Things That I Miss
Is That you my love? I have waited for you very long.
Seoul, Korea Selatan 20 November 2066, 23.30 pm.
Hampir tengah malam, tapi rupanya kedua insan yang tengah menatap langit malam enggan untuk terlelap.
Langit malam hari adalah perpaduan yang pas dengan sebuah pelukan kasih sayang yang diberikan oleh seseorang yang kita cinta. Langit yang bertebaran bintang, membuat malam semakin cantik. Bintang menemani sang rembulan untuk terus terjaga dan menghiasi malam.
Mungkin rembulan akan cemburu ketika melihat kedua insan yang masih berbagi cinta dan kasih di balkon rumah megah milik Raksa Hugo.
Hugo memeluk Sky dari belakang, memeluk tubuh ringkih yang entah kapan kini selalu terikat dengan dirinya. Tujuh tahun berlalu begitu cepat, segala hal yang ia alami pasti ada hubungannya dengan Sky.
“Mau masuk sekarang? sudah cukup malam, Sky.”
Pemuda pirang itu menggeleng, mengeratkan kedua tangan Hugo pada perutnya. “Gini dulu ya, mas?”
Maka Raksa Hugo takan bisa berkata tidak untuk setiap permintaan yang Sky lontarkan.
Sky menghirup nafasnya dalam-dalam seraya memejamkan kedua mata dengan erat untuk menikmati udara malam yang begitu sejuk hari ini. Hugo melihatnya, ia mengelus pipi dengan semburan merah alami itu dengan lembut.
Beberapa detik setelahnya, Sky kembali membuka mata. Senyumnya mengembang sempurna saat dirinya rasakan elusan pada kepalanya.
Malam mungkin memang kian sunyi, tapi yang bermalam di kepala Sky kian bising. Ketakutan akan ditinggalkan membuat Sky enggan untuk melepas Hugo untuk berpamitan, segala hal dan alasan telah ia coba untuk mengulur waktu yang terkasih untuk pergi meninggalkan.
Ia tahu ini adalah tugas dari Hugo sebagai seorang anak yang berbakti pada orang tuanya, namun yang ia inginkan adalah ia ingin juga turut membantu dalam setiap proses kehidupan yang berkaitan dengan Hugo. Namun, jawaban yang ia dapatkan adalah “Gaboleh dong sayang, terapi kamu belum selesai.”
Lihat kerut kecemasan yang tergambar pada wajah kasihnya, Hugo coba daratkan ciuman singkat pada pelipisnya.
“Sayang, udah dong..”
“Mas kamu yakin ninggalin aku sendirian disini? kamu ajak Noah, tapi enggak ajak aku juga.”
“Maaf sayang, maaf.”
Hugo daratkan cium pada kedua tangan yang lebih muda. Gendong paksa karena Sky terus enggan untuk diajak masuk ke dalam kamar, Noah sudah tidur lebih awal. Niatnya Hugo akan bawa anaknya itu dalam keadaan tertidur bersamanya ke bandara.
Hugo turunkan tubuh mungil Sky pada daratan kasur yang empuk dengan perlahan, undang tawa yang lebih muda menguar ke udara.
“Udah ah mas, kamu naro aku di kasur kaya naro guci antik yang gampang rusak.”
Hugo balas kekehan yang lebih muda, “Gapapa sayang.”
“Mas, tujuh tahun kita bareng. Tapi aku belum pernah bisa layanin nafsu kamu, kamu gak mau nyentuh aku sama sekali. Kamu gak ada nafsu ya sama aku?”
“Tiba-tiba? kamu nanya seperti ini kenapa Sky?”
“Mas, kamu mau ke London lagi tapi gatau pulangnya kapan, aku takut kangen. Aku ngerasa enggak adil karena enggak penuhi nafsu kamu.”
“Hei, saya enggak nyentuh kamu bukan berarti saya gak ada nafsu sama kamu sayang. Selama tujuh tahun, mas tahan untuk kebaikan kamu juga. Mas mau terapi yang kamu jalanin maksimal dan enggak keganggu.”
Hugo tatap kedua jelaga kelam milik Sky yang menatap arah depan dengan pandangan kosong. Ia usap surai pirang milik kasihnya yang mulai memanjang, sepertinya harus segera dipotong karena ia takut rambut panjang Sky malah menghambat segala aktifitasnya. Meskipun Hugo lebih suka Sky dengan rambut yang sedikit panjang.
“Mas, kamu yakin ninggalin suaminya sendirian?”
Hugo rasakan hatinya berdesir hebat ketika sebuah kata panggilan yang tidak pernah ia dengar terlontar begitu saja pada bibir manis kasihnya.
“Sky, saya sudah minta keluarga kedua saya untuk menjaga kamu.”
“Aku takut mereka gak nerima aku mas, gimana?”
“Percaya, saya enggak bakalan serahin kamu gitu aja kalo mereka bukan orang baik Sky.” balas Hugo lagi.
Sky menghirup nafasnya dalam, “Oke, tapi aku punya satu permintaan.”
“Apa itu?”
“Noah jangan kamu ajak, biarin dia tinggal sama aku disini. Ya, mas?”
