vivi

*what does love mean to you?

❝ something that you can only say to the person you like & feel thankful to ❞

— sunghoon of enhypen.

•••

Sudah terhitung satu minggu lamanya Langit tidak menemui Bintang. Bertegur sapa pun ia tidak bisa, ia sebenarnya ingin memeluk Bintang ketika ia melihat Bintang yang sangat terpukul ketika ia tinggalkan di atap sendirian.

Namun, ia bisa apa?

Setelan kemeja hitam, serta rambut yang di tata rapih kini melekat pada diri Langit. Ia tersenyum getir ketika melihat pantulan dirinya di depan cermin. Anggun— ibu tirinya terus saja memperhatikan Langit dari ambang pintu, enggan masuk karena takut Langit tidak suka.

“Masuk aja, mah.”

Anggun sempat terkejut, untuk pertama kalinya Langit memanggilnya dengan sebutan ini. Ini pertanda bahwa anak sambungnya ini sudah menerimanya. Maka dengan senyuman yang tergambar diwajahnya, Anggun melangkah masuk.

Langit memperhatikan ibu dari Deon itu dengan senyuman kecil, ia akan mencoba menerima ibu tirinya itu.

How your feeling, sweetheart?” tanya Anggun pada Langit.

Sempat hembuskan nafas panjang sebelum menjawab, Langit menatap Anggun dengan gelengan kecil. “I'm not fine.

Anggun mengelus surai putranya sambil tersenyum tipis. “Kalo kamu gak mau, nanti mamah bilangin ke papah ya?”

“Udah Langit coba, tapi tetep. Papah keras kepala.”

“Kaya kamu.” jawab Anggun yang ditanggapi dengan tawa kecil oleh Langit.

Anggun mengecup putranya itu, lalu melirik Deon yang ternyata tengah berdiri di ambang pintu. Menyaksikan keharmonisan ibu dengan adiknya.

“Oh gitu ya, sekarang Ethan dibuang sama mamah.”

Langit memutar bola matanya malas, sementara Anggun merentangkan tangan kanannya. Mengajak anak sulungnya untuk bergabung.

Come here baby, coba kamu temenin Langit dulu, Mamah mau ngomong sama papah.”

Deon hanya mengangguk dan berjalan mendekat. Sementara Anggun berjalan keluar, meninggalkan kedua putranya untuk berbicara.

“Akhirnya lo nyerah? gak mau sama bintang?” tanya Deon dengan nada mengejek.

“Ya mau gimana lagi, udah nasibnya gini.” ucap Langit yang ditanggapi kekehan menyebalkan dari Deon.

“Yaudah, Bintang buat gue.”

Langit langsung melirik Deon tajam, Deon hanya tergelak karena ucapan Langit selanjutnya.

“Gue rela Bintang pacaran, tapi bukan sama lo. Awas aja, kalo mau rebut Bintang, lawan gue dulu.”

“Iya dah yang mantannya Bintang.”

Anjing lo bang.”

•••

Langit, Deon, Anggun, serta Arjun sudah duduk bersama dengan Tama diruang keluarga. Langit muak dengan sikap papahnya yang sok baik padanya, padahal memar ditubuhnya yang didapat kemarin saja sudah bisa mendeskripsikan bagaimana sifat asli papahnya itu.

“Loh, anda hanya sendirian tuan Tama? Quin, dimana dia?” tanya Arjun pada Tama yang menyesap kopi yang telah disediakan.

“Dia sebentar lagi datang, katanya ada urusan sebentar.”

“Oh baiklah jiga begitu.”

Atmosfer yang tercipta di ruang keluarga yang tadinya dingin, kini malah semakin dingin ketika perempuan yang akan dijodohkan dengan Langit membawa seseorang bersamanya.

Langit dan Deon memicing ketika mereka melihat postur tubuh orang yang keluar dari mobil Quin. Langit hampir terkena serangan jantung ketika ia melihat dengan jelas bahwa Bintang Athala kini tengah berjalan beriringan dengan Quiensha.

Good night everybody,” sapa Queinsha dengan senyuman manis.

Sementara netra Langit terus saja terpaku pada Bintang yang kini tengah memakai setelan blazer yang dibelikan olehnya.

“Loh Quin, Bintang kenapa diajak?” tanya Tama, ayahnya.

Langit hanya bisa melirik kanan dan kiri, dipikirannya hanya ada satu pertanyaan 'loh mereka kenal?'.

“Bintang, siapa dia?” tanya Arjun penasaran.

“Putra pewaris tunggal dari keluarga Martadinata. Saya tengah bekerja sama dengan keluarga mereka.”

Bintang yang hanya diam kini mulai bersuara. Sungguh, Langit berani bersumpah bahwa malam ini Bintang terlihat lebih berwibawa dan cantik dengan tampilan seperti ini.

“Perkenalkan, saya Bintang Athala Martadinata. Pacar Langit Aldebaran, anak bapak.”

Deon tersenyum ketika Bintang melirik padanya, diam-diam Deon mengacungkan jempolnya pada Bintang. Sementara Langit tersadar dengan maksud Quiensha di chat siang tadi.

“Loh, Langit. Ini pacarmu? cantiknya, kenapa gak pernah dikenalin ke mamah?” pekik Anggun menarik Bintang tak sabaran untuk duduk disampingnya.

“Aku udah bilang kan sama daddy, kalo Langit udah punya pacar, tapi daddy gak pernah percaya. Dan om juga, stop paksa daddy saya untuk mengajak bekerja sama dengan jaminan pertunangan.”

“Iya Quin, daddy minta maaf. Jadi pak Arjun, saya pamit saja. Anda jangan khawatir dengan kerja sama kita, karena saya pasti tidak akan membatalkan kontraknya karena hal seperti ini. Menurut saya, perasaan anak lebih penting ketimbang kontrak dan harta.”

Maka dengan senyuman lebar Quiensha melambai pada Bintang yang tersenyum manis.

“Sayang....” panggil Langit pada Bintang yang dirangkul oleh Anggun.

“Om Arjun, saya mau bicara berdua boleh?” tanya Bintang.

“Tentu, silahkan.” maka Bintang berdiri dan berjalan mengikuti Arjun ke arah taman belakang rumah Aldebaran.

“Om, maaf bila kedatangan saya merusak acara om. Tapi, disini saya mau memberitahukan bahwa Langit akhir-akhir ini stres karena paksaan om untuk bertunangan dengan sahabat saya, Quiensha. Menurut saya, om jangan memaksa Langit lagi karena dia sudah dewasa, bisa memilih antara yang benar dan salah. Langit kan anak om, masa om tega ngorbanin perasaan Langit demi harta sama kontrak? Langit selalu datang ke saya ketika ada masalah, saya tahu pasti topiknya tentang mamah dia yang sudah meninggal. Saya kasihan melihat Langit seperti ini, jadi saya mohon untuk membebaskan Langit dari belenggu yang om kasih ke dia. Saya mohon.”

Arjun menatap Bintang. Ia baru tersadar, jika sikapnya yang seperti ini malah membuat anaknya sendiri depresi dan stres. Padahal, ia hanya ingin yang terbaik untuk anaknya.

“Kamu, pilihan yang tepat untuk anak saya. Terimakasih karena selama ini kamu sudah bersama dengan anak saya, dan terimakasih juga karena sudah mengingatkan saya tentang perasaan anak saya nak Bintang.”

Maka dengan ini, Bintang dapat bernafas dengan lega.


© butterfly.

Begitu berharganya perasaan memiliki. Jangan lukai lagi.

•••

Jatuh cinta. Bintang pasti tahu bahwa akhirnya selalu tak bisa ditebak. Dan terkadang, ia menuntut air mata ikut terjatuh, entah karena terlalu bahagia ataupun karena luka. Sesungguhnya bukan begini ide kisah cinta yang Bintang inginkan. Bukan dia dan Langit yang terpisah tanpa kejelasan, lalu kembali hidup seperti saling tak mengenal.

Bintang menyeka matanya yang berair kembali. Saat itu, senja menjelang, dan ia berada di sebuah rooftop sekolah sejak satu jam yang lalu. Duduk sambil menatap kejauhan, langit sedang tampak cerah hari ini. Tidak seperti satu minggu yang lalu, langit mengeluarkan ribuan air mata bak ikut menangisi apa yang tengah Bintang rasakan.

Kepalanya ia senderkan pada bagian dinding salah satu tembok. Menenggelamkan dirinya lagi dalam lamunan yang panjang. Sambil menunggu yang terkasih datang menemuinya, ia tidak ingin memaksa Langit untuk kembali padanya. Ia hanya ingin mengetahui, apa yang menjadi alasan Langit mengakhiri hubungan dengannya.

Kriet.

Bintang menoleh ketika mendengar suara pintu dibuka, matanya yang sembab kini kembali bersinar ketika melihat lelaki yang ia sayang ada dihadapannya. Tapi, tatapan yang selalu menatap kagum padanya kini sudah tidak bisa ia lihat lagi pada kedua pada kasihnya. Tatapannya datar seolah tak antusias melihat keberadaan dirinya.

Bintang berdiri dari duduknya, berjalan tertatih untuk mendekati Langit yang hanya berjarak sepuluh langkah dari hadapannya. Tangannya ia angkat untuk meraba salah satu sisi wajah Langit yang amat ia rindukan. Namun, tangannya terhenti ketika Langit menahannya.

