vivi

bxb, hoonreun—learning to appreciate a process for a change.


Japan, January 22, 2023. 22.00 pm.

Kala itu suasana kamar hotel milik Sunghoon dan Jay dipenuhi oleh member yang lain. Kamar yang tadinya sunyi senyap berubah menjadi seperti pasar malam ketika kelima-nya masuk secara berbarengan, dengan membawa kompresan dan juga cemilan ditangannya masing-masing.

“Kakak astaga ini suhu badan-nya panas banget, mau Jungwon kompres pake air dingin?”

Tiba-tiba saja dirinya digeser oleh presensi tubuh tinggi milik yang lebih muda, “Kata emak gue kalo ada yang demam itu kompresnya pake air anget, awas biar gue aja!”

“Mana ada yang pake air anget? jangan ngaco lo iki!” hardik Sunoo sambil menepuk sundak Riki dengan kencang. Membuat yang lebih muda meringis kesakitan.

“Aw! bang Sunoo nih, emak gue yang bilang.”

Di lanjut dengan yang lebih tua yang bergelendot manja dan memeluk tubuh Sunghoon yang menyamping ke kiri, ia elus dan nyanyikan si cantik dengan nada penuh penghayatan—sebelum kegiatannya diganggu oleh Jake yang menyeret dirinya keluar dari dalam selimut yang sama dengan Sunghoon.

“Bang! kalo lo sakit gua gamau ngobatin ya, lagian kasian itu Sunghoon kalo ditempelin mulu. Gerah!”

“Enggak ya cil, kamu engga keberatan kakak tempelin kan?”

Sunghoon yang kesadarannya tipis hanya mengangguk saja, ia sungguh pusing karena flu-nya, ditambah lagi dengan kedatangan ketiga pacarnya, dan juga adik-adiknya.

“Ikeu, boleh minta minum enggak? aku haus.” ujar Sunghoon serak.

Maka dengan kalang kabut, kelima orang itu langsung berlari menuju tempat air minum berada. Bahkan, Jake yang notabenya kalem, kini malah saling dorong dengan Heeseung untuk mengambilkan Sunghoon untuk minum.

Sunghoon yang melihat perdebatan itu hanya menghela nafas dan memijit kepalanya, “Astaga, Jay aku maunya kamu.” ujarnya pelan.


Sekitar tiga puluh menit setelahnya, akhirnya kelima orang itu keluar kamar Sunghoon karena Manajer yang menyuruh mereka keluar untuk beristirahat.

Mereka keluar dengan meninggalkan kecupan singkat di setiap titik yang ada diwajah Sunghoon, buat yang dikecup hanya terkekeh dan tersenyum manis. Buat kelimanya paham jika mereka datang terlalu lama, mereka malah buat si cantiknya tidak bisa beristirahat.

“Jay.........” ringis Sunghoon pasrah ketika pening dikepalanya kembali lagi.

Sunghoon hampir gila ketika menahan pening ini selama konser tadi, dirinya ingin menangis ketika hampir kehilangan keseimbangan dimobil yang disediakan tim agensi tadi.

“Jay, tolong.......”

Ceklek.

Suara pintu terbuka membuat Sunghoon terkesiap dari tidurnya yang hampir lelap. Dirinya berbalik untuk melihat siapa yang datang.

Matanya berkaca-kaca ketika ia lihat Jay dengan sebuah kantong yang ia yakini adalah sebuah makanan, dan kantong yang lainnya berisikan sebuah obat.

“Kangen kamu.....” rengek Sunghoon sambil terbangun dari tidurnya.

Ia terduduk diatas ranjang sambil merengek, memperhatikan Jay yang sibuk sendiri. Mulai dari melepas jaket yang ia kenangan, lalu berjalan ke arah meja dan menaruh makanan, lalu berjalan lagi ke arah kamar mandi dengan sebaskom air untuk kompresan.

Sunghoon sangat ingin menangis ketika presensi dirinya tidak dihiraukan oleh yang lebih tua, terbukti dengan Jay yang hanya meletakan sebaskom air itu di nakas samping tempat tidur Sunghoon.

“Jay.......” tidak digubris.

Jay memilih duduk dan menyalakan ipad miliknya di ranjangnya sendiri, kamar Sunghoon dan Jay memiliki dua ranjang, dengan satu ranjangnya berukuran King Size dan itu ditempati oleh Sunghoon.

“Jeiii, mau kamu. Kepala aku berisik banget.....” rengeknya lagi, namun nihil.

Yang lebih tua tidak menggubris, dirinya malah memasang earphone pada telinganya untuk meredam kebisingan. Tindakan Jay barusan mampu membuat Sunghoon menangis lebih kencang, yang tadinya hanya tangisan tanpa suara berubah menjadi tangisan memilukan.

Sunghoon merasa tidak setidak diinginkan ini.

“Jay, aku sakit.....” rengeknya lagi.

Jay yang sebenarnya tidak mendengarkan apapun lewat Earphone yang ia pakai masih bisa mendengar suara Sunghoon yang menggerung menangis kencang.

Maka ia letakan Ipad ditangannya pada nakas miliknya, kemudian berjalan ke arah kasur yang lebih muda. Ia dapati Sunghoon yang meringkuk dan menangis didalam selimutnya sendiri hingga terdengar suara segukan yang menyayat hati.

“Sini bangun, makan dulu baru minum obatnya.”

“Jeii, aku sakit...”

“Iya tau sakit, makannya makan terus minum obat dulu.”

Sunghoon kembali mencebikkan bibirnya ke bawah karena yang lebih tua tidak menatapnya sama sekali. Maka dengan gemas dan kesal, ia putar kepala Jay untuk menatap wajahnya.

“Lihat aku! bilangnya sambil lihat Sunghoon, aku sakit jeii!” rengeknya sambil dibarengi dengan segukan.

Jay menghela nafas dan menaruh kembali bubur yang ia beli tadi pada sisi tubuhnya, ia menghapus air mata yang terus mengalir di wajah si manis. Sunghoon kembali mencebikkan bibirnya lagi, ingin diperhatikan.

“Makan dulu, baru tidur. Ya?”

“Suapin.”

“Iya disuapin.”

Jay dengan telaten menyuapi Sunghoon yang kini sudah tidak menangis, namun segukannya masih bisa Jay dengar.

“Udah, kenyang.”

“Udah?”

“Huum, mau peluk!”

“Minum obat dulu.”

“Abis itu peluk?”

“Abis itu tidur.”

Merasa dirinya ditolak lagi, Sunghoon kembali berkaca-kaca dan menangis. Kini lebih kencang, membuat Jay yang melihatnya tidak tahan lagi untuk mengecup bibir itu agar bungkam.

“Cium? lagi Jeii, mau lagi. Obatnya pait.”

“Kenapa enggak minta pacar kamu yang lain yang cium, tadi dipanggung clingy banget perasaan.”

Ah, cemburu.

“Maunya sama kamu, ya?”

“Kenapa sama aku?”

“Kamu pacar aku!”

“Yaudah iya!”

Chup.

“Lagi!”

Maka dengan gemas Jay kecup semua sisi yang ada pada tubuh dan wajah Sunghoon, buat yang lebih muda terkekeh geli. Jay yang kelelahan hanya tersenyum, mentarinya sudah kembali bersinar dan itu karna dirinya.

“Udah, sekarang bobo.”

“Puk-puk, kamu bobo disamping aku aja ya? kunci pintunya.”

“Kenapa dikunci?”

“Ya, siapa tau kamu mau ngelakuin hal yang enak.” ujar Sunghoon sambil mengerlingkan matanya jahil.

“Maunya gitu, tapi kamunya sakit. Jadi ditunda dulu.”

“Padahal aku sehat dan bugar loh Jeii.”

“Jangan bandel, besok masih ada kegiatan.”

