vivi

ada begitu banyak yang bisa kamu pelajari saat kamu mendengarkan.”


rigel berlari ketika melihat perawakan bintang yang tengah berdiri mematung di depan ruangan uks, wajahnya tampak tidak berekspresi.

demi apapun rigel akan segera membongkar kedok naren yang sebenarnya. ryan yang ternyata berlari dibelakang rigel tampak mempercepat larinya ketika bintang menatap mereka berdua.

“loh kalian ngapain lari-lari?” bintang melirik baju ryan dan rigel yang basah oleh keringat.

“ini udah sore, kalian belum balik?” sudah dua jam setelah kejadian tadi, namun bintang heran kenapa rigel dan ryan masih belum pulang.

“udah balik, cuman ke sekolah lagi buat ketemu lo.”

“kenapa?”

meski dengan napas yang terengah ryan mencoba membuka suara, sumpah demi apapun ia takut jika langit kenapa-napa.

“anu kak, bang langit anu—”

“kalo kalian mau jelasin langit gak salah, maaf gue gak percaya. gue jelas liat sendiri gimana bonyoknya naren disana, langit juga dorong dia.”

“tapi langit gak ngedorong naren. iya dia emang adu jotos sama si naren, tapi itu karena naren yang nyari gara-gara sama langit, bi.”

belum selesai rigel menjelaskan, bintang tampak hendak menyela lagi. namun dengan sigap dan kesal, ryan menyela dengan sedikit berteriak.

“si naren bawa-bawa soal nyokap bang langit, kak. dia bilang kalo bang langit gak becus jadi anak sampe nyokapnya aja ninggalin dia.”

bintang tercekat. dadanya sakit ketika mengetahui fakta bahwa langit tidak bersalah, kakinya lemas seolah tidak bertulang.

“anak mana yang gak sakit kalo nyokapnya dibawa-bawa gitu kak, lo tau gimana sayangnya bang langit sama ibunya.”

dengan genangan air mata, bintang menatap rigel dan ryan secara bergantian. “langit sekarang dimana?”

“kita gatau, dari dua jam yang lalu kita udah nyari langit ke mana-mana. anaknya gak bisa dihubungin.” ryan sangat terlihat cemas, jelas dari raut wajahnya.

“kayaknya gak pegang hp deh, soalnya tadi gue liat tas langit dibiarin gitu aja di lapangan.”

bintang semakin merasa bersalah. kenapa dirinya begitu ceroboh sekali, ia tahu langit bagaimana. tapi kenapa ia malah salah memihak, kenapa ia bertindak bodoh.

“gue, gue mau cari langit.”


langit tampak belum puas memandang nisan sang mama. sudah pukul 17.00, sudah sekitar empat jam dirinya duduk diam didepan makan sang mama.

ditemani dengan semilir angin sore yang sepoi-sepoi, membuat langit memejam karena mengantuk. ia tersenyum pahit ketika teringat kejadian di lapangan tadi, ia tidak apa jika dikatai oleh naren.

namun yang membuat ia sangat sakit adalah bintangnya sudah tidak percaya padanya.

“ma, emang abang salah ya suka sama bintang? padahal abang juga gak minta buat dibikin suka sama bintang ma,” langit tertawa miris, luka yang ia dapat disudut bibirnya tidak ia hiraukan rasa perihnya.

ia terisak. “ma, emang langit anak yang gak becus ya? sampe mama ninggalin langit?”

hari semakin sore, matahari sudah sepenuhnya tenggelam. namun langit tidak peduli, ia hanya ingin ketenangan.

“emang langit salah ya ma lahir ke dunia? emang salah langit kalo bintang kalah olimpiade?”

langit meneteskan air matanya lagi. ia lelah, ia lelah karena terus saja dituntut dan dituduh untuk segala kesalahan yang bukan dirinya perbuat. ia merasa bahwa hidupnya sudah tidak berguna.

“ma, kalo langit ikut mama. mama marah gak?”

“cape juga ya ma, hidup tanpa mama. gak ada yang percaya langit lagi, soalnya cuman mama selalu percaya sama langit.”

langit memejamkan matanya ketika pening mulai melanda. gemuruh langit mulai terdengar, pertanda akan turunnya hujan.

“bahkan kayaknya semesta juga ngetawain nasib langit deh ma,” langit tertawa, menertawai nasibnya yang seperti ini.

“kayaknya kalo langit nyusul mama, mama gak keberatan kan? gak ada yang sayang langit disini ma.”

