Rumi tidak meminta dirinya di lahirkan di keluarga kaya raya yang penuh dengan tuntutan. Jika boleh meminta, ia lebih baik di lahirkan di keluarga yang sederhana namun penuh dengan kebahagiaan. Tanpa adanya tuntutan kepada sang anak, selalu mendukung apa yang anak mereka pilih, Rumi amat sangat ingin ketika dirinya di dengar dan di hargai.
Bukan berarti dia tidak suka dengan keluarganya yang sekarang. Ia amat sangat suka, hanya saja di tuntut akan suatu hal membuatnya amat sangat tersiksa.
Kedua tungkai miliknya ia bawa untuk melangkah ke lantai bawah rumah milik sang papi. Jauh di lubuk hatinya, ia ingin sang papi berubah pikiran dengan membatalkan perjodohan yang entah sejak kapan di rencanakan.
Sosok sang papi merupakan panutannya, namun kadang sikap sang papi mampu membuatnya menangis semalaman. Papinya adalah sosok yang penuh tanggung jawab, dan pribadi yang sayang kepada keluarga. Namun, kadang sang papi lupa jika keputusan yang ia ambil sepihak bisa membuat anak-anaknya tersiksa.
Rumi sampai di anak tangga paling bawah. Ia terdiam sambil memperhatikan sang papi yang sibuk dengan ipad di tangan, berkas berserakan di mana-mana. Rumi bisa paham bagaimana sibuknya pekerjaan yang papinya ambil, namun ia juga ingin sang papi meluangkan waktunya sebentar saja untuk memahami apa yang diinginkan oleh anak-anaknya.
“Papi.”
Wisnu mendongak ketika suara si bungsu capai rungunya, ia simpan segala alat elektronik yang di gunakan sebagai alat pembantu menyelesaikan pekerjaannya dan tidak lupa juga ia bereskan berkas-berkas yang berserakan.
“Come here, baby.” Wisnu tepuk sofa kosong yang ia duduki, tampilkan senyuman hangat kepada di bungsu yang terlihat enggan mendekat. Mungkin masih teringat dengan perkataannya saat di room chating.
Rumi perlahan berjalan mendekat ke arah sang papi, dudukan bokongnya di sebelah sofa yang di duduki Wisnu. Enggan terlalu dekat sebab hatinya masih sakit ketika mengingat sederet ketikan menyakitkan yang di kirimkan sang papi padanya siang tadi.
“Kenapa jauh sekali duduknya? Rumi masih kesal sama papi ya nak?”
Rumi terdiam menunduk. Enggan menatap sepasang obsidian tegas milik sang papi, dirinya takut luluh jika menatap mata sang papi.
“Maafin papi karena bikin Rumi sakit. Papi tidak bermaksud untuk membuat Rumi benci sama papi, papi sayang anak-anak papi. Papi mau anak-anak papi hidup enak, enggak sengsara.”
Wisnu bangkit dan duduk di sebelah si bungsu, elus kepalanya lembut sambil tersenyum tipis. Putra bungsunya sudah tumbuh dewasa dan tampan, juga cantik. Sangat persis dengan sang mami dan juga dirinya.
“Kalo papi sayang sama kita, kenapa papi selalu maksain kehendak papi buat kita? padahal kita udah dewasa dan bisa ambil keputusan sendiri.” balas Rumi masih menunduk.
Wisnu tersenyum tipis, tangannya masih terus mengelus puncak kepala sang anak bungsu. “Maafin papi Rumi.”
“Papi tau enggak kalo aku sakit hati pas papi bilang kalo aku egois ? papi enggak pernah marahin Rumi, aku selalu jadi anak yang baik buat papi, tapi kenapa sekarang aku minta batalin perjodohan aja papi enggak kabulin?” runtuh sudah pertahanan yang Rumi tahan. Air mata yang ia tahan akhirnya terjun bebas, sangat deras.