Berakhir Sunghoon yang tergelak lagi sambil menyusup diperpotongan leher Jay, membuat yang lebih tua mendesis pelan.

“Jangan digigit!”

“Ehehehe....maaf.”

Keduanya saling berpelukan dengan Jay yang menyusup dan menepuk bokong Sunghoon dengan pelan, di nyanyikanlah sebuah lulabi indah di telinga sunghoon dengan pelan.

Sunghoon yang masih belum tertidur pun mendongak dan melihat Jay untuk ia goda kembali, Jay yang melihat si nakal belum tertidur pun mengecup bibirnya sekali, dan buat si cantik merona dan telusupkan wajahnya pada dada bidang yang lebih tua.

“Janganciumakuakumalunantikamuketularan!” ujar yang lebih muda.

“Hah? kamu mau jadi rapper itu ngomongnya cepet banget. Coba ngomongnya sambil lihat akunya, sini mana coba aku mau lihat wajahnya si cantik.”

Maka dengan malu-malu Sunghoon angkat kembali wajahnya, dagunya diangkat oleh Jay dengan pelan. Berikan kecupan lagi pada bibirnya, namun dengan sedikit agak lama.

“Coba, ngomong apa tadi sayang?”

“Jangan cium aku, nanti kamu ketularan.” ucap Sunghoon sambil matanya tidak bisa diam, ia menatap apa saja asal bukan mata Jay.

Buat yang lebih tua terkekeh, “Enggak bakal ketularan, aku udah vaksin.”

“Ish, kamumah.”

“Bobo lagi, besok ada kegiatan sayang.”

“Iya. Kamu juga bobo Jeii!”

“Iya, ini juga mau sayang.”

Sunghoon hanya mengangguk dan tersenyum, mengelus rahamg tegas milik Jay dan tersipu malu lagi ketika yang lebih tua berikan tatapan intens padanya.

“Ish, jangan goda aku!”

“Ahahaha.....iya sayang enggak, tidur.”

“I love you, Jei.”

“Love your more, Baby.”

“ISH JANGAN GITU, MALU!”

“Ahahaha....”


Written by ©vivi.

Is That you my love? I have waited for you very long.


Seoul, Korea Selatan 20 November 2066, 23.30 pm.

Hampir tengah malam, tapi rupanya kedua insan yang tengah menatap langit malam enggan untuk terlelap.

Langit malam hari adalah perpaduan yang pas dengan sebuah pelukan kasih sayang yang diberikan oleh seseorang yang kita cinta. Langit yang bertebaran bintang, membuat malam semakin cantik. Bintang menemani sang rembulan untuk terus terjaga dan menghiasi malam.

Mungkin rembulan akan cemburu ketika melihat kedua insan yang masih berbagi cinta dan kasih di balkon rumah megah milik Raksa Hugo.

Hugo memeluk Sky dari belakang, memeluk tubuh ringkih yang entah kapan kini selalu terikat dengan dirinya. Tujuh tahun berlalu begitu cepat, segala hal yang ia alami pasti ada hubungannya dengan Sky.

“Mau masuk sekarang? sudah cukup malam, Sky.”

Pemuda pirang itu menggeleng, mengeratkan kedua tangan Hugo pada perutnya. “Gini dulu ya, mas?”

Maka Raksa Hugo takan bisa berkata tidak untuk setiap permintaan yang Sky lontarkan.

Sky menghirup nafasnya dalam-dalam seraya memejamkan kedua mata dengan erat untuk menikmati udara malam yang begitu sejuk hari ini. Hugo melihatnya, ia mengelus pipi dengan semburan merah alami itu dengan lembut.

Beberapa detik setelahnya, Sky kembali membuka mata. Senyumnya mengembang sempurna saat dirinya rasakan elusan pada kepalanya.

Malam mungkin memang kian sunyi, tapi yang bermalam di kepala Sky kian bising. Ketakutan akan ditinggalkan membuat Sky enggan untuk melepas Hugo untuk berpamitan, segala hal dan alasan telah ia coba untuk mengulur waktu yang terkasih untuk pergi meninggalkan.

Ia tahu ini adalah tugas dari Hugo sebagai seorang anak yang berbakti pada orang tuanya, namun yang ia inginkan adalah ia ingin juga turut membantu dalam setiap proses kehidupan yang berkaitan dengan Hugo. Namun, jawaban yang ia dapatkan adalah “Gaboleh dong sayang, terapi kamu belum selesai.”

Lihat kerut kecemasan yang tergambar pada wajah kasihnya, Hugo coba daratkan ciuman singkat pada pelipisnya.

“Sayang, udah dong..”

“Mas kamu yakin ninggalin aku sendirian disini? kamu ajak Noah, tapi enggak ajak aku juga.”

“Maaf sayang, maaf.”

Hugo daratkan cium pada kedua tangan yang lebih muda. Gendong paksa karena Sky terus enggan untuk diajak masuk ke dalam kamar, Noah sudah tidur lebih awal. Niatnya Hugo akan bawa anaknya itu dalam keadaan tertidur bersamanya ke bandara.

Hugo turunkan tubuh mungil Sky pada daratan kasur yang empuk dengan perlahan, undang tawa yang lebih muda menguar ke udara.

“Udah ah mas, kamu naro aku di kasur kaya naro guci antik yang gampang rusak.”

Hugo balas kekehan yang lebih muda, “Gapapa sayang.”

“Mas, tujuh tahun kita bareng. Tapi aku belum pernah bisa layanin nafsu kamu, kamu gak mau nyentuh aku sama sekali. Kamu gak ada nafsu ya sama aku?”

“Tiba-tiba? kamu nanya seperti ini kenapa Sky?”

“Mas, kamu mau ke London lagi tapi gatau pulangnya kapan, aku takut kangen. Aku ngerasa enggak adil karena enggak penuhi nafsu kamu.”

“Hei, saya enggak nyentuh kamu bukan berarti saya gak ada nafsu sama kamu sayang. Selama tujuh tahun, mas tahan untuk kebaikan kamu juga. Mas mau terapi yang kamu jalanin maksimal dan enggak keganggu.”

Hugo tatap kedua jelaga kelam milik Sky yang menatap arah depan dengan pandangan kosong. Ia usap surai pirang milik kasihnya yang mulai memanjang, sepertinya harus segera dipotong karena ia takut rambut panjang Sky malah menghambat segala aktifitasnya. Meskipun Hugo lebih suka Sky dengan rambut yang sedikit panjang.

“Mas, kamu yakin ninggalin suaminya sendirian?”

Hugo rasakan hatinya berdesir hebat ketika sebuah kata panggilan yang tidak pernah ia dengar terlontar begitu saja pada bibir manis kasihnya.

“Sky, saya sudah minta keluarga kedua saya untuk menjaga kamu.”

“Aku takut mereka gak nerima aku mas, gimana?”

“Percaya, saya enggak bakalan serahin kamu gitu aja kalo mereka bukan orang baik Sky.” balas Hugo lagi.

Sky menghirup nafasnya dalam, “Oke, tapi aku punya satu permintaan.”

“Apa itu?”

“Noah jangan kamu ajak, biarin dia tinggal sama aku disini. Ya, mas?”

Hugo hembuskan nafas pasrah, maka ia kecup lagi pelipis yang lebih muda.

“Okay, mas enggak bakalan ajak Noah buat ikut mas ke London.”

Senyum Sky mengembang seketika, membuat pipi gembil dengan merah merona itu terangkat hingga membuat kedua mata indahnya menyipit seperti bulan sabit.

tok tok tok

“Den, maaf. Itu ada tamu” ucap seorang bibi berusia lima puluh tahunan. Namanya Bi Minah, salah satu art yang bekerja pada Hugo.

“Siapa Bi?” ucap Sky.

