vivi

Karna sejatinya cinta ada hanya untuk membawa kebahagiaan sesaat, dan luka pasti akan membekas pada waktu yang lama. Ketika kamu memilih untuk menaruh hati, maka kamu harus siap dengan kemungkinan patah hati.

•••

kita udahan ya?

Sudah tiga puluh menit Bintang terdiam menatapi sebaris pesan penuh kalimat luka. Di dalam kamar yang gulita, ia duduk sendirian. Air mata sudah mengalir sejak tadi, matanya menatap ponsel yang masih menyala menampilkan jendela pesan dengan yang terkasih.

Bintang tahu, pada akhirnya akan selalu seperti ini. Ia ditinggal sendirian. Ia tahu jika ia sudah menyimpan rasa dan jatuh pada seseorang, maka komitmen yang harus ia terima adalah ia harus siap jatuh bangun menghadapi rasa. Ia harus siap menemui luka. Cinta bukan sekedar manis yang ingin kau sesap selalu seperti madu. Dalam cinta dan realita, dan patah hati adalah satu bagian diantaranya.

Hubungan yang ia jalin dengan Langit sudah satu tahun lamanya. Hari telah demikian panjang untuk setiap waktu yang berlalu. Bahagia dan kecewa kadang terasa antara mereka berdua. Namun, satu kalimat yang Langit kirimkan padanya malam ini berhasil membuat malamnya menjadi kelam.

Bintang tahu, ia tak butuh apa-apa selain adanya Langit disampingnya selalu. Ia senang ketika Langit bisa lebih terbuka padanya, Bintang senang ketika Langit membagi luka dengannya. Ia tidak masalah, karena ia tahu bahwa setiap manusia pasti memiliki masalah dan lukanya masing-masing.

Namun, ketika kedua netranya melihat sendiri bagaimana Langit mengelus puncak kepala seorang gadis di sebuah mall dan memanggilnya dengan kalimat yang selalu ia dengar untuknya, dadanya bergemuruh. Seperti ada sebuah sengatan yang membuat dadanya meletup-letup dan panas. Membuat genangan air di matanya, seperti menantikan air mendidih dan siap dikucurkan pada teko yang sudah diisi oleh daun teh yang sudah mengering.

Dirinya berbalik begitu saja ketika Langit mencium pucuk kepala sang gadis, Seandra berteriak ketika Bintang berlari menjauh darinya. Ia mengedarkan pandangannya, mencari apa yang dilihat Bintang. Kedua tangannya mengepal ketika melihat apa yang di lihat Bintang, kedua kakinya berjalan agak tergesa dan ketika sampai. Seandra melayangkan sebuah tamparan paling keras yang belum ia berikan pada siapapun.

anjing, lo emang anjing! kak Bintang gak pantes dapetin lo. Lo harusnya bersyukur bisa dapetin dia, karena jauh diluar sana!” Seandra menahan nafasnya karena sesak, matanya sudah berkaca-kaca.

Dengan sekali tarikan nafas, Seandra berteriak. “BANYAK YANG MAU SAMA DIA ANJING!”

PLAK

“Dan lo, orang terbodoh yang pernah gue temuin.” Seandra berjalan begitu saja meninggalkan Langit yang tengah mematung serta si perempuan yang hanya bisa diam membisu.

Bintang tahu apa yang Seandra lakukan, karna ia bersembunyi pada salah satu tembok.

Mengingat itu Bintang meremas dadanya kuat, sudah sejak tadi ia tidak mengeluarkan suara. Ia tahu ini akan terjadi, namun ia tidak pernah menyangka jika Langitnya akan menggoreskan luka sedalam ini. Luka yang mungkin akan lama kering, luka yang diberi garam. Ini sangat menyakitkan.

“Langit, hiks...”

“Langit kenapa jahat?” tangisnya pecah tat kala melihat wallpaper handphone yang menampilkan potretnya dengan yang terkasih, tangisnya berubah menjadi raungan tat kala ia sadar bahwa Langitnya sudah tidak bersamanya.

Ini luka pertama yang ia dapat karena mencintai orang. Suara hujan yang turun tak dihiraukan oleh Bintang, ia semakin menjerit tat kala hujan turun. Ia keluarkan semua rasa sakit yang tiga puluh menit ia tahan tat kala suara dering ponsel yang menunjukan nama Kelana muncul.

“PERGIII, PERGIIII, hiks— bundaa, sakitt!” ia terus menepuk dadanya yang sakit. Ia hancur, Bintang Athala sudah kehilangan sinarnya.

“Langit, aku sayang kamu.”

Langit datang membawa sebuah perasaan baru untuk Bintang, ia memberi sebuah rasa yang sangat indah untuk Bintang. Ia membuat Bintang mengetahui bagaimana caranya bahagia, tapi Langit lupa bagaimana cara Bintang berbahagia saat dirinya tak ada.


© butterfly

Karna sejatinya cinta ada hanya untuk membawa kebahagiaan sesaat, dan luka pasti akan membekas pada waktu yang lama. Ketika kamu memilih untuk menaruh hati, maka kamu harus siap dengan kemungkinan patah hati.

•••

kita udahan ya?

Sudah tiga puluh menit Bintang terdiam menatapi sebaris pesan penuh kalimat luka. Di dalam kamar yang gulita, ia duduk sendirian. Air mata sudah mengalir sejak tadi, matanya menatap ponsel yang masih menyala menampilkan jendela pesan dengan yang terkasih.

Bintang tahu, pada akhirnya akan selalu seperti ini. Ia ditinggal sendirian. Ia tahu jika ia sudah menyimpan rasa dan jatuh pada seseorang, maka komitmen yang harus ia terima adalah ia harus siap jatuh bangun menghadapi rasa. Ia harus siap menemui luka. Cinta bukan sekedar manis yang ingin kau sesap selalu seperti madu. Dalam cinta dan realita, dan patah hati adalah satu bagian diantaranya.

Hubungan yang ia jalin dengan Langit sudah satu tahun lamanya. Hari telah demikian panjang untuk setiap waktu yang berlalu. Bahagia dan kecewa kadang terasa antara mereka berdua. Namun, satu kalimat yang Langit kirimkan padanya malam ini berhasil membuat malamnya menjadi kelam.

Bintang tahu, ia tak butuh apa-apa selain adanya Langit disampingnya selalu. Ia senang ketika Langit bisa lebih terbuka padanya, Bintang senang ketika Langit membagi luka dengannya. Ia tidak masalah, karena ia tahu bahwa setiap manusia pasti memiliki masalah dan lukanya masing-masing.

Namun, ketika kedua netranya melihat sendiri bagaimana Langit mengelus puncak kepala seorang gadis di sebuah mall dan memanggilnya dengan kalimat yang selalu ia dengar untuknya, dadanya bergemuruh. Seperti ada sebuah sengatan yang membuat dadanya meletup-letup dan panas. Membuat genangan air di matanya, seperti menantikan air mendidih dan siap dikucurkan pada teko yang sudah diisi oleh daun teh yang sudah mengering.

Dirinya berbalik begitu saja ketika Langit mencium pucuk kepala sang gadis, Seandra berteriak ketika Bintang berlari menjauh darinya. Ia mengedarkan pandangannya, mencari apa yang di lihat Bintang. Kedua tangannya mengepal ketika melihat apa yang dilihat Bintang, kedua kakinya berjalan agak tergesa dan ketika sampai. Seandra melayangkan sebuah tamparan paling keras yang belum ia berikan pada siapapun.

anjing, lo emang anjing! kak Bintang gak pantes dapetin lo. Lo harusnya bersyukur bisa dapetin dia, karena jauh diluar sana!” Seandra menahan nafasnya karena sesak, matanya sudah berkaca-kaca.

Dengan sekali tarikan nafas, Seandra berteriak. “BANYAK YANG MAU SAMA DIA ANJING!”

PLAK

“Dan lo, orang terbodoh yang pernah gue temuin.” Seandra berjalan begitu saja meninggalkan Langit yang tengah mematung serta si perempuan yang hanya bisa diam membisu.

Bintang tahu apa yang Seandra lakukan, karna ia bersembunyi pada salah satu tembok.

Mengingat itu Bintang meremas dadanya kuat, sudah sejak tadi ia tidak mengeluarkan suara. Ia tahu ini akan terjadi, namun ia tidak pernah menyangka jika Langitnya akan menggoreskan luka sedalam ini. Luka yang mungkin akan lama kering, luka yang diberi garam. Ini sangat menyakitkan.

“Langit, hiks...”

“Langit kenapa jahat?” tangisnya pecah tat kala melihat wallpaper handphone yang menampilkan potretnya dengan yang terkasih, tangisnya berubah menjadi raungan tat kala ia sadar bahwa Langitnya sudah tidak bersamanya.

Ini luka pertama yang ia dapat karena mencintai orang. Suara hujan yang turun tak dihiraukan oleh Bintang, ia semakin menjerit tat kala hujan turun. Ia keluarkan semua rasa sakit yang tiga puluh menit ia tahan tat kala suara dering ponsel yang menunjukan nama Kelana muncul.

“PERGIII, PERGIIII, hiks— bundaa, sakitt!” ia terus menepuk dadanya yang sakit. Ia hancur, Bintang Athala sudah kehilangan sinarnya.

“Langit, aku sayang kamu.”

Langit datang membawa sebuah perasaan baru untuk Bintang, ia memberi sebuah rasa yang sangat indah untuk Bintang. Ia membuat Bintang mengetahui bagaimana caranya bahagia, tapi Langit lupa bagaimana cara Bintang berbahagia saat dirinya tak ada.


© butterfly

Karna sejatinya cinta ada hanya untuk membawa kebahagiaan sesaat, dan luka pasti akan membekas pada waktu yang lama. Ketika kamu memilih untuk menaruh hati, maka kamu harus siap dengan kemungkinan patah hati.

