vivi

ini hanya fiksi, jangan dibawa ke rl, idol hanya untuk visualisasi saja.

Cuasa pada malam ini sungguh sangat buruk, hujan deras yang diiringi dengan suara gemuruh guntur dan petir yang bersahut-sahutan begitu memekakan telinga, jalanan malam ini sungguh sangat sepi. Hanya ada dua hingga empat mobil atau motor yang melewat. Membuat pemuda persurai hitam legam itu ketakutan.

Ditengah turunnya hujan deras, Semesta meringkuk memeluk lututnya sendiri, alasannya karena bisa jadi kedinginan dan juga kesepian. Beberapa kali ia bersin karena cuasa yang sangat dingin, mungkin dia masuk angin.

Bagaimana tidak masuk angin, Semesta hanya memakai kemeja putih tipis tanpa dilapisi oleh jaket atau hoodie, ia meringkuk sendirian, kedinginan, di sebuah halte bus tua yang tidak ada seorangpun disana. Mengandalkan kedua tangan yang digosokkan guna mendapatkan kehangatan, Semesta mengusap air yang terus keluar dari kedua matanya. Dia menangis, bukan karena takut. Tapi, karena sedih ditinggalkan oleh yang terkasih.

Kemeja yang kebesaran serta tipis itu membuat lekuk tubuhnya terekspos, beberapa kali pria hidung belang ingin mengganggunya. Namun, dengan sekuat tenaga Semesta melawan. Ia hanya berharap, seseorang dapat menolongnya dari guyuran hujan lebat dan suara gemuruh guntur yang memekakan telinga. Ia ingin sekali menelpon seseorang untuk menjemputnya, namun apa daya. Baterai handphone nya sudah habis, handphone sudah mati total.

“Ini lagi, lo kenapa harus mati disaat gue keliatan se-menyedihkan ini sih?” rutuknya kepada sebuah benda pipih yang tengah ia genggam, terlihat basah kuyup persis seperti pemiliknya.

Seolah mengakui kebodohannya, Semesta tertawa miris. Mengingat bagaimana perhatiannya Sagara kepada Alexa, perempuan cantik yang mengambil jurusan kedokteran. Perempuan yang merantau ke kota lain hanya untuk mengejar pendidikan. Semesta tertawa semakin kencang, di tengah guyuran hujan dan suara petir yang menggelegar ia tertawa. Diselingi oleh sebutir air mata yang turun membasahi pipi.

“Kenapa gue harus percaya sama lo sih Sa, kenapa keulang lagi. Gue udah pernah diginiin. Gue percaya sama lo Sa!” butiran demi butiran air mata keluar semakin banyak, sesekali Semesta mengipasi wajahnya sendiri.

“Astaga jelek banget gue nangis, lagian mau ngarepin apa sih dari Sagara. Omongan dia waktu itu cuman bercanda kali Se.” kekehnya lagi.

Semesta terus bermonolog, hingga ia tidak menyadari kehadiran seseorang.

Lagi-lagi Semesta kembali terkekeh miris. Kepalanya ia tenggelamkan diantara kedua perpotongan kaki yang ditekuk, tenggelam di dalam tangisan. Terdengar suara sesegukan yang amat menyayat hati, jika begini maka tandanya Semesta sudah kecewa. 

“Sakit banget ya, please jangan kambuh sekarang!” Beberapa kali ia menepuk dadanya kencang, mendongak guna mencegah air matanya keluar terlalu banyak.

“Aduh udah dong ah, cengeng banget lo Se. Jelek ah, udah ah!” Semesta menghapus air matanya sendiri. Melihat sekeliling halte yang sudah sepi, hanya beberapa motor yang lewat.

Sudah hampir pukul 22.00 malam, ia belum pulang karena sepertinya tersesat. Padahal jika tidak tersesat ia akan sampai pukul 21.00 malam tadi, entah ia pergi kemana tadi. Semesta kembali berkaca-kaca ketika mendengar suara petir yang menyambar pohon di seberang halte, ia takut. sungguh.

“Tapi kenapa sakit banget, Sagara gue takut. Kenapa lo jahat banget!” Semesta kembali menelungkupkan kepalanya pada kedua kakinya yang ditekuk.