“Gatau den, katanya temen den Hugo. Bibi baru liat mukanya, tapi cakep poll!” ujarnya lagi membuat Sky terkekeh.

“Yaudah bi terimakasih, nanti saya sama Sky turun. Bibi duluan saja, jangan lupa siapin minuman ya bi.”

“Baik den.”

Akhirnya tinggal mereka berdua. Sungguh jika bukan demi kebaikan Sky, ia tidak mau berbagi Sky dengan orang lain meskipun itu Jenan—yang masih berstatus suami Sky. Tapi, apakah Jenan masih pantas dipanggil suami setelah berpisah dengan Sky selama hampir delapan tahun?

Hugo tatap wajah cantik milik Sky yang tengah melamun, andai ia bisa perlihatkan dunia pada kasihnya, Hugo akan lakukan apapun demi kesembuhan Sky.

“Yaudah, kamu mau ikut turun? saya sebentar lagi mau ke bandara.”

“Mau.”

Maka dituntunlah Sky oleh Hugo, mereka berjalan beriringan.

Di luar sana, tepatnya di ruang tamu rumah Hugo. Terlihat seorang pria dengan setelan kemeja putih dilengkapi oleh dasi hitam, dan juga celana bahan warna hitam. Tangannya bertaut gugup, ia gigit bibirnya untuk meredam gugupnya.

Jenan Karius Lakhsan, pria yang kini berusia tiga puluh tahun itu tetap tampan meskipun terlihat sedikit kerutan di bawah matanya. Lelaki yang dambakan cintanya kembali padanya, yang sukarela membantu Sky untuk ingat dengan semuanya.

“Kenapa lo gak minum airnya Jen?”

Jenan tolehkan kepalanya ke arah suara milik Hugo, kedua netra kelamnya langsung tertuju pada lelaki manis dengan piyama berwarna hitam melekat di tubuhnya. Itu, Biya-nya, itu Sena-nya.

“Biya.....” ucap Jenan lirih.

Untuk kesekian kalinya Jenan masih rasakan buncahan yang amat sangat dasyat dalam rongga dadanya ketika ia lihat bagaimana anggun dan cantiknya seorang Abiya Sena Alister. Bulu mata yang panjang, bibir merah alami, perona pipi alami, kulit seputih susu, obsidian hitam yang selalu membuatnya tenggelam.

Cantik, cantik, cantik. Rasa-rasanya kata itu belum cukup untuk Jenan ucapkan ketika ia lihat “Biya-nya” lagi. Bak adegan Slow motion Jenan bisa lihat Sena berjalan dengan perlahan, dengan senyum yang mengembang, Jenan bisa katakan jika lelaki yang berjalan ke arahnya bisa dikatakan sempurna untuk seorang manusia.

Hugo dan Sky kini duduk di hadapan Jenan, Hugo yang sudah siap dengan koper yang dibawakan oleh pak Dodi, supir pribadinya dan setelan mantel untuk berjaga-jaga jika cuaca sangat dingin.

Hugo melihat Jenan yang masih menatap Sky, Hugo tersenyum tipis. Ternyata sahabatnya ini memang sangat mencintai Sena.

“Sky, ini keluarga kedua yang saya maksud. Selama saya di London, Jenan yang bakalan urus kamu dan jagain kamu. Saya harap, kamu cepat akrab dengan dia.” ujar Hugo sembari merapikan anak rambut yang menghalangi wajah si manis.

“Halo mas Jenan, perkenalkan saya Skylar Benjamin Alister, suaminya mas Hugo.”

Bagai terkena petir, Jenan rasakan rongga dadanya yang menyempit, pasokan udara pada paru-parunya mengurang. Aliran darahnya berhenti begitu saja, “S-suami?” balas Jenan tergagap.

Sky mengangguk antusias, bibirnya tersenyum manis. “Iya, kami sudah memiliki satu anak laki-laki, tapi sekarang sudah tidur. Jika dia sudah bangun, saya akan perkenalkan kepada mas Jenan.” ucap Sky diselingi senyum bahagia.

Dengan wajah yang memutih pias, Jenan tolehkan matanya yang berkaca-kaca ke arah Hugo yang kini tengah membuang muka. Akhirnya Jenan tau yang dimaksud oleh Hugo terkait hal yang akan membuat Jenan terkejut, dan ini berhasil.

Jenan hampir mati ditempat ketika mendengarnya.

“Go...” lirih Jenan meminta penjelasan.

“Oh iya Sky, saya harus pergi sekarang. Nanti tolong ucapkan salam sayang saya pada Noah, jaga diri baik-baik selama saya tidak ada.” ucap Hugo sambil bersiap mendaratkan kecup kupu-kupu pada Sky.

“Iya mas, kamu hati-hati juga ya disana. Salam buat ibu, kalo sempet aku bakalan nyusul ke sana pas Sanka udah pulang.”

Sky berikan kecupan pada bibir Hugo di hadapan Jenan yang rasanya ingin berteriak saat itu juga. Sky lumat sedikit bibir Hugo ketika Hugo ingin menyudahi ciuman menuntut dari Sky.

“Mmph.....sayang” gagal, Hugo gagal menghentikan Sky. Bagaimana pun, di sana ada Jenan.

“Sayang, ada Jenan.” ucap Hugo yang berhasil buat Sky mematung dengan wajah memerah.

“Mm....maaf mas Jenan.”

“T-tidak apa-apa Sky.


written by vivi.

Is That you my love? I have waited for you very long.


Seoul, Korea Selatan 20 November 2066, 23.30 pm.

Hampir tengah malam, tapi rupanya kedua insan yang tengah menatap langit malam enggan untuk terlelap.

Langit malam hari adalah perpaduan yang pas dengan sebuah pelukan kasih sayang yang diberikan oleh seseorang yang kita cinta. Langit yang bertebaran bintang, membuat malam semakin cantik. Bintang menemani sang rembulan untuk terus terjaga dan menghiasi malam.

Mungkin rembulan akan cemburu ketika melihat kedua insan yang masih berbagi cinta dan kasih di balkon rumah megah milik Raksa Hugo.

Hugo memeluk Sky dari belakang, memeluk tubuh ringkih yang entah kapan kini selalu terikat dengan dirinya. Tujuh tahun berlalu begitu cepat, segala hal yang ia alami pasti ada hubungannya dengan Sky.

“Mau masuk sekarang? sudah cukup malam, Sky.”

Pemuda pirang itu menggeleng, mengeratkan kedua tangan Hugo pada perutnya. “Gini dulu ya, mas?”

Maka Raksa Hugo takan bisa berkata tidak untuk setiap permintaan yang Sky lontarkan.

Sky menghirup nafasnya dalam-dalam seraya memejamkan kedua mata dengan erat untuk menikmati udara malam yang begitu sejuk hari ini. Hugo melihatnya, ia mengelus pipi dengan semburan merah alami itu dengan lembut.

Beberapa detik setelahnya, Sky kembali membuka mata. Senyumnya mengembang sempurna saat dirinya rasakan elusan pada kepalanya.

Malam mungkin memang kian sunyi, tapi yang bermalam di kepala Sky kian bising. Ketakutan akan ditinggalkan membuat Sky enggan untuk melepas Hugo untuk berpamitan, segala hal dan alasan telah ia coba untuk mengulur waktu yang terkasih untuk pergi meninggalkan.

Ia tahu ini adalah tugas dari Hugo sebagai seorang anak yang berbakti pada orang tuanya, namun yang ia inginkan adalah ia ingin juga turut membantu dalam setiap proses kehidupan yang berkaitan dengan Hugo. Namun, jawaban yang ia dapatkan adalah “Gaboleh dong sayang, terapi kamu belum selesai.”

Lihat kerut kecemasan yang tergambar pada wajah kasihnya, Hugo coba daratkan ciuman singkat pada pelipisnya.