“Kita udah selesai Bi. Lo jangan jadiin gue orang jahat lagi disini, gue udah nyakitin lo dengan pacaran sama orang lain.” Langit mengusap kedua mata Bintang perlahan, ia menindukan kasihnya. Namun, apa boleh buat.

“Aku kangen.” ucap Bintang memecah ketegangan. Sudah lama ia tidak mengayakan kata ini, menyimpan perasaan rindu itu di relung terdalam.

Hmmm, kita pulang ya? lo dicariin sama Sean dari tadi.” Langit hanya bersuara seperti itu, seakan enggan untuk menanggapi apa yang Bintang katakan.

Bintang lupa, kapan terakhir kali dirinya berbincang dengan Langit seperti ini, berhadap-hadapan menatap wajah satu sama lain dan mengucap rindu, menikmati hangatnya rengkuhan satu sama lain. Dulu Langit selalu membawakan cerita baru untuk dibagi dengannya, namun petang ini Langit begitu pendiam. Atau barangkali, hanya merasa canggung karena sudah lama tidak berbicara.

Bintang menghela nafas pelan, lalu menatap mata Langit kembali sambil tersenyum tipis. “Gimana hari ini? ada hal yang mau kamu ceritain ke aku?” tanya Bintang, tak yakin harus bertanya apa. Mengapa dirinya dan Langit bisa begitu asing?

“Baik. Yaudah kita pulang ya? lo kusut banget Bi.” ajak yang tertua mencoba membujuk yang lebih muda.

“Aku cuman mau ketemu kamu. Duduk yang lama. Mandangin Langit yang lama. Aku butuh waktu buat beradaptasi, karna aku tau kamu gak bakalan sama aku lagi. Aku cuman mau sama kamu, yang lama. Hari ini aja, kamu mau kan nemenin?”

Hati Langit ikut terenyuh, ia tidak tega melihat orang yang pernah—atau bahkan yang masih ia sayang menangis karenanya. Bintang jauh dari kata baik-baik saja, kedua matanya sembab serta tubuhnya yang semakin kecil. Maka dengan anggukan kepala Langit menjawab.

“Iya, aku temenin.”

Maka dengan senyum merekah, Bintang menuntun Langit untuk mengikutinya. Duduk disalah satu meja yang sudah tidak terpakai dan mulai bercerita banyak hal di pertemuan pertamanya dengan Langit. Wajahnya yang tadinya murung, kini bercahaya kembali. Seolah kehadiran Langit saja sudah mampu membuatnya cukup.

Langit terus memandang wajah Bintang dari samping. Mengagumi setiap lekuk wajah yang amat sangat indah. Kehangatan setiap kata yang Bintang lontarkan membuat Langit tersenyum tipis dibuatnya.

“Salah ya, berharap terlalu banyak dari orang yang kita cintai?” tanya Bintang. Langit memalingkan wajahnya, mulai gundah.

“Nggak, tapi yang pasti, kalau berharap, harus siap kecewa juga.”

Bintang mengangguk setuju pada pendapat Langit. Bintang berhenti, dan tak lagi bercerita. Langit meremas jemari Bintang, yang membuat Bintang menoleh. Jika boleh, Langit ingin memberi satu pelukan. Langit ingin kasihnya tahu, terlalu sia-dia untuk menangisi orang sepertinya. Langit merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah bolu dengan rasa tiramisu kesukaan Bintang.

“Gue tau lo pasti belum makan, ini gue bawain bolu kesukaan lo, lo hrusnya makan teratur Bi. Liat muka sama badan lo!”

Bintang memperhatikan setiap gerak-gerik Langit, ia masih berharap bahwa lelaki ini masih berstatus kekasihnya. Ia tertawa pelan, membuat atensi Langit berubah padanya.

“Kenapa?”

“Gimana aku bisa lupain kamu, kalo kamunya masih gini ke aku Langit.” setetes air mata yang sejak tadi ditahan oleh Bintang, kini meluncur kembali.

“Kenapa kamu nyakitin aku? kalo kamu udah bosen bilang sama aku. Biar aku bisa perbaiki diri.”

Langit memalingkan wajahnya. Nafasnya memburu ketika melihat Bintang yang kini sudah berdiri dihadapannya, dengan air mata yang terus mengalir. Berharap Bintang akan berhenti untuk membahas topik ini.

“Bukannya kita udah berjalan beriring sekian lama? apa itu ngga cukup buat kamu ngejaga perasaan aku, dan setia sama aku?.” tanya Bintang nyaris berbisik, namun masih bisa didengar jelas oleh Langit.

Dan dengan begitu. Bintang terisak untuk kesekian kalinya, mencoba menyublimkan air matanya yang terus mengalir tanpa henti. Berharap dengan sangat, takdir yang begitu saja berubah, lalu kembali pada kasihnya yang mendua.

“Kamu gak sayang aku lagi? LANGIT JAWAB!”

“IYA! GUE SAYANG LO, TAPI ITU DULU. SAAT LO MASIH BINTANG YANG LUGU, YANG GAK PERNAH NGEKANG GUE INI DAN ITU!” balas Langit dengan teriakan yang menggelar.

Bintang yang terkejut mengambil langkah mundur. Tidak, ini bukan Langitnya. Ini bukan Langit yang ia kenal.

“Gue udah jelasin semua itu di chat, dan lo! kenapa gak pernah ngertiin gue Bi? sedikit aja, gue capek kalo harus pura-pura terus. Jadi, gue minta. Lupain gue, jalanin hidup lo kaya sebelum ketemu gue.” maka dengan ini, Langit meninggalkan Bintang yang mematung.

Meninggalkan tubuh ringkih dan rapuh itu sendirian. Katanya tiap kali kalian merasa marah sekaligus sedih, langit selalu berubah mendung. Dan itu terjadi pada Bintang, gemuruh dan hujan mengguyur dan menderas ketika Bintang melihat Langit melaju menjauh dari parkiran sekolah. Ia benar-benar sendirian sekarang.

Bintang terduduk lemas, matanya terus saja mengeluarkan air mata yang sudah tidak bisa dihitung lagi berapa jumlahnya. Dirinya memeluk kedua kakinya, ia kesepian. Isakan kecil terdengar semakin menyayat hati, tangan Bintang yang sejak tadi mengeluarkan darah karena menggenggam sebuah liontin yang ingin ia berikan pada Langit kini tidak lagi ia rasakan bagaimana sakitnya. Ia hanya merasakan rasa sakit di dadanya.

“Langit, aku sayang kamu.”

Maka dengan raungan keras Bintang benturkan kepalanya pada kursi hayu yang sudah mulai roboh karena rayap. Darah segar keluar begitu saja, ini bukan Bintang.

AGRRRR— bundaa...”

Brak.

“KAKAK, ASTAGA.” dengan langkah yang cepat, Sean dan Ryan termenung ketika melihat Bintang yang kusut. Sean membawa tubuh ringkih itu ke dalam dekapannya. Mengusap punggung itu supaya lebih kuat.

“Sakit Sean, rasanya sakit.”

“Iya kakak iya, aku ngerti. Tapi kakak jangan gini, please....” Sean terisak semakin keras ketika ia sadar bahwa Bintang mencoba melukai dirinya sendiri.

“Langit jahat, Sean gue sayang Langit...” rengek Bintang.

“Iya, tapi pulang dulu yu? kakak jangan gini. Nanti bunda khawatir.”

“Seann...”

Ini akhirnya. Kisah Langit dan Bintang yang manis dan penuh romansa berakhir dengan mudahnya. Hubungan yang terjalin hampir satu tahun lamanya, kini kandas hanya karena orang ketiga. Hubungan yang terjalin di atas Langit senja sore yang indah, dan berakhir pada senja yang sama. Bahkan langit juga ikut menangisi takdir Bintang yang sekarang.

Bintang menangis dan kecewa kepada Langit yang meninggalkannya. Tanpa tahu, bahwa Langit tengah bersembunyi pada salah satu pohon dan menangis juga. Ryan yang tahu, ia melihat ke bawah dan mendapati punggung Langit yang bersembunyi di balik pohon dekat sekolah. Yang mengarah langsung pada atap sekolah yang tengah ia pijak, Ryan tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ryan tahu itu.


© butterfly

Begitu berharganya perasaan memiliki. Jangan lukai lagi.

•••

Jatuh cinta. Bintang pasti tahu bahwa akhirnya selalu tak bisa ditebak. Dan terkadang, ia menuntut air mata ikut terjatuh, entah karena terlalu bahagia ataupun karena luka. Sesungguhnya bukan begini ide kisah cinta yang Bintang inginkan. Bukan dia dan Langit yang terpisah tanpa kejelasan, lalu kembali hidup seperti saling tak mengenal.

Bintang menyeka matanya yang berair kembali. Saat itu, senja menjelang, dan ia berada di sebuah rooftop sekolah sejak satu jam yang lalu. Duduk sambil menatap kejauhan, langit sedang tampak cerah hari ini. Tidak seperti satu minggu yang lalu, langit mengeluarkan ribuan air mata bak ikut menangisi apa yang tengah Bintang rasakan.

Kepalanya ia senderkan pada bagian dinding salah satu tembok. Menenggelamkan dirinya lagi dalam lamunan yang panjang. Sambil menunggu yang terkasih datang menemuinya, ia tidak ingin memaksa Langit untuk kembali padanya. Ia hanya ingin mengetahui, apa yang menjadi alasan Langit mengakhiri hubungan dengannya.

Kriet.

