Rumi meletakan ponselnya ke dalam saku celana setelah berbalas pesan dengan Varel, hembusan nafas berat dapat Rayyan dengar dari pemuda di sampingnya.

Rumi masih enggan mengajak Rayyan berbicara ngomong-ngomong.

Melihat calon 'suami kecilnya' terlihat prustasi sekaligus bersedih, sebuah ide mendadak melintas di kepala Rayyan. Dengan sigap, ia memutar arah mobil menjadi ke jalan yang berlawanan dengan jalan utama yang seharusnya mereka tuju untuk pulang ke rumah keluarga Rumi.

Rumi yang sedang melihat jalanan di luar langsung menoleh ketika ia rasakan mobil yang di kendarai Rayyan berbelok dan memutar arah, alisnya menyernyit merasa tidak suka karena pria di sampingnya itu tidak meminta persetujuannya terlebih dahulu.

“Loh . . Om mau bawa saya kemana? jangan macem-macem ya om, atau saya teriak biar semua orang tau kalo om mau nyulik saya!”

“Saya gak bakal macem-macem sama kamu Rumi, jadi tenang aja.”

“Saya gak percaya! tempo hari kalo om masih inget, om mau cabulin saya di bilik toilet mall dan om pikir saya bakalan percaya gitu aja kali ini? enggak ya om, puter balik! saya mau pulang!”

Rayyan tidak menggubris, ia membiarkan Rumi bertindak semaunya. Toh, dirinya tidak mau berbuat aneh, jika orang-orang mengeroyoknya dirinya punya alasan kuat untuk membela diri. Saya sama calon suami kecil saya mau jalan-jalan malam, cuman kita lagi marahan jadinya yah begitu cukup masuk akal kan?

“Om . . denger saya gak sih? saya gak main-main loh!” Rumi membuat dirinya menghadap samping, membuat Rayyan bisa dengan jelas melihat wajah marah milik calon suami kecilnya lewat ekor mata.

“Denger, tapi saya gak mau nurut sama kamu. Orang saya bener kok gak bakal macem-macem kali ini, lagian untuk kejadian di mall waktu itu saya memang sengaja dan saya minta maaf kalo udah bikin kamu takut . . . .” Rayyan sempat menolehkan kepalanya ke arah Rumi.

“Seenggaknya om kasih tau saya kita mau ke mana? saya gak suka ya di bawa pergi ke suatu tempat tapi sayanya gak tau tempatnya dimana!” Rumi masih marah.

“Kita mau nyari tempat makan, kamu belum makan apa-apa tadi di restoran. Saya masih cukup waras untuk tidak membiarkan anak orang lain kelaparan, jadi cukup nurut dan ikuti apa yang saya katakan, jelas?”

Rumi membuang muka, cukup kesal dengan pria di sampingnya. Apa-apaan barusan itu? Rayyan baru saja memintanya untuk menurut, punya hak apa hingga Rumi harus menurut. Asal kalian tau, Rumi tidak suka di perintah, ia lebih suka memerintah.

“Terserah Om, saya capek.”

. . .

Selang beberapa menit akhirnya Rayyan memarkirkan mobilnya di parkiran umum yang ternyata ramai mobil dan motor. Ketika Rumi melihat ke arah luar jendela mobil, bisa ia lihat kepulan asap yang keluar dari salah satu tenda tempat orang menjual makanan pinggir jalan.

Omong-omong perihal makan di pinggir jalan, Rumi jadi teringat dengan Kavin kekasihnya. Sudah dua hari dirinya tidak berbalas pesan dengannya, dua hari juga Rumi tidak pernah berpapasan dengan Kavin.

“Yuk, sudah sampai. Kita turun.” Rayyan sudah siap untuk membuka pintu mobil dan keluar, namun ketika tangan mungil menahan ujung jas kantornya, Rayyan urung.

Rayyan menoleh ke belakang, tepat kepada Rumi yang masih menarik bajunya. Rayyan duduk kembali dan tatap Rumi heran, kenapa tiba-tiba pria manis itu menjadi seperti seekor anak anjing yang tidak ingin di tinggal oleh induknya.

“Kenapa? kamu gak mau makan sate?” Rayyan bertanya.

“Sate itu, enak enggak om? soalnya saya baru pertama kali makan di pinggir jalan kaya gini.”

Rayyan melongo sejadi-jadinya. Sate itu salah satu makanan favoritnya, menurut Rayyan sate adalah makanan paling enak setelah rendang, nasi goreng, martabak manis, dan ketika mendengar calon suaminya bahkan belum pernah memakan makanan enak seperti ini, Rayyan jadi heran sendiri.

“Kamu seriusan belum pernah makan sate?” Rayyan bertanya untuk memastikan.

Rumi menggeleng, “Belum, makannya saya nanya.”

“Bagus kalo gitu, malam ini kamu harus ngerasain gimana enaknya makan sate. Apalagi di pinggir jalan kaya gini.” Rayyan bersiap untuk turun, namun kini di ikuti oleh Rumi yang mengekor di belakangnya.