“Sayang, udah dong..”

“Mas kamu yakin ninggalin aku sendirian disini? kamu ajak Noah, tapi enggak ajak aku juga.”

“Maaf sayang, maaf.”

Hugo daratkan cium pada kedua tangan yang lebih muda. Gendong paksa karena Sky terus enggan untuk diajak masuk ke dalam kamar, Noah sudah tidur lebih awal. Niatnya Hugo akan bawa anaknya itu dalam keadaan tertidur bersamanya ke bandara.

Hugo turunkan tubuh mungil Sky pada daratan kasur yang empuk dengan perlahan, undang tawa yang lebih muda menguar ke udara.

“Udah ah mas, kamu naro aku di kasur kaya naro guci antik yang gampang rusak.”

Hugo balas kekehan yang lebih muda, “Gapapa sayang.”

“Mas, tujuh tahun kita bareng. Tapi aku belum pernah bisa layanin nafsu kamu, kamu gak mau nyentuh aku sama sekali. Kamu gak ada nafsu ya sama aku?”

“Tiba-tiba? kamu nanya seperti ini kenapa Sky?”

“Mas, kamu mau ke London lagi tapi gatau pulangnya kapan, aku takut kangen. Aku ngerasa enggak adil karena enggak penuhi nafsu kamu.”

“Hei, saya enggak nyentuh kamu bukan berarti saya gak ada nafsu sama kamu sayang. Selama tujuh tahun, mas tahan untuk kebaikan kamu juga. Mas mau terapi yang kamu jalanin maksimal dan enggak keganggu.”

Hugo tatap kedua jelaga kelam milik Sky yang menatap arah depan dengan pandangan kosong. Ia usap surai pirang milik kasihnya yang mulai memanjang, sepertinya harus segera dipotong karena ia takut rambut panjang Sky malah menghambat segala aktifitasnya. Meskipun Hugo lebih suka Sky dengan rambut yang sedikit panjang.

“Mas, kamu yakin ninggalin suaminya sendirian?”

Hugo rasakan hatinya berdesir hebat ketika sebuah kata panggilan yang tidak pernah ia dengar terlontar begitu saja pada bibir manis kasihnya.

“Sky, saya sudah minta keluarga kedua saya untuk menjaga kamu.”

“Aku takut mereka gak nerima aku mas, gimana?”

“Percaya, saya enggak bakalan serahin kamu gitu aja kalo mereka bukan orang baik Sky.” balas Hugo lagi.

Sky menghirup nafasnya dalam, “Oke, tapi aku punya satu permintaan.”

“Apa itu?”

“Noah jangan kamu ajak, biarin dia tinggal sama aku disini. Ya, mas?”

Hugo hembuskan nafas pasrah, maka ia kecup lagi pelipis yang lebih muda.

“Okay, mas enggak bakalan ajak Noah buat ikut mas ke London.”

Senyum Sky mengembang seketika, membuat pipi gembil dengan merah merona itu terangkat hingga membuat kedua mata indahnya menyipit seperti bulan sabit.

tok tok tok

“Den, maaf. Itu ada tamu” ucap seorang bibi berusia lima puluh tahunan. Namanya Bi Minah, salah satu art yang bekerja pada Hugo.

“Siapa Bi?” ucap Sky.

“Gatau den, katanya temen den Hugo. Bibi baru liat mukanya, tapi cakep poll!” ujarnya lagi membuat Sky terkekeh.

“Yaudah bi terimakasih, nanti saya sama Sky turun. Bibi duluan saja, jangan lupa siapin minuman ya bi.”

“Baik den.”

Akhirnya tinggal mereka berdua. Sungguh jika bukan demi kebaikan Sky, ia tidak mau berbagi Sky dengan orang lain meskipun itu Jenan—yang masih berstatus suami Sky. Tapi, apakah Jenan masih pantas dipanggil suami setelah berpisah dengan Sky selama hampir delapan tahun?

Hugo tatap wajah cantik milik Sky yang tengah melamun, andai ia bisa perlihatkan dunia pada kasihnya, Hugo akan lakukan apapun demi kesembuhan Sky.

“Yaudah, kamu mau ikut turun? saya sebentar lagi mau ke bandara.”

“Mau.”

Maka dituntunlah Sky oleh Hugo, mereka berjalan beriringan.

Di luar sana, tepatnya di ruang tamu rumah Hugo. Terlihat seorang pria dengan setelan kemeja putih dilengkapi oleh dasi hitam, dan juga celana bahan warna hitam. Tangannya bertaut gugup, ia gigit bibirnya untuk meredam gugupnya.

Jenan Karius Lakhsan, pria yang kini berusia tiga puluh tahun itu tetap tampan meskipun terlihat sedikit kerutan di bawah matanya. Lelaki yang dambakan cintanya kembali padanya, yang sukarela membantu Sky untuk ingat dengan semuanya.

“Kenapa lo gak minum airnya Jen?”

Jenan tolehkan kepalanya ke arah suara milik Hugo, kedua netra kelamnya langsung tertuju pada lelaki manis dengan piyama berwarna hitam melekat di tubuhnya. Itu, Biya-nya, itu Sena-nya.

“Biya.....” ucap Jenan lirih.

Untuk kesekian kalinya Jenan masih rasakan buncahan yang amat sangat dasyat dalam rongga dadanya ketika ia lihat bagaimana anggun dan cantiknya seorang Abiya Sena Alister. Bulu mata yang panjang, bibir merah alami, perona pipi alami, kulit seputih susu, obsidian hitam yang selalu membuatnya tenggelam.

Cantik, cantik, cantik. Rasa-rasanya kata itu belum cukup untuk Jenan ucapkan ketika ia lihat “Biya-nya” lagi. Bak adegan Slow motion Jenan bisa lihat Sena berjalan dengan perlahan, dengan senyum yang mengembang, Jenan bisa katakan jika lelaki yang berjalan ke arahnya bisa dikatakan sempurna untuk seorang manusia.

Hugo dan Sky kini duduk di hadapan Jenan, Hugo yang sudah siap dengan koper yang dibawakan oleh pak Dodi, supir pribadinya dan setelan mantel untuk berjaga-jaga jika cuaca sangat dingin.

Hugo melihat Jenan yang masih menatap Sky, Hugo tersenyum tipis. Ternyata sahabatnya ini memang sangat mencintai Sena.

“Sky, ini keluarga kedua yang saya maksud. Selama saya di London, Jenan yang bakalan urus kamu dan jagain kamu. Saya harap, kamu cepat akrab dengan dia.” ujar Hugo sembari merapikan anak rambut yang menghalangi wajah si manis.

“Halo mas Jenan, perkenalkan saya Skylar Benjamin Alister, suaminya mas Hugo.”

Bagai terkena petir, Jenan rasakan rongga dadanya yang menyempit, pasokan udara pada paru-parunya mengurang. Aliran darahnya berhenti begitu saja, “S-suami?” balas Jenan tergagap.

Sky mengangguk antusias, bibirnya tersenyum manis. “Iya, kami sudah memiliki satu anak laki-laki. Saya sama anak saya gak ikut sama mas Hugo ke London, jika anak saya sudag bangun, saya akan perkenalkan kepada mas Jenan.”

Dengan wajah yang memutih, Jenan tolehkan matanya yang berkaca-kaca ke arah Hugo yang kini tengah membuang muka. Akhirnya Jenan tau yang dimaksud oleh Hugo terkait hal yang akan membuat Jenan terkejut, dan ini berhasil.

Jenan hampir mati ditempat ketika mendengarnya.

“Go...” lirih Jenan meminta penjelasan.

“Oh iya Sky, saya harus pergi sekarang. Nanti tolong ucapkan salam sayang saya pada Noah, jaga diri baik-baik selama saya tidak ada.” ucap Hugo sambil bersiap mendaratkan kecup kupu-kupu pada Sky.