Bintang menoleh ketika mendengar suara pintu dibuka, matanya yang sembab kini kembali bersinar ketika melihat lelaki yang ia sayang ada dihadapannya. Tapi, tatapan yang selalu menatap kagum padanya kini sudah tidak bisa ia lihat lagi pada kedua pada kasihnya. Tatapannya datar seolah tak antusias melihat keberadaan dirinya.

Bintang berdiri dari duduknya, berjalan tertatih untuk mendekati Langit yang hanya berjarak sepuluh langkah dari hadapannya. Tangannya ia angkat untuk meraba salah satu sisi wajah Langit yang amat ia rindukan. Namun, tangannya terhenti ketika Langit menahannya.

“Kita udah selesai Bi. Lo jangan jadiin gue orang jahat lagi disini, gue udah nyakitin lo dengan pacaran sama orang lain.” Langit mengusap kedua mata Bintang perlahan, ia menindukan kasihnya. Namun, apa boleh buat.

“Aku kangen.” ucap Bintang memecah ketegangan. Sudah lama ia tidak mengayakan kata ini, menyimpan perasaan rindu itu di relung terdalam.

Hmmm, kita pulang ya? lo dicariin sama Sean dari tadi.” Langit hanya bersuara seperti itu, seakan enggan untuk menanggapi apa yang Bintang katakan.

Bintang lupa, kapan terakhir kali dirinya berbincang dengan Langit seperti ini, berhadap-hadapan menatap wajah satu sama lain dan mengucap rindu, menikmati hangatnya rengkuhan satu sama lain. Dulu Langit selalu membawakan cerita baru untuk dibagi dengannya, namun petang ini Langit begitu pendiam. Atau barangkali, hanya merasa canggung karena sudah lama tidak berbicara.

Bintang menghela nafas pelan, lalu menatap mata Langit kembali sambil tersenyum tipis. “Gimana hari ini? ada hal yang mau kamu ceritain ke aku?” tanya Bintang, tak yakin harus bertanya apa. Mengapa dirinya dan Langit bisa begitu asing?

“Baik. Yaudah kita pulang ya? lo kusut banget Bi.” ajak yang tertua mencoba membujuk yang lebih muda.

“Aku cuman mau ketemu kamu. Duduk yang lama. Mandangin Langit yang lama. Aku butuh waktu buat beradaptasi, karna aku tau kamu gak bakalan sama aku lagi. Aku cuman mau sama kamu, yang lama. Hari ini aja, kamu mau kan nemenin?”

Hati Langit ikut terenyuh, ia tidak tega melihat orang yang pernah—atau bahkan yang masih ia sayang menangis karenanya. Bintang jauh dari kata baik-baik saja, kedua matanya sembab serta tubuhnya yang semakin kecil. Maka dengan anggukan kepala Langit menjawab.

“Iya, aku temenin.”

Maka dengan senyum merekah, Bintang menuntun Langit untuk mengikutinya. Duduk disalah satu meja yang sudah tidak terpakai dan mulai bercerita banyak hal di pertemuan pertamanya dengan Langit. Wajahnya yang tadinya murung, kini bercahaya kembali. Seolah kehadiran Langit saja sudah mampu membuatnya cukup.

Langit terus memandang wajah Bintang dari samping. Mengagumi setiap lekuk wajah yang amat sangat indah. Kehangatan setiap kata yang Bintang lontarkan membuat Langit tersenyum tipis dibuatnya.

“Salah ya, berharap terlalu banyak dari orang yang kita cintai?” tanya Bintang. Langit memalingkan wajahnya, mulai gundah.

“Nggak, tapi yang pasti, kalau berharap, harus siap kecewa juga.”

Bintang mengangguk setuju pada pendapat Langit. Bintang berhenti, dan tak lagi bercerita. Langit meremas jemari Bintang, yang membuat Bintang menoleh. Jika boleh, Langit ingin memberi satu pelukan. Langit ingin kasihnya tahu, terlalu sia-dia untuk menangisi orang sepertinya. Langit merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah bolu dengan rasa tiramisu kesukaan Bintang.

“Gue tau lo pasti belum makan, ini gue bawain bolu kesukaan lo, lo hrusnya makan teratur Bi. Liat muka sama badan lo!”

Bintang memperhatikan setiap gerak-gerik Langit, ia masih berharap bahwa lelaki ini masih berstatus kekasihnya. Ia tertawa pelan, membuat atensi Langit berubah padanya.

“Kenapa?”

“Gimana aku bisa lupain kamu, kalo kamunya masih gini ke aku Langit.” setetes air mata yang sejak tadi ditahan oleh Bintang, kini meluncur kembali.

“Kenapa kamu nyakitin aku? kalo kamu udah bosen bilang sama aku. Biar aku bisa perbaiki diri.”

Langit memalingkan wajahnya. Nafasnya memburu ketika melihat Bintang yang kini sudah berdiri dihadapannya, dengan air mata yang terus mengalir. Berharap Bintang akan berhenti untuk membahas topik ini.

“Bukannya kita udah berjalan beriring sekian lama? apa itu ngga cukup buat kamu ngejaga perasaan aku, dan setia sama aku?.” tanya Bintang nyaris berbisik, namun masih bisa didengar jelas oleh Langit.

Dan dengan begitu. Bintang terisak untuk kesekian kalinya, mencoba menyublimkan air matanya yang terus mengalir tanpa henti. Berharap dengan sangat, takdir yang begitu saja berubah, lalu kembali pada kasihnya yang mendua.

“Kamu gak sayang aku lagi? LANGIT JAWAB!”

“IYA! GUE SAYANG LO, TAPI ITU DULU. SAAT LO MASIH BINTANG YANG LUGU, YANG GAK PERNAH NGEKANG GUE INI DAN ITU!” balas Langit dengan teriakan yang menggelar.

Bintang yang terkejut mengambil langkah mundur. Tidak, ini bukan Langitnya. Ini bukan Langit yang ia kenal.

“Gue udah jelasin semua itu di chat, dan lo! kenapa gak pernah ngertiin gue Bi? sedikit aja, gue capek kalo harus pura-pura terus. Jadi, gue minta. Lupain gue, jalanin hidup lo kaya sebelum ketemu gue.” maka dengan ini, Langit meninggalkan Bintang yang mematung.

Meninggalkan tubuh ringkih dan rapuh itu sendirian. Katanya tiap kali kalian merasa marah sekaligus sedih, langit selalu berubah mendung. Dan itu terjadi pada Bintang, gemuruh dan hujan mengguyur dan menderas ketika Bintang melihat Langit melaju menjauh dari parkiran sekolah. Ia benar-benar sendirian sekarang.

Bintang terduduk lemas, matanya terus saja mengeluarkan air mata yang sudah tidak bisa dihitung lagi berapa jumlahnya. Dirinya memeluk kedua kakinya, ia kesepian. Isakan kecil terdengar semakin menyayat hati, tangan Bintang yang sejak tadi mengeluarkan darah karena menggenggam sebuah liontin yang ingin ia berikan pada Langit kini tidak lagi ia rasakan bagaimana sakitnya. Ia hanya merasakan rasa sakit di dadanya.

“Langit, aku sayang kamu.”

Maka dengan raungan keras Bintang benturkan kepalanya pada kursi hayu yang sudah mulai roboh karena rayap. Darah segar keluar begitu saja, ini bukan Bintang.

AGRRRR— bundaa...”

Brak.

“KAKAK, ASTAGA.” dengan langkah yang cepat, Sean dan Ryan termenung ketika melihat Bintang yang kusut. Sean membawa tubuh ringkih itu ke dalam dekapannya. Mengusap punggung itu supaya lebih kuat.

“Sakit Sean, rasanya sakit.”

“Iya kakak iya, aku ngerti. Tapi kakak jangan gini, please....” Sean terisak semakin keras ketika ia sadar bahwa Bintang mencoba melukai dirinya sendiri.

“Langit jahat, Sean gue sayang Langit...” rengek Bintang.

“Iya, tapi pulang dulu yu? kakak jangan gini. Nanti bunda khawatir.”

“Seann...”

Ini akhirnya. Kisah Langit dan Bintang yang manis dan penuh romansa berakhir dengan mudahnya. Hubungan yang terjalin hampir satu tahun lamanya, kini kandas hanya karena orang ketiga. Hubungan yang terjalin di atas Langit senja sore yang indah, dan berakhir pada senja yang sama. Bahkan langit juga ikut menangisi takdir Bintang yang sekarang.

Bintang menangis dan kecewa kepada Langit yang meninggalkannya. Tanpa tahu, bahwa Langit tengah bersembunyi pada salah satu pohon dan menangis juga. Ryan yang tahu, ia melihat ke bawah dan mendapati punggung Langit yang bersembunyi di balik pohon dekat sekolah. Yang mengarah langsung pada atap sekolah yang tengah ia pijak, Ryan tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ryan tahu itu.


© butterfly

Begitu berharganya perasaan memiliki. Jangan lukai lagi.

•••

Jatuh cinta. Bintang pasti tahu bahwa akhirnya selalu tak bisa ditebak. Dan terkadang, ia menuntut air mata ikut terjatuh, entah karena terlalu bahagia ataupun karena luka. Sesungguhnya bukan begini ide kisah cinta yang Bintang inginkan. Bukan dia dan Langit yang terpisah tanpa kejelasan, lalu kembali hidup seperti saling tak mengenal.