“ada.”

langit terdiam ketika mendengar suara yang tidak asing untuknya, jauh dibelakang tubuhnya bintang berdiri. enggan untuk melihat siapa yang berada dibelakangnya, langit lebih memilih berbicara tanpa menoleh.

“ngapain lo ke sini?”

“langit, sorry.”

“pulang, udah malem bi. bunda juga pasti nyariin!”

“sama kamu pulangnya.”

langit mendengus. “telpon pak budi.”

bintang berjalan mendekat, berjongkok untuk bergabung bersama langit yang tidak mengalihkan atensinya dari makam sang mama.

“pak budi udah pulang, gak ada yang jemput. makannya, pulangnya sama langit aja ya?”

“pake bus.”

“udah gak beroperasi, haltenya juga jauh langit.” bintang merengek.

langit tidak menanggapi rengekannya, maka terlintas satu ide dikepala bintang yang mungkin ampuh untuk membujuk langit mau memaafkannya.

“hai ma, ini bintang. maaf ma, bintang gak percaya sama langit soalnya tadi pagi langit jahat sama bintang. masa orang mau baikan disuruh ngejauh, kan gak baik ya ma.”

langit melirik bintang yang terlihat mengadu, meskipun keadaan disekitar sudah gelap karena hampir malam. langit masih bisa melihat bibir bintang yang manyun-manyun ketika mengadu pada mamanya.

“mama jangan kasih izin langit buat ikut mama, soalnya masalah dia sama bintang aja belum selesai. masa dia mau ninggalin bintang gitu aja, dia jahat kalo gitu—”

“ayo balik! gue anter.”

bintang tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya pada langit yang kini tengah mendengus.

“jangan senyum kaya gitu!”

“kenapa? bintang ganteng ya kalo senyum?”

“serem.” langit bersiap berbalik meninggalkan bintang yang merajuk dan tidak berjalan mengikutinya.

“cepetan kalo gak mau diikutin sama mba-mba.”

“jangan nakutin! ih tungguin langit!”


bintang sudah duduk anteng dibelakang jok motor sport hitam milik langit. lelaki itu terus saja diam enggan membuka percakapan dengan bintang, padahal bintang sudah mengoceh begitu panjang.

“stop, stop langit!”

“mau ngapain?”

“tunggu disini! jangan kemana-mana, jangan banyak tingkah! tungguin bintangnya!”

“yaudah sana cepetan, atau mau gue tinggal disini?”

“galak banget!”

bintang berjalan masuk ke dalam apotek, meninggalkan langit yang tersenyum tipis diatas jok motornya. tak lama bintang keluar dengan sekantung kresek yang langit yakin isinya obat-obatan.

“udah?”

bintang mengangguk.

“yaudah cepet naik, nunggu apa lagi.”

“sabar kek, jangan galak-galak.”

“laper gak?”

“engga, bintang nggak laper—”

kriuk

bintang bersumpah ia ingin menyembunyikan wajahnya. ia malu, kenapa cacing didalam perutnya tidak bisa diajak kompromi sih.

“kita makan dulu.”

maka bintang hanya bisa mengangguk dan menurut.


cuaca hari ini sangat panas apalagi saat siang hari seperti ini, dimana matahari sedang bersinar terik-teriknya diatas kepala. membuat seluruh anak sekolah menggerutu ketika tengah berada di lapangan pada jam olahraga.

seluruh siswa cenderung akan duduk diam dikelas ber-ac pada siang bolong seperti ini, namun sepertinya dua siswa yang tengah adu otot dan adu mulut di lapangan basket itu tidak merasakan hawa panas yang dimaksud seperti pada asumsi itu.

anjing banget ya lo bawa-bawa nyokap gue di chat tadi. maksud lo apaan?” tanya langit marah.

di hadapan langit, naren malah terkekeh pelan. “gue cuman ngomongin fakta, kalo lo emang anak yang gak becus buat jaga orang tua. buktinya nyokap lo ninggalin lo kan.”

bugh

anjing lo!”

naren yang dipukul tak mau kalah, ia balas memukul langit hingga hidungnya mengeluarkan darah segar.

“lo yang anjing, ngerebut bintang dari gua. harusnya lo sadar kalo lo cuman hama yang coba buat ngerusak bunga!”

bugh

“lo harusnya sadar lang, lo sama bintang udah beda level!”

langit yang tersulut emosinya langsung membabi buta naren dengan pukulan pada perutnya.