“Iya mas, kamu hati-hati juga ya disana. Salam buat ibu, kalo sempet aku bakalan nyusul ke sana pas Sanka udah pulang.”

Sky berikan kecupan pada bibir Hugo di hadapan Jenan yang rasanya ingin berteriak saat itu juga. Sky lumat sedikit bibir Hugo ketika Hugo ingin menyudahi ciuman menuntut dari Sky.

“Sayang, ada Jenan.” ucap Hugo yang berhasil buat Sky mematung dengan wajah memerah.

“Mm....maaf mas Jenan.”

“T-tidak apa-apa Sky.


written by vivi.

Is That you my love? I have waited for you very long.


Seoul, Korea Selatan 20 November 2066, 23.30 pm.

Hampir tengah malam, tapi rupanya kedua insan yang tengah menatap langit malam enggan untuk terlelap.

Langit malam hari adalah perpaduan yang pas dengan sebuah pelukan kasih sayang yang diberikan oleh seseorang yang kita cinta. Langit yang bertebaran bintang, membuat malam semakin cantik. Bintang menemani sang rembulan untuk terus terjaga dan menghiasi malam.

Mungkin rembulan akan cemburu ketika melihat kedua insan yang masih berbagi cinta dan kasih di balkon rumah megah milik Raksa Hugo.

Hugo memeluk Sky dari belakang, memeluk tubuh ringkih yang entah kapan kini selalu terikat dengan dirinya. Tujuh tahun berlalu begitu cepat, segala hal yang ia alami pasti ada hubungannya dengan Sky.

“Mau masuk sekarang? sudah cukup malam, Sky.”

Pemuda pirang itu menggeleng, mengeratkan kedua tangan Hugo pada perutnya. “Gini dulu ya, mas?”

Maka Raksa Hugo takan bisa berkata tidak untuk setiap permintaan yang Sky lontarkan.

Sky menghirup nafasnya dalam-dalam seraya memejamkan kedua mata dengan erat untuk menikmati udara malam yang begitu sejuk hari ini. Hugo melihatnya, ia mengelus pipi dengan semburan merah alami itu dengan lembut.

Beberapa detik setelahnya, Sky kembali membuka mata. Senyumnya mengembang sempurna saat dirinya rasakan elusan pada kepalanya.

Malam mungkin memang kian sunyi, tapi yang bermalam di kepala Sky kian bising. Ketakutan akan ditinggalkan membuat Sky enggan untuk melepas Hugo untuk berpamitan, segala hal dan alasan telah ia coba untuk mengulur waktu yang terkasih untuk pergi meninggalkan.

Ia tahu ini adalah tugas dari Hugo sebagai seorang anak yang berbakti pada orang tuanya, namun yang ia inginkan adalah ia ingin juga turut membantu dalam setiap proses kehidupan yang berkaitan dengan Hugo. Namun, jawaban yang ia dapatkan adalah “Gaboleh dong sayang, terapi kamu belum selesai.”

Lihat kerut kecemasan yang tergambar pada wajah kasihnya, Hugo coba daratkan ciuman singkat pada pelipisnya.

“Sayang, udah dong..”

“Mas kamu yakin ninggalin aku sendirian disini? kamu ajak Noah, tapi enggak ajak aku juga.”

“Maaf sayang, maaf.”

Hugo daratkan cium pada kedua tangan yang lebih muda. Gendong paksa karena Sky terus enggan untuk diajak masuk ke dalam kamar, Noah sudah tidur lebih awal. Niatnya Hugo akan bawa anaknya itu dalam keadaan tertidur bersamanya ke bandara.

Hugo turunkan tubuh mungil Sky pada daratan kasur yang empuk dengan perlahan, undang tawa yang lebih muda menguar ke udara.

“Udah ah mas, kamu naro aku di kasur kaya naro guci antik yang gampang rusak.”

Hugo balas kekehan yang lebih muda, “Gapapa sayang.”

“Mas, tujuh tahun kita bareng. Tapi aku belum pernah bisa layanin nafsu kamu, kamu gak mau nyentuh aku sama sekali. Kamu gak ada nafsu ya sama aku?”

“Tiba-tiba? kamu nanya seperti ini kenapa Sky?”

“Mas, kamu mau ke London lagi tapi gatau pulangnya kapan, aku takut kangen. Aku ngerasa enggak adil karena enggak penuhi nafsu kamu.”

“Hei, saya enggak nyentuh kamu bukan berarti saya gak ada nafsu sama kamu sayang. Selama tujuh tahun, mas tahan untuk kebaikan kamu juga. Mas mau terapi yang kamu jalanin maksimal dan enggak keganggu.”

Hugo tatap kedua jelaga kelam milik Sky yang menatap arah depan dengan pandangan kosong. Ia usap surai pirang milik kasihnya yang mulai memanjang, sepertinya harus segera dipotong karena ia takut rambut panjang Sky malah menghambat segala aktifitasnya. Meskipun Hugo lebih suka Sky dengan rambut yang sedikit panjang.

“Mas, kamu yakin ninggalin suaminya sendirian?”

Hugo rasakan hatinya berdesir hebat ketika sebuah kata panggilan yang tidak pernah ia dengar terlontar begitu saja pada bibir manis kasihnya.

“Sky, saya sudah minta keluarga kedua saya untuk menjaga kamu.”

“Aku takut mereka gak nerima aku mas, gimana?”

“Percaya, saya enggak bakalan serahin kamu gitu aja kalo mereka bukan orang baik Sky.” balas Hugo lagi.

Sky menghirup nafasnya dalam, “Oke, tapi aku punya satu permintaan.”

“Apa itu?”

“Noah jangan kamu ajak, biarin dia tinggal sama aku disini. Ya, mas?”

Hugo hembuskan nafas pasrah, maka ia kecup lagi pelipis yang lebih muda.

“Okay, mas enggak bakalan ajak Noah buat ikut mas ke London.”

Senyum Sky mengembang seketika, membuat pipi gembil dengan merah merona itu terangkat hingga membuat kedua mata indahnya menyipit seperti bulan sabit.

tok tok tok

“Den, maaf. Itu ada tamu” ucap seorang bibi berusia lima puluh tahunan. Namanya Bi Minah, salah satu art yang bekerja pada Hugo.

“Siapa Bi?” ucap Sky.

“Gatau den, katanya temen den Hugo. Bibi baru liat mukanya, tapi cakep poll!” ujarnya lagi membuat Sky terkekeh.

“Yaudah bi terimakasih, nanti saya sama Sky turun. Bibi duluan saja, jangan lupa siapin minuman ya bi.”

“Baik den.”

Akhirnya tinggal mereka berdua. Sungguh jika bukan demi kebaikan Sky, ia tidak mau berbagi Sky dengan orang lain meskipun itu Jenan—yang masih berstatus suami Sky. Tapi, apakah Jenan masih pantas dipanggil suami setelah berpisah dengan Sky selama hampir delapan tahun?

Hugo tatap wajah cantik milik Sky yang tengah melamun, andai ia bisa perlihatkan dunia pada kasihnya, Hugo akan lakukan apapun demi kesembuhan Sky.

“Yaudah, kamu mau ikut turun? saya sebentar lagi mau ke bandara.”

“Mau.”

Maka dituntunlah Sky oleh Hugo, mereka berjalan beriringan.

Di luar sana, tepatnya di ruang tamu rumah Hugo. Terlihat seorang pria dengan setelan kemeja putih dilengkapi oleh dasi hitam, dan juga celana bahan warna hitam. Tangannya bertaut gugup, ia gigit bibirnya untuk meredam gugupnya.