•••

kita udahan ya?

Sudah tiga puluh menit Bintang terdiam menatapi sebaris pesan penuh kalimat luka. Di dalam kamar yang gulita, ia duduk sendirian. Air mata sudah mengalir sejak tadi, matanya menatap ponsel yang masih menyala menampilkan jendela pesan dengan yang terkasih.

Bintang tahu, pada akhirnya akan selalu seperti ini. Ia ditinggal sendirian. Ia tahu jika ia sudah menyimpan rasa dan jatuh pada seseorang, maka komitmen yang harus ia terima adalah ia harus siap jatuh bangun menghadapi rasa. Ia harus siap menemui luka. Cinta bukan sekedar manis yang ingin kau sesap selalu seperti madu. Dalam cinta dan realita, dan patah hati adalah satu bagian diantaranya.

Hubungan yang ia jalin dengan Langit sudah satu tahun lamanya. Hari telah demikian panjang untuk setiap waktu yang berlalu. Bahagia dan kecewa kadang terasa antara mereka berdua. Namun, satu kalimat yang Langit kirimkan padanya malam ini berhasil membuat malamnya menjadi kelam.

Bintang tahu, ia tak butuh apa-apa selain adanya Langit disampingnya selalu. Ia senang ketika Langit bisa membagi cerita padanya, hal apapun itu. Misalnya tentang bagaimana proses ulat menjadi kupu-kupu yang Bintang sudah ketahui sejak sekolah dasar tapi Bintang tidak masalah karena Langitnya sedang bahagia.

Namun, ketika kedua netranya melihat sendiri bagaimana Langit mengelus puncak kepala seorang gadis di sebuah mall dan memanggilnya dengan kalimat yang selalu ia dengar untuknya, dadanya bergemuruh. Seperti ada sebuah sengatan yang membuat dadanya meletup-letup dan panas. Membuat genangan air di matanya, seperti menantikan air mendidih dan siap dikucurkan pada teko yang sudah diisi oleh daun teh yang sudah mengering.

Dirinya berbalik begitu saja ketika Langit mencium pucuk kepala sang gadis, Seandra berteriak ketika Bintang berlari menjauh darinya. Ia mengedarkan pandangannya, mencari apa yang dilihat Bintang. Kedua tangannya mengepal ketika melihat apa yang dilihat Bintang, kedua kakinya berjalan agak tergesa dan ketika sampai. Seandra melayangkan sebuah tamparan paling keras yang belum ia berikan pada siapapun.

anjing, lo emang anjing! kak Bintang gak pantes dapetin lo. Lo harusnya bersyukur bisa dapetin dia, karena jauh diluar sana!” Seandra menahan nafasnya karena sesak, matanya sudah berkaca-kaca.

Dengan sekali tarikan nafas, Seandra berteriak. “BANYAK YANG MAU SAMA DIA ANJING!”

PLAK

“Dan lo, orang terbodoh yang pernah gue temuin.” Seandra berjalan begitu saja meninggalkan Langit yang tengah mematung serta si perempuan yang hanya bisa diam membisu.

Bintang tahu apa yang Seandra lakukan, karna ia bersembunyi pada salah satu tembok.

Mengingat itu Bintang meremas dadanya kuat, sudah sejak tadi ia tidak mengeluarkan suara. Ia tahu ini akan terjadi, namun ia tidak pernah menyangka jika Langitnya akan menggoreskan luka sedalam ini. Luka yang mungkin akan lama kering, luka yang diberi garam. Ini sangat menyakitkan.

“Langit, hiks...”

“Langit kenapa jahat?” tangisnya pecah tat kala melihat wallpaper handphone yang menampilkan potretnya dengan yang terkasih, tangisnya berubah menjadi raungan tat kala ia sadar bahwa Langitnya sudah tidak bersamanya.

Ini luka pertama yang ia dapat karena mencintai orang. Suara hujan yang turun tak dihiraukan oleh Bintang, ia semakin menjerit tat kala hujan turun. Ia keluarkan semua rasa sakit yang tiga puluh menit ia tahan tat kala suara dering ponsel yang menunjukan nama Kelana muncul.

“PERGIII, PERGIIII, hiks— bundaa, sakitt!” ia terus menepuk dadanya yang sakit. Ia hancur, Bintang Athala sudah kehilangan sinarnya.

“Langit, aku sayang kamu.”

Langit datang membawa sebuah perasaan baru untuk Bintang, ia memberi sebuah rasa yang sangat indah untuk Bintang. Ia membuat Bintang mengetahui bagaimana caranya bahagia, tapi Langit lupa bagaimana cara Bintang berbahagia saat dirinya tak ada.


© butterfly

Sagara & Semesta.

cw// ada adegan kissing, 18+ nya dikittt. Tolong yang umurnya masih dibawah, jangan baca.

•••••

“Sayang, kamu keliatan capek banget. Mau gantian aja sama aku gendong adeknya?” Sagara bertanya sambil memperhatikan Semesta yang menggendong anak mereka.

Sebulan yang lalu Semesta terus saja merengek ingin memiliki anak setelah dia melihat serial tv yang menayangkan acara bayi-bayi menggemaskan. Sagara yang baru saja pulang kerja tidak langsung menjawab keinginan Semesta karena dirinya harus memikirkan beberapa alasan.

Besoknya Sagara menolak karena alasan yang logis. Pertama, mereka berdua setiap hari hampir tidak pulang ke rumah dan Sagara takut nanti jika ia mengadopsi bayi, Semesta tidak bisa mengurusnya. Kedua, Sagara takut jika Semesta tidak bisa membagi waktu antara mengurus bayi dan bekerja dan malah Semesta yang kelelahan, dan alasan yang ketiga membuat Semesta merajuk hampir 1 minggu.

“Sayang, masa bayi ngurus bayi sih?”

“Aku bukan bayi Sagara!”

Setelah kejadian itu, akhirnya Sagara yang mengalah dan mengiyakan keinginan Semesta untuk mengadopsi anak. Lagi pula wajar saja jika Semesta ingin memiliki anak, karena usia pernikahan mereka yang sudah berjalan 3 tahun lamanya dan Sagara yang jarang pulang ke rumah membuat Semesta kesepian.

“Gapapa, aku masih kuat kok.” balas Semesta sambil tersenyum tipis ke arah suaminya.

Langit sudah semakin gelap dan mereka masih berjalan pulang dari supermarket depan. Jaraknya tidak terlalu jauh, namun karena tadi baby chio merengek ingin melihat kumpulan kelinci yang bermain di taman komplek, terpaksa Semesta dan Sagara menuruti.

Namanya Sachio Alcolando tapi sering kali dipanggil Chio oleh keluarga Semesta maupun Sagara.

Sachio yang artinya bayi yang terlahir penuh dengan keberuntungan atau arti lainnya menguntungkan. Semesta tidak asal memberi nama, ia memikirkan apa nama yang cocok untuk anaknya membuatnya tidak tidur semalaman. Jika, kalian bertanya apa arti Alcolando, maka Semesta akan menjawab nama itu ia ambil dari marga sang suami.

Chio, bayi kecil dengan pipi bulat seperti bakpau terus saja berceloteh disepanjang jalan. Membuat Sagara dan Semesta terkekeh pelan dan tidak sadar bahwa mereka sudah sampai di rumah mereka. Rumah mewah dengan air mancur di area masuk, serta fasilitas yang sangat mewah dan keamanan yang sangat ketat. Rumah yang didirikan dan di desain sendiri oleh Sagara.

Setelah menikah, Sagara dan Semesta memutuskan untuk tinggal disebuah rumah megah dikawasan komplek elite. Sagara memilih tinggal disini tentu ada alasannya, tapi biarlah alasannya hanya ia dan Semesta yang tahu.


“Sayang tolong ambilin handuk aku dong, lupa nih!” teriak Sagara pada Semesta yang tengah sibuk mengurus dede Chio sehabis mandi.

“Aduh aku lagi ribet sama Chio ih Saga, pake handuk aku aja dulu!” balas Semesta sedikit kencang.

Sagara yang gagal melancarkan rencananya hanya mendengus sebal, sudah hampir seminggu ia tidak mendapat jatah. Pantas saja seharian ini di kantor ia hanya cemberut dan menyemprot siapa saja yang mengganggunya.

“Padahal gue kangen ndusel-dusel!” gumamnya sambil berjalan mendekat ke arah Semesta yang tengah memakaikan baju tidur pada Chio.

Sagara mencium pipi Semesta dan Sachio secara bergantian, lalu memeluk pinggang Semesta dari samping. Memperhatikan suami manisnya yang masih anteng dengan kegiatannya.

“Adek papanya ayah pinjem dulu ya? satu malem aja. Ayah gak dapet jatah, soalnya ada adek.”

Hush! anak sendiri juga.” Semesta memukul tangan Sagara yang melilit dipinggangnya. Karena tidak terima dengan perlakuan Semesta yang seperti pilih kasih padanya, Sagara menciumi leher Semesta yang membuat Semesta memekik terkejut.

“Ih Saga jangan sekarang, Chio belum makan. Nanti ya?” bujuk Semesta pada Sagara yang cemberut.

“Kemarin-kemarin juga bilangnya gitu.”

Semesta yang gemas pada suaminya hanya terkekeh kecil lalu mencium bibir Sagara secara singkat, tidak ingin kebablasan. “Sekarang janji, gak kaya kemarin-kemarin kok sayang.”

Maka disinilah mereka. Setelah menidurkan dede Chio di keranjang bayi, Sagara tanpa membuang waktu langsung menarik Semesta dan mengukungnya di atas kasur.