Beberapa menit kemudian, tak jauh dari tempatnya duduk meringkuk, Semesta mendengar suara mobil yang berhenti. Entahlah, ia tidak akan berharap lebih, ia memilih tidak mengangkat kepalanya. Mungkin itu hanya orang yang seperti dirinya, ikut berteduh di halte tua yang sebenarnya tidak seratus persen bisa dipakai berteduh. Buktinya, Semesta basah kuyup.

Perlahan ia merasakan elusan lembut di rambutnya yang sudah lepek karena air hujan yang mengguyurnya. Semesta sedikit terlonjak, terkejut. Ia langsung mendongak dan melihat siapa yang mengusap rambutnya barusan.

“Anak manis kalo malem-malem gak boleh sendirian loh!” suara selembut sutra, mata bulat nan jernih bak danau tanpa riak dapat Semesta jumpai pada sosok ini.

“Ayo bangun, mau pulang gak?”

Lagi, Semesta menatap sosok yang berdiri dengan senyuman merekah. Dengan setelan kaus putih lengan pendek dan celana jeans itu tampak cocok ia pakai.

Ditangannya terdapat sebuah jaket tebal yang tadinya ia pakai, dan kini ia sodorkan untuk Semesta. Sebuah kehangatan yang sejak tadi Semesta butuhkan. Dengan air mata yang kembali turun, Semesta bangkit dan langsung berhambur ke dalam pelukan sang lelaki.

“Kak Lintang, gue takut banget. Petirnya gede banget, gue takut.” Semesta semakin mengeratkan pelukannya ketika dirasa Lintang membalas pelukannya juga.

“Udah ada gue disini, kita balik ya? liat tuh kuyup. Jelek banget dih nangis, anak manis gak boleh nangis!” kedua mata Lintang menatap Semesta iba, ia tidak rela melihat kasihnya seperti ini. Meski ia tahu bahwa Semesta ini disukai oleh teman kost nya, tapi jika ia tahu kasihnya diperlakukan seperti ini. Ia tidak akan rela.

karena sejatinya, Lintang akan melakukan apapun untuk yang ia sayangi.

Kedua bola mata sejernih danau itu kembali di tatap Semesta. Ia baru melihat kakak tingkatnya bisa seperhatian ini padanya. Lintang pun mengangkat tangannya, mulai merapihkan beberapa rambut Semesta yang menutupi wajah cantiknya.

“Mau makan dulu? gue yakin lo belum makan Se. Mau makan apa? bubur atau bakso?”

“Mau ramyeon, tapi kakak yang masak.”

“Jangan mie mulu, nasi aja ya? lauknya biar gue aja yang masak. Gimana?”

“Iya, terserah lo aja kak.” maka Semesta pasrah saja, karena ia merasa tidak enak.

“Yaudah, nanti tidur di kamar gue aja ya?” maka anggukan kepala yang diberikan Semesta yang sudah terlihat lelah. 

Lintang tersenyum ketika melihat Semestanya bertingkah lucu. Kedua mata indah itu terlihat sangat sendu, Lintang tidak menyukai itu. Namun, yang ia tau adalah. Semesta selalu terlihat manis dan cantik kapanpun itu, bahkan ketika sedang sendu pun kilauan bintang-bintang dimatanya tidak hilang. Sepertinya tuhan sedang bahagia ketika menciptakan seorang Semesta Adhitama.

“Kak ayo, katanya mau pulang? malem-malem jangan ngelamun. Ntar kesambet!” gurau Semesta.

“Kesambet cinta lo mah gapapa kali Se.”

“Dih, bisaan banget.”

Lintang terkekeh, “Yaudah ayo kita pulang.”

Dengan perlahan, Lintang membawa tubuh kurus itu ke dalam mobilnya. Tak lama, ia melajukan mobilnya menjauh dari halte tadi, ketika ia sedang mengerjakan tugas diperpustakaan kota sebenarnya Lintang membaca apa yang sedang terjadi di grup.

Jadi karena itu, ia rela meninggalkan tugasnya demi bisa menemukan yang terkasih. Ia rela memutar arah karena lokasinya dengan Semesta berbeda jalur, awalnya ia hanya mengitari kawasan kota dan kampus tapi ketika instingnya lebih kuat, ia malah berujung ke arah halte bus yang tidak jauh dari tempat kesukaan Semesta yang siapapun tidak akan tahu dimana itu.

Jika saja, Lintang tidak mengikuti Semesta yang berjalan dengan tatapan kosong tempo hari ia tidak akan tahu dimana Semesta sekarang.

ini hanya fiksi, jangan dibawa ke rl, idol hanya untuk visualisasi saja.