Jenan Karius Lakhsan, pria yang kini berusia tiga puluh tahun itu tetap tampan meskipun terlihat sedikit kerutan di bawah matanya. Lelaki yang dambakan cintanya kembali padanya, yang sukarela membantu Sky untuk ingat dengan semuanya.

“Kenapa lo gak minum airnya Jen?”

Jenan tolehkan kepalanya ke arah suara milik Hugo, kedua netra kelamnya langsung tertuju pada lelaki manis dengan piyama berwarna hitam melekat di tubuhnya. Itu, Biya-nya, itu Sena-nya.

“Biya.....” ucap Jenan lirih.

Hugo dan Sky kini duduk di hadapan Jenan, Hugo yang sudah siap dengan koper yang dibawakan oleh pak Dodi, supir pribadinya dan setelan mantel untuk berjaga-jaga jika cuaca sangat dingin.

Hugo melihat Jenan yang masih menatap Sky, Hugo tersenyum tipis. Ternyata sahabatnya ini memang sangat mencintai Sena.

“Sky, ini keluarga kedua yang saya maksud. Selama saya di London, Jenan yang bakalan urus kamu dan jagain kamu. Saya harap, kamu cepat akrab dengan dia.” ujar Hugo sembari merapikan anak rambut yang menghalangi wajah si manis.

“Halo mas Jenan, perkenalkan saya Skylar Benjamin Alister, suaminya mas Hugo.”

Bagai terkena petir, Jenan rasakan rongga dadanya yang menyempit, pasokan udara pada paru-parunya mengurang. Aliran darahnya berhenti begitu saja, “S-suami?” balas Jenan tergagap.

Sky mengangguk antusias, bibirnya tersenyum manis. “Iya, kami sudah memiliki satu anak laki-laki. Saya sama anak saya gak ikut sama mas Hugo ke London, jika anak saya sudag bangun, saya akan perkenalkan kepada mas Jenan.”

Dengan wajah yang memutih, Jenan tolehkan matanya yang berkaca-kaca ke arah Hugo yang kini tengah membuang muka. Akhirnya Jenan tau yang dimaksud oleh Hugo terkait hal yang akan membuat Jenan terkejut, dan ini berhasil.

Jenan hampir mati ditempat ketika mendengarnya.

“Go...” lirih Jenan meminta penjelasan.

“Oh iya Sky, saya harus pergi sekarang. Nanti tolong ucapkan salam sayang saya pada Noah, jaga diri baik-baik selama saya tidak ada.” ucap Hugo sambil bersiap mendaratkan kecup kupu-kupu pada Sky.

“Iya mas, kamu hati-hati juga ya disana. Salam buat ibu, kalo sempet aku bakalan nyusul ke sana pas Sanka udah pulang.”

Sky berikan kecupan pada bibir Hugo di hadapan Jenan yang rasanya ingin berteriak saat itu juga. Sky lumat sedikit bibir Hugo ketika Hugo ingin menyudahi ciuman menuntut dari Sky.

“Sayang, ada Jenan.” ucap Hugo yang berhasil buat Sky mematung dengan wajah memerah.

“Mm....maaf mas Jenan.”

“T-tidak apa-apa Sky.


written by vivi.

From Universe : Vulnerable sequel from kontrak universe Chapter of : Hiraeth.

au bxb, jayhoon, angst, mention of car accident, blood, and medical words, with all due respect, I apologize if there are medical terms and words that are not in accordance with the procedure

bacanya pelan-pelan ya soalnya agak panjang, 1459 words. happy reading.


📍Yulje Medical Center. 03 November 2066, 14.00 pm.

Jam sudah menunjukan tepat pada pukul dua siang, Sanka membawa Sky pada ruangan milik salah satu dokter yang bekerja di Rumah sakit ternama ini. Sanka memegang tangan Sky yang terasa dingin dan sedikit berkeringat, gugup.

Sanka berhenti tepat didepan pintu putih yang didepannya terdapat sebuah papan pengenal agar pasien bisa mengenali ruangan tersebut. Di sana terdapat nama Dr. Jauzan Sebastian Danish spesialis mata, tanpa ragu Sanka mengetuk pintu tersebut.

Tok,tok,tok!

“Silahkan masuk!”

Ceklek

Keduanya berjalan masuk, disana sudah terlihat seorang pria manis lengkap dengan Stetoskop dan juga Snelli kebanggaannya tengah membaca sebuah laporan yang Sanka yakini adalah hasil laporan medical check up milik Sky.

“Selamat siang dokter Jauzan, perkenalkan saya Sanka louis gabriel, dan ini kakak saya Sky.” ucap Sanka sambil melirik Sky yang tampak gelisah.

Dengan keadaan Sky yang seperti ini biasanya hanya Hugo yang bisa menenangkannya, namun Sanka pun sudah berusaha sejak tadi untuk meyakinkan Sky semuanya akan baik-baik saja seperti sebelumnya.

“Halo selamat siang Sanka, kamu kalo mau tunggu diluar tidak apa-apa. Takutnya proses ini sedikit lama karena bisa memakan waktu empat puluh hingga sembilan puluh menitan, Sky bisa langsung tiduran di ranjang biar saya langsung periksa, boleh?”

Sanka dan Sky mengangguk secara bersamaan. Sanka menepuk pundak Sky sebelum berjalan untuk keluar dari ruangan, Sky dibantu oleh dokter Jauzan untuk berbaring diranjang pasien untuk diperiksa.

“Dok, boleh saya tarik nafas dulu? saya takut soalnya.”

Jauzan tertawa karena menurutnya perkataan yang dilontarkan Sky sangat lucu, “Boleh Sky, santai saja. Sepertinya kita seumuran, kamu bisa anggap saya sebagai teman. Saya enggak bakalan nyakitin kamu kok, saya cuman mau periksa keadaan mata kamu saja.”

“Baik dok, bisa dimulai sekarang pemeriksaanya.”

Maka dengan itu Jauzan langsung mengambil perlengkapan medis yang ia butuhkan untuk memeriksa kondisi mata Sky. Di mulai dengan pemeriksaan fisik mata, di mulai dari kelopak mata bagian dalam, kornea, sklera, lensa, pupil, iris, dan juga cairan didalam bola mata.

“Mata kamu sering terasa sakit tidak Sky? kalo ada keluhan lainnya bisa ceritakan pada saya.” ujar Jauzan yang masih fokus dengan pemeriksaannya.

“Tidak dok, tapi beberapa kali saya sering mimpi buruk.”

“Itu karena kamu stress, emosi kamu juga tidak stabil. Jika ada masalah yang tidak bisa kamu ceritakan ke orang terdekat kamu, bisa ceritakan pada saya. Anggap saya sebagai teman kamu, tidak usah sungkan.”

“Baik dok, terimakasih.”

Jauzan mulai mencatat hal-hal penting yang harus ia catat pada hasil laporan Sky nanti, kemudian Jauzan membantu Sky untuk turun dari ranjang pasien dan ia dudukan pada salah satu kursi yang ada disana.

“Waktu kamu tahu kalo kamu tidak bisa melihat itu kapan Sky?” tanya Jauzan.

Sky tampak terdiam sebentar, ia mencoba mengingat-ingat ketika pertama kali ia mengetahui takdirnya ini, “Waktu saya membuka mata untuk pertama kalinya setelah kecelakaan yang saya alami dok, kata mas Hugo dan Sanka saya mengalami kecelakaan tertabrak mobil.”

“Baik, tadi saya membaca laporan hasil rekap medis kamu sebelum menjadi pasien saya, dan disana tertulis jika kamu sering stress dan emosi kamu tidak stabil Sky, tolong dikurangin ya. Karna itu juga bisa berpengaruh pada kesehatan kamu, jika kesehatan kamu menurut ketika akan melakukan operasi mata saya takut kamu malah drop duluan.”

