Sesuatu di Bandung.

a jayhoon au.

Kota Bandung menyimpan segala keindahan, dan kamu salah satunya.


Cuaca panas dari matahari langsung menyapa ketika Radit putuskan untuk turun langsung ke lapangan dalam agendanya mengecek lahan baru yang akan ia beli sebagai tempat pabrik baru usahanya.

Kesalahan yang Radit lakukan adalah memakai pakaian formal lengkap dengan kacamata hitam di area pesawahan yang langsung terkena sinar matahari. Salahnya sendiri karena tidak mendengarkan sepupu jauhnya, Bagas. Lelaki dengan hidung bangir itu masih saja menertawakan kebodohan dirinya karena tidak menurut perkataan yang lebih muda.

“Kata aing juga apa? pake pakean biasa aja, jangan yang gaya-gaya soalnya lahan yang mau maneh beli itu tempatnya deket sawah. Jadinya gimana sekarang? kotor and gerah kan pak bos?” ledek Bagas yang berjalan di depan Radit.

Radit mendengus, mendorong pundak Bagas pelan. Namun karena keduanya berada di area pesawahan, Bagas hampir saja terjatuh jika dirinya tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya dengan baik.

“Lagian elu yang nggak ngasih tau gua kalo area lahannya di sawah, tau gitu gua pake kaosan doang.” sungut Radit tidak terima.

“Ya lagian elu pake nanya kalo kaosan bisa belang atau engga, ya aing pikir lo mau pake kaosan.”

“Pokoknya ini salah elu!” dengus Radit, mendorong Bagas kembali hingga salah satu kakinya masuk ke area pesawahan. Kakinya penuh lumpur.

“Ah anjing kaki aing! sialan ya lo, sini lo Radit!” Bagas mendorong Radit lumayan kencang hingga si empunya terjerembab masuk ke area pesawahan, merusak padi yang baru di tanam oleh para petani.

“Anjing Bagas!”

“Hahaha Sorry, ayo aing bantu sini. Kita ke rumahnya oma aja kali ya buat bersih-bersih.”

“Yaudah, terserah.”

Walaupun kesal, Radit tetap menyambut uluran tangan saudara jauhnya itu untuk membantu ia keluar dari lumpur pesawahan.

Bagas yang melihat Radit penuh dengan lumpur hanya bisa menahan tawa, sungguh ia malah teringat ketika masa kecilnya bersama Radit.

“Duh rumahnya masih jauh gak, Gas?”

“Bentar lagi, di depan noh!” ujar Bagas menunjuk salah satu rumah putih yang penuh dengan tanaman.

Bagas dan Radit akhirnya sampai di halaman rumah putih asri milik oma sang pemilik lahan yang akan Radit beli, maka tak menunggu lama Bagas langsung mengetuk pintu meninggalkan Radit yang berdiri kikuk di halaman rumah, persis seperti orang-orangan sawah.

“Punten, oma! initeh Bagas.”

“Mangga, eh den Bagas teh udah datang. Ai aden yang dari kota tea mana? engga di ajak kesini atuh?”

“Di ajak atuh oma, itu orangnya. Kecebur di sawah, petakilan tuda orangnya.” Bagas menunjuk Radit dengan dagunya, buat wanita yang dipanggil oma terkikik geli.

“Aduh den, ngapain nyemplung ke sawah? mau nyari belut?”

Radit tertawa dengan paksa, tidak berniat buruk sebenarnya, tapi dia juga kesal karena tidak langsung di ajak membersihkan diri.

“Yaudah atuh yuk, bersihin dulu badannya.” ajak sang Oma, berjalan mendekat ke arah Radit berdiri, buat Radit mundur beberapa langkah.

“Duh oma saya kotor gausah deket-deket, saya juga gak bawa baju ganti.” tolak Radit halus.

“Eh engga apa-apa, cucu oma juga sering kecebur di sawah pas masih kecil. Kalo buat baju, kamu bisa pake bajunya si abah.” ujar oma sambil menuntun Radit lewat jalan belakang, untuk masuk rumahnya.


“Oma, Naya pulang!”