Semesta hanya terkekeh ketika melihat wajah tidak sabaran milik suaminya itu. Sebenarnya dirinya merasa bersalah karena tidak melakukan kewajibannya untuk melayani sang suami ketika ingin. Tapi, apa boleh buat jika anaknya juga terus saja merengek tak ingin ditinggal olehnya.

“Aku kangen!” bisik Sagara pada telinga Semesta.

Semesta tidak menjawab, ia hanya menikmati setiap afeksi yang diberikan oleh suaminya, malam ini ia akan menuruti apa keinginan suaminya. Ia juga tidak tega karena dirinya, Sagara terus saja bermain sendiri di kamar mandi sambil menyerukan namanya.

Sagara mencium pipi, hidung, mata dan bibir Semesta. Membuat kecupan-kecupan kecil pada leher yang membuat Semesta mendesis tak tahan.

“Sa-saga jangan ih geli!” rengek Semesta karena Sagara yang terus menciumi kedua nipple pink miliknya. Entah sejak kapan keduanya tidak memakai atasan, mungkin tanpa Semesta sadari suaminya itu semakin pintar membuatnya mabuk kepayang.

Sagara mencium kening Semesta cukup lama, menyalurkan hasrat dan rindu secara bersamaan. Kepalanya turun ke bawah, mengecup dan melumat bibir cherry milik Semesta yang sejak tadi menganggur. Tangannya tak tinggal diam, ia meremas bokong Semesta beberapa kali, lalu naik ke arah dada. Semesta memekik tertahan ketika Sagara memelintir putingnya.

Nghhh— saga...” lenguhan Semesta keluar begitu saja dan membuat libido Sagara kembali naik. Ia Membuat beberapa tanda pada leher Semesta, lalu berpindah pada bibir. Sagara melumatnya dengan lembut takut jika suaminya itu kesakitan.

Bunyi kecipak adu bibir itu berlangsung agak lama, hingga Semesta menepuk-nepuk pundak Sagara beberapa kali karena kehabisan nafas.

“Gila, kamu mau aku mati muda karena kurang oksigen?” protes Semesta pada Sagara yang malah menampilkan cengiran tak bersalahnya.

“Abisnya bibir kamu manis, kaya strawberry.”

“Ih apasih, yaudah lanjutin.” ucap Semesta karena salah tingkah.

“Kangen aku ya?”

“Ih Saga cepetan!”

Maka Sagara menundukan kepalanya lagi, mencium setiap inci wajah dan tubuh Semesta yang membuatnya candu. Aroma vanilla menguar ketika ia menghidup kuat perpotongan leher Semesta. Ketika Sagara akan membuka celana Semesta suara tangisan Sachio mengalihkan fokus Semesta pada kegiatan panasnya. Maka dengan sigap ia menggeser tubuh Sagara dan berlari kecil ke arah keranjang milik Sachio yang berada tak jauh dari ranjang mereka.

“Ayanggg tanggung atuhh!” rengek Sagara kesal, ia sudah tegang dan itu membuatnya amat tersiksa.

Semesta yang menggendong Sachio hanya meringis dengan wajah bersalahnya.

“Bentar ya sayang, Sachio mau nenen dulu.”

“Aku juga mau ayanggg!” rengek Sagara sambil menggulung dirinya yang tidak memakai baju pada selimut tebal, ingin berteriak.

“Iya bentar ih, atau gak usah sama sekali!” ancam Semesta yang langsung membuat Sagara diam tak berkutik.

Sagara terus memperhatikan Semesta yang menyusui Sachio, ia terus meneguk ludahnya kasar yang membuat Semesta terkekeh.

“Adek jangan ganggu dulu dong, ayah juga mau dapet jatah.” ucap Sagara dengan wajah memelas, Semesta yang tidak tega hanya mengucapkan maaf.

Setelah dirasa Chio sudah terlelap kembali, barulah Semesta menghampiri Sagara yang sudah dialam mimpi. Dengan senyuman yang menahan gemas, Semesta menepuk pelan pipi Sagara sambil berbisik.

“Ayah mau jatah enggak?” Sagara langsung membuka matanya lebar dan menarik Semesta ke arahnya. Mengukung dan langsung menciumi leher suami manisnya.

“Aduh maaf ya gara-gara adek kamu jadi kesakitan.” ucap Semesta disela cumbuan Sagara yang membuatnya mabuk kepayang.

“Aduh aku udah gak tahan, langsung aja ya sayang?”

“Pelan-pelan tapi...”

“Iya..”

Maka malam ini sudah dipastikan akan menjadi malam yang panjang bagi kedua pasangan ini. Semesta tidak menyangka bahwa tetangga yang dulunya selalu ia maki akan menjadi suaminya, maka ia berharap bahwa keluarganya akan terus hidup bahagia dan semoga keluarga kecilnya diberikan kesehatan.

end.

Sagara & Semesta.

cw// ada adegan kissing

•••••

“Sayang, kamu keliatan capek banget. Mau gantian aja sama aku gendong adeknya?” Sagara bertanya sambil memperhatikan Semesta yang menggendong anak mereka.

Sebulan yang lalu Semesta terus saja merengek ingin memiliki anak setelah dia melihat serial tv yang menayangkan acara bayi-bayi menggemaskan. Sagara yang baru saja pulang kerja tidak langsung menjawab keinginan Semesta karena dirinya harus memikirkan beberapa alasan.

Besoknya Sagara menolak karena alasan yang logis. Pertama, mereka berdua setiap hari hampir tidak pulang ke rumah dan Sagara takut nanti jika ia mengadopsi bayi, Semesta tidak bisa mengurusnya. Kedua, Sagara takut jika Semesta tidak bisa membagi waktu antara mengurus bayi dan bekerja dan malah Semesta yang kelelahan, dan alasan yang ketiga membuat Semesta merajuk hampir 1 minggu.

“Sayang, masa bayi ngurus bayi sih?”

“Aku bukan bayi Sagara!”

Setelah kejadian itu, akhirnya Sagara yang mengalah dan mengiyakan keinginan Semesta untuk mengadopsi anak. Lagi pula wajar saja jika Semesta ingin memiliki anak, karena usia pernikahan mereka yang sudah berjalan 3 tahun lamanya dan Sagara yang jarang pulang ke rumah membuat Semesta kesepian.

“Gapapa, aku masih kuat kok.” balas Semesta sambil tersenyum tipis ke arah suaminya.

Langit sudah semakin gelap dan mereka masih berjalan pulang dari supermarket depan. Jaraknya tidak terlalu jauh, namun karena tadi baby chio merengek ingin melihat kumpulan kelinci yang bermain di taman komplek, terpaksa Semesta dan Sagara menuruti.

Namanya Sachio Alcolando tapi sering kali dipanggil Chio oleh keluarga Semesta maupun Sagara.

Sachio yang artinya bayi yang terlahir penuh dengan keberuntungan atau arti lainnya menguntungkan. Semesta tidak asal memberi nama, ia memikirkan apa nama yang cocok untuk anaknya membuatnya tidak tidur semalaman. Jika, kalian bertanya apa arti Alcolando, maka Semesta akan menjawab nama itu ia ambil dari marga sang suami.

Chio, bayi kecil dengan pipi bulat seperti bakpau terus saja berceloteh disepanjang jalan. Membuat Sagara dan Semesta terkekeh pelan dan tidak sadar bahwa mereka sudah sampai di rumah mereka. Rumah mewah dengan air mancur di area masuk, serta fasilitas yang sangat mewah dan keamanan yang sangat ketat. Rumah yang didirikan dan di desain sendiri oleh Sagara.

Setelah menikah, Sagara dan Semesta memutuskan untuk tinggal disebuah rumah megah dikawasan komplek elite. Sagara memilih tinggal disini tentu ada alasannya, tapi biarlah alasannya hanya ia dan Semesta yang tahu.


“Sayang tolong ambilin handuk aku dong, lupa nih!” teriak Sagara pada Semesta yang tengah sibuk mengurus dede Chio sehabis mandi.

“Aduh aku lagi ribet sama Chio ih Saga, pake handuk aku aja dulu!” balas Semesta sedikit kencang.

Sagara yang gagal melancarkan rencananya hanya mendengus sebal, sudah hampir seminggu ia tidak mendapat jatah. Pantas saja seharian ini di kantor ia hanya cemberut dan menyemprot siapa saja yang mengganggunya.

“Padahal gue kangen ndusel-dusel!” gumamnya sambil berjalan mendekat ke arah Semesta yang tengah memakaikan baju tidur pada Chio.

Sagara mencium pipi Semesta dan Sachio secara bergantian, lalu memeluk pinggang Semesta dari samping. Memperhatikan suami manisnya yang masih anteng dengan kegiatannya.

“Adek papanya ayah pinjem dulu ya? satu malem aja. Ayah gak dapet jatah, soalnya ada adek.”

Hush! anak sendiri juga.” Semesta memukul tangan Sagara yang melilit dipinggangnya. Karena tidak terima dengan perlakuan Semesta yang seperti pilih kasih padanya, Sagara menciumi leher Semesta yang membuat Semesta memekik terkejut.

“Ih Saga jangan sekarang, Chio belum makan. Nanti ya?” bujuk Semesta pada Sagara yang cemberut.

“Kemarin-kemarin juga bilangnya gitu.”

Semesta yang gemas pada suaminya hanya terkekeh kecil lalu mencium bibir Sagara secara singkat, tidak ingin kebablasan. “Sekarang janji, gak kaya kemarin-kemarin kok sayang.”

Maka disinilah mereka. Setelah menidurkan dede Chio di keranjang bayi, Sagara tanpa membuang waktu langsung menarik Semesta dan mengukungnya di atas kasur.

Semesta hanya terkekeh ketika melihat wajah tidak sabaran milik suaminya itu. Sebenarnya dirinya merasa bersalah karena tidak melakukan kewajibannya untuk melayani sang suami ketika ingin. Tapi, apa boleh buat jika anaknya juga terus saja merengek tak ingin ditinggal olehnya.