“diem anjing!”

saat naren akan membalas pukulan langit, bintang yang berlari dari arah lobby membuat naren buru-buru menjatuhkan dirinya sendiri hingga tersungkur.

bintang yang sudah dekat langsung berjongkok membantu naren untuk berdiri.

“naren astaga, you okay?”

i'm okay.

bintang menatap langit kecewa bercampur marah.

“langit what are you doing? lo gila ya?”

“bukan gue bi, gue gak dorong dia.”

“tapi gue liat naren jatoh, terus pipi dia juga lebam karena lo tonjok kan? lo tuh kenapa sih jahat banget jadi orang!”

“bi gue nggak—”

i hate you!”

bintang melihat langit dengan tatapan bengis. ia kemudian membantu naren untuk berdiri dan membawanya ke ruang UKS untuk diobati.

langit mengepalkan tangannya ketika melihat naren yang sempat tersenyum miring padanya. ia berjalan meninggalkan lapangan sekolah, namun rigel dan ryan yang baru saja datang menahannya.

“lo gak boleh gegabah lang.”

“lepasin tangan gue.”

“bang, lo jangan emosi. tenang bang, gue bakalan jelasin ke kak bintang yang sebenernya.”

“GUE BILANG LEPASIN YA BANGSAT!”

maka dengan berat hati ryan dan rigel membiarkan langit berjalan ke arah parkiran untuk membawa motor hitamnya keluar dari pelataran sekolah.

cuaca hari ini sangat panas apalagi saat siang hari seperti ini, dimana matahari sedang bersinar terik-teriknya diatas kepala. membuat seluruh anak sekolah menggerutu ketika tengah berada di lapangan pada jam olahraga.

seluruh siswa cenderung akan duduk diam dikelas ber-ac pada siang bolong seperti ini, namun sepertinya dua siswa yang tengah adu otot dan adu mulut di lapangan basket itu tidak merasakan hawa panas yang dimaksud seperti pada asumsi itu.

anjing banget ya lo bawa-bawa nyokap gue di chat tadi. maksud lo apaan?” tanya langit marah.

di hadapan langit, naren malah terkekeh pelan. “gue cuman ngomongin fakta, kalo lo emang anak yang gak becus buat jaga orang tua. buktinya nyokap lo ninggalin lo kan.”

bugh

anjing lo!”

saat naren akan membalas pukulan langit, bintang yang berlari dari arah lobby membuat naren buru-buru menjatuhkan dirinya sendiri hingga tersungkur.

bintang yang sudah dekat langsung berjongkok membantu naren untuk berdiri.

“naren astaga, *you okay?”

“*i'm okay.”

bintang menatap langit kecewa bercampur marah.

“langit *what are you doing? lo gila ya?”

“bukan gue bi, gue gak dorong dia.”

“tapi gue liat naren jatoh, terus pipi dia juga lebam karena lo tonjok kan? lo tuh kenapa sih jahat banget jadi orang!”

“bi gue nggak—”

“*i hate you!”

bintang melihat langit dengan tatapan bengis. ia kemudian membantu naren untuk berdiri dan membawanya ke ruang UKS untuk diobati.

langit mengepalkan tangannya ketika melihat naren yang sempat tersenyum miring padanya. ia berjalan meninggalkan lapangan sekolah, namun rigel dan ryan yang baru saja datang menahannya.

“lo gak boleh gegabah lang.”

“lepasin tangan gue.”

“bang, lo jangan emosi. tenang bang, gue bakalan jelasin ke kak bintang yang sebenernya.”

“GUE BILANG LEPASIN YA BANGSAT!”

maka dengan berat hati ryan dan rigel membiarkan langit berjalan ke arah parkiran untuk membawa motor hitamnya keluar dari pelataran sekolah.

rooftop sekolah adalah tempat favorit langit dan bintang ketika masih menjalin asmara, mereka selalu mencuri kesempatan untuk ke sini. karena satu kelas, jelas itu lebih mempermudah mereka untuk memamerkan kemesraan pada seluruh temannya dikelas. tak jarang juga mereka mendengus karena bosan melihat adegan romansa setiap hari.

sejak tadi langit tidak bisa menemukan bintang dikelas. karena itulah ia mengirim bintang pesan untuk menemui dirinya. langit sudah berada di rooftop sejak bel pulang sekolah berbunyi, sekitar satu jam yang lalu.

ia duduk pada sofa tua yang sengaja diletakan di rooftop, mungkin bekas sofa di ruang kepala sekolah yang dibawa oleh penjaga sekolah ke sini. karena hembusan angin yang sepoi-sepoi membuat langit menguap, semalam ia kurang tidur karena harus mengerjakan puluhan soal yang diberikan gurunya sebagai pekerjaan rumah.