Bintang menyeka matanya yang berair kembali. Saat itu, senja menjelang, dan ia berada di sebuah rooftop sekolah sejak satu jam yang lalu. Duduk sambil menatap kejauhan, langit sedang tampak cerah hari ini. Tidak seperti satu minggu yang lalu, langit mengeluarkan ribuan air mata bak ikut menangisi apa yang tengah Bintang rasakan.

Kepalanya ia senderkan pada bagian dinding salah satu tembok. Menenggelamkan dirinya lagi dalam lamunan yang panjang. Sambil menunggu yang terkasih datang menemuinya, ia tidak ingin memaksa Langit untuk kembali padanya. Ia hanya ingin mengetahui, apa yang menjadi alasan Langit mengakhiri hubungan dengannya.

Kriet.

Bintang menoleh ketika mendengar suara pintu dibuka, matanya yang sembab kini kembali bersinar ketika melihat lelaki yang ia sayang ada dihadapannya. Tapi, tatapan yang selalu menatap kagum padanya kini sudah tidak bisa ia lihat lagi pada kedua pada kasihnya. Tatapannya datar seolah tak antusias melihat keberadaan dirinya.

Bintang berdiri dari duduknya, berjalan tertatih untuk mendekati Langit yang hanya berjarak sepuluh langkah dari hadapannya. Tangannya ia angkat untuk meraba salah satu sisi wajah Langit yang amat ia rindukan. Namun, tangannya terhenti ketika Langit menahannya.

“Kita udah selesai Bi. Lo jangan jadiin gue orang jahat lagi disini, gue udah nyakitin lo dengan pacaran sama orang lain.” Langit mengusap kedua mata Bintang perlahan, ia menindukan kasihnya. Namun, apa boleh buat.

“Aku kangen.” ucap Bintang memecah ketegangan. Sudah lama ia tidak mengayakan kata ini, menyimpan perasaan rindu itu di relung terdalam.

Hmmm, kita pulang ya? lo dicariin sama Sean dari tadi.” Langit hanya bersuara seperti itu, seakan enggan untuk menanggapi apa yang Bintang katakan.

Bintang lupa, kapan terakhir kali dirinya berbincang dengan Langit seperti ini, berhadap-hadapan menatap wajah satu sama lain dan mengucap rindu, menikmati hangatnya rengkuhan satu sama lain. Dulu Langit selalu membawakan cerita baru untuk dibagi dengannya, namun petang ini Langit begitu pendiam. Atau barangkali, hanya merasa canggung karena sudah lama tidak berbicara.

Bintang menghela nafas pelan, lalu menatap mata Langit kembali sambil tersenyum tipis. “Gimana hari ini? ada hal yang mau kamu ceritain ke aku?” tanya Bintang, tak yakin harus bertanya apa. Mengapa dirinya dan Langit bisa begitu asing?

“Baik. Yaudah kita pulang ya? lo kusut banget Bi.” ajak yang tertua mencoba membujuk yang lebih muda.

“Aku cuman mau ketemu kamu. Duduk yang lama. Mandangin Langit yang lama. Aku butuh waktu buat beradaptasi, karna aku tau kamu gak bakalan sama aku lagi. Aku cuman mau sama kamu, yang lama. Hari ini aja, kamu mau kan nemenin?”

Hati Langit ikut terenyuh, ia tidak tega melihat orang yang pernah—atau bahkan yang masih ia sayang menangis karenanya. Bintang jauh dari kata baik-baik saja, kedua matanya sembab serta tubuhnya yang semakin kecil. Maka dengan anggukan kepala Langit menjawab.

“Iya, aku temenin.”

Maka dengan senyum merekah, Bintang menuntun Langit untuk mengikutinya. Duduk disalah satu meja yang sudah tidak terpakai dan mulai bercerita banyak hal di pertemuan pertamanya dengan Langit. Wajahnya yang tadinya murung, kini bercahaya kembali. Seolah kehadiran Langit saja sudah mampu membuatnya cukup.

Langit terus memandang wajah Bintang dari samping. Mengagumi setiap lekuk wajah yang amat sangat indah. Kehangatan setiap kata yang Bintang lontarkan membuat Langit tersenyum tipis dibuatnya.

“Salah ya, berharap terlalu banyak dari orang yang kita cintai?” tanya Bintang. Langit memalingkan wajahnya, mulai gundah.

“Nggak, tapi yang pasti, kalau berharap, harus siap kecewa juga.”

Bintang mengangguk setuju pada pendapat Langit. Bintang berhenti, dan tak lagi bercerita. Langit meremas jemari Bintang, yang membuat Bintang menoleh. Jika boleh, Langit ingin memberi satu pelukan. Langit ingin kasihnya tahu, terlalu sia-dia untuk menangisi orang sepertinya. Langit merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah bolu dengan rasa tiramisu kesukaan Bintang.

“Gue tau lo pasti belum makan, ini gue bawain bolu kesukaan lo, lo hrusnya makan teratur Bi. Liat muka sama badan lo!”

Bintang memperhatikan setiap gerak-gerik Langit, ia masih berharap bahwa lelaki ini masih berstatus kekasihnya. Ia tertawa pelan, membuat atensi Langit berubah padanya.

“Kenapa?”

“Gimana aku bisa lupain kamu, kalo kamunya masih gini ke aku Langit.” setetes air mata yang sejak tadi ditahan oleh Bintang, kini meluncur kembali.

“Kenapa kamu nyakitin aku? kalo kamu udah bosen bilang sama aku. Biar aku bisa perbaiki diri.”

Langit memalingkan wajahnya. Nafasnya memburu ketika melihat Bintang yang kini sudah berdiri dihadapannya, dengan air mata yang terus mengalir. Berharap Bintang akan berhenti untuk membahas topik ini.

“Bukannya kita udah berjalan beriring sekian lama? apa itu ngga cukup buat kamu ngejaga perasaan aku, dan setia sama aku?.” tanya Bintang nyaris berbisik, namun masih bisa didengar jelas oleh Langit.

Dan dengan begitu. Bintang terisak untuk kesekian kalinya, mencoba menyublimkan air matanya yang terus mengalir tanpa henti. Berharap dengan sangat, takdir yang begitu saja berubah, lalu kembali pada kasihnya yang mendua.

“Kamu gak sayang aku lagi? LANGIT JAWAB!”

“IYA! GUE SAYANG LO, TAPI ITU DULU. SAAT LO MASIH BINTANG YANG LUGU, YANG GAK PERNAH NGEKANG GUE INI DAN ITU!” balas Langit dengan teriakan yang menggelar.

Bintang yang terkejut mengambil langkah mundur. Tidak, ini bukan Langitnya. Ini bukan Langit yang ia kenal.

“Gue udah jelasin semua itu di chat, dan lo! kenapa gak pernah ngertiin gue Bi? sedikit aja, gue capek kalo harus pura-pura terus. Jadi, gue minta. Lupain gue, jalanin hidup lo kaya sebelum ketemu gue.” maka dengan ini, Langit meninggalkan Bintang yang mematung.

Meninggalkan tubuh ringkih dan rapuh itu sendirian. Katanya tiap kali kalian merasa marah sekaligus sedih, langit selalu berubah mendung. Dan itu terjadi pada Bintang, gemuruh dan hujan mengguyur dan menderas ketika Bintang melihat Langit melaju menjauh dari parkiran sekolah. Ia benar-benar sendirian sekarang.

Bintang terduduk lemas, matanya terus saja mengeluarkan air mata yang sudah tidak bisa dihitung lagi berapa jumlahnya. Dirinya memeluk kedua kakinya, ia kesepian. Isakan kecil terdengar semakin menyayat hati, tangan Bintang yang sejak tadi mengeluarkan darah karena menggenggam sebuah liontin yang ingin ia berikan pada Langit kini tidak lagi ia rasakan bagaimana sakitnya. Ia hanya merasakan rasa sakit di dadanya.

“Langit, aku sayang kamu.”

Maka dengan raungan keras Bintang benturkan kepalanya pada kursi hayu yang sudah mulai roboh karena rayap. Darah segar keluar begitu saja, ini bukan Bintang.

AGRRRR— bundaa...”

Brak.

“KAKAK, ASTAGA.” dengan langkah yang cepat, Sean dan Ryan termenung ketika melihat Bintang yang kusut. Sean membawa tubuh ringkih itu ke dalam dekapannya. Mengusap punggung itu supaya lebih kuat.

“Sakit Sean, rasanya sakit.”

“Iya kakak iya, aku ngerti. Tapi kakak jangan gini, please....” Sean terisak semakin keras ketika ia sadar bahwa Bintang mencoba melukai dirinya sendiri.

“Langit jahat, Sean gue sayang Langit...” rengek Bintang.

“Iya, tapi pulang dulu yu? kakak jangan gini. Nanti bunda khawatir.”

“Seann...”

Ini akhirnya. Kisah Langit dan Bintang yang manis dan penuh romansa berakhir dengan mudahnya. Hubungan yang terjalin hampir satu tahun lamanya, kini kandas hanya karena orang ketiga. Hubungan yang terjalin di atas Langit senja sore yang indah, dan berakhir pada senja yang sama. Bahkan langit juga ikut menangisi takdir Bintang yang sekarang.

Bintang menangis dan kecewa kepada Langit yang meninggalkannya. Tanpa tahu, bahwa Langit tengah bersembunyi pada salah satu pohon dan menangis juga. Ryan yang tahu, ia melihat ke bawah dan mendapati punggung Langit yang bersembunyi di balik pohon dekat sekolah. Yang mengarah langsung pada atap sekolah yang tengah ia pijak, Ryan tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ryan tahu itu.