“Aku kangen!” bisik Sagara pada telinga Semesta.

Semesta tidak menjawab, ia hanya menikmati setiap afeksi yang diberikan oleh suaminya, malam ini ia akan menuruti apa keinginan suaminya. Ia juga tidak tega karena dirinya, Sagara terus saja bermain sendiri di kamar mandi sambil menyerukan namanya.

Sagara mencium pipi, hidung, mata dan bibir Semesta. Membuat kecupan-kecupan kecil pada leher yang membuat Semesta mendesis tak tahan.

“Sa-saga jangan ih geli!” rengek Semesta karena Sagara yang terus menciumi kedua nipple pink miliknya. Entah sejak kapan keduanya tidak memakai atasan, mungkin tanpa Semesta sadari suaminya itu semakin pintar membuatnya mabuk kepayang.

Sagara mencium kening Semesta cukup lama, menyalurkan hasrat dan rindu secara bersamaan. Kepalanya turun ke bawah, mengecup dan melumat bibir cherry milik Semesta yang sejak tadi menganggur. Tangannya tak tinggal diam, ia meremas bokong Semesta beberapa kali, lalu naik ke arah dada. Semesta memekik tertahan ketika Sagara memelintir putingnya.

Nghhh— saga...” lenguhan Semesta keluar begitu saja dan membuat libido Sagara kembali naik. Ia Membuat beberapa tanda pada leher Semesta, lalu berpindah pada bibir. Sagara melumatnya dengan lembut takut jika suaminya itu kesakitan.

Bunyi kecipak adu bibir itu berlangsung agak lama, hingga Semesta menepuk-nepuk pundak Sagara beberapa kali karena kehabisan nafas.

“Gila, kamu mau aku mati muda karena kurang oksigen?” protes Semesta pada Sagara yang malah menampilkan cengiran tak bersalahnya.

“Abisnya bibir kamu manis, kaya strawberry.”

“Ih apasih, yaudah lanjutin.” ucap Semesta karena salah tingkah.

“Kangen aku ya?”

“Ih Saga cepetan!”

Maka Sagara menundukan kepalanya lagi, mencium setiap inci wajah dan tubuh Semesta yang membuatnya candu. Aroma vanilla menguar ketika ia menghidup kuat perpotongan leher Semesta. Ketika Sagara akan membuka celana Semesta suara tangisan Sachio mengalihkan fokus Semesta pada kegiatan panasnya. Maka dengan sigap ia menggeser tubuh Sagara dan berlari kecil ke arah keranjang milik Sachio yang berada tak jauh dari ranjang mereka.

“Ayanggg tanggung atuhh!” rengek Sagara kesal, ia sudah tegang dan itu membuatnya amat tersiksa.

Semesta yang menggendong Sachio hanya meringis dengan wajah bersalahnya.

“Bentar ya sayang, Sachio mau nenen dulu.”

“Aku juga mau ayanggg!” rengek Sagara sambil menggulung dirinya yang tidak memakai baju pada selimut tebal, ingin berteriak.

“Iya bentar ih, atau gak usah sama sekali!” ancam Semesta yang langsung membuat Sagara diam tak berkutik.

Sagara terus memperhatikan Semesta yang menyusui Sachio, ia terus meneguk ludahnya kasar yang membuat Semesta terkekeh.

“Adek jangan ganggu dulu dong, ayah juga mau dapet jatah.” ucap Sagara dengan wajah memelas, Semesta yang tidak tega hanya mengucapkan maaf.

Setelah dirasa Chio sudah terlelap kembali, barulah Semesta menghampiri Sagara yang sudah dialam mimpi. Dengan senyuman yang menahan gemas, Semesta menepuk pelan pipi Sagara sambil berbisik.

“Ayah mau jatah enggak?” Sagara langsung membuka matanya lebar dan menarik Semesta ke arahnya. Mengukung dan langsung menciumi leher suami manisnya.

“Aduh maaf ya gara-gara adek kamu jadi kesakitan.” ucap Semesta disela cumbuan Sagara yang membuatnya mabuk kepayang.

“Aduh aku udah gak tahan, langsung aja ya sayang?”

“Pelan-pelan tapi...”

“Iya..”

Maka malam ini sudah dipastikan akan menjadi malam yang panjang bagi kedua pasangan ini. Semesta tidak menyangka bahwa tetangga yang dulunya selalu ia maki akan menjadi suaminya, maka ia berharap bahwa keluarganya akan terus hidup bahagia dan semoga keluarga kecilnya diberikan kesehatan.

—end.

Sagara & Semesta.

cw// ada adegan kissing

•••••

“Sayang, kamu keliatan capek banget. Mau gantian aja sama aku gendong adeknya?” Sagara bertanya sambil memperhatikan Semesta yang menggendong anak mereka.

Sebulan yang lalu Semesta terus saja merengek ingin memiliki anak setelah dia melihat serial tv yang menayangkan acara bayi-bayi menggemaskan. Sagara yang baru saja pulang kerja tidak langsung menjawab keinginan Semesta karena dirinya harus memikirkan beberapa alasan.

Besoknya Sagara menolak karena alasan yang logis. Pertama, mereka berdua setiap hari hampir tidak pulang ke rumah dan Sagara takut nanti jika ia mengadopsi bayi, Semesta tidak bisa mengurusnya. Kedua, Sagara takut jika Semesta tidak bisa membagi waktu antara mengurus bayi dan bekerja dan malah Semesta yang kelelahan, dan alasan yang ketiga membuat Semesta merajuk hampir 1 minggu.

“Sayang, masa bayi ngurus bayi sih?”

“Aku bukan bayi Sagara!”

Setelah kejadian itu, akhirnya Sagara yang mengalah dan mengiyakan keinginan Semesta untuk mengadopsi anak. Lagi pula wajar saja jika Semesta ingin memiliki anak, karena usia pernikahan mereka yang sudah berjalan 3 tahun lamanya dan Sagara yang jarang pulang ke rumah membuat Semesta kesepian.

“Gapapa, aku masih kuat kok.” balas Semesta sambil tersenyum tipis ke arah suaminya.

Langit sudah semakin gelap dan mereka masih berjalan pulang dari supermarket depan. Jaraknya tidak terlalu jauh, namun karena tadi baby chio merengek ingin melihat kumpulan kelinci yang bermain di taman komplek, terpaksa Semesta dan Sagara menuruti.

Namanya Sachio Alcolando tapi sering kali dipanggil Chio oleh keluarga Semesta maupun Sagara.

Sachio yang artinya bayi yang terlahir penuh dengan keberuntungan atau arti lainnya menguntungkan. Semesta tidak asal memberi nama, ia memikirkan apa nama yang cocok untuk anaknya membuatnya tidak tidur semalaman. Jika, kalian bertanya apa arti Alcolando, maka Semesta akan menjawab nama itu ia ambil dari marga sang suami.

Chio, bayi kecil dengan pipi bulat seperti bakpau terus saja berceloteh disepanjang jalan. Membuat Sagara dan Semesta terkekeh pelan dan tidak sadar bahwa mereka sudah sampai di rumah mereka. Rumah mewah dengan air mancur di area masuk, serta fasilitas yang sangat mewah dan keamanan yang sangat ketat. Rumah yang didirikan dan di desain sendiri oleh Sagara.

Setelah menikah, Sagara dan Semesta memutuskan untuk tinggal disebuah rumah megah dikawasan komplek elite. Sagara memilih tinggal disini tentu ada alasannya, tapi biarlah alasannya hanya ia dan Semesta yang tahu.


“Sayang tolong ambilin handuk aku dong, lupa nih!” teriak Sagara pada Semesta yang tengah sibuk mengurus dede Chio sehabis mandi.

“Aduh aku lagi ribet sama Chio ih Saga, pake handuk aku aja dulu!” balas Semesta sedikit kencang.

Sagara yang gagal melancarkan rencananya hanya mendengus sebal, sudah hampir seminggu ia tidak mendapat jatah. Pantas saja seharian ini di kantor ia hanya cemberut dan menyemprot siapa saja yang mengganggunya.

“Padahal gue kangen ndusel-dusel!” gumamnya sambil berjalan mendekat ke arah Semesta yang tengah memakaikan baju tidur pada Chio.

Sagara mencium pipi Semesta dan Sachio secara bergantian, lalu memeluk pinggang Semesta dari samping. Memperhatikan suami manisnya yang masih anteng dengan kegiatannya.

“Adek papanya ayah pinjem dulu ya? satu malem aja. Ayah gak dapet jatah, soalnya ada adek.”

Hush! anak sendiri juga.” Semesta memukul tangan Sagara yang melilit dipinggangnya. Karena tidak terima dengan perlakuan Semesta yang seperti pilih kasih padanya, Sagara menciumi leher Semesta yang membuat Semesta memekik terkejut.

“Ih Saga jangan sekarang, Chio belum makan. Nanti ya?” bujuk Semesta pada Sagara yang cemberut.

“Kemarin-kemarin juga bilangnya gitu.”

Semesta yang gemas pada suaminya hanya terkekeh kecil lalu mencium bibir Sagara secara singkat, tidak ingin kebablasan. “Sekarang janji, gak kaya kemarin-kemarin kok sayang.”

Maka disinilah mereka. Setelah menidurkan dede Chio di keranjang bayi, Sagara tanpa membuang waktu langsung menarik Semesta dan mengukungnya di atas kasur.

Semesta hanya terkekeh ketika melihat wajah tidak sabaran milik suaminya itu. Sebenarnya Semesta merasa bersalah karena tidak melakukan kewajibannya melayani sang suami ketika ingin. Tapi, apa boleh buat jika anaknya juga terus saja merengek tak ingin ditinggal.

“Aku kangen!” bisik Sagara pada telinga Semesta.

Semesta tidak menjawab, ia hanya akan menuruti apa keinginan suaminya. Ia juga tidak tega karenanya Sagara terus saja bermain sendiri di kamar mandi sambil menyerukan namanya, namun apa boleh buat.

Sagara mencium pipi, hidung, mata dan bibir Semesta. Membuat kecupan-kecupan kecil pada leher yang membuat Semesta mendesis tak tahan.

“Sa-saga jangan ih geli!” rengek Semesta karena Sagara yang terus menciumi kedua niple pink miliknya. Entah sejak kapan keduanya tidak memakai atasan, mungkin tanpa Semesta sadari suaminya itu semakin pintar membuatnya mabuk kepayang.

Sagara mencium kening Semesta cukup lama, menyalurkan hasrat dan rindu secara bersamaan. Kepalanya turun ke bawah, mengecup dan melumat bibir cherry milik Semesta yang sejak tadi menganggur. Tangannya tak tinggal diam, ia meremas bokong Semesta beberapa kali, lalu naik ke arah dada. Semesta memekik tertahan ketika Sagara melumat putingnya.

Nghhh— saga...” lengukan Semesta keluar begitu saja. Membuat ciuman pada putingnya berpindah pada bibir lagi, Sagara melumatnya dengan lembut takut jika suaminya itu kesakitan.

Bunyi kecipak adu bibir itu berlangsung agak lama, hingga Semesta menepuk-nepuk pundak Sagara beberapa kali karena kehabisan nafas.

“Gila, kamu mau aku mati muda karena kurang oksigen?” protes Semesta pada Sagara yang malah menampilkan cengiran tak bersalahnya.

“Abisnya bibir kamu manis, kaya strawberry.”

“Ih apasih, yaudah lanjutin.” ucap Semesta karena salah tingkah.

“Kangen aku ya?”

“Ih Saga cepetan!”

Maka Sagara menundukan kepalanya lagi, mencium setiap inci wajah dan tubuh Semesta yang membuatnya candu. Aroma vanilla menguar ketika ia menghidup perpotongan leher Semesta, ketika Sagara akan membuka celana Semesta, suara tangisan Sachio mengalihkan fokus Semesta pada kegiatan panasnya. Maka dengan sigap ia menggeser tubuh Sagara dan berlari kecil ke arah keranjang milik Sachio.

“Ayanggg tanggung atuhh!” rengek Sagara kesal, ia sudah tegang dan itu membuatnya amat tersiksa.

Semesta yang menggendong Sachio hanya meringis dengan wajah bersalahnya.

“Bentar ya sayang, Sachio mau nenen dulu.”

“Aku juga mau ayanggg!” rengek Sagara sambil menggulung dirinya yang tidak memakai baju pada selimut tebal, ingin berteriak.

“Iya bentar ih, atau gak usah sama sekali!” ancam Semesta yang langsung membuat Sagara diam tak berkutik.

Sagara terus memperhatikan Semesta yang menyusui Sachio, ia terus meneguk ludahnya kasar yang membuat Semesta terkekeh. Setelah dirasa Chio sudah terlelap kembali, barulah Semesta menghampiri Sagara yang sudah dialam mimpi.

Dengan senyuman yang menahan gemas, Semesta menepuk pelan pipi Sagara sambil berbisik. “Ayah mau jatah enggak?”

Sagara langsung membuka matanya lebar dan menarik Semesta ke arahnya. Mengukung dan langsung menciumi leher suami manisnya.

“Aduh aku udah gak tahan, langsung aja ya sayang?”

“Pelan-pelan tapi...”

“Iya..”

Maka malam ini sudah dipastikan akan menjadi malam yang panjang bagi kedua pasangan ini. Semesta tidak menyangka bahwa tetangga yang dulunya selalu ia maki akan menjadi suaminya, maka ia berharap bahwa keluarganya akan terus hidup bahagia dan semoga keluarga kecilnya diberikan kesehatan.

—end.

Sagara & Semesta.

cw// ada adegan kissing

•••••

“Sayang, kamu keliatan capek banget. Mau gantian aja sama aku gendong adeknya?” Sagara bertanya sambil memperhatikan Semesta yang menggendong anak mereka.

Sebulan yang lalu Semesta terus saja merengek ingin memiliki anak setelah dia melihat serial tv yang menayangkan acara bayi-bayi menggemaskan. Sagara yang baru saja pulang kerja tidak langsung menjawab keinginan Semesta karena dirinya harus memikirkan beberapa alasan.

Besoknya Sagara menolak karena alasan yang logis. Pertama, mereka berdua setiap hari hampir tidak pulang ke rumah dan Sagara takut nanti jika ia mengadopsi bayi, Semesta tidak bisa mengurusnya. Kedua, Sagara takut jika Semesta tidak bisa membagi waktu antara mengurus bayi dan bekerja dan malah Semesta yang kelelahan, dan alasan yang ketiga membuat Semesta merajuk hampir 1 minggu.

“Sayang, masa bayi ngurus bayi sih?”

“Aku bukan bayi Sagara!”

Setelah kejadian itu, akhirnya Sagara yang mengalah dan mengiyakan keinginan Semesta untuk mengadopsi anak. Lagi pula wajar saja jika Semesta ingin memiliki anak, karena usia pernikahan mereka yang sudah berjalan 3 tahun lamanya dan Sagara yang jarang pulang ke rumah membuat Semesta kesepian.

“Gapapa, aku masih kuat kok.” balas Semesta sambil tersenyum tipis ke arah suaminya.

Langit sudah semakin gelap dan mereka masih berjalan pulang dari supermarket depan. Jaraknya tidak terlalu jauh, namun karena tadi baby chio merengek ingin melihat kumpulan kelinci yang bermain di taman komplek, terpaksa Semesta dan Sagara menuruti.

Namanya Sachio Alcolando tapi sering kali dipanggil Chio oleh keluarga Semesta maupun Sagara.

Sachio yang artinya bayi yang terlahir penuh dengan keberuntungan atau arti lainnya menguntungkan. Semesta tidak asal memberi nama, ia memikirkan apa nama yang cocok untuk anaknya membuatnya tidak tidur semalaman. Jika, kalian bertanya apa arti Alcolando, maka Semesta akan menjawab nama itu ia ambil dari marga sang suami.

Chio, bayi kecil dengan pipi bulat seperti bakpau terus saja berceloteh disepanjang jalan. Membuat Sagara dan Semesta terkekeh pelan dan tidak sadar bahwa mereka sudah sampai di rumah mereka. Rumah mewah dengan air mancur di area masuk, serta fasilitas yang sangat mewah dan keamanan yang sangat ketat. Rumah yang didirikan dan di desain sendiri oleh Sagara.

Setelah menikah, Sagara dan Semesta memutuskan untuk tinggal disebuah rumah megah dikawasan komplek elite. Sagara memilih tinggal disini tentu ada alasannya, tapi biarlah alasannya hanya ia dan Semesta yang tahu.


“Sayang tolong ambilin handuk aku dong, lupa nih!” teriak Sagara pada Semesta yang tengah sibuk mengurus dede Chio sehabis mandi.

“Aduh aku lagi ribet sama Chio ih Saga, pake handuk aku aja dulu!” balas Semesta sedikit kencang.

Sagara yang gagal melancarkan rencananya hanya mendengus sebal, sudah hampir seminggu ia tidak mendapat jatah. Pantas saja seharian ini di kantor ia hanya cemberut dan menyemprot siapa saja yang mengganggunya.

“Padahal gue kangen ndusel-dusel!” gumamnya sambil berjalan mendekat ke arah Semesta yang tengah memakaikan baju tidur pada Chio.

Sagara mencium pipi Semesta dan Sachio secara bergantian, lalu memeluk pinggang Semesta dari samping. Memperhatikan suami manisnya yang masih anteng dengan kegiatannya.

“Adek papanya ayah pinjem dulu ya? satu malem aja. Ayah gak dapet jatah, soalnya ada adek.”

Hush! anak sendiri juga.” Semesta memukul tangan Sagara yang melilit dipinggangnya. Karena tidak terima dengan perlakuan Semesta yang seperti pilih kasih padanya, Sagara menciumi leher Semesta yang membuat Semesta memekik terkejut.

“Ih Saga jangan sekarang, Chio belum makan. Nanti ya?” bujuk Semesta pada Sagara yang merajuk.

Semesta yang gemas pada suaminya hanya terkekeh kecil lalu mencium bibir Sagara kilat, tidak ingin kebablasan. “Sekarang janji, gak kaya kemarin-kemarin kok sayang.”

Maka disinilah mereka. Setelah menidurkan dede Chio di keranjang bayi, Sagara tanpa membuang waktu langsung menarik Semesta dan mengukungnya di atas kasur.

Semesta hanya terkekeh ketika melihat wajah tidak sabaran milik suaminya itu. Sebenarnya Semesta merasa bersalah karena tidak melakukan kewajibannya melayani sang suami ketika ingin. Tapi, apa boleh buat jika anaknya juga terus saja merengek tak ingin ditinggal.

“Aku kangen!” bisik Sagara pada telinga Semesta.

Semesta tidak menjawab, ia hanya akan menuruti apa keinginan suaminya. Ia juga tidak tega karenanya Sagara terus saja bermain sendiri di kamar mandi sambil menyerukan namanya, namun apa boleh buat.

Sagara mencium pipi, hidung, mata dan bibir Semesta. Membuat kecupan-kecupan kecil pada leher yang membuat Semesta mendesis tak tahan.

“Sa-saga jangan ih geli!” rengek Semesta karena Sagara yang terus menciumi kedua niple pink miliknya. Entah sejak kapan keduanya tidak memakai atasan, mungkin tanpa Semesta sadari suaminya itu semakin pintar membuatnya mabuk kepayang.