oh ayolah, langit bukanlah anak pandai yang hanya sekali baca saja langsung tahu jawaban dari soal, ia hanya seorang siswa nakal yang terpaksa mengerjakan puluhan soal karena diancam tidak naik kelas.

ketika matanya akan menutup, langit bisa mendengar pintu rooftop dibuka dan menampilkan sosok pria manis kesayangannya. bintang tersenyum ketika bertemu tatap dengan langit. tanpa disuruh langit, bintang mendudukan bokongnya pada sofa kosong disebelah langit.

“hai, lagi?” sapanya, canggung.

“capek ya?” tanya langit sambil mengamat wajah bintang yang penuh dengan peluh.

“iya, persiapan acara buat bulan depan baru tiga puluh persenan.”

“gapapa, kan masih bulan depan acaranya juga,” langit terlihat berbalik dan mengambil sesuatu.

“nih makan!”

bintang sempat terdiam menatap satu bungkus bolu tiramisu serta satu kotak susu cokelat.

“tapi gue gasuka susu cokelat langit.”

“iya tau, tapi kalo minum kopi gak boleh. nanti lambungnya bintang sakit lagi kaya minggu kemarin, kalo perut kosong gak boleh minum kopi.”

“yaudah deh, makasih ya.”

hening beberapa saat. bintang yang berkecamuk dengan isi pikirannya yang terus meminta agar tidak luluh pada perilaku langit tadi, tapi hatinya seolah terus berbisik untuk menyuarakan rasa rindu yang tertahan.

sementara langit sendiri malah asyik menandangi pahatan wajah bintang yang terlihat tampan dan cantik pada saat yang bersamaan.

“bintang.”

“iya?”

“maaf!”

bintang menoleh dengan cepat ke arah langit, atmosfer yang tadinya hening dan canggung kini malah semakin canggung.

“maaf karena waktu itu gue terlalu takut buat jujur sama lo, maaf karena gue gak percaya kalo lo gak bakalan pergi ninggalin gue,” langit sempat berhenti sebentar sebelum melanjutkan.

ia genggam tangan bintang yang menganggur, mengusap punggung tangan seputih porselen itu dengan lembut. keduanya menatap netra satu sama lain, langit tersenyum kecil.

“gue terlalu takut sama perpisahan, gue takut salah ambil langkah dan malah nyakitin lo. gue takut sikap papah yang egois dan gak setia nurun ke gue, gue takut lo ninggalin gue kalo misalkan gue jujur bintang.”

“langit, gapapa. gue gapapa!”

“gue yang gak papa bintang. papah ngancem gue dengan bawa-bawa nama mamah, gue disitu mulai takut bi. gue takut salah pilih, kalo gue gak ngikutin perintah papah dia bakalan pindahin makam mamah jauh dari gue bi, gue gamau!” langit menitikan air mata, ia menangis lagi untuk pertama kalinya setelah mamahnya meninggal.

bintang bisa melihat betapa rapuhnya langit saat ini. ia paham dengan masalah langit, ia sangat paham.

“udah, langit jangan nangis!”

“maaf, maafin gue bintang. gue sayang sama lo!”

“aku juga sayang kamu, langit.”

bintang memeluk tubuh rapuh langit, menyalurkan kehangatan yang mampu membuat langit merasa lebih tenang.

karna sekuat apapun bintang menghindar dari langit ia tetap tidak bisa, karena langitlah penghuni hatinya. begitupun langit, sekuat apapun ia merelakan dan menjauh ia tetap tidak bisa, karena bintang adalah rumahnya. tempat dirinya pulang, mereka membutuhkan satu sama lain.

“gue butuh lo, jangan pergi bintang.”