Begitu berharganya perasaan memiliki. Jangan lukai lagi.

•••

Jatuh cinta. Bintang pasti tahu bahwa akhirnya selalu tak bisa ditebak. Dan terkadang, ia menuntut air mata ikut terjatuh, entah karena terlalu bahagia ataupun karena luka. Sesungguhnya bukan begini ide kisah cinta yang Bintang inginkan. Bukan dia dan Langit yang terpisah tanpa kejelasan, lalu kembali hidup seperti saling tak mengenal.

Bintang menyeka matanya yang berair kembali. Saat itu, senja menjelang, dan ia berada di sebuah rooftop sekolah sejak satu jam yang lalu. Duduk sambil menatap kejauhan, langit sedang tampak cerah hari ini. Tidak seperti satu minggu yang lalu, langit mengeluarkan ribuan air mata bak ikut menangisi apa yang tengah Bintang rasakan.

Kepalanya ia senderkan pada bagian dinding salah satu tembok. Menenggelamkan dirinya lagi dalam lamunan yang panjang. Sambil menunggu yang terkasih datang menemuinya, ia tidak ingin memaksa Langit untuk kembali padanya. Ia hanya ingin mengetahui, apa yang menjadi alasan Langit mengakhiri hubungan dengannya.

Kriet.

Bintang menoleh ketika mendengar suara pintu dibuka, matanya yang sembab kini kembali bersinar ketika melihat lelaki yang ia sayang ada dihadapannya. Tapi, tatapan yang selalu menatap kagum padanya kini sudah tidak bisa ia lihat lagi pada kedua pada kasihnya. Tatapannya datar seolah tak antusias melihat keberadaan dirinya.

Bintang berdiri dari duduknya, berjalan tertatih untuk mendekati Langit yang hanya berjarak sepuluh langkah dari hadapannya. Tangannya ia angkat untuk meraba salah satu sisi wajah Langit yang amat ia rindukan. Namun, tangannya terhenti ketika Langit menahannya.

“Kita udah selesai Bi. Lo jangan jadiin gue orang jahat lagi disini, gue udah nyakitin lo dengan pacaran sama orang lain.” Langit mengusap kedua mata Bintang perlahan, ia menindukan kasihnya. Namun, apa boleh buat.

“Aku kangen.” ucap Bintang memecah ketegangan. Sudah lama ia tidak mengayakan kata ini, menyimpan perasaan rindu itu di relung terdalam.

Hmmm, kita pulang ya? lo dicariin sama Sean dari tadi.” Langit hanya bersuara seperti itu, seakan enggan untuk menanggapi apa yang Bintang katakan.

Bintang lupa, kapan terakhir kali dirinya berbincang dengan Langit seperti ini, berhadap-hadapan menatap wajah satu sama lain dan mengucap rindu, menikmati hangatnya rengkuhan satu sama lain. Dulu Langit selalu membawakan cerita baru untuk dibagi dengannya, namun petang ini Langit begitu pendiam. Atau barangkali, hanya merasa canggung karena sudah lama tidak berbicara.

Bintang menghela nafas pelan, lalu menatap mata Langit kembali sambil tersenyum tipis. “Gimana hari ini? ada hal yang mau kamu ceritain ke aku?” tanya Bintang, tak yakin harus bertanya apa. Mengapa dirinya dan Langit bisa begitu asing?

“Baik. Yaudah kita pulang ya? lo kusut banget Bi.” ajak yang tertua mencoba membujuk yang lebih muda.

“Aku cuman mau ketemu kamu. Duduk yang lama. Mandangin Langit yang lama. Aku butuh waktu buat beradaptasi, karna aku tau kamu gak bakalan sama aku lagi. Aku cuman mau sama kamu, yang lama. Hari ini aja, kamu mau kan nemenin?”

Hati Langit ikut terenyuh, ia tidak tega melihat orang yang pernah—atau bahkan yang masih ia sayang menangis karenanya. Bintang jauh dari kata baik-baik saja, kedua matanya sembab serta tubuhnya yang semakin kecil. Maka dengan anggukan kepala Langit menjawab.

“Iya, aku temenin.”

Maka dengan senyum merekah, Bintang menuntun Langit untuk mengikutinya. Duduk disalah satu meja yang sudah tidak terpakai dan mulai bercerita banyak hal di pertemuan pertamanya dengan Langit. Wajahnya yang tadinya murung, kini bercahaya kembali. Seolah kehadiran Langit saja sudah mampu membuatnya cukup.

Langit terus memandang wajah Bintang dari samping. Mengagumi setiap lekuk wajah yang amat sangat indah. Kehangatan setiap kata yang Bintang lontarkan membuat Langit tersenyum tipis dibuatnya.

“Salah ya, berharap terlalu banyak dari orang yang kita cintai?” tanya Bintang. Langit memalingkan wajahnya, mulai gundah.

“Nggak, tapi yang pasti, kalau berharap, harus siap kecewa juga.”

Bintang mengangguk setuju pada pendapat Langit. Bintang berhenti, dan tak lagi bercerita. Langit meremas jemari Bintang, yang membuat Bintang menoleh. Jika boleh, Langit ingin memberi satu pelukan. Langit ingin kasihnya tahu, terlalu sia-dia untuk menangisi orang sepertinya. Langit merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah bolu dengan rasa tiramisu kesukaan Bintang.

“Gue tau lo pasti belum makan, ini gue bawain bolu kesukaan lo, lo hrusnya makan teratur Bi. Liat muka sama badan lo!”

Bintang memperhatikan setiap gerak-gerik Langit, ia masih berharap bahwa lelaki ini masih berstatus kekasihnya. Ia tertawa pelan, membuat atensi Langit berubah padanya.

“Kenapa?”

“Gimana aku bisa lupain kamu, kalo kamunya masih gini ke aku Langit.” setetes air mata yang sejak tadi ditahan oleh Bintang, kini meluncur kembali.

“Kenapa kamu nyakitin aku? kalo kamu udah bosen bilang sama aku. Biar aku bisa perbaiki diri.”

Langit memalingkan wajahnya. Nafasnya memburu ketika melihat Bintang yang kini sudah berdiri dihadapannya, dengan air mata yang terus mengalir. Berharap Bintang akan berhenti untuk membahas topik ini.

“Bukannya kita udah berjalan beriring sekian lama? apa itu ngga cukup buat kamu ngejaga perasaan aku, dan setia sama aku?.” tanya Bintang nyaris berbisik, namun masih bisa didengar jelas oleh Langit.

Dan dengan begitu. Bintang terisak untuk kesekian kalinya, mencoba menyublimkan air matanya yang terus mengalir tanpa henti. Berharap dengan sangat, takdir yang begitu saja berubah, lalu kembali pada kasihnya yang mendua.

“Kamu gak sayang aku lagi? LANGIT JAWAB!”

“IYA! GUE SAYANG LO, TAPI ITU DULU. SAAT LO MASIH BINTANG YANG LUGU, YANG GAK PERNAH NGEKANG GUE INI DAN ITU!” balas Langit dengan teriakan yang menggelar.

Bintang yang terkejut mengambil langkah mundur. Tidak, ini bukan Langitnya. Ini bukan Langit yang ia kenal.

“Gue udah jelasin semua itu di chat, dan lo! kenapa gak pernah ngertiin gue Bi? sedikit aja, gue capek kalo harus pura-pura terus. Jadi, gue minta. Lupain gue, jalanin hidup lo kaya sebelum ketemu gue.” maka dengan ini, Langit meninggalkan Bintang yang mematung.

Meninggalkan tubuh ringkih dan rapuh itu sendirian. Katanya tiap kali kalian merasa marah sekaligus sedih, langit selalu berubah mendung. Dan itu terjadi pada Bintang, gemuruh dan hujan mengguyur dan menderas ketika Bintang melihat Langit melaju menjauh dari parkiran sekolah. Ia benar-benar sendirian sekarang.

Bintang terduduk lemas, matanya terus saja mengeluarkan air mata yang sudah tidak bisa dihitung lagi berapa jumlahnya. Dirinya memeluk kedua kakinya, ia kesepian. Isakan kecil terdengar semakin menyayat hati, tangan Bintang yang sejak tadi mengeluarkan darah karena menggenggam sebuah liontin yang ingin ia berikan pada Langit kini tidak lagi ia rasakan bagaimana sakitnya. Ia hanya merasakan rasa sakit di dadanya.

“Langit, aku sayang kamu.”

Maka dengan raungan keras Bintang benturkan kepalanya pada kursi hayu yang sudah mulai roboh karena rayap. Darah segar keluar begitu saja, ini bukan Bintang.

AGRRRR— bundaa...”

Brak.

“KAKAK, ASTAGA.” dengan langkah yang cepat, Sean dan Ryan termenung ketika melihat Bintang yang kusut. Sean membawa tubuh ringkih itu ke dalam dekapannya. Mengusap punggung itu supaya lebih kuat.

“Sakit Sean, rasanya sakit.”

“Iya kakak iya, aku ngerti. Tapi kakak jangan gini, please....” Sean terisak semakin keras ketika ia sadar bahwa Bintang mencoba melukai dirinya sendiri.

“Langit jahat, Sean gue sayang Langit...” rengek Bintang.

“Iya, tapi pulang dulu yu? kakak jangan gini. Nanti bunda khawatir.”

“Seann...”