Sagara mencium kening Semesta cukup lama, menyalurkan hasrat dan rindu secara bersamaan. Kepalanya turun ke bawah, mengecup dan melumat bibir cherry milik Semesta yang sejak tadi menganggur. Tangannya tak tinggal diam, ia meremas bokong Semesta beberapa kali, lalu naik ke arah dada. Semesta memekik tertahan ketika Sagara melumat putingnya.

Nghhh— saga...” lengukan Semesta keluar begitu saja. Membuat ciuman pada putingnya berpindah pada bibir lagi, Sagara melumatnya dengan lembut takut jika suaminya itu kesakitan.

Bunyi kecipak adu bibir itu berlangsung agak lama, hingga Semesta menepuk-nepuk pundak Sagara beberapa kali karena kehabisan nafas.

“Gila, kamu mau aku mati muda karena kurang oksigen?” protes Semesta pada Sagara yang malah menampilkan cengiran tak bersalahnya.

“Abisnya bibir kamu manis, kaya strawberry.”

“Ih apasih, yaudah lanjutin.” ucap Semesta karena salah tingkah.

“Kangen aku ya?”

“Ih Saga cepetan!”

Maka Sagara menundukan kepalanya lagi, mencium setiap inci wajah dan tubuh Semesta yang membuatnya candu. Aroma vanilla menguar ketika ia menghidup perpotongan leher Semesta, ketika Sagara akan membuka celana Semesta, suara tangisan Sachio mengalihkan fokus Semesta pada kegiatan panasnya. Maka dengan sigap ia menggeser tubuh Sagara dan berlari kecil ke arah keranjang milik Sachio.

“Ayanggg tanggung atuhh!” rengek Sagara kesal, ia sudah tegang dan itu membuatnya amat tersiksa.

Semesta yang menggendong Sachio hanya meringis dengan wajah bersalahnya.

“Bentar ya sayang, Sachio mau nenen dulu.”

“Aku juga mau ayanggg!” rengek Sagara sambil menggulung dirinya yang tidak memakai baju pada selimut tebal, ingin berteriak.

“Iya bentar ih, atau gak usah sama sekali!” ancam Semesta yang langsung membuat Sagara diam tak berkutik.

Sagara terus memperhatikan Semesta yang menyusui Sachio, ia terus meneguk ludahnya kasar yang membuat Semesta terkekeh. Setelah dirasa Chio sudah terlelap kembali, barulah Semesta menghampiri Sagara yang sudah dialam mimpi.

Dengan senyuman yang menahan gemas, Semesta menepuk pelan pipi Sagara sambil berbisik. “Ayah mau jatah enggak?”

Sagara langsung membuka matanya lebar dan menarik Semesta ke arahnya. Mengukung dan langsung menciumi leher suami manisnya.

“Aduh aku udah gak tahan, langsung aja ya sayang?”

“Pelan-pelan tapi...”

“Iya..”

Maka malam ini sudah dipastikan akan menjadi malam yang panjang bagi kedua pasangan ini. Semesta tidak menyangka bahwa tetangga yang dulunya selalu ia maki akan menjadi suaminya, maka ia berharap bahwa keluarganya akan terus hidup bahagia dan semoga keluarga kecilnya diberikan kesehatan.

—end.

Sagara & Semesta.

cw// ada adegan kissing

•••••

“Sayang, kamu keliatan capek banget. Mau gantian aja sama aku gendong adeknya?” Sagara bertanya sambil memperhatikan Semesta yang menggendong anak mereka.

Sebulan yang lalu Semesta terus saja merengek ingin memiliki anak setelah dia melihat serial tv yang menayangkan acara bayi-bayi menggemaskan. Sagara yang baru saja pulang kerja tidak langsung menjawab keinginan Semesta karena dirinya harus memikirkan beberapa alasan.

Besoknya Sagara menolak karena alasan yang logis. Pertama, mereka berdua setiap hari hampir tidak pulang ke rumah dan Sagara takut nanti jika ia mengadopsi bayi, Semesta tidak bisa mengurusnya. Kedua, Sagara takut jika Semesta tidak bisa membagi waktu antara mengurus bayi dan bekerja dan malah Semesta yang kelelahan, dan alasan yang ketiga membuat Semesta merajuk hampir 1 minggu.

“Sayang, masa bayi ngurus bayi sih?”

“Aku bukan bayi Sagara!”

Setelah kejadian itu, akhirnya Sagara yang mengalah dan mengiyakan keinginan Semesta untuk mengadopsi anak. Lagi pula wajar saja jika Semesta ingin memiliki anak, karena usia pernikahan mereka yang sudah berjalan 3 tahun lamanya dan Sagara yang jarang pulang ke rumah membuat Semesta kesepian.

“Gapapa, aku masih kuat kok.” balas Semesta sambil tersenyum tipis ke arah suaminya.

Langit sudah semakin gelap dan mereka masih berjalan pulang dari supermarket depan. Jaraknya tidak terlalu jauh, namun karena tadi baby chio merengek ingin melihat kumpulan kelinci yang bermain di taman komplek, terpaksa Semesta dan Sagara menuruti.

Namanya Sachio Alcolando tapi sering kali dipanggil Chio oleh keluarga Semesta maupun Sagara.

Sachio yang artinya bayi yang terlahir penuh dengan keberuntungan atau arti lainnya menguntungkan. Semesta tidak asal memberi nama, ia memikirkan apa nama yang cocok untuk anaknya membuatnya tidak tidur semalaman. Jika, kalian bertanya apa arti Alcolando, maka Semesta akan menjawab nama itu ia ambil dari marga sang suami.

Chio, bayi kecil dengan pipi bulat seperti bakpau terus saja berceloteh disepanjang jalan. Membuat Sagara dan Semesta terkekeh pelan dan tidak sadar bahwa mereka sudah sampai di rumah mereka. Rumah mewah dengan air mancur di area masuk, serta fasilitas yang sangat mewah dan keamanan yang sangat ketat. Rumah yang didirikan dan di desain sendiri oleh Sagara.

Setelah menikah, Sagara dan Semesta memutuskan untuk tinggal disebuah rumah megah dikawasan komplek elite. Sagara memilih tinggal disini tentu ada alasannya, tapi biarlah alasannya hanya ia dan Semesta yang tahu.


“Sayang tolong ambilin handuk aku dong, lupa nih!” teriak Sagara pada Semesta yang tengah sibuk mengurus dede Chio sehabis mandi.

“Aduh aku lagi ribet sama Chio ih Saga, pake handuk aku aja dulu!” balas Semesta sedikit kencang.

Sagara yang gagal melancarkan rencananya hanya mendengus sebal, sudah hampir seminggu ia tidak mendapat jatah. Pantas saja seharian ini di kantor ia hanya cemberut dan menyemprot siapa saja yang mengganggunya.

“Padahal gue kangen ndusel-dusel!” gumamnya sambil berjalan mendekat ke arah Semesta yang tengah memakaikan baju tidur pada Chio.

Sagara mencium pipi Semesta dan Sachio secara bergantian, lalu memeluk pinggang Semesta dari samping. Memperhatikan suami manisnya yang masih anteng dengan kegiatannya.

“Adek papanya ayah pinjem dulu ya? satu malem aja. Ayah gak dapet jatah, soalnya ada adek.”

“Hush! anak sendiri juga.” Semesta memukul tangan Sagara yang melilit dipinggangnya, karena tidak terima dengan perlakuan Semesta yang seperti pilih kasih. Sagara menciumi leher Semesta yang membuat Semesta memekik terkejut.

“Ih Saga jangan sekarang, Chio belum makan. Nanti ya?” bujuk Semesta pada Sagara yang merajuk.

Semesta yang gemas pada suaminya hanya terkekeh kecil lalu mencium bibir Sagara kilat, tidak ingin kebablasan. “Sekarang janji, gak kaya kemarin-kemarin kok sayang.”

Maka disinilah mereka. Setelah menidurkan dede Chio di keranjang bayi, Sagara tanpa membuang waktu langsung menarik Semesta dan mengukungnya di atas kasur.

Semesta hanya terkekeh ketika melihat wajah tidak sabaran milik suaminya itu. Sebenarnya Semesta merasa bersalah karena tidak melakukan kewajibannya melayani sang suami ketika ingin. Tapi, apa boleh buat jika anaknya juga terus saja merengek tak ingin ditinggal.

“Aku kangen!” bisik Sagara pada telinga Semesta.

Semesta tidak menjawab, ia hanya akan menuruti apa keinginan suaminya. Ia juga tidak tega karenanya Sagara terus saja bermain sendiri di kamar mandi sambil menyerukan namanya, namun apa boleh buat.

Sagara mencium pipi, hidung, mata dan bibir Semesta. Membuat kecupan-kecupan kecil pada leher yang membuat Semesta mendesis tak tahan.

“Sa-saga jangan ih geli!” rengek Semesta karena Sagara yang terus menciumi kedua niple pink miliknya. Entah sejak kapan keduanya tidak memakai atasan, mungkin tanpa Semesta sadari suaminya itu semakin pintar membuatnya mabuk kepayang.

Sagara mencium kening Semesta cukup lama, menyalurkan hasrat dan rindu secara bersamaan. Kepalanya turun ke bawah, mengecup dan melumat bibir cherry milik Semesta yang sejak tadi menganggur. Tangannya tak tinggal diam, ia meremas bokong Semesta beberapa kali, lalu naik ke arah dada. Semesta memekik tertahan ketika Sagara melumat putingnya.

Nghhh— saga...” lengukan Semesta keluar begitu saja. Membuat ciuman pada putingnya berpindah pada bibir lagi, Sagara melumatnya dengan lembut takut jika suaminya itu kesakitan.

Bunyi kecipak adu bibir itu berlangsung agak lama, hingga Semesta menepuk-nepuk pundak Sagara beberapa kali karena kehabisan nafas.