“aku gak akan kemana-mana langit.”

langit memarkirkan motor sport hitamnya pada halaman rumah megah keluarga martadinata. rumah putih gading dengan nuansa eropa yang elegan, rumah dengan sensor dan keamanan yang ketat. gerbang yang ada pada rumah keluarga bintang, memiliki sensor dan keamanan yang dirancang khusus untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, gerbang dengan huruf 'M' yang dilapisi oleh emas murni dan cctv disetiap sudutnya.

langit sudah tidak asing lagi dengan penampakan rumah megah milik keluarga martadinata, ia sudah sangat sering berkunjung ke sini. rumah megah yang penuh dengan bridesmaids kepercayaan orang tua bintang.

bintang tumbuh dengan baik disini, semua fasilitas yang ia mau selalu ia dapat. namun, ketidak beradaan kedua orang tuanya membuat ia terus merasa kesepian. bintang tumbuh menjadi pribadi yang baik, kasih sayang kedua orang tuanya sangatlah cukup untuk bintang. namun, ia hanya ingin jika waktu yang diluangkan kedua orang tuanya lebih banyak untuknya dari pada lembaran kertas kantor yang membuat kedua orang tuanya lupa bahwa mereka nemiliki anak semata wayang.

langit melepas helm hitamnya, lalu berjalan mendekat untuk menekan bel pintu utama rumah bintang. saat langit hampir menekan bel rumah bintang, sosok manis dengan balutan piyama tidur lebih dulu membuka pintu.

“hai,” sapa bintang sambil tersenyum manis.

“gue belum teken bel loh padahal.”

“suara motornya kedengeran.”

“masih inget suara motor gue?”

bintang diam, enggan menjawab.

“yaudah yuk, masuk!”

maka langit hanya mengangguk, mengekor dibelakang bintang yang membawa dirinya menuju dapur.

“lo duduk aja ya, tunggu gue selesain bikin cookiesnya.”

“iya.”


“kecil, gue datang—”

“jangan berisik bisa gak sih kak? ada tamu.”

jendra, lelaki dengan tubuh semampai dan wajah tampan yang digadang-gadangkan dekat dengan bintang itu kini muncul dihadapan wajah langit secara langsung. matanya mengekor ketika bintang berjalan mendekat ke arah jendra, mengambil kantong kresek yang penuh dengan barang belanjaan.

“makasih ya, udah mau gue repotin.”

anything for you, kecil.”

langit mengepalkan kedua tangannya dibawah meja makan, ia tidak suka jika bintang melempar senyum manis pada lelaki lain. ia hanya ingin egois tentang semua yang ada pada diri bintang, harusnya senyum itu miliknya, hanya untuknya.

“eh lupa, kenalin kak. ini langit, langit ini kak jendra.”

jendra menatap langit dan menyodorkan tangan untuk berjaba tangan, “jendra.”

“langit,” tersenyum simpul.

setelahnya jendra melepas jabatan tangan dengan langit. ia berjalan mendekat ke arah pantry di dapur untuk bergabung bersama bintang yang kini tengah menunggu cookies yang tengah dipanggang di dalam open.

“loh, ngapain?” bintang bertanya pada jendra yang kini tengah memasang appron pada badannya.

“bantuin anak kecil masak.”

“heh enak aja! aku udah gede.”

“iya deh yang paling gede,” jendra mengusap puncak kepala bintang sambil terkekeh.

kedua mata langit terus saja memperhatikan kedekatan bintang dengan jendra, tangannya masih terkepal. bahkan sekarang mungkin hatinya juga ikut tersayat.

dari tempatnya duduk, langit bisa melihat raut wajah bahagia bintang. mata bulatnya terus bersinar ketika jendra terus saja mengoleskan tepung pada wajahnya, langit terkekeh ketika bibir bintang cemberut karena tepung yang mengenai pipinya.

“jangan main tepung kak!” bintang berlari menjauh dari jendra yang kedua tangannya penuh dengan tepung.

“enggak, sini.”

“gamau!”

“ahahaha kak, kotor kan. rese ih!”

“iya deh maaf, kecil.”

“cuci tangan sana!”

langit tersenyum kecut, ia sudah tidak kuat lagi untuk menyaksikan adegan romantis ini. maka dengan sekaligus ia berdiri dari kursi yang ada di meja makan, membuat decitan keras. bintang yang kaget menoleh, ia lupa jika ada langit.

“langit mau kemana?”

“maaf bi, mamah nyuruh gue pulang. traktirannya kapan-kapan deh ya?”

“tapi ini udah mau jadi kok, bentar lagi.”

“gapapa, kapan-kapan aja, ya?”

bintang melihat jelas raut wajah langit yang menjadi murung. ia merasa bersalah karena mendiami langit, padahal langit sudah jauh-jauh ke rumahnya pada malam-malam seperti ini.

“hati-hati, langit!”

“iya, gue pulang ya?”

“eh bro, balik?” jendra menyahut ketika selesai dengan agenda cuci tangannya.

“iya bang, nyokap nyuruh balik nih.”