Sky yang diberitahukan seperti itu hanya diam dan mengangguk patuh. Ia ingin bertanya sesuatu hal tetapi masih enggan, jadi ia urungkan niatnya. Namun sepertinya Jauzan peka terhadap gerak-gerik yang Sky lakukan, karena sejak tadi Sky terus saja meremas tangannya tanda sedang gelisah.

“Ada yang ingin kamu sampaikan Sky?”

Sky yang pikirannya entah dimana ditanya seperti itu jelas langsung gelagapan, “T-tidak dok terimakasih, boleh saya keluar sekarang?”

Mengetahui seperti apa watak dari pasiennya ini, Jauzan sudah bisa menduga kalau Sky ini sedikit keras kepala dan panikan. Maka ia biarkan saja Sky keluar untuk menenangkan dirinya.

“Yasudah jika begitu, hati-hati. Mau saya bantu?”

“Tidak dok terimakasih, saya bisa sendiri.”

Tak lama pintu ruangan terbuka dan menampilkan Sanka yang raut wajahnya terlihat jelas jika dia tengah khawatir.

“Kak mau aku bantu keluarnya?” tawarnya pada Sky yang seperti linglung. Pertanyaan Sanka tidak dijawab oleh Sky, sehingga Sanka simbulkan akan mengantar Sky sampai luar terlebih dahulu.

“Sanka, setelah mengantar Sky keluar kamu tolong temui saya lagi ya?”

“Baik, dok.”

Lima menit kemudian Sanka kembali lagi ke ruangan Jauzan, sesuai apa yang dokter itu amanahkan padanya. Tanpa banyak basa-basi lagi, Jauzan berikan seluruh atensinya kepada Sanka yang terlihat sudah siap mendengarkan penjelasannya.

“Jadi, bagaimana dok keadaan kakak saya?”

Terlihat Jauzan yang sedikit menghela nafas, “Setelah saya bertanya dan mendengarkan langsung dari mulut Sky, sepertinya kecelakaan yang terjadi tujuh tahun lalu membuat penglihatan Sky semakin memburuk. Tapi kamu tenang saja, saya akan jadwalkan terapi mata untuk Sky mulai besok.”

Sanka terlihat menahan tangis ketika mendengar keadaan Sky yang ternyata tidak ada kemajuan.

“Saat tabrakan itu sepertinya Sky mengalami cedera pada kepalanya sehingga menimbulkan berbagai komplikasi, salah satunya kehilangan penglihatan. Tadi saya periksa kondisi matanya, saraf yang berperan dalam proses penglihatan ikut mengalami cedera, ini terjadi pada komponen mata bagian retina ataupun kornea.”

Sanka dengan khusyu mendengar dan memperhatikan laporan yang ditulis Jauzan tadi, tidak lupa Jauzan mengeluarkan hasil test sinar X-ray pada kedua mata Sky dan juga kepalanya.

“Dok, apa ada kemungkinan kak Sky bisa melihat lagi?”

“Sepertinya masih bisa Sanka, tapi kembali lagi. Jika kita ingin mengetahui apakah mata Sky bisa normal kembali itu tergantung pada komponen apa yang mengalami kerusakan.” ujar Jauzan sambil terus menerangkan apa yang ia tau.

“Apakah dokter bisa carikan donor mata untuk kakak saya?”

“Bisa, mas Hugo juga sudah berpesan pada saya untuk carikan Sky donor mata. Jika nanti ada, saya akan segera informasikan pada kamu dan juga mas Hugo.”

“Baik dok jika begitu.”

“Sanka, ketika Sky membuka mata setelah kecelakaan itu dia langsung bisa mengenali kalian semua?” ujar Jauzan kepada Sanka yang terlihat sedikit menghela nafas.

“Kak Sky hilang ingatan dok, pada saat pertama kali membuka mata kak Sky langsung histeris karena dia gak bisa lihat, dan juga dia gak bisa ngenalin kita semua.”

“Apa sudah dicoba diajak atau diberikan sesuatu atau hal yang bisa membuat Sky ingat kembali masa lalunya? seperti di ajak ke sebuah tempat yang berkesan untuknya?” cecar Jauzan lagi.

“Sudah dok, tapi tetap saja kak Sky masih tidak mengenal dirinya yang sebelumnya. Mas Hugo udah pasrah dan hampir nyerah, sejujurnya tujuan kami pindah dan tinggal kembali disini itu untuk kesembuhan kak Sky juga. Mas Hugo ada harapan kak Sky bisa inget lagi kalo di ajak ke tempat yang ada ditempat dia lahir.”

“Sky mengalami Amnesia pasca trauma terlalu lama Sanka, tujuh tahun seharusnya ada perkembangan.” ujar Jauzan yang membuat Sanka menatap cemas padanya.

“Sky juga pernah mengalami koma selama tiga bulan kan? benturan yang di alami Sky cukup parah, mungkin itu juga yang membuat Sky lama untuk mengingat masa lalunya.” lanjut Jauzan sambil menunjuk salah satu bagian kepala Sky yang terlihat terluka dalam hasil pemeriksaan sinar X-ray yang ia dapat dari rekap medis Sky sebelumnya.

Jauzan terdiam beberapa menit sebelum dia menepuk pundak Sanka untuk menyemangati dan menguatkan.

“Saya harap kamu temani Sky terus ya Sanka, saya yakin adanya orang seperti kamu disisi Sky bisa buat dia kuat dan percaya kalo dia bisa sembuh.”

“Baik dok, kalau begitu saya keluar ya dok. Kasihan kak Sky, takutnya mencari saya karena ditinggal terlalu lama.”

“Baik Sanka, hati-hati ya. Tolong buat Sky untuk tidak terlalu memforsir tubuhnya, karena itu juga bisa berdampak pada kesehatannya.”

“Baik, dok.”

Tepat ketika Sanka keluar dari ruangan dokter Jauzan, Sanka bisa melihat Sky yang tengah kesusahan mengambil tongkatnya yang terjatuh ke lantai rumah sakit. Sanka rasakan sakit ketika ia melihat bagaimana Sky berjuang sekuat tenaga hingga merangkak dilantai untuk menggapai tongkat miliknya.

Setetes air mata jatuh begitu saja ketika Sanka bisa lihat binar bahagia milik Sky karena berhasil menggapai tongkatnya.

“Kakak....”

“Eh, kamu kok keluar aku gak denger suara pintu kebuka?”

“Hehe....yaudah kita pulang yuk kak?” ajak Sanka.

Sky yang sekarang sudah berhasil berdiri pun hanya mengangguk dab menangkap uluran tangan milik Sanka.

Keduanya berjalan beriringan untuk sampai ke luar rumah sakit, Sanka memesan taxi untuk mengantar mereka pulang, tanpa sadar sepasang mata sejak tadi terus saja mengekori mereka berdua.

-Snelli : jas dokter berwarna putih. -Stetoskop : alat yang digunakan para tenaga medis untuk mendengarkan suara organ di dalam tubuh. -Sinar X-ray : jenis radiasi gelombang elektromagnetik yang menciptakan gambar bagian dalam tubuh bernuansa hitam dan putih. -Amnesia pasca trauma : kondisi dimana seseorang kehilangan ingatan akibat cedera kepala yang tergolong parah. Salah satunya adalah mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cedera di daerah kepala. -Koma : tidak sadar dalam waktu panjang yang disebabkan oleh penyakit atau cedera.


written by, ©vivi.

From Universe : Vulnerable sequel from kontrak universe Chapter of : Hiraeth.

au bxb, jayhoon, angst, mention of car accident, blood, and medical words, with all due respect, I apologize if there are medical terms and words that are not in accordance with the procedure

**bacanya pelan-pelan ya soalnya agak panjang, 1459 words. happy reading. ***


📍Yulje Medical Center. 03 November 2066, 14.00 pm.