“Gila, kamu mau aku mati muda karena kurang oksigen?” protes Semesta pada Sagara yang malah menampilkan cengiran tak bersalahnya.

“Abisnya bibir kamu manis, kaya strawberry.”

“Ih apasih, yaudah lanjutin.” ucap Semesta karena salah tingkah.

“Kangen aku ya?”

“Ih Saga cepetan!”

Maka Sagara menundukan kepalanya lagi, mencium setiap inci wajah dan tubuh Semesta yang membuatnya candu. Aroma vanilla menguar ketika ia menghidup perpotongan leher Semesta, ketika Sagara akan membuka celana Semesta, suara tangisan Sachio mengalihkan fokus Semesta pada kegiatan panasnya. Maka dengan sigap ia menggeser tubuh Sagara dan berlari kecil ke arah keranjang milik Sachio.

“Ayanggg tanggung atuhh!” rengek Sagara kesal, ia sudah tegang dan itu membuatnya amat tersiksa.

Semesta yang menggendong Sachio hanya meringis dengan wajah bersalahnya.

“Bentar ya sayang, Sachio mau nenen dulu.”

“Aku juga mau ayanggg!” rengek Sagara sambil menggulung dirinya yang tidak memakai baju pada selimut tebal, ingin berteriak.

“Iya bentar ih, atau gak usah sama sekali!” ancam Semesta yang langsung membuat Sagara diam tak berkutik.

Sagara terus memperhatikan Semesta yang menyusui Sachio, ia terus meneguk ludahnya kasar yang membuat Semesta terkekeh. Setelah dirasa Chio sudah terlelap kembali, barulah Semesta menghampiri Sagara yang sudah dialam mimpi.

Dengan senyuman yang menahan gemas, Semesta menepuk pelan pipi Sagara sambil berbisik. “Ayah mau jatah enggak?”

Sagara langsung membuka matanya lebar dan menarik Semesta ke arahnya. Mengukung dan langsung menciumi leher suami manisnya.

“Aduh aku udah gak tahan, langsung aja ya sayang?”

“Pelan-pelan tapi...”

“Iya..”

Maka malam ini sudah dipastikan akan menjadi malam yang panjang bagi kedua pasangan ini. Semesta tidak menyangka bahwa tetangga yang dulunya selalu ia maki akan menjadi suaminya, maka ia berharap bahwa keluarganya akan terus hidup bahagia dan semoga keluarga kecilnya diberikan kesehatan.

—end.

Sagara & Semesta.

cw// ada adegan kissing

•••••

“Sayang, kamu keliatan capek banget. Mau gantian aja sama aku gendong adeknya?” Sagara bertanya sambil memperhatikan Semesta yang menggendong anak mereka.

Sebulan yang lalu Semesta terus saja merengek ingin memiliki anak setelah dia melihat serial tv yang menayangkan acara bayi-bayi menggemaskan. Sagara yang baru saja pulang kerja tidak langsung menjawab keinginan Semesta karena dirinya harus memikirkan beberapa alasan.

Besoknya Sagara menolak karena alasan yang logis. Pertama, mereka berdua setiap hari hampir tidak pulang ke rumah dan Sagara takut nanti jika ia mengadopsi bayi, Semesta tidak bisa mengurusnya. Kedua, Sagara takut jika Semesta tidak bisa membagi waktu antara mengurus bayi dan bekerja dan malah Semesta yang kelelahan, dan alasan yang ketiga membuat Semesta merajuk hampir 1 minggu.

“Sayang, masa bayi ngurus bayi sih?”

“Aku bukan bayi Sagara!”

Setelah kejadian itu, akhirnya Sagara yang mengalah dan mengiyakan keinginan Semesta untuk mengadopsi anak. Lagi pula wajar saja jika Semesta ingin memiliki anak, karena usia pernikahan mereka yang sudah berjalan 3 tahun lamanya dan Sagara yang jarang pulang ke rumah membuat Semesta kesepian.

“Gapapa, aku masih kuat kok.” balas Semesta sambil tersenyum tipis ke arah suaminya.

Langit sudah semakin gelap dan mereka masih berjalan pulang dari supermarket depan. Jaraknya tidak terlalu jauh, namun karena tadi baby chio merengek ingin melihat kumpulan kelinci yang bermain di taman komplek, terpaksa Semesta dan Sagara menuruti.

Namanya Sachio Alcolando, Sachio yang artinya bayi yang terlahir penuh dengan keberuntungan atau arti lainnya menguntungkan. Semesta tidak asal memberi nama, ia memikirkan nama ini dan tidak tidur semalaman. Jika, kalian bertanya apa arti Alcolando, maka Semesta akan menjawab nama itu ia ambil dari marga sang suami.

Chio, bayi kecil dengan pipi bulat seperti bakpau terus saja berceloteh disepanjang jalan. Membuat Sagara dan Semesta terkekeh pelan dan tidak sadar bahwa mereka sudah sampai di rumah bercat putih gading dengan beberapa ukiran dibagian dindingnya.


“Sayang tolong ambilin handuk aku dong, lupa nih!” teriak Sagara pada Semesta yang tengah sibuk mengurus dede Chio sehabis mandi.

“Aduh aku lagi ribet sama Chio ih Saga, pake handuk aku aja dulu!” balas Semesta sedikit kencang.

Sagara yang gagal melancarkan rencananya hanya mendengus sebal, sudah hampir seminggu ia tidak mendapat jatah. Pantas saja seharian di kantor ia hanya cemberut dan menyemprot siapa saja yang mengganggunya.

“Padahal gue kangen ndusel-dusel!” gumamnya sambil berjalan mendekat ke arah Semesta yang tengah memakaikan baju tidur pada Chio.

Sagara mencium pipi Semesta dan Sachio secara bergantian, lalu memeluk pinggang Semesta dari samping. Memperhatikan suami manisnya yang masih anteng dengan kegiatannya.

“Adek papanya ayah pinjem dulu ya? satu malem aja. Ayah gak dapet jatah, soalnya ada adek.”

“Hush! anak sendiri juga.” Semesta memukul tangan Sagara yang melilit dipinggangnya, karena tidak terima dengan perlakuan Semesta yang seperti pilih kasih. Sagara menciumi leher Semesta yang membuat Semesta memekik terkejut.

“Ih Saga jangan sekarang, Chio belum makan. Nanti ya?” bujuk Semesta pada Sagara yang merajuk.

Semesta yang gemas pada suaminya hanya terkekeh kecil lalu mencium bibir Sagara kilat, tidak ingin kebablasan. “Sekarang janji, gak kaya kemarin-kemarin kok sayang.”

Maka disinilah mereka. Setelah menidurkan dede Chio di keranjang bayi, Sagara tanpa membuang waktu langsung menarik Semesta dan mengukungnya di atas kasur.

Semesta hanya terkekeh ketika melihat wajah tidak sabaran milik suaminya itu. Sebenarnya Semesta merasa bersalah karena tidak melakukan kewajibannya melayani sang suami ketika ingin. Tapi, apa boleh buat jika anaknya juga terus saja merengek tak ingin ditinggal.

“Aku kangen!” bisik Sagara pada telinga Semesta.

Semesta tidak menjawab, ia hanya akan menuruti apa keinginan suaminya. Ia juga tidak tega karenanya Sagara terus saja bermain sendiri di kamar mandi sambil menyerukan namanya, namun apa boleh buat.

Sagara mencium pipi, hidung, mata dan bibir Semesta. Membuat kecupan-kecupan kecil pada leher yang membuat Semesta mendesis tak tahan.

“Sa-saga jangan ih geli!” rengek Semesta karena Sagara yang terus menciumi kedua niple pink miliknya. Entah sejak kapan keduanya tidak memakai atasan, mungkin tanpa Semesta sadari suaminya itu semakin pintar membuatnya mabuk kepayang.

Sagara mencium kening Semesta cukup lama, menyalurkan hasrat dan rindu secara bersamaan. Kepalanya turun ke bawah, mengecup dan melumat bibir cherry milik Semesta yang sejak tadi menganggur. Tangannya tak tinggal diam, ia meremas bokong Semesta beberapa kali, lalu naik ke arah dada. Semesta memekik tertahan ketika Sagara melumat putingnya.

Nghhh— saga...” lengukan Semesta keluar begitu saja. Membuat ciuman pada putingnya berpindah pada bibir lagi, Sagara melumatnya dengan lembut takut jika suaminya itu kesakitan.

Bunyi kecipak adu bibir itu berlangsung agak lama, hingga Semesta menepuk-nepuk pundak Sagara beberapa kali karena kehabisan nafas.

“Gila, kamu mau aku mati muda karena kurang oksigen?” protes Semesta pada Sagara yang malah menampilkan cengiran tak bersalahnya.

“Abisnya bibir kamu manis, kaya strawberry.”

“Ih apasih, yaudah lanjutin.” ucap Semesta karena salah tingkah.

“Kangen aku ya?”

“Ih Saga cepetan!”

Maka Sagara menundukan kepalanya lagi, mencium setiap inci wajah dan tubuh Semesta yang membuatnya candu. Aroma vanilla menguar ketika ia menghidup perpotongan leher Semesta, ketika Sagara akan membuka celana Semesta, suara tangisan Sachio mengalihkan fokus Semesta pada kegiatan panasnya. Maka dengan sigap ia menggeser tubuh Sagara dan berlari kecil ke arah keranjang milik Sachio.

“Ayanggg tanggung atuhh!” rengek Sagara kesal, ia sudah tegang dan itu membuatnya amat tersiksa.

Semesta yang menggendong Sachio hanya meringis dengan wajah bersalahnya.

“Bentar ya sayang, Sachio mau nenen dulu.”