“oh yaudah, be careful bro.

langit mengangguk, tangannya menyambar kunci motor yang ia letakan pada meja makan. ia melangkahkan kakinya dengan tergesa, enggan mendengar atau melihat adegan yang membuatnya sesak.

langit memarkirkan motor sport hitamnya pada halaman rumah megah keluarga martadinata. rumah putih gading dengan nuansa eropa yang elegan, rumah dengan sensor dan keamanan yang ketat. gerbang yang ada pada rumah keluarga bintang, memiliki sensor dan keamanan yang dirancang khusus untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, gerbang dengan huruf 'M' yang dilapisi oleh emas murni dan cctv disetiap sudutnya.

langit sudah tidak asing lagi dengan penampakan rumah megah milik keluarga martadinata, ia sudah sangat sering berkunjung ke sini. rumah megah yang penuh dengan bridesmaids kepercayaan orang tua bintang.

bintang tumbuh dengan baik disini, semua fasilitas yang ia mau selalu ia dapat. namun, ketidak beradaan kedua orang tuanya membuat ia terus merasa kesepian. bintang tumbuh menjadi pribadi yang baik, kasih sayang kedua orang tuanya sangatlah cukup untuk bintang. namun, ia hanya ingin jika waktu yang diluangkan kedua orang tuanya lebih banyak untuknya dari pada lembaran kertas kantor yang membuat kedua orang tuanya lupa bahwa mereka nemiliki anak semata wayang.

langit melepas helm hitamnya, lalu berjalan mendekat untuk menekan bel pintu utama rumah bintang. saat langit hampir menekan bel rumah bintang, sosok manis dengan balutan piyama tidur lebih dulu membuka pintu.

“hai,” sapa bintang sambil tersenyum manis.

“gue belum teken bel loh padahal.”

“suara motornya kedengeran.”

“masih inget suara motor gue?”

bintang diam, enggan menjawab.

“yaudah yuk, masuk!”

maka langit hanya mengangguk, mengekor dibelakang bintang yang membawa dirinya menuju dapur.

“lo duduk aja ya, tunggu gue selesain bikin cookiesnya.”

“iya.”


“kecil, gue datang—”

“jangan berisik bisa gak sih kak? ada tamu.”

jendra, lelaki dengan tubuh semampai dan wajah tampan yang digadang-gadangkan dekat dengan bintang itu kini muncul dihadapan wajah langit secara langsung. matanya mengekor ketika bintang berjalan mendekat ke arah jendra, mengambil kantong kresek yang penuh dengan barang belanjaan.

“makasih ya, udah mau gue repotin.”

anything for you, kecil.”

langit mengepalkan kedua tangannya dibawah meja makan, ia tidak suka jika bintang melempar senyum manis pada lelaki lain. ia hanya ingin egois tentang semua yang ada pada diri bintang, harusnya senyum itu miliknya, hanya untuknya.

“eh lupa, kenalin kak. ini langit, langit ini kak jendra.”

jendra menatap langit dan menyodorkan tangan untuk berjaba tangan, “jendra.”

“langit,” tersenyum simpul.

langit memarkirkan motor sport hitamnya pada halaman rumah megah keluarga martadinata. rumah putih gading dengan nuansa eropa yang elegan, rumah dengan sensor dan keamanan yang ketat. gerbang yang ada pada rumah keluarga bintang, memiliki sensor dan keamanan yang dirancang khusus untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, gerbang dengan huruf 'M' yang dilapisi oleh emas murni dan cctv disetiap sudutnya.

langit sudah tidak asing lagi dengan penampakan rumah megah milik keluarga martadinata, ia sudah sangat sering berkunjung ke sini. rumah megah yang penuh dengan bridesmaids kepercayaan orang tua bintang.

bintang tumbuh dengan baik disini, semua fasilitas yang ia mau selalu ia dapat. namun, ketidak beradaan kedua orang tuanya membuat ia terus merasa kesepian. bintang tumbuh menjadi pribadi yang baik, kasih sayang kedua orang tuanya sangatlah cukup untuk bintang. namun, ia hanya ingin jika waktu yang diluangkan kedua orang tuanya lebih banyak untuknya dari pada lembaran kertas kantor yang membuat kedua orang tuanya lupa bahwa mereka nemiliki anak semata wayang.

langit melepas helm hitamnya, lalu berjalan mendekat untuk menekan bel pintu utama rumah bintang. saat langit hampir menekan bel rumah bintang, sosok manis dengan balutan piyama tidur lebih dulu membuka pintu.

“hai,” sapa bintang sambil tersenyum manis.