Jam sudah menunjukan tepat pada pukul dua siang, Sanka membawa Sky pada ruangan milik salah satu dokter yang bekerja di Rumah sakit ternama ini. Sanka memegang tangan Sky yang terasa dingin dan sedikit berkeringat, gugup.

Sanka berhenti tepat didepan pintu putih yang didepannya terdapat sebuah papan pengenal agar pasien bisa mengenali ruangan tersebut. Di sana terdapat nama Dr. Jauzan Sebastian Danish spesialis mata, tanpa ragu Sanka mengetuk pintu tersebut.

Tok,tok,tok!

“Silahkan masuk!”

Ceklek

Keduanya berjalan masuk, disana sudah terlihat seorang pria manis lengkap dengan Stetoskop dan juga Snelli kebanggaannya tengah membaca sebuah laporan yang Sanka yakini adalah hasil laporan medical check up milik Sky.

“Selamat siang dokter Jauzan, perkenalkan saya Sanka louis gabriel, dan ini kakak saya Sky.” ucap Sanka sambil melirik Sky yang tampak gelisah.

Dengan keadaan Sky yang seperti ini biasanya hanya Hugo yang bisa menenangkannya, namun Sanka pun sudah berusaha sejak tadi untuk meyakinkan Sky semuanya akan baik-baik saja seperti sebelumnya.

“Halo selamat siang Sanka, kamu kalo mau tunggu diluar tidak apa-apa. Takutnya proses ini sedikit lama karena bisa memakan waktu empat puluh hingga sembilan puluh menitan, Sky bisa langsung tiduran di ranjang biar saya langsung periksa, boleh?”

Sanka dan Sky mengangguk secara bersamaan. Sanka menepuk pundak Sky sebelum berjalan untuk keluar dari ruangan, Sky dibantu oleh dokter Jauzan untuk berbaring diranjang pasien untuk diperiksa.

“Dok, boleh saya tarik nafas dulu? saya takut soalnya.”

Jauzan tertawa karena menurutnya perkataan yang dilontarkan Sky sangat lucu, “Boleh Sky, santai saja. Sepertinya kita seumuran, kamu bisa anggap saya sebagai teman. Saya enggak bakalan nyakitin kamu kok, saya cuman mau periksa keadaan mata kamu saja.”

“Baik dok, bisa dimulai sekarang pemeriksaanya.”

Maka dengan itu Jauzan langsung mengambil perlengkapan medis yang ia butuhkan untuk memeriksa kondisi mata Sky. Di mulai dengan pemeriksaan fisik mata, di mulai dari kelopak mata bagian dalam, kornea, sklera, lensa, pupil, iris, dan juga cairan didalam bola mata.

“Mata kamu sering terasa sakit tidak Sky? kalo ada keluhan lainnya bisa ceritakan pada saya.” ujar Jauzan yang masih fokus dengan pemeriksaannya.

“Tidak dok, tapi beberapa kali saya sering mimpi buruk.”

“Itu karena kamu stress, emosi kamu juga tidak stabil. Jika ada masalah yang tidak bisa kamu ceritakan ke orang terdekat kamu, bisa ceritakan pada saya. Anggap saya sebagai teman kamu, tidak usah sungkan.”

“Baik dok, terimakasih.”

Jauzan mulai mencatat hal-hal penting yang harus ia catat pada hasil laporan Sky nanti, kemudian Jauzan membantu Sky untuk turun dari ranjang pasien dan ia dudukan pada salah satu kursi yang ada disana.

“Waktu kamu tahu kalo kamu tidak bisa melihat itu kapan Sky?” tanya Jauzan.

Sky tampak terdiam sebentar, ia mencoba mengingat-ingat ketika pertama kali ia mengetahui takdirnya ini, “Waktu saya membuka mata untuk pertama kalinya setelah kecelakaan yang saya alami dok, kata mas Hugo dan Sanka saya mengalami kecelakaan tertabrak mobil.”

“Baik, tadi saya membaca laporan hasil rekap medis kamu sebelum menjadi pasien saya, dan disana tertulis jika kamu sering stress dan emosi kamu tidak stabil Sky, tolong dikurangin ya. Karna itu juga bisa berpengaruh pada kesehatan kamu, jika kesehatan kamu menurut ketika akan melakukan operasi mata saya takut kamu malah drop duluan.”

Sky yang diberitahukan seperti itu hanya diam dan mengangguk patuh. Ia ingin bertanya sesuatu hal tetapi masih enggan, jadi ia urungkan niatnya. Namun sepertinya Jauzan peka terhadap gerak-gerik yang Sky lakukan, karena sejak tadi Sky terus saja meremas tangannya tanda sedang gelisah.

“Ada yang ingin kamu sampaikan Sky?”

Sky yang pikirannya entah dimana ditanya seperti itu jelas langsung gelagapan, “T-tidak dok terimakasih, boleh saya keluar sekarang?”

Mengetahui seperti apa watak dari pasiennya ini, Jauzan sudah bisa menduga kalau Sky ini sedikit keras kepala dan panikan. Maka ia biarkan saja Sky keluar untuk menenangkan dirinya.

“Yasudah jika begitu, hati-hati. Mau saya bantu?”

“Tidak dok terimakasih, saya bisa sendiri.”

Tak lama pintu ruangan terbuka dan menampilkan Sanka yang raut wajahnya terlihat jelas jika dia tengah khawatir.

“Kak mau aku bantu keluarnya?” tawarnya pada Sky yang seperti linglung. Pertanyaan Sanka tidak dijawab oleh Sky, sehingga Sanka simbulkan akan mengantar Sky sampai luar terlebih dahulu.

“Sanka, setelah mengantar Sky keluar kamu tolong temui saya lagi ya?”

“Baik, dok.”

Lima menit kemudian Sanka kembali lagi ke ruangan Jauzan, sesuai apa yang dokter itu amanahkan padanya. Tanpa banyak basa-basi lagi, Jauzan berikan seluruh atensinya kepada Sanka yang terlihat sudah siap mendengarkan penjelasannya.

“Jadi, bagaimana dok keadaan kakak saya?”

Terlihat Jauzan yang sedikit menghela nafas, “Setelah saya bertanya dan mendengarkan langsung dari mulut Sky, sepertinya kecelakaan yang terjadi tujuh tahun lalu membuat penglihatan Sky semakin memburuk. Tapi kamu tenang saja, saya akan jadwalkan terapi mata untuk Sky mulai besok.”

Sanka terlihat menahan tangis ketika mendengar keadaan Sky yang ternyata tidak ada kemajuan.

“Saat tabrakan itu sepertinya Sky mengalami cedera pada kepalanya sehingga menimbulkan berbagai komplikasi, salah satunya kehilangan penglihatan. Tadi saya periksa kondisi matanya, saraf yang berperan dalam proses penglihatan ikut mengalami cedera, ini terjadi pada komponen mata bagian retina ataupun kornea.”

Sanka dengan khusyu mendengar dan memperhatikan laporan yang ditulis Jauzan tadi, tidak lupa Jauzan mengeluarkan hasil test sinar X-ray pada kedua mata Sky dan juga kepalanya.

“Dok, apa ada kemungkinan kak Sky bisa melihat lagi?”

“Sepertinya masih bisa Sanka, tapi kembali lagi. Jika kita ingin mengetahui apakah mata Sky bisa normal kembali itu tergantung pada komponen apa yang mengalami kerusakan.” ujar Jauzan sambil terus menerangkan apa yang ia tau.

“Apakah dokter bisa carikan donor mata untuk kakak saya?”

“Bisa, mas Hugo juga sudah berpesan pada saya untuk carikan Sky donor mata. Jika nanti ada, saya akan segera informasikan pada kamu dan juga mas Hugo.”

“Baik dok jika begitu.”

“Sanka, ketika Sky membuka mata setelah kecelakