attention
ada begitu banyak yang bisa kamu pelajari saat kamu mendengarkan.”
rigel berlari ketika melihat perawakan bintang yang tengah berdiri mematung di depan ruangan uks, wajahnya tampak tidak berekspresi.
demi apapun rigel akan segera membongkar kedok naren yang sebenarnya. ryan yang ternyata berlari dibelakang rigel tampak mempercepat larinya ketika bintang menatap mereka berdua.
“loh kalian ngapain lari-lari?” bintang melirik baju ryan dan rigel yang basah oleh keringat.
“ini udah sore, kalian belum balik?” sudah dua jam setelah kejadian tadi, namun bintang heran kenapa rigel dan ryan masih belum pulang.
“udah balik, cuman ke sekolah lagi buat ketemu lo.”
“kenapa?”
meski dengan napas yang terengah ryan mencoba membuka suara, sumpah demi apapun ia takut jika langit kenapa-napa.
“anu kak, bang langit anu—”
“kalo kalian mau jelasin langit gak salah, maaf gue gak percaya. gue jelas liat sendiri gimana bonyoknya naren disana, langit juga dorong dia.”
“tapi langit gak ngedorong naren. iya dia emang adu jotos sama si naren, tapi itu karena naren yang nyari gara-gara sama langit, bi.”
belum selesai rigel menjelaskan, bintang tampak hendak menyela lagi. namun dengan sigap dan kesal, ryan menyela dengan sedikit berteriak.
“si naren bawa-bawa soal nyokap bang langit, kak. dia bilang kalo bang langit gak becus jadi anak sampe nyokapnya aja ninggalin dia.”
bintang tercekat. dadanya sakit ketika mengetahui fakta bahwa langit tidak bersalah, kakinya lemas seolah tidak bertulang.
“anak mana yang gak sakit kalo nyokapnya dibawa-bawa gitu kak, lo tau gimana sayangnya bang langit sama ibunya.”
dengan genangan air mata, bintang menatap rigel dan ryan secara bergantian. “langit sekarang dimana?”
“kita gatau, dari dua jam yang lalu kita udah nyari langit ke mana-mana. anaknya gak bisa dihubungin.” ryan sangat terlihat cemas, jelas dari raut wajahnya.
“kayaknya gak pegang hp deh, soalnya tadi gue liat tas langit dibiarin gitu aja di lapangan.”
bintang semakin merasa bersalah. kenapa dirinya begitu ceroboh sekali, ia tahu langit bagaimana. tapi kenapa ia malah salah memihak, kenapa ia bertindak bodoh.
“gue, gue mau cari langit.”
langit tampak belum puas memandang nisan sang mama. sudah pukul 17.00, sudah sekitar empat jam dirinya duduk diam didepan makan sang mama.
ditemani dengan semilir angin sore yang sepoi-sepoi, membuat langit memejam karena mengantuk. ia tersenyum pahit ketika teringat kejadian di lapangan tadi, ia tidak apa jika dikatai oleh naren.
namun yang membuat ia sangat sakit adalah bintangnya sudah tidak percaya padanya.
“ma, emang abang salah ya suka sama bintang? padahal abang juga gak minta buat dibikin suka sama bintang ma,” langit tertawa miris, luka yang ia dapat disudut bibirnya tidak ia hiraukan rasa perihnya.
ia terisak. “ma, emang langit anak yang gak becus ya? sampe mama ninggalin langit?”
hari semakin sore, matahari sudah sepenuhnya tenggelam. namun langit tidak peduli, ia hanya ingin ketenangan.
“emang langit salah ya ma lahir ke dunia? emang salah langit kalo bintang kalah olimpiade?”
langit meneteskan air matanya lagi. ia lelah, ia lelah karena terus saja dituntut dan dituduh untuk segala kesalahan yang bukan dirinya perbuat. ia merasa bahwa hidupnya sudah tidak berguna.
“ma, kalo langit ikut mama. mama marah gak?”
“cape juga ya ma, hidup tanpa mama. gak ada yang percaya langit lagi, soalnya cuman mama selalu percaya sama langit.”
langit memejamkan matanya ketika pening mulai melanda. gemuruh langit mulai terdengar, pertanda akan turunnya hujan.
“bahkan kayaknya semesta juga ngetawain nasib langit deh ma,” langit tertawa, menertawai nasibnya yang seperti ini.
“kayaknya kalo langit nyusul mama, mama gak keberatan kan? gak ada yang sayang langit disini ma.”
“ada.”
langit terdiam ketika mendengar suara yang tidak asing untuknya, jauh dibelakang tubuhnya bintang berdiri. enggan untuk melihat siapa yang berada dibelakangnya, langit lebih memilih berbicara tanpa menoleh.
“ngapain lo ke sini?”
“langit, sorry.”
“pulang, udah malem bi. bunda juga pasti nyariin!”
“sama kamu pulangnya.”
langit mendengus. “telpon pak budi.”
bintang berjalan mendekat, berjongkok untuk bergabung bersama langit yang tidak mengalihkan atensinya dari makam sang mama.
“pak budi udah pulang, gak ada yang jemput. makannya, pulangnya sama langit aja ya?”
“pake bus.”
“udah gak beroperasi, haltenya juga jauh langit.” bintang merengek.
langit tidak menanggapi rengekannya, maka terlintas satu ide dikepala bintang yang mungkin ampuh untuk membujuk langit mau memaafkannya.
“hai ma, ini bintang. maaf ma, bintang gak percaya sama langit soalnya tadi pagi langit jahat sama bintang. masa orang mau baikan disuruh ngejauh, kan gak baik ya ma.”
langit melirik bintang yang terlihat mengadu, meskipun keadaan disekitar sudah gelap karena hampir malam. langit masih bisa melihat bibir bintang yang manyun-manyun ketika mengadu pada mamanya.
“mama jangan kasih izin langit buat ikut mama, soalnya masalah dia sama bintang aja belum selesai. masa dia mau ninggalin bintang gitu aja, dia jahat kalo gitu—”
“ayo balik! gue anter.”
bintang tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya pada langit yang kini tengah mendengus.
“jangan senyum kaya gitu!”
“kenapa? bintang ganteng ya kalo senyum?”
“serem.” langit bersiap berbalik meninggalkan bintang yang merajuk dan tidak berjalan mengikutinya.
“cepetan kalo gak mau diikutin sama mba-mba.”
“jangan nakutin! ih tungguin langit!”
bintang sudah duduk anteng dibelakang jok motor sport hitam milik langit. lelaki itu terus saja diam enggan membuka percakapan dengan bintang, padahal bintang sudah mengoceh begitu panjang.
“stop, stop langit!”
“mau ngapain?”
“tunggu disini! jangan kemana-mana, jangan banyak tingkah! tungguin bintangnya!”
“yaudah sana cepetan, atau mau gue tinggal disini?”
“galak banget!”
bintang berjalan masuk ke dalam apotek, meninggalkan langit yang tersenyum tipis diatas jok motornya. tak lama bintang keluar dengan sekantung kresek yang langit yakin isinya obat-obatan.
“udah?”
bintang mengangguk.
“yaudah cepet naik, nunggu apa lagi.”
“sabar kek, jangan galak-galak.”
“laper gak?”
“engga, bintang nggak laper—”
kriuk
bintang bersumpah ia ingin menyembunyikan wajahnya. ia malu, kenapa cacing didalam perutnya tidak bisa diajak kompromi sih.
“kita makan dulu.”
maka bintang hanya bisa mengangguk dan menurut.