Kedua obsidian sejernih danau itu kini mulai meredup, Wisnu bisa lihat kilauan di mata si bungsu yang selalu menatapnya kagum kini sudah hilang. Hanya ada kilatan amarah dan kekecewaan yang bisa ia lihat di sana.
“Papi, Rumi selalu turutin semua yang papi sama mami mau. Tapi kenapa papi malah jodohin aku sama orang yang bahkan aku enggak kenal? Rumi enggak pernah minta hal yang enggak bisa papi wujudin, tapi kenapa papi minta itu sama Rumi, Pi?” isakan demi isakan keluar, Wisnu sakit ketika melihat putra yang ia selalu manja menangis kencang di hadapannya.
Aldi, Bima, dan Sheila yang tengah berdiam di kamar masing-masing sampai harus keluar dan turun untuk melihat apa yang terjadi di ruang keluarga. Mereka bisa melihat si bungsu yang tengah menangis sesegukan.
“Papi menjodohkan kamu dengan dasar kasih sayang, nak. Tidak pernah sekalipun papi berfikir untuk menjadikan kamu sebagai alat bisnis, papi sangat menyayangi ketiga anak papi.”
Rumi memberontak ketika dirinya mulai di tarik untuk Wisnu peluk, dirinya mulai bangkit dan menjauh. Enggan di peluk oleh sang papi.
“Kasih sayang? papi jangan bercanda. Dari kecil loh, aku selalu jadi tumbal papi! dulu, aku yang jadi bahan papi buat dapetin sorotan baik dari media, bahkan sampe sekarang masih! apa papi enggak bisa turunin ego papi buat bikin anak papi bahagia? aku benci papi!”
Rumi berbalik dan berjalan menjauh, ia membuka pintu dan penutupnya dengan kasar. Membuat suara debuman kencang yang membuat Sheila terkejut dan langsung turun dari tempat persembunyiannya. Ingin mengejar si bungsu ketika suara gerungan motor mulai terdengar, namun ia di tahan oleh Wisnu.
“Biarin dia sendiri dulu, aku gak mau Rumi semakin benci sama kita.”
“Tapi mas, kamu bahkan belum jelasin alasan apa yang bikin kamu memilih ini!”
“Nanti mas coba nyari waktu yang pas untuk obrolin ini dengan kepala dingin. Bagaimanapun Rumi masih marah karena ketikan mas waktu di room chat.“
Sheila memilih mengalah dan mengangguk. Melihat Rumi yang melesat dengan motor merah kesayangannya lewat jendela, hati ibu mana yang tidak ikut sedih ketika melihat kedua mata anaknya memerah karena menahan tangis.
Aldi dan Bima yang masih diam di anak tangga hanya bisa saling melempar tatapan sedih dan juga khawatir, bagaimanapun Rumi adalah adik kesayangan mereka berdua. Mereka tidak suka ketika adik kesayangan mereka bersedih seperti ini. Satu hal yang mereka berdua takuti adalah, Rumi menyesal karena telah pergi tanpa mendengarkan penjelasan dari sang papi hingga habis.
“Lo tanyain temen-temennya adek, dia ke sana atau enggak.” Aldi meminta Bima untuk melakukan tugas ini karena Bima jauh lebih tahu siapa saja yang menjadi teman dari adiknya.
Meskipun Aldi sering menjahili sang adik hingga membuatnya menangis kesal, sesungguhnya ia sangat sayang dan ingin selalu menjaga sang adik dari segala hal yang bisa membuat adik tersayangnya terluka.
Bima mulai mencari rentetan nama-nama teman Rumi yang nomornya ia simpan. Berjaga-jaga jika ada suatu hal yang tidak di inginkan terjadi kepada sang adik.
“Bang, katanya adek ada di salah satu rumah temennya.”
“Oke. tanyain setiap satu jam sekali sama temennya, takutnya itu anak minggat lagi.”
“Oke.”