Hugo hembuskan nafas pasrah, maka ia kecup lagi pelipis yang lebih muda.
“Okay, mas enggak bakalan ajak Noah buat ikut mas ke London.”
Senyum Sky mengembang seketika, membuat pipi gembil dengan merah merona itu terangkat hingga membuat kedua mata indahnya menyipit seperti bulan sabit.
tok tok tok
“Den, maaf. Itu ada tamu” ucap seorang bibi berusia lima puluh tahunan. Namanya Bi Minah, salah satu art yang bekerja pada Hugo.
“Siapa Bi?” ucap Sky.
“Gatau den, katanya temen den Hugo. Bibi baru liat mukanya, tapi cakep poll!” ujarnya lagi membuat Sky terkekeh.
“Yaudah bi terimakasih, nanti saya sama Sky turun. Bibi duluan saja, jangan lupa siapin minuman ya bi.”
“Baik den.”
Akhirnya tinggal mereka berdua. Sungguh jika bukan demi kebaikan Sky, ia tidak mau berbagi Sky dengan orang lain meskipun itu Jenan—yang masih berstatus suami Sky. Tapi, apakah Jenan masih pantas dipanggil suami setelah berpisah dengan Sky selama hampir delapan tahun?
Hugo tatap wajah cantik milik Sky yang tengah melamun, andai ia bisa perlihatkan dunia pada kasihnya, Hugo akan lakukan apapun demi kesembuhan Sky.
“Yaudah, kamu mau ikut turun? saya sebentar lagi mau ke bandara.”
“Mau.”
Maka dituntunlah Sky oleh Hugo, mereka berjalan beriringan.
Di luar sana, tepatnya di ruang tamu rumah Hugo. Terlihat seorang pria dengan setelan kemeja putih dilengkapi oleh dasi hitam, dan juga celana bahan warna hitam. Tangannya bertaut gugup, ia gigit bibirnya untuk meredam gugupnya.
Jenan Karius Lakhsan, pria yang kini berusia tiga puluh tahun itu tetap tampan meskipun terlihat sedikit kerutan di bawah matanya. Lelaki yang dambakan cintanya kembali padanya, yang sukarela membantu Sky untuk ingat dengan semuanya.
“Kenapa lo gak minum airnya Jen?”
Jenan tolehkan kepalanya ke arah suara milik Hugo, kedua netra kelamnya langsung tertuju pada lelaki manis dengan piyama berwarna hitam melekat di tubuhnya. Itu, Biya-nya, itu Sena-nya.
“Biya.....” ucap Jenan lirih.
Hugo dan Sky kini duduk di hadapan Jenan, Hugo yang sudah siap dengan koper yang dibawakan oleh pak Dodi, supir pribadinya dan setelan mantel untuk berjaga-jaga jika cuaca sangat dingin.
Hugo melihat Jenan yang masih menatap Sky, Hugo tersenyum tipis. Ternyata sahabatnya ini memang sangat mencintai Sena.
“Sky, ini keluarga kedua yang saya maksud. Selama saya di London, Jenan yang bakalan urus kamu dan jagain kamu. Saya harap, kamu cepat akrab dengan dia.” ujar Hugo sembari merapikan anak rambut yang menghalangi wajah si manis.
“Halo mas Jenan, perkenalkan saya Skylar Benjamin Alister, suaminya mas Hugo.”
Bagai terkena petir, Jenan rasakan rongga dadanya yang menyempit, pasokan udara pada paru-parunya mengurang. Aliran darahnya berhenti begitu saja, “S-suami?” balas Jenan tergagap.
Sky mengangguk antusias, bibirnya tersenyum manis. “Iya, kami sudah memiliki satu anak laki-laki. Saya sama anak saya gak ikut sama mas Hugo ke London, jika anak saya sudag bangun, saya akan perkenalkan kepada mas Jenan.”
Dengan wajah yang memutih, Jenan tolehkan matanya yang berkaca-kaca ke arah Hugo yang kini tengah membuang muka. Akhirnya Jenan tau yang dimaksud oleh Hugo terkait hal yang akan membuat Jenan terkejut, dan ini berhasil.
Jenan hampir mati ditempat ketika mendengarnya.
“Go...” lirih Jenan meminta penjelasan.
“Oh iya Sky, saya harus pergi sekarang. Nanti tolong ucapkan salam sayang saya pada Noah, jaga diri baik-baik selama saya tidak ada.” ucap Hugo sambil bersiap mendaratkan kecup kupu-kupu pada Sky.
“Iya mas, kamu hati-hati juga ya disana. Salam buat ibu, kalo sempet aku bakalan nyusul ke sana pas Sanka udah pulang.”
Sky berikan kecupan pada bibir Hugo di hadapan Jenan yang rasanya ingin berteriak saat itu juga. Sky lumat sedikit bibir Hugo ketika Hugo ingin menyudahi ciuman menuntut dari Sky.
“Sayang, ada Jenan.” ucap Hugo yang berhasil buat Sky mematung dengan wajah memerah.
“Mm....maaf mas Jenan.”
“T-tidak apa-apa Sky.
written by vivi.