“gue belum teken bel loh padahal.”

“suara motornya kedengeran.”

“masih inget suara motor gue?”

bintang diam, enggan menjawab.

“yaudah yuk, masuk!”

maka langit hanya mengangguk, mengekor dibelakang Bintang yang membawa dirinya menuju dapur.

“Lo duduk aja ya, tunggu gue selesain bikin cookiesnya.”

“Iya.”


“kecil, gue datang—”

“jangan berisik bisa gak sih kak? ada tamu.”

jendra, lelaki dengan tubuh semampai dan wajah tampan yang digadang-gadangkan dekat dengan bintang itu kini muncul dihadapan wajah langit secara langsung. matanya mengekor ketika bintang berjalan mendekat ke arah jendra, mengambil kantong kresek yang penuh dengan barang belanjaan.

“makasih ya, udah mau gue repotin.”

anything for you, kecil.”

langit mengepalkan kedua tangannya dibawah meja makan, ia tidak suka jika bintang melempar senyum manis pada lelaki lain. ia hanya ingin egois tentang semua yang ada pada diri bintang, harusnya senyum itu miliknya, hanya untuknya.

“eh lupa, kenalin kak. ini langit, langit ini kak jendra.”

jendra menatap langit dan menyodorkan tangan untuk berjaba tangan, “jendra.”

“langit,” tersenyum simpul.

langit memarkirkan motor sport hitamnya pada halaman rumah megah keluarga martadinata. rumah putih gading dengan nuansa eropa yang elegan, rumah dengan sensor dan keamanan yang ketat. gerbang yang ada pada rumah keluarga bintang, memiliki sensor dan keamanan yang dirancang khusus untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, gerbang dengan huruf 'M' yang dilapisi oleh emas murni dan cctv disetiap sudutnya.

langit sudah tidak asing lagi dengan penampakan rumah megah milik keluarga martadinata, ia sudah sangat sering berkunjung ke sini. rumah megah yang penuh dengan bridesmaids kepercayaan orang tua bintang.

bintang tumbuh dengan baik disini, semua fasilitas yang ia mau selalu ia dapat. namun, keberadaan kedua orang tuanya membuat ia terus merasa kesepian. bintang tumbuh menjadi pribadi yang baik, kasih sayang kedua orang tuanya sangatlah cukup untuk bintang. namun, ia hanya ingin jika waktu yang diluangkan kedua orang tuanya lebih banyak untuknya dari pada lembaran kertas kantor yang membuat kedua orang tuanya lupa bahwa mereka nemiliki anak semata wayang.

langit melepas helm hitamnya, lalu berjalan mendekat untuk menekan bel pintu utama rumah bintang. saat langit hampir menekan bel rumah bintang, sosok manis dengan balutan piyama tidur lebih dulu membuka pintu.

“hai,” sapa bintang sambil tersenyum manis.

“gue belum teken bel loh padahal.”

“suara motornya kedengeran.”

“masih inget suara motor gue?”

bintang diam, enggan menjawab.

“yaudah yuk, masuk!”

maka langit hanya mengangguk, mengekor dibelakang Bintang yang membawa dirinya menuju dapur.

“Lo duduk aja ya, tunggu gue selesain bikin cookiesnya.”

“Iya.”


“kecil, gue datang—”

“jangan berisik bisa gak sih kak? ada tamu.”

jendra, lelaki dengan tubuh semampai dan wajah tampan yang digadang-gadangkan dekat dengan bintang itu kini muncul dihadapan wajah langit secara langsung. matanya mengekor ketika bintang berjalan mendekat ke arah jendra, mengambil kantong kresek yang penuh dengan barang belanjaan.

“makasih ya, udah mau gue repotin.”

anything for you, kecil.”

langit mengepalkan kedua tangannya dibawah meja makan, ia tidak suka jika bintang melempar senyum manis pada lelaki lain. ia hanya ingin egois tentang semua yang ada pada diri bintang, harusnya senyum itu miliknya, hanya untuknya.

“eh lupa, kenalin kak. ini langit, langit ini kak jendra.”

jendra menatap langit dan menyodorkan tangan untuk berjaba tangan, “jendra.”

“langit,” tersenyum simpul.

Learning to appreciate a process for a change.


   Bintang meraih ponselnya yang terus bergetar di dalam saku celana yang ia kenakan, ingin tahu apa penyebabnya. Namun, jantungnya hampir merosot ketika ia melihat barisan nontifikasi dari aplikasi berlogo hijau itu.

“Langit?”