“Aku juga mau ayanggg!” rengek Sagara sambil menggulung dirinya yang tidak memakai baju pada selimut tebal, ingin berteriak.

“Iya bentar ih, atau gak usah sama sekali!” ancam Semesta yang langsung membuat Sagara diam tak berkutik.

Sagara terus memperhatikan Semesta yang menyusui Sachio, ia terus meneguk ludahnya kasar yang membuat Semesta terkekeh. Setelah dirasa Chio sudah terlelap kembali, barulah Semesta menghampiri Sagara yang sudah dialam mimpi.

Dengan senyuman yang menahan gemas, Semesta menepuk pelan pipi Sagara sambil berbisik. “Ayah mau jatah enggak?”

Sagara langsung membuka matanya lebar dan menarik Semesta ke arahnya. Mengukung dan langsung menciumi leher suami manisnya.

“Aduh aku udah gak tahan, langsung aja ya sayang?”

“Pelan-pelan tapi...”

“Iya..”

Maka malam ini sudah dipastikan akan menjadi malam yang panjang bagi kedua pasangan ini. Semesta tidak menyangka bahwa tetangga yang dulunya selalu ia maki akan menjadi suaminya, maka ia berharap bahwa keluarganya akan terus hidup bahagia dan semoga keluarga kecilnya diberikan kesehatan.

—end.

Sagara & Semesta.

cw// ada adegan kissing

•••••

“Sayang, kamu keliatan capek banget. Mau gantian aja sama aku gendong adeknya?” Sagara bertanya sambil memperhatikan Semesta yang menggendong anak mereka.

Sebulan yang lalu Semesta terus saja merengek ingin memiliki anak setelah dia melihat serial tv yang menayangkan acara bayi-bayi menggemaskan. Sagara yang baru saja pulang kerja tidak langsung menjawab keinginan Semesta karena dirinya harus memikirkan beberapa alasan.

Besoknya Sagara menolak karena alasan yang logis. Pertama, mereka berdua setiap hari hampir tidak pulang ke rumah dan Sagara takut nanti jika ia mengadopsi bayi, Semesta tidak bisa mengurusnya. Kedua, Sagara takut jika Semesta tidak bisa membagi waktu antara mengurus bayi dan bekerja dan malah Semesta yang kelelahan, dan alasan yang ketiga membuat Semesta merajuk hampir 1 minggu.

“Sayang, masa bayi ngurus bayi sih?”

“Aku bukan bayi Sagara!”

Setelah kejadian itu, akhirnya Sagara yang mengalah dan mengiyakan keinginan Semesta untuk mengadopsi anak. Lagi pula wajar saja jika Semesta ingin memiliki anak, karena usia pernikahan mereka yang sudah berjalan 3 tahun lamanya dan Sagara yang jarang pulang ke rumah membuat Semesta kesepian.

“Gapapa, aku masih kuat kok.” balas Semesta sambil tersenyum tipis ke arah suaminya.

Langit sudah semakin gelap dan mereka masih berjalan pulang dari supermarket depan. Jaraknya tidak terlalu jauh, namun karena tadi baby chio merengek ingin melihat kumpulan kelinci yang bermain di taman koplek terpaksa Semesta dan Sagara menuruti.

Namanya Sachio Alcolando, Sachio yang artinya bayi yang terlahir penuh dengan keberuntungan atau arti lainnya menguntungkan. Semesta tidak asal memberi nama, ia memikirkan nama ini tidak tidur semalaman. Jika kalian bertanya apa arti Alcolando, maka jawabannya ialah marga sang suami.

Chio, bayi kecil dengan pipi bulat seperti bakpau terus saja berceloteh disepanjang jalan. Membuat Sagara dan Semesta terkekeh pelan dan tidak sadar bahwa mereka sudah sampai di rumah bercat putih gading dengan beberapa ukiran dibagian dindingnya.


“Sayang tolong ambilin handuk aku dong, lupa nih!” teriak Sagara pada Semesta yang tengah sibuk mengurus dede Chio sehabis mandi.

“Aduh aku lagi ribet sama Chio ih Saga, pake handuk aku aja dulu!” balas Semesta sedikit kencang.

Sagara yang gagal melancarkan rencananya hanya mendengus sebal, sudah hampir seminggu ia tidak mendapat jatah. Pantas saja seharian di kantor ia hanya cemberut dan menyemprot siapa saja yang mengganggunya.

“Padahal gue kangen ndusel-dusel!” gumamnya sambil berjalan mendekat ke arah Semesta yang tengah memakaikan baju tidur pada Chio.

Sagara mencium pipi Semesta dan Sachio secara bergantian, lalu memeluk pinggang Semesta dari samping. Memperhatikan suami manisnya yang masih anteng dengan kegiatannya.

“Adek papanya ayah pinjem dulu ya? satu malem aja. Ayah gak dapet jatah, soalnya ada adek.”

“Hush! anak sendiri juga.” Semesta memukul tangan Sagara yang melilit dipinggangnya, karena tidak terima dengan perlakuan Semesta yang seperti pilih kasih. Sagara menciumi leher Semesta yang membuat Semesta memekik terkejut.

“Ih Saga jangan sekarang, Chio belum makan. Nanti ya?” bujuk Semesta pada Sagara yang merajuk.

Semesta yang gemas pada suaminya hanya terkekeh kecil lalu mencium bibir Sagara kilat, tidak ingin kebablasan. “Sekarang janji, gak kaya kemarin-kemarin kok sayang.”

Maka disinilah mereka. Setelah menidurkan dede Chio di keranjang bayi, Sagara tanpa membuang waktu langsung menarik Semesta dan mengukungnya di atas kasur.

Semesta hanya terkekeh ketika melihat wajah tidak sabaran milik suaminya itu. Sebenarnya Semesta merasa bersalah karena tidak melakukan kewajibannya melayani sang suami ketika ingin. Tapi, apa boleh buat jika anaknya juga terus saja merengek tak ingin ditinggal.

“Aku kangen!” bisik Sagara pada telinga Semesta.

Semesta tidak menjawab, ia hanya akan menuruti apa keinginan suaminya. Ia juga tidak tega karenanya Sagara terus saja bermain sendiri di kamar mandi sambil menyerukan namanya, namun apa boleh buat.

Sagara mencium pipi, hidung, mata dan bibir Semesta. Membuat kecupan-kecupan kecil pada leher yang membuat Semesta mendesis tak tahan.

“Sa-saga jangan ih geli!” rengek Semesta karena Sagara yang terus menciumi kedua niple pink miliknya. Entah sejak kapan keduanya tidak memakai atasan, mungkin tanpa Semesta sadari suaminya itu semakin pintar membuatnya mabuk kepayang.

Sagara mencium kening Semesta cukup lama, menyalurkan hasrat dan rindu secara bersamaan. Kepalanya turun ke bawah, mengecup dan melumat bibir cherry milik Semesta yang sejak tadi menganggur. Tangannya tak tinggal diam, ia meremas bokong Semesta beberapa kali, lalu naik ke arah dada. Semesta memekik tertahan ketika Sagara melumat putingnya.

Nghhh— saga...” lengukan Semesta keluar begitu saja. Membuat ciuman pada putingnya berpindah pada bibir lagi, Sagara melumatnya dengan lembut takut jika suaminya itu kesakitan.

Bunyi kecipak adu bibir itu berlangsung agak lama, hingga Semesta menepuk-nepuk pundak Sagara beberapa kali karena kehabisan nafas.

“Gila, kamu mau aku mati muda karena kurang oksigen?” protes Semesta pada Sagara yang malah menampilkan cengiran tak bersalahnya.

“Abisnya bibir kamu manis, kaya strawberry.”

“Ih apasih, yaudah lanjutin.” ucap Semesta karena salah tingkah.

“Kangen aku ya?”

“Ih Saga cepetan!”

Maka Sagara menundukan kepalanya lagi, mencium setiap inci wajah dan tubuh Semesta yang membuatnya candu. Aroma vanilla menguar ketika ia menghidup perpotongan leher Semesta, ketika Sagara akan membuka celana Semesta, suara tangisan Sachio mengalihkan fokus Semesta pada kegiatan panasnya. Maka dengan sigap ia menggeser tubuh Sagara dan berlari kecil ke arah keranjang milik Sachio.

“Ayanggg tanggung atuhh!” rengek Sagara kesal, ia sudah tegang dan itu membuatnya amat tersiksa.

Semesta yang menggendong Sachio hanya meringis dengan wajah bersalahnya.

“Bentar ya sayang, Sachio mau nenen dulu.”

“Aku juga mau ayanggg!” rengek Sagara sambil menggulung dirinya yang tidak memakai baju pada selimut tebal, ingin berteriak.

“Iya bentar ih, atau gak usah sama sekali!” ancam Semesta yang langsung membuat Sagara diam tak berkutik.

Sagara terus memperhatikan Semesta yang menyusui Sachio, ia terus meneguk ludahnya kasar yang membuat Semesta terkekeh. Setelah dirasa Chio sudah terlelap kembali, barulah Semesta menghampiri Sagara yang sudah dialam mimpi.

Dengan senyuman yang menahan gemas, Semesta menepuk pelan pipi Sagara sambil berbisik. “Ayah mau jatah enggak?”

Sagara langsung membuka matanya lebar dan menarik Semesta ke arahnya. Mengukung dan langsung menciumi leher suami manisnya.

“Aduh aku udah gak tahan, langsung aja ya sayang?”

“Pelan-pelan tapi...”

“Iya..”

Maka malam ini sudah dipastikan akan menjadi malam yang panjang bagi kedua pasangan ini. Semesta tidak menyangka bahwa tetangga yang dulunya selalu ia maki akan menjadi suaminya, maka ia berharap bahwa keluarganya akan terus hidup bahagia dan semoga keluarga kecilnya diberikan kesehatan.

—end.