Ini akhirnya. Kisah Langit dan Bintang yang manis dan penuh romansa berakhir dengan mudahnya. Hubungan yang terjalin hampir satu tahun lamanya, kini kandas hanya karena orang ketiga. Hubungan yang terjalin di atas Langit senja sore yang indah, dan berakhir pada senja yang sama. Bahkan langit juga ikut menangisi takdir Bintang yang sekarang.

Bintang menangis dan kecewa kepada Langit yang meninggalkannya. Tanpa tahu, bahwa Langit tengah bersembunyi pada salah satu pohon dan menangis juga. Ryan yang tahu, ia melihat ke bawah dan mendapati punggung Langit yang bersembunyi di balik pohon dekat sekolah. Yang mengarah langsung pada atap sekolah yang tengah ia pijak, Ryan tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ryan tahu itu.

Begitu berharganya perasaan memiliki. Jangan lukai lagi.

•••

# Jatuh cinta. Bintang pasti tahu bahwa akhirnya selalu tak bisa ditebak. Dan terkadang, ia menuntut air mata ikut terjatuh, entah karena terlalu bahagia ataupun karena luka. Sesungguhnya bukan begini ide kisah cinta yang Bintang inginkan. Bukan dia dan Langit yang terpisah tanpa kejelasan, lalu kembali hidup seperti saling tak mengenal.

Bintang menyeka matanya yang berair kembali. Saat itu, senja menjelang, dan ia berada di sebuah rooftop sekolah sejak satu jam yang lalu. Duduk sambil menatap kejauhan, langit sedang tampak cerah hari ini. Tidak seperti satu minggu yang lalu, langit mengeluarkan ribuan air mata bak ikut menangisi apa yang tengah Bintang rasakan.

Kepalanya ia senderkan pada bagian dinding salah satu tembok. Menenggelamkan dirinya lagi dalam lamunan yang panjang. Sambil menunggu yang terkasih datang menemuinya, ia tidak ingin memaksa Langit untuk kembali padanya. Ia hanya ingin mengetahui, apa yang menjadi alasan Langit mengakhiri hubungan dengannya.

Kriet.

Bintang menoleh ketika mendengar suara pintu dibuka, matanya yang sembab kini kembali bersinar ketika melihat lelaki yang ia sayang ada dihadapannya. Tapi, tatapan yang selalu menatap kagum padanya kini sudah tidak bisa ia lihat lagi pada kedua pada kasihnya. Tatapannya datar seolah tak antusias melihat keberadaan dirinya.

Bintang berdiri dari duduknya, berjalan tertatih untuk mendekati Langit yang hanya berjarak sepuluh langkah dari hadapannya. Tangannya ia angkat untuk meraba salah satu sisi wajah Langit yang amat ia rindukan. Namun, tangannya terhenti ketika Langit menahannya.

“Kita udah selesai Bi. Lo jangan jadiin gue orang jahat lagi disini, gue udah nyakitin lo dengan pacaran sama orang lain.” Langit mengusap kedua mata Bintang perlahan, ia menindukan kasihnya. Namun, apa boleh buat.

“Aku kangen.” ucap Bintang memecah ketegangan. Sudah lama ia tidak mengayakan kata ini, menyimpan perasaan rindu itu di relung terdalam.

Hmmm, kita pulang ya? lo dicariin sama Sean dari tadi.” Langit hanya bersuara seperti itu, seakan enggan untuk menanggapi apa yang Bintang katakan.

Bintang lupa, kapan terakhir kali dirinya berbincang dengan Langit seperti ini, berhadap-hadapan menatap wajah satu sama lain dan mengucap rindu, menikmati hangatnya rengkuhan satu sama lain. Dulu Langit selalu membawakan cerita baru untuk dibagi dengannya, namun petang ini Langit begitu pendiam. Atau barangkali, hanya merasa canggung karena sudah lama tidak berbicara.

Bintang menghela nafas pelan, lalu menatap mata Langit kembali sambil tersenyum tipis. “Gimana hari ini? ada hal yang mau kamu ceritain ke aku?” tanya Bintang, tak yakin harus bertanya apa. Mengapa dirinya dan Langit bisa begitu asing?

“Baik. Yaudah kita pulang ya? lo kusut banget Bi.” ajak yang tertua mencoba membujuk yang lebih muda.

“Aku cuman mau ketemu kamu. Duduk yang lama. Mandangin Langit yang lama. Aku butuh waktu buat beradaptasi, karna aku tau kamu gak bakalan sama aku lagi. Aku cuman mau sama kamu, yang lama. Hari ini aja, kamu mau kan nemenin?”

Hati Langit ikut terenyuh, ia tidak tega melihat orang yang pernah—atau bahkan yang masih ia sayang menangis karenanya. Bintang jauh dari kata baik-baik saja, kedua matanya sembab serta tubuhnya yang semakin kecil. Maka dengan anggukan kepala Langit menjawab.

“Iya, aku temenin.”

Maka dengan senyum merekah, Bintang menuntun Langit untuk mengikutinya. Duduk disalah satu meja yang sudah tidak terpakai dan mulai bercerita banyak hal di pertemuan pertamanya dengan Langit. Wajahnya yang tadinya murung, kini bercahaya kembali. Seolah kehadiran Langit saja sudah mampu membuatnya cukup.

Langit terus memandang wajah Bintang dari samping. Mengagumi setiap lekuk wajah yang amat sangat indah. Kehangatan setiap kata yang Bintang lontarkan membuat Langit tersenyum tipis dibuatnya.

“Salah ya, berharap terlalu banyak dari orang yang kita cintai?” tanya Bintang. Langit memalingkan wajahnya, mulai gundah.

“Nggak, tapi yang pasti, kalau berharap, harus siap kecewa juga.”

Bintang mengangguk setuju pada pendapat Langit. Bintang berhenti, dan tak lagi bercerita. Langit meremas jemari Bintang, yang membuat Bintang menoleh. Jika boleh, Langit ingin memberi satu pelukan. Langit ingin kasihnya tahu, terlalu sia-dia untuk menangisi orang sepertinya. Langit merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah bolu dengan rasa tiramisu kesukaan Bintang.

“Gue tau lo pasti belum makan, ini gue bawain bolu kesukaan lo, lo hrusnya makan teratur Bi. Liat muka sama badan lo!”

Bintang memperhatikan setiap gerak-gerik Langit, ia masih berharap bahwa lelaki ini masih berstatus kekasihnya. Ia tertawa pelan, membuat atensi Langit berubah padanya.

“Kenapa?”

“Gimana aku bisa lupain kamu, kalo kamunya masih gini ke aku Langit.” setetes air mata yang sejak tadi ditahan oleh Bintang, kini meluncur kembali.

“Kenapa kamu nyakitin aku? kalo kamu udah bosen bilang sama aku. Biar aku bisa perbaiki diri.”

Langit memalingkan wajahnya. Nafasnya memburu ketika melihat Bintang yang kini sudah berdiri dihadapannya, dengan air mata yang terus mengalir. Berharap Bintang akan berhenti untuk membahas topik ini.

“Bukannya kita udah berjalan beriring sekian lama? apa itu ngga cukup buat kamu ngejaga perasaan aku, dan setia sama aku?.” tanya Bintang nyaris berbisik, namun masih bisa didengar jelas oleh Langit.

Dan dengan begitu. Bintang terisak untuk kesekian kalinya, mencoba menyublimkan air matanya yang terus mengalir tanpa henti. Berharap dengan sangat, takdir yang begitu saja berubah, lalu kembali pada kasihnya yang mendua.

“Kamu gak sayang aku lagi? LANGIT JAWAB!”

“IYA! GUE SAYANG LO, TAPI ITU DULU. SAAT LO MASIH BINTANG YANG LUGU, YANG GAK PERNAH NGEKANG GUE INI DAN ITU!” balas Langit dengan teriakan yang menggelar.

Bintang yang terkejut mengambil langkah mundur. Tidak, ini bukan Langitnya. Ini bukan Langit yang ia kenal.

“Gue udah jelasin semua itu di chat, dan lo! kenapa gak pernah ngertiin gue Bi? sedikit aja, gue capek kalo harus pura-pura terus. Jadi, gue minta. Lupain gue, jalanin hidup lo kaya sebelum ketemu gue.” maka dengan ini, Langit meninggalkan Bintang yang mematung.

Meninggalkan tubuh ringkih dan rapuh itu sendirian. Katanya tiap kali kalian merasa marah sekaligus sedih, langit selalu berubah mendung. Dan itu terjadi pada Bintang, gemuruh dan hujan mengguyur dan menderas ketika Bintang melihat Langit melaju menjauh dari parkiran sekolah. Ia benar-benar sendirian sekarang.

Bintang terduduk lemas, matanya terus saja mengeluarkan air mata yang sudah tidak bisa dihitung lagi berapa jumlahnya. Dirinya memeluk kedua kakinya, ia kesepian. Isakan kecil terdengar semakin menyayat hati, tangan Bintang yang sejak tadi mengeluarkan darah karena menggenggam sebuah liontin yang ingin ia berikan pada Langit kini tidak lagi ia rasakan bagaimana sakitnya. Ia hanya merasakan rasa sakit di dadanya.

“Langit, aku sayang kamu.”

Maka dengan raungan keras Bintang benturkan kepalanya pada kursi hayu yang sudah mulai roboh karena rayap. Darah segar keluar begitu saja, ini bukan Bintang.

AGRRRR— bundaa...”

Brak.

