain gimana?” balas Varel membuat Rumi terdiam membisu.
“Gue gatau api.” jika sudah memanggilnya dengan sebutan masa kecil, Varel yakin jika Rumi memang sedang bingung dan juga sedih. Sorot matanya sarat memperlihatkan keputus asaan. Varel paham benar jika sahabatnya itu tidak ingin di kekang dan di atur, namun Varel tidak bisa membenarkan tindakan yang di ambil oleh sabatnya itu sekarang.
Dengan kabur tanpa mendengarkan seseorang itu adalah sebuah hal yang tidak sopan, siapa tahu hal yang ingin papinya Rumi sampaikan itu adalah sebuah hal yang mendesak dan penting yang menjadi alasan kuat dirinya mengambil keputusan untuk menjodohkan sahabatnya.
“Gue gatau harus bereaksi kaya apa pas papi ngasih penjelasan yang berbelit-belit kaya gitu, gue ngerasa kalo omongan yang di lontarin papi sama mami itu bohong.” ujar Rumi lesu, matanya kembali berkaca-kaca ketika mengingat usapan hangat yang sang papi berikan sore tadi.
“Lo ngerasa juga kalo kasih sayang yang mereka kasih ke lo itu bohong?” tanya Varel.
Rumi menggeleng, “Gue ngerasa kalo kasih sayang yang mereka kasih ke gue itu tulus.”
“Lo harusnya beryukur masih di beri keluarga yang harmonis dan sayang sama lo, Thay. Engga kaya gue.” Varel tersenyum miris sambil memilin kaos hitam yang ia pakai.
“Mungkin lo pikir kasih sayang yang orang tua gue kasih itu tulus, tapi nyatanya enggak Thay. Setelah bokap tau kalo nyokap gue selingkuh, di situ kehidupan gue seratus delapan puluh derajat langsung berubah. Gue yang selalu jadi sasaran empuk dari amukan bokap. Rasanya sakit, bukan sakit lukanya. Tapi yang sakit hati gue Thay, luka yang belum kering di timpa sama luka baru itu enggak bikin sakit.”
Rumi menahan isakannya ketika Varel mulai membuka kaos hitam itu hingga memperlihatkan beberapa luka memar yang masih baru. Di bagian lengan, Rumi bisa lihat luka dalam yang masih mengeluarkan darah, ia jadi ngilu sendiri.
“Tiga tahun gue ngoleksi luka-luka ini, gue jadiin sebagai hadiah ulang tahun yang bokap kasih. Selama gue hidup dan sebelum kejadian itu, bokap sama nyokap gak pernah lupa sama hari ulang tahun gue. Tapi di saat ulang tahun gue yang ke tujuh belas, bokap ngasih hadiah pukulan buat yang pertama kalinya.”
“Rel, udah. Jangan di bahas lagi ya? mending kita tidur.” Rumi mulai berdiri dan menarik Varel agar bangkit juga, menuntunnya untuk tidur di kasur empuk miliknya.
Keduanya mulai berbaring dan menatap langit-langit kamar milik Varel. Terdiam membisu memikirkan nasib mereka berdua. Ketika tengah sibuk melamun, ponsel Rumi tiba-tiba berbunyi dan menampilkan rentetan pesan panjang dari mami, Aldi, dan juga Bima.
Kedua mata Rumi memanas ketika selesai membaca satu-persatu pesan dari keluarganya. Dirinya langsung menyambar jaket dan juga helmnya. Meninggalkan Varel yang berlarian mencoba menghentikannya.
“Gue anter lo ya?”
“Gue harus cepet-cepet kesana Rel, papi masuk rumah sakit gara-gara gue!”
“Tapi lo gabisa nyetir kalo pikiran lo aja semrawut kaya gini Thay! biar gue anter lo kesana. Oke?”
Rumi yang mulai meneteskan air matanya hanya mengangguk. Varel langsung melesat untuk mengambil kunci mobil miliknya, berjaga-jaga karena cuaca malam hari sangatlah dingin. Pukul dua belas malam jalanan mulai sepi, dan ini adalah opsi yang paling bagus untuk Varel mengantar Rumi dalam keadaan seperti ini.
Varel dan Rumi langsung menuju garasi, keduanya masuk ke dalam mobil. Para satpam yang berjaga langsung membukakan gerbang lebar-lebar ketika suara gerungan mobil sport milik sang majikan terdengar, bi Sumi berdiri gelisah di halaman rumah sambil meremat tangan. Cemas dengan tuan muda yang pergi tiba-tiba.
“Den, kalau tuan besar datang bagaimana?”
“Gapapa bi, nanti aku bilang ke ayah mau antar Rumi ke rumah sakit karena Papinya sakit. Ayah pasti ngerti, tolong nanti jangan lupa kunci semua pintu sama jendela ya bi. Varel berangkat!”
Varel melanjukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jalanan hari ini ternyata sangat sepi, ia kira akan ada beberapa mobil dan motor yang berlalu-lalang, namun ternyata memang sangat sepi. Itu membuatnya langsung menambah laju mobilnya agar cepat sampai.
Rumi yang ada di sebelahnya hanya terisak tertahan, tangannya gemetaran membalas setiap rentetan chat yang di kirimkan oleh sang mami. Membuat Varel agak sedikit cemas dan juga iba.
“Papi lo pasti baik-baik aja, Mi.”
“Papi masuk rumah sakit gara-gara gue, Rel.”
“Enggak ada yang tahu kapan orang bisa sakit Mi, semua itu udah di atur sama yang di atas. Jangan nyalahin diri lo sendiri.”