Cuasa pada malam ini sungguh sangat buruk, hujan deras yang diiringi dengan suara gemuruh guntur dan petir yang bersahut-sahutan begitu memekakan telinga, jalanan malam ini sungguh sangat sepi. Hanya ada dua hingga empat mobil atau motor yang melewat. Membuat pemuda persurai hitam legam itu ketakutan.

Ditengah turunnya hujan deras, Semesta meringkuk memeluk lututnya sendiri, alasannya karena bisa jadi kedinginan dan juga kesepian. Beberapa kali ia bersin karena cuasa yang sangat dingin, mungkin dia masuk angin.

Bagaimana tidak masuk angin, Semesta hanya memakai kemeja putih tipis tanpa dilapisi oleh jaket atau hoodie, ia meringkuk sendirian, kedinginan, di sebuah halte bus tua yang tidak ada seorangpun disana. Mengandalkan kedua tangan yang digosokkan guna mendapatkan kehangatan, Semesta mengusap air yang terus keluar dari kedua matanya. Dia menangis, bukan karena takut. Tapi, karena sedih ditinggalkan oleh yang terkasih.

Kemeja yang kebesaran serta tipis itu membuat lekuk tubuhnya terekspos, beberapa kali pria hidung belang ingin mengganggunya. Namun, dengan sekuat tenaga Semesta melawan. Ia hanya berharap, seseorang dapat menolongnya dari guyuran hujan lebat dan suara gemuruh guntur yang memekakan telinga. Ia ingin sekali menelpon seseorang untuk menjemputnya, namun apa daya. Baterai handphone nya sudah habis, handphone sudah mati total.

“Ini lagi, lo kenapa harus mati disaat gue keliatan se-menyedihkan ini sih?” rutuknya kepada sebuah benda pipih yang tengah ia genggam, terlihat basah kuyup persis seperti pemiliknya.

Seolah mengakui kebodohannya, Semesta tertawa miris. Mengingat bagaimana perhatiannya Sagara kepada Alexa, perempuan cantik yang mengambil jurusan kedokteran. Perempuan yang merantau ke kota lain hanya untuk mengejar pendidikan. Semesta tertawa semakin kencang, di tengah guyuran hujan dan suara petir yang menggelegar ia tertawa. Diselingi oleh sebutir air mata yang turun membasahi pipi.

“Kenapa gue harus percaya sama lo sih Sa, kenapa keulang lagi. Gue udah pernah diginiin. Gue percaya sama lo Sa!” butiran demi butiran air mata keluar semakin banyak, sesekali Semesta mengipasi wajahnya sendiri.

“Astaga jelek banget gue nangis, lagian mau ngarepin apa sih dari Sagara. Omongan dia waktu itu cuman bercanda kali Se.” kekehnya lagi.

Semesta terus bermonolog, hingga ia tidak menyadari kehadiran seseorang.

Lagi-lagi Semesta kembali terkekeh miris. Kepalanya ia tenggelamkan diantara kedua perpotongan kaki yang ditekuk, tenggelam di dalam tangisan. Terdengar suara sesegukan yang amat menyayat hati, jika begini maka tandanya Semesta sudah kecewa. 

“Sakit banget ya, please jangan kambuh sekarang!” Beberapa kali ia menepuk dadanya kencang, mendongak guna mencegah air matanya keluar terlalu banyak.

“Aduh udah dong ah, cengeng banget lo Se. Jelek ah, udah ah!” Semesta menghapus air matanya sendiri. Melihat sekeliling halte yang sudah sepi, hanya beberapa motor yang lewat.

Sudah hampir pukul 22.00 malam, ia belum pulang karena sepertinya tersesat. Padahal jika tidak tersesat ia akan sampai pukul 21.00 malam tadi, entah ia pergi kemana tadi. Semesta kembali berkaca-kaca ketika mendengar suara petir yang menyambar pohon di seberang halte, ia takut. sungguh.

“Tapi kenapa sakit banget, Sagara gue takut. Kenapa lo jahat banget!” Semesta kembali menelungkupkan kepalanya pada kedua kakinya yang ditekuk.