Nontifikasi yang dibanjiri dengan nama sang pengirim, kasihnya memulai percapakan dengannya setelah satu bulan lamanya. Jarinya terus ia bawa untuk menggeser semua nontifikasi, membacanya satu per-satu hingga satu buah nontifikasi menarik perhatiannya.

“Arah jam tiga?”

Bintang menolehkan kepalanya ke arah kanan, ia dapat melihat sosok Langit yang ia rindukan tengah bersandar pada motor hitam kesayangannya. Kepalanya tertunduk, mungkin mengantuk. Bintang terkekeh ketika melihat Langit yang masih memakai seragam sekolah, pasti belum pulang ke rumah— tebaknya dalam hati.

Kaki jenjangnya ia bawa untuk berjalan mendekat ke arah Langit yang masih belum menyadari kehadirannya, maka ketika Bintang sudah dihadapan Langit— lelaki yang menjadi alasannya uring-uringan selama sebulan. Ia berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Langit.

“Langit,” panggil Bintang pelan.

“Eh, ayo naik! kita pulang.”

“Bentar dulu deh, lo kayaknya masih ngantuk. Belum pulang ke rumah ya?”

Langit hanya mengangguk. Bintang tersenyum tipis dan berdiri, membuat Langit mau tidak mau ikut berdiri juga.

“Kalo lo masih ngantuk mending pulang aja gapapa, gue bisa cari taxi online kok.”

“Engga, balik bareng gue aja! lo trauma sama angkutan umum, Bi.”

Bintang tertegun, Langit masih ingat ternyata.

“Mau ya gue anterin?”

Karena melihat wajah Langit yang memelas, Bintang jadi tidak tega untuk menolak. Lagian ia juga kasian pada Langit yang sudah datang jauh-jauh untuk menjemputnya, meskipun Langit tidak menyebutkan alasannya kemari tapi Bintang akan sedikit percaya diri jika Langit datang hanya untuk menjemputnya.

“Yaudah, maaf ya gue ngerepotin lo.”

“Gak akan ngerepotin kalo orangnya itu lo, Bi.”


©vivi.

Learning to appreciate a process for a change.


   Bintang meraih ponselnya yang terus bergetar di dalam saku celana yang ia kenakan, ingin tahu apa penyebabnya. Namun, jantungnya hampir merosot ketika ia melihat barisan nontifikasi dari aplikasi berlogo hijau itu.

“Langit?”

Nontifikasi yang dibanjiri dengan nama sang pengirim, kasihnya memulai percapakan dengannya setelah satu bulan lamanya. Jarinya terus ia bawa untuk menggeser semua nontifikasi, membacanya satu per-satu hingga satu buah nontifikasi menarik perhatiannya.

“Arah jam tiga?”

Bintang menolehkan kepalanya ke arah kanan, ia dapat melihat sosok Langit yang ia rindukan tengah bersandar pada motor hitam kesayangannya. Kepalanya tertunduk, mungkin mengantuk. Bintang terkekeh ketika melihat Langit yang masih memakai seragam sekolah, pasti belum pulang ke rumah— tebaknya dalam hati.

Kaki jenjangnya ia bawa untuk berjalan mendekat ke arah Langit yang masih belum menyadari kehadirannya, maka ketika Bintang sudah dihadapan Langit— lelaki yang menjadi alasannya uring-uringan selama sebulan. Ia berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Langit.

“Langit,” panggil Bintang pelan.

“Eh, ayo naik! kita pulang.”

“Bentar dulu deh, lo kayaknya masih ngantuk. Belum pulang ke rumah ya?”

Langit hanya mengangguk. Bintang tersenyum tipis dan berdiri, membuat Langit mau tidak mau ikut berdiri juga.

“Kalo lo masih ngantuk mending pulang aja gapapa, gue bisa cari taxi online kok.”

“Engga, balik bareng gue aja! lo trauma sama angkutan umum, Bi.”

Bintang tertegun, Langit masih ingat ternyata.

“Mau ya gue anterin?”

Karena melihat wajah Langit yang memelas, Bintang jadi tidak tega untuk menolak. Lagian ia juga kasian pada Langit yang sudah datang jauh-jauh untuk menjemputnya, meskipun Langit tidak menyebutkan alasannya kemari tapi Bintang akan sedikit percaya diri jika Langit datang hanya untuk menjemputnya.

“Yaudah, maaf ya gue ngerepotin lo.”

“Gak akan ngerepotin kalo orangnya itu lo, Bi.”


©vivi.