Lelaki dengan wajah manis yang tengah membawa sekeranjang buah hasil petikan dari kebun kini mulai membasuh tangan serta kakinya di pancuran air keran di halaman rumah milik sang Oma.

Dengan senyuman yang terpatri di wajahnya membuat Bagas yang masih duduk didepan rumah bangkit dan mulai menyambut si pemilik rumah.

“Abis dari mana kamuteh Nay? panen buah lagi?” ucap Bagas, buyarkan fokus Nayaka yang tengah memilah buah-buahan hasil panennya.

“Eh, A Bagas sejak kapan disitu? aku kok engga lihat ya tadi.”

“Dari kamu lepas sendal, milih buah, aa udah disini.” balas Bagas yang mendapat cengiran lebar dari Nayaka.

“Maaf ya a, akuteh enggak tahu. Oh iya, belum dikasih minum ya sama oma? aa mau minum apa, biar Naya yang siapin?”

“Jus buah ada engga, Nay?”

“Ada a, tapi jus jeruk mau?”

“Mau, nuhun pisan ya Nay.”

“Samuhun a, antosan sakedap. (Iya a, tunggu sebentar.)”

Nayaka melenggang masuk ke dalam rumah milik Oma, berniat menyimpan buah-buahan yang baru ia petik sekaligus membawakan satu gelas jus jeruk untuk Bagas yang menunggu di depan.

“Oma, ini Naya bawain buah mau di taro dimana?” kaki jenjangnya melangkah ke arah kamar sang oma tanpa menatap ke depan. Nayaka fokus dengan kegiatan memilah buah yang belum selesai tadi.

“Oma, ini aku petik buah anggur mau dibikin ap— AAAAAAA MALING!”

“OMAAA ADA MALING! A BAGAS BANTUIN A, ADA MALING!!”

Radit yang tengah memakai baju pemberian oma langsung terkejut ketika ada orang yang meneriaki dan memukulinya dengan sandal, mana di anggap sebagai maling pula. Padahal dirinya kan tamu disini.

“Saya bukan maling!”

“Mana ada maling yang ngaku!”

“Seengaknya berhenti mukulin saya!”

“Engga, OMAA—”

“Diem, saya bukan maling!”

Kedua mata bulat milik Nayaka langsung membulat ketika mulutnya dibekap oleh tangan orang yang ia kira adalah maling. Sementara Radit langsung terdiam ketika netranya tangkap presensi lelaki manis dengan sekeranjang buah di tangan, mungkin bisa dibilang keranjangnya saja karena buah-buahan yang Nayaka petik sudah berceceran di lantai.

“Ada apa initeh kok oma denger ada yang teriak?”

Nayaka yang tersadar dari lamunannya langsung menjauhkan diri dari Radit yang masih enggan untuk berhenti menatapnya hingga Bagas pun yang harus menyadarkan saudaranya.

“Woi! anak orang jangan lo pelototin gitu anying, nanti dia nangis!”

“Sembarangan, dia siapa gas?”

“Cucunya si oma, cakep ya?” ujar Bagas sambil menyikut perut Radit pelan.

“Engga.”

“Itu oma, ada maling yang mau ambil baju abah di dalem lemari. Kan Naya mau ngasih buah ke oma niatnya itu, tapi malah ketemu dia. Ya aku kira teh dia maling soalnya gelagatnya mencurigakan.”

“Dia teh den Radit, yang mau beli lahan kita.”

Nayaka langsung menutup mulutnya pelan, melihat ke arah Radit yang masih mematung dan memperhatikannya.

“Aduh, A Radit maafin saya ya. Saya teh gatau kalo aa yang mau beli lahannya oma, aduh ini bekas pukulan saya masih sakit engga biar saya obatin?”

“Sakit.” jawaban Radit semakin membuat Nayaka kalang kabut dibuatnya, jadilah ia sibuk sendiri untuk mencari kotak obat yang ia simpan di lemari dekat televisi.

“A Radit saya obatinnya di luar aja ya, biar keliatan lukanya. Kalo di dalem gelap.”

Radit hanya anggukan kepalanya, senyuman di bibirnya terlihat sangat menyeramkan menurut Bagas, seperti om pedo.

“Gila ai sia, jiga nugelo. (Serem ai kamu, kaya orang gila.)”