Beberapa menit kemudian, tak jauh dari tempatnya duduk meringkuk, Semesta mendengar suara mobil yang berhenti. Entahlah, ia tidak akan berharap lebih, ia memilih tidak mengangkat kepalanya. Mungkin itu hanya orang yang seperti dirinya, ikut berteduh di halte tua yang sebenarnya tidak seratus persen bisa dipakai berteduh. Buktinya, Semesta basah kuyup.

Perlahan ia merasakan elusan lembut di rambutnya yang sudah lepek karena air hujan yang mengguyurnya. Semesta sedikit terlonjak, terkejut. Ia langsung mendongak dan melihat siapa yang mengusap rambutnya barusan.

“Anak manis kalo malem-malem gak boleh sendirian loh!” suara selembut sutra, mata bulat nan jernih bak danau tanpa riak dapat Semesta jumpai pada sosok ini.

“Ayo bangun, mau pulang gak?”

Lagi, Semesta menatap sosok yang berdiri dengan senyuman merekah. Dengan setelan kaus putih lengan pendek dan celana jeans itu tampak cocok ia pakai.

Ditangannya terdapat sebuah jaket tebal yang tadinya ia pakai, dan kini ia sodorkan untuk Semesta. Sebuah kehangatan yang sejak tadi Semesta butuhkan. Dengan air mata yang kembali turun, Semesta bangkit dan langsung berhambur ke dalam pelukan sang lelaki.

“Kak Lintang, gue takut banget. Petirnya gede banget, gue takut.” Semesta semakin mengeratkan pelukannya ketika dirasa Lintang membalas pelukannya juga.

“Udah ada gue disini, kita balik ya? liat tuh kuyup. Jelek banget dih nangis, anak manis gak boleh nangis!” kedua mata Lintang menatap Semesta iba, ia tidak rela melihat kasihnya seperti ini. Meski ia tahu bahwa Semesta ini disukai oleh teman kost nya, tapi jika ia tahu kasihnya diperlakukan seperti ini. Ia tidak akan rela.

karena sejatinya, Lintang akan melakukan apapun untuk yang ia sayangi.

Kedua bola mata sejernih danau itu kembali di tatap Semesta. Ia baru melihat kakak tingkatnya bisa seperhatian ini padanya. Lintang pun mengangkat tangannya, mulai merapihkan beberapa rambut Semesta yang menutupi wajah cantiknya.

“Mau makan dulu? gue yakin lo belum makan Se. Mau makan apa? bubur atau bakso?”

“Mau ramyeon, tapi kakak yang masak.”

“Jangan mie mulu, nasi aja ya? lauknya biar gue aja yang masak. Gimana?”

“Iya, terserah lo aja kak.” maka Semesta pasrah saja, karena ia merasa tidak enak.

“Yaudah, nanti tidur di kamar gue aja ya?” maka anggukan kepala yang diberikan Semesta yang sudah terlihat lelah. 

Lintang tersenyum ketika melihat Semestanya bertingkah lucu. Kedua mata indah itu terlihat sangat sendu, Lintang tidak menyukai itu. Namun, yang ia tau adalah. Semesta selalu terlihat manis dan cantik kapanpun itu, bahkan ketika sedang sendu pun kilauan bintang-bintang dimatanya tidak hilang. Sepertinya tuhan sedang bahagia ketika menciptakan seorang Semesta Adhitama.

“Kak ayo, katanya mau pulang? malem-malem jangan ngelamun. Ntar kesambet!” gurau Semesta.

“Kesambet cinta lo mah gapapa kali Se.”

“Dih, bisaan banget.”

Lintang terkekeh, “Yaudah ayo kita pulang.”

Dengan perlahan, Lintang membawa tubuh kurus itu ke dalam mobilnya. Tak lama, ia melajukan mobilnya menjauh dari halte tadi, ketika ia sedang mengerjakan tugas diperpustakaan kota sebenarnya Lintang membaca apa yang sedang terjadi di grup.

Jadi karena itu, ia rela meninggalkan tugasnya demi bisa menemukan yang terkasih. Ia rela memutar arah karena lokasinya dengan Semesta berbeda jalur, awalnya ia hanya mengitari kawasan kota dan kampus tapi ketika instingnya lebih kuat, ia malah berujung ke arah halte bus yang tidak jauh dari tempat kesukaan Semesta yang siapapun tidak akan tahu dimana itu.

Jika saja, Lintang tidak mengikuti Semesta yang berjalan dengan tatapan kosong tempo hari ia tidak akan tahu dimana Semesta sekarang.

etchh

h