Ketika netranya menangkap beberapa pasang mata yang melihat ke arahnya, Rumi jadi ciut sendiri. Ia menarik ujung baju Rayyan kembali, Rayyan menyadari itu dan ia berinisiatif untuk menggandeng tangan mungil Rumi untuk ia genggam di tangannya yang lebih besar.

Keduanya memasuki salah satu tenda yang mengeluarkan kepulan asap harum khas daging yang sedang di bakar, mencium aromanya saja Rumi jadi lapar.

“Om, ini makanannya bersih gak?” Rumi berbisik-bisik, takut pelanggan lain menatapnya seperti tadi karena terganggu.

“Seratus persen bersih, saya jamin. Lagipula ini sate langganan saya sama Mommy saya kalo bingung harus makan apa, saya jamin kamu juga pasti suka.”

Rumi hanya mengangguk-angguk saja, penasaran juga dengan rasa sate. Seumur dirinya hidup, Rumi tidak pernah mengenal apa itu makanan pinggir jalan seperti sate, martabak, dan teman-temannya yang lain karena keluarganya tidak pernah mengajak.

Ketika dirinya beranjak dewasa pun, dirinya tidak tahu bagaimana rasa makanan itu jika saja saat itu Laras tidak menyumpal mulutnya dengan sesuap nasi goreng abang-abang, itu adalah makanan pinggir jalan satu-satunya yang pernah Rumi makan, dan rasanya pun enak. Jadi Rumi percaya saja ketika Rayyan menyebutkan rasa sate enak.

“Kamu mau sate apa? ayam, kambing, atau sapi?” Rayyan kembali membuyarkan lamunan Rumi.

“Varian satenya banyak banget, Om? saya ikut Om aja deh, saya gak tau yang mana yang enak soalnya.” Rumi menatap Rayyan pasrah, sesekali juga ia melirik pelanggan lain yang sedang memakan sate.

“Yaudah kamu tunggu di sini, biar saya pesen dulu satenya. Mau pake lontong atau engga?”

“Terserah, saya ikut Om aja.” lagi-lagi Rumi pasrah, mungkin malam ini ia akan mempercayakan asupan perutnya pada Rayyan saja karena jujur ia tidak tahu menahu apa itu lontong.

Rayyan mengangguk dan mulai beranjak dari tempat duduknya, Rumi bisa lihat bapak penjual sate itu tersenyum ramah ketika Rayyan menghampiri dirinya. Rumi juga melihat kepala Rayyan di usap pelan oleh sang penjual sate, mungkin karena sudah jadi langganan mereka sudah saling kenal.

Tak lama Rayyan kembali dan duduk di kursi yang sebelumnya ia duduki, Rumi menatap Rayyan bermaksud ingin bertanya, tapi ia merasa enggan, jadi Rumi putuskan untuk urungkan niatnya. Namun sayangnya Rayyan terlalu peka.

“Kenapa kamu natap saya kaya gitu? saya tau kok saya ganteng jadi gak usah di liatin mulu nanti kamu malah suka sama saya lagi,” Rayyan terkekeh ketika melihat perubahan ekspresi Rumi yang awalnya tenang berubah menjadi merengut, lucu sekali.

“Apasih Om, Pd banget!” Rumi kembali membuang muka, enggan melihat wajah Rayyan yang menurutnya sangat menyebalkan kali ini.

Rayyan hanya terkekeh. Tak berselang lama, pesanan mereka akhirnya datang. Semerbak aroma sate yang sudah matang langsung menyerang indra pembau milik Rumi, buat perutnya kembali keroncongan.

“Boleh langsung makan?” tanya Rumi polos kepada Rayyan, buat Rayyan menggigit pipi dalamnya karena menahan gemas.

Ekspresi Rumi saat ini seperti seekor anak anjing dengan puppy eyes, Rayyan lemah dengan ini asal kalian tau.

“Boleh, tapi makannya jangan langsung soalnya masih panas.”

Rumi mengangguk, ia mengambil satu tusuk sate dan meniupnya terlebih dahulu sebelum sampai pada mulutnya. Ketika lidahnya mengecap rasa dari sate, Rumi otomatis menggumam.

“Enak, kok bisa enak kaya gini? kenapa juga gue baru tau ada makanan enak kaya gini!” Rumi mengoceh sendiri, lupa akan presensi Rayyan yang kini menatapnya dengan senyuman puas.

“Kalo enak makan yang banyak, lontongnya juga di makan. Kamu saya pulangin ke rumah harus dalam keadaan kenyang, oke?” Rayyan dapati Rumi yang mengangguk dengan pipi penuh oleh lontong dan sate.

“Nwanti di bwungkus bwoleh gak? mawu saya mwakan lagi pas di rumwah,” Rumi berbicara dengan mulut penuh, buat Rayyan terkekeh kembali.

“Boleh, tapi abisin dulu yang ini. Kalo yang ini abis, nanti kita pesen seratus tusuk lagi buat kamu sama kakak-kakak kamu di rumah.” Rayyan julurkan tangannya untuk menghapus noda kecap di pipi Rumi, karena sangat lahap Rumi jadi tidak sadar wajahnya belepotan dengan kecap.

“Owke, mwakasih Om!”