The Dintance Of Love.
Menaruh ekspetasi terlalu tinggi pada seseorang adalah sebuah karya seni memahat luka, dan akhirnya selalu ada batas untuk setiap perjalanan, selalu ada kata selesai untuk sesuatu yang dimulai.
Langit terlihat sedikit berubah warna menjadi jingga ketika seorang pemuda dudukan bokongnya pada salah satu kursi yang disediakan disalah satu universitas ternama dikotanya.
Shaquille Dirgantara, salah satu mahasiswa semester dua yang sebentar lagi menginjak semester tiga dengan mengambil fakultas teknik dengan program studi Fashion Design kini memilih menutup kedua kelopak matanya saat sapuan angin sore menerpa wajah cantik nan tampannya.
Tanpa disadari, sebuah buliran air mata terjun bebas begitu saja. Niat hati ingin menenangkan diri malah mengundang tangisnya pecah begitu saja.
“hiks...hiks...“
“Nih, tisu buat lo!”
Shaquille sempat terhentak karena terkejut, kedua matanya terbuka dan melirik seseorang yang duduk disampingnya tanpa permisi.
“Dinda? ngapain lo disini?”
Perempuan dengan rambut diurai indah, dengan make up tipis itu tersenyum ke arah Shaquille.
“Nemenin orang yang lagi sakit hati.”
“Lo kalo mau ketawa gapapa, ketawain aja gue.”
Hening menyelimuti keduanya, Shaquille yang memikirkan hubungannya dengan Kalandra. Sementara Dinda yang sibuk dengan kata-kata yang ia susun rapih dikepalanya untuk ia ucapkan pada Shaquille.
“Rasanya sakit banget, ya Sha?” ucapan Dinda mampu membuat Shaquille menoleh padanya.
Dinda ikut menoleh pada Shaquille, ia menarik nafas untuk melanjutkan kalimatnya yang menggantung tadi, “Sha, terkadang memang manusia perlu ngerasain luka biar tau gimana caranya bertahan, biar dia tau gimana caranya bangkit,” Dinda mengusap lembut pipi Shaquille yang berlinang air mata.
“Din, makasih.”
“Ngapain? makasih buat apa Sha? dengerin gue! disini lo gak salah, cuman saat ini semesta lagi gak berpihak sama lo. Semesta mau nunjukin hal yang baik dan gak baik buat lo, Sha,” ucapan Dinda mampu membuat Shaquille termenung dan mengeluarkan tangisnya dalam diam.
Dinda yang merasa iba menarik kepala Shaquille untuk ia bawa bersandar pada bahunya. Selama ini ia sadar jika lelaki disebelahnya ini hatinya selembut sutra, tidak bisa dikoyak-koyak seenaknya karena akan susah untuk dirapihkan lagi. Tapi, malah kekasihnya sendiri yang mengoyak hati selembut sutra milik Shaquille.
“Waktu lo jambak gue digudang, gue sadar Sha kalo lo emang orang yang tulus dan berhak buat bersanding sama Alan yang notabenya cerminan buat mahasiswa. Gue disitu sadar, kalo gue emang gak lebih dari sampah pas ngatain lo pelacur lah, apalah. Sorry ya, Sha.”
Shaquille menggelengkan kepalanya yang masih bersandar pada pundak sang gadis, “Lo enggak salah kok Din, guenya aja yang keterlaluan dan buta sama cinta. Gue minta maaf kalo waktu itu gue jambak rambut lo terlalu kenceng.”
Dinda terkekeh, dia mengangkat kepala Shaquille untuk ia lihat wajahnya. Memerah, persis seperti bayi yang baru menangis.
“Pantesan Kinan manggil lo bayi, emang iya anjir kaya bayi baru nangis lo, Sha. Gemes banget, mau ya gue bayiin?”
“Gamau, lo bau.”
Dinda mencebikkan bibirnya, “Jahat banget, gue udah pake deodorant, parfume dan lainnya kok. Cium aja deh, wangi gue!” ucapnya sewot.
“Bercanda Dinda, karena lo udah baik sama gue. Mau gak temenan sama gue?” ucap Shaquille sambil menyodorkan tangan kanannya, menunggu Dinda untuk menjabat tangannya juga.
“Gue selalu mau temenan sama orang kaya lo, Sha. Lo orang yang baik dan tulus, makasih karena udah mau temenan sama gue.”
Keduanya tersenyum dan mengusap air kata satu sama lain yang ternyata terjun bebas diatas pipi merah merona mereka.
“Sha,” panggil Dinda dengan ekspresi sendu sambil tersenyum tipis.
Shaquille berdehem sebagai jawaban dan mengangkat kedua alisnya bingung.
“Lo manusia juga, kalo lo lupa,” ucap Dinda tanpa konteks yang spontan membuat Shaquille bingung.
Shaquille memamerkan cengiran khasnya yang lucu. “Iya gue tau kok, tapi maksudnya apa?”
“Maksud gue, nge-ekspresiin emosi itu wajar. Lo boleh nunjukkin perasaan lo tanpa harus ditahan, lo luapin apa yang buat lo emosi. Sama kaya waktu lo labrak gue, gapapa labrak asalkan maksud dan tujuan lo udah pasti.” katanya. “Lo mau marah, nangis, seneng sampe jingkrak-jingkrak juga...gak bakal ngerubah pandangan orang lain ke lo kok.”
Shaquille tertegun. Kalimat Dinda barusan seolah menamparnya keras-keras. Benar, ia terlalu menahan semuanya selama ini. Haruskah ia berubah dan meluapkan semuanya dengan suka hatinya?
“Kalo mau cerita, cerita aja sama gue. Cari gue ke ruang hima, tapi jangan cari Alan ya! cari gue aja biar yang lain juga kaya bingung kok kalian akur?” wkwk gue pengen liat ekspresinya Alan kalo kita akur.”
Shaquille tersenyum lalu memeluk Dinda erat, ia terharu karena selama ini ia selalu berpikiran buruk kepada wanita yang ada disampingnya ini.
“Dinda makasih ya? untuk semuanya.”
“Belum semuanya, nanti gue bantuin buat kasih pelajaran ke si Abel gubal-gabel itu. Gue gini-gini jago silat loh.”
“Terus kenapa waktu itu gak ngelawan gue?”
“Gak tega, muka lo kaya bayi soalnya kalo ngamuk.” ucap Dinda yang langsung membuat Shaquille mendesis kesal.
“Ish, Shaquille bukan bayi, Dinda!”
“Lah ini, inimah bahasa bayi Sha.”
Dan berakhir dengan Shaquille yang bermain kejar-kejaran dengan Adinda. Mereka menghabiskan waktu sore mereka untuk membagi luka satu sama lain, ternyata memiliki teman yang senasib itu tidak buruk juga.
Semoga.
minggu, 13 november 2022 written by ©vivi.