“KAKAK, ASTAGA.” dengan langkah yang cepat, Sean dan Ryan termenung ketika melihat Bintang yang kusut. Sean membawa tubuh ringkih itu ke dalam dekapannya. Mengusap punggung itu supaya lebih kuat.

“Sakit Sean, rasanya sakit.”

“Iya kakak iya, aku ngerti. Tapi kakak jangan gini, please....” Sean terisak semakin keras ketika ia sadar bahwa Bintang mencoba melukai dirinya sendiri.

“Langit jahat, Sean gue sayang Langit...” rengek Bintang.

“Iya, tapi pulang dulu yu? kakak jangan gini. Nanti bunda khawatir.”

“Seann...”

Ini akhirnya. Kisah Langit dan Bintang yang manis dan penuh romansa berakhir dengan mudahnya. Hubungan yang terjalin hampir satu tahun lamanya, kini kandas hanya karena orang ketiga. Hubungan yang terjalin di atas Langit senja sore yang indah, dan berakhir pada senja yang sama. Bahkan langit juga ikut menangisi takdir Bintang yang sekarang.

Bintang menangis dan kecewa kepada Langit yang meninggalkannya. Tanpa tahu, bahwa Langit tengah bersembunyi pada salah satu pohon dan menangis juga. Ryan yang tahu, ia melihat ke bawah dan mendapati punggung Langit yang bersembunyi di balik pohon dekat sekolah. Yang mengarah langsung pada atap sekolah yang tengah ia pijak, Ryan tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ryan tahu itu.

Begitu berharganya perasaan memiliki. Jangan lukai lagi.

•••

#Jatuh cinta. Bintang pasti tahu bahwa akhirnya selalu tak bisa ditebak. Dan terkadang, ia menuntut air mata ikut terjatuh, entah karena terlalu bahagia ataupun karena luka. Sesungguhnya bukan begini ide kisah cinta yang Bintang inginkan. Bukan dia dan Langit yang terpisah tanpa kejelasan, lalu kembali hidup seperti saling tak mengenal.

Bintang menyeka matanya yang berair kembali. Saat itu, senja menjelang, dan ia berada di sebuah rooftop sekolah sejak satu jam yang lalu. Duduk sambil menatap kejauhan, langit sedang tampak cerah hari ini. Tidak seperti satu minggu yang lalu, langit mengeluarkan ribuan air mata bak ikut menangisi apa yang tengah Bintang rasakan.

Kepalanya ia senderkan pada bagian dinding salah satu tembok. Menenggelamkan dirinya lagi dalam lamunan yang panjang. Sambil menunggu yang terkasih datang menemuinya, ia tidak ingin memaksa Langit untuk kembali padanya. Ia hanya ingin mengetahui, apa yang menjadi alasan Langit mengakhiri hubungan dengannya.

Kriet.

Bintang menoleh ketika mendengar suara pintu dibuka, matanya yang sembab kini kembali bersinar ketika melihat lelaki yang ia sayang ada dihadapannya. Tapi, tatapan yang selalu menatap kagum padanya kini sudah tidak bisa ia lihat lagi pada kedua pada kasihnya. Tatapannya datar seolah tak antusias melihat keberadaan dirinya.

Bintang berdiri dari duduknya, berjalan tertatih untuk mendekati Langit yang hanya berjarak sepuluh langkah dari hadapannya. Tangannya ia angkat untuk meraba salah satu sisi wajah Langit yang amat ia rindukan. Namun, tangannya terhenti ketika Langit menahannya.

“Kita udah selesai Bi. Lo jangan jadiin gue orang jahat lagi disini, gue udah nyakitin lo dengan pacaran sama orang lain.” Langit mengusap kedua mata Bintang perlahan, ia menindukan kasihnya. Namun, apa boleh buat.

“Aku kangen.” ucap Bintang memecah ketegangan. Sudah lama ia tidak mengayakan kata ini, menyimpan perasaan rindu itu di relung terdalam.

Hmmm, kita pulang ya? lo dicariin sama Sean dari tadi.” Langit hanya bersuara seperti itu, seakan enggan untuk menanggapi apa yang Bintang katakan.

Bintang lupa, kapan terakhir kali dirinya berbincang dengan Langit seperti ini, berhadap-hadapan menatap wajah satu sama lain dan mengucap rindu, menikmati hangatnya rengkuhan satu sama lain. Dulu Langit selalu membawakan cerita baru untuk dibagi dengannya, namun petang ini Langit begitu pendiam. Atau barangkali, hanya merasa canggung karena sudah lama tidak berbicara.

Bintang menghela nafas pelan, lalu menatap mata Langit kembali sambil tersenyum tipis. “Gimana hari ini? ada hal yang mau kamu ceritain ke aku?” tanya Bintang, tak yakin harus bertanya apa. Mengapa dirinya dan Langit bisa begitu asing?

“Baik. Yaudah kita pulang ya? lo kusut banget Bi.” ajak yang tertua mencoba membujuk yang lebih muda.

“Aku cuman mau ketemu kamu. Duduk yang lama. Mandangin Langit yang lama. Aku butuh waktu buat beradaptasi, karna aku tau kamu gak bakalan sama aku lagi. Aku cuman mau sama kamu, yang lama. Hari ini aja, kamu mau kan nemenin?”

Hati Langit ikut terenyuh, ia tidak tega melihat orang yang pernah—atau bahkan yang masih ia sayang menangis karenanya. Bintang jauh dari kata baik-baik saja, kedua matanya sembab serta tubuhnya yang semakin kecil. Maka dengan anggukan kepala Langit menjawab.

“Iya, aku temenin.”

Maka dengan senyum merekah, Bintang menuntun Langit untuk mengikutinya. Duduk disalah satu meja yang sudah tidak terpakai dan mulai bercerita banyak hal di pertemuan pertamanya dengan Langit. Wajahnya yang tadinya murung, kini bercahaya kembali. Seolah kehadiran Langit saja sudah mampu membuatnya cukup.

Langit terus memandang wajah Bintang dari samping. Mengagumi setiap lekuk wajah yang amat sangat indah. Kehangatan setiap kata yang Bintang lontarkan membuat Langit tersenyum tipis dibuatnya.

“Salah ya, berharap terlalu banyak dari orang yang kita cintai?” tanya Bintang. Langit memalingkan wajahnya, mulai gundah.

“Nggak, tapi yang pasti, kalau berharap, harus siap kecewa juga.”

Bintang mengangguk setuju pada pendapat Langit. Bintang berhenti, dan tak lagi bercerita. Langit meremas jemari Bintang, yang membuat Bintang menoleh. Jika boleh, Langit ingin memberi satu pelukan. Langit ingin kasihnya tahu, terlalu sia-dia untuk menangisi orang sepertinya. Langit merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah bolu dengan rasa tiramisu kesukaan Bintang.

“Gue tau lo pasti belum makan, ini gue bawain bolu kesukaan lo, lo hrusnya makan teratur Bi. Liat muka sama badan lo!”

Bintang memperhatikan setiap gerak-gerik Langit, ia masih berharap bahwa lelaki ini masih berstatus kekasihnya. Ia tertawa pelan, membuat atensi Langit berubah padanya.

“Kenapa?”

“Gimana aku bisa lupain kamu, kalo kamunya masih gini ke aku Langit.” setetes air mata yang sejak tadi ditahan oleh Bintang, kini meluncur kembali.

“Kenapa kamu nyakitin aku? kalo kamu udah bosen bilang sama aku. Biar aku bisa perbaiki diri.”

Langit memalingkan wajahnya. Nafasnya memburu ketika melihat Bintang yang kini sudah berdiri dihadapannya, dengan air mata yang terus mengalir. Berharap Bintang akan berhenti untuk membahas topik ini.

“Bukannya kita udah berjalan beriring sekian lama? apa itu ngga cukup buat kamu ngejaga perasaan aku, dan setia sama aku?.” tanya Bintang nyaris berbisik, namun masih bisa didengar jelas oleh Langit.

Dan dengan begitu. Bintang terisak untuk kesekian kalinya, mencoba menyublimkan air matanya yang terus mengalir tanpa henti. Berharap dengan sangat, takdir yang begitu saja berubah, lalu kembali pada kasihnya yang mendua.

“Kamu gak sayang aku lagi? LANGIT JAWAB!”

“IYA! GUE SAYANG LO, TAPI ITU DULU. SAAT LO MASIH BINTANG YANG LUGU, YANG GAK PERNAH NGEKANG GUE INI DAN ITU!” balas Langit dengan teriakan yang menggelar.

Bintang yang terkejut mengambil langkah mundur. Tidak, ini bukan Langitnya. Ini bukan Langit yang ia kenal.

“Gue udah jelasin semua itu di chat, dan lo! kenapa gak pernah ngertiin gue Bi? sedikit aja, gue capek kalo harus pura-pura terus. Jadi, gue minta. Lupain gue, jalanin hidup lo kaya sebelum ketemu gue.” maka dengan ini, Langit meninggalkan Bintang yang mematung.

Meninggalkan tubuh ringkih dan rapuh itu sendirian. Katanya tiap kali kalian merasa marah sekaligus sedih, langit selalu berubah mendung. Dan itu terjadi pada Bintang, gemuruh dan hujan mengguyur dan menderas ketika Bintang melihat Langit melaju menjauh dari parkiran sekolah. Ia benar-benar sendirian sekarang.

Bintang terduduk lemas, matanya terus saja mengeluarkan air mata yang sudah tidak bisa dihitung lagi berapa jumlahnya. Dirinya memeluk kedua kakinya, ia kesepian. Isakan kecil terdengar semakin menyayat hati, tangan Bintang yang sejak tadi mengeluarkan darah karena menggenggam sebuah liontin yang ingin ia berikan pada Langit kini tidak lagi ia rasakan bagaimana sakitnya. Ia hanya merasakan rasa sakit di dadanya.

“Langit, aku sayang kamu.”

Maka dengan raungan keras Bintang benturkan kepalanya pada kursi hayu yang sudah mulai roboh karena rayap. Darah segar keluar begitu saja, ini bukan Bintang.

AGRRRR— bundaa...”

Brak.

“KAKAK, ASTAGA.” dengan langkah yang cepat, Sean dan Ryan termenung ketika melihat Bintang yang kusut. Sean membawa tubuh ringkih itu ke dalam dekapannya. Mengusap punggung itu supaya lebih kuat.

“Sakit Sean, rasanya sakit.”

“Iya kakak iya, aku ngerti. Tapi kakak jangan gini, please....” Sean terisak semakin keras ketika ia sadar bahwa Bintang mencoba melukai dirinya sendiri.

“Langit jahat, Sean gue sayang Langit...” rengek Bintang.

“Iya, tapi pulang dulu yu? kakak jangan gini. Nanti bunda khawatir.”

“Seann...”

Ini akhirnya. Kisah Langit dan Bintang yang manis dan penuh romansa berakhir dengan mudahnya. Hubungan yang terjalin hampir satu tahun lamanya, kini kandas hanya karena orang ketiga. Hubungan yang terjalin di atas Langit senja sore yang indah, dan berakhir pada senja yang sama. Bahkan langit juga ikut menangisi takdir Bintang yang sekarang.

Bintang menangis dan kecewa kepada Langit yang meninggalkannya. Tanpa tahu, bahwa Langit tengah bersembunyi pada salah satu pohon dan menangis juga. Ryan yang tahu, ia melihat ke bawah dan mendapati punggung Langit yang bersembunyi di balik pohon dekat sekolah. Yang mengarah langsung pada atap sekolah yang tengah ia pijak, Ryan tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ryan tahu itu.

Begitu berharganya perasaan saling memiliki. Jangan lukai lagi.

•••

Jatuh cinta— Bintang pasti tahu bahwa akhirnya selalu gak bisa ditebak. Dan, terkadang cinta menuntut air mata ikut terjatuh, entah karena terlalu bahagia atau karena harapan yang perlu diselipkan kembali pada tempat tersembunyi.

Ketika jayuh cinta, mungkin ada suatu yang perlu Bintang ingat. Ia akan selalu bermuara pada keikhlasan.

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu, bahkan kini sang surya sudah mengeluarkan warna jingganya yang begitu indah. Sudah petang, tapi bintang masih saja betah duduk diam di salah satu atap gedung di kotanya. Tempat kesukaan dirinya dan Langit ketika ingin berdua.

“Kayaknya emang gue yang udah gak pantes buat langit, kayaknya emang gue yang terlalu berharap.”

*Begitu berharganya perasaan saling memiliki. Jangan lukai lagi.

•••

Jatuh cinta— Bintang pasti tahu bahwa akhirnya selalu gak bisa ditebak. Dan, terkadang cinta menuntut air mata ikut terjatuh, entah karena terlalu bahagia atau karena harapan yang perlu diselipkan kembali pada tempat tersembunyi.

Ketika jayuh cinta, mungkin ada suatu yang perlu Bintang ingat. Ia akan selalu bermuara pada keikhlasan.

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu, bahkan kini sang surya sudah mengeluarkan warna jingganya yang begitu indah. Sudah petang, tapi bintang masih saja betah duduk diam di salah satu atap gedung di kotanya. Tempat kesukaan dirinya dan Langit ketika ingin berdua.

“Kayaknya emang gue yang udah gak pantes buat langit, kayaknya emang gue yang terlalu berharap.”

Karna sejatinya cinta ada hanya untuk membawa kebahagiaan sesaat, dan luka pasti akan membekas pada waktu yang lama. Ketika kamu memilih untuk menaruh hati, maka kamu harus siap dengan kemungkinan patah hati.

•••

kita udahan ya?

Sudah tiga puluh menit Bintang terdiam menatapi sebaris pesan penuh kalimat luka. Di dalam kamar yang gulita, ia duduk sendirian. Air mata sudah mengalir sejak tadi, matanya menatap ponsel yang masih menyala menampilkan jendela pesan dengan yang terkasih.

Bintang tahu, pada akhirnya akan selalu seperti ini. Ia ditinggal sendirian. Ia tahu jika ia sudah menyimpan rasa dan jatuh pada seseorang, maka komitmen yang harus ia terima adalah ia harus siap jatuh bangun menghadapi rasa. Ia harus siap menemui luka. Cinta bukan sekedar manis yang ingin kau sesap selalu seperti madu. Dalam cinta dan realita, dan patah hati adalah satu bagian diantaranya.

Hubungan yang ia jalin dengan Langit sudah satu tahun lamanya. Hari telah demikian panjang untuk setiap waktu yang berlalu. Bahagia dan kecewa kadang terasa antara mereka berdua. Namun, satu kalimat yang Langit kirimkan padanya malam ini berhasil membuat malamnya menjadi kelam.

Bintang tahu, ia tak butuh apa-apa selain adanya Langit disampingnya selalu. Ia senang ketika Langit bisa lebih terbuka padanya, Bintang senang ketika Langit membagi luka dengannya. Ia tidak masalah, karena ia tahu bahwa setiap manusia pasti memiliki masalah dan lukanya masing-masing.

Namun, ketika kedua netranya melihat sendiri bagaimana Langit mengelus puncak kepala seorang gadis di sebuah mall dan memanggilnya dengan kalimat yang selalu ia dengar untuknya, dadanya bergemuruh. Seperti ada sebuah sengatan yang membuat dadanya meletup-letup dan panas. Membuat genangan air di matanya, seperti menantikan air mendidih dan siap dikucurkan pada teko yang sudah diisi oleh daun teh yang sudah mengering.

Dirinya berbalik begitu saja ketika Langit mencium pucuk kepala sang gadis, Seandra berteriak ketika Bintang berlari menjauh darinya. Ia mengedarkan pandangannya, mencari apa yang dilihat Bintang. Kedua tangannya mengepal ketika melihat Langit dengan seorang perempuan, kedua kakinya berjalan agak tergesa. Ketika sampai dihadapan Langit, Seandra melayangkan sebuah tamparan paling keras yang belum ia berikan pada siapapun.

anjing, lo emang anjing! kak Bintang gak pantes dapetin lo. Lo harusnya bersyukur bisa dapetin dia, karena jauh diluar sana—” Seandra menahan nafasnya karena sesak, matanya sudah berkaca-kaca.

Dengan sekali tarikan nafas, Seandra kembali bersuara “Jauh di luar sana, banyak yang mau dapetin kak Bintang dan gak ada yang berhasil, kak bintang dengan bodohnya malah milih lo yang kasar, galak, dingin, keras kepala. Harusnya lo bersyukur kak. hiks—”

Seandra menangis, menangis karena emosi. Ia menyayangi Bintang seperti kakak kandungnya sendiri, Bintang adalah orang yang menolongnya ketika dirinya diolok-olok. Bintang yang mengurusnya ketika sakit, Seandra sudah tidak punya siapa-siapa. Orang tuanya sudah lama meninggal karena kecelakaan, maka Bintang adalah orang yang akan selalu ada ketika ia sedih dan senang.

Bintang akan ada ketika siapapun membutuhkannya.

Plak

“Dan lo, orang terbodoh yang pernah gue temuin.” Seandra berjalan begitu saja meninggalkan Langit yang tengah mematung serta si perempuan yang hanya bisa diam membisu.

Bintang tahu apa yang Seandra lakukan, karna ia bersembunyi pada salah satu tembok.

Mengingat itu Bintang meremas dadanya kuat, sudah sejak tadi ia tidak mengeluarkan suara. Ia tahu ini akan terjadi, namun ia tidak pernah menyangka jika Langitnya akan menggoreskan luka sedalam ini. Luka yang mungkin akan lama kering, luka yang diberi garam. Ini sangat menyakitkan.

“Langit, hiks...”

“Langit kenapa jahat?” tangisnya pecah ketika melihat wallpaper handphone yang menampilkan potretnya dengan yang terkasih, tangisnya berubah menjadi raungan ketika ia sadar bahwa Langitnya sudah tidak bersamanya.

Ini luka pertama yang ia dapat karena mencintai orang. Suara hujan yang turun tak dihiraukan oleh Bintang, ia semakin menjerit tat kala hujan turun. Ia keluarkan semua rasa sakit yang tiga puluh menit ia tahan tat kala suara dering ponsel yang menunjukan nama Kelana muncul.

“PERGIII, PERGIIII! Hiks— bundaa, sakitt!” ia terus menepuk dadanya yang sakit. Ia hancur, Bintang Athala sudah kehilangan sinarnya.

“Langit, aku sayang kamu.”

Langit datang membawa sebuah perasaan baru untuk Bintang, ia memberi sebuah rasa yang sangat indah untuk Bintang. Ia membuat Bintang mengetahui bagaimana caranya bahagia, tapi Langit lupa bagaimana cara Bintang berbahagia saat dirinya tak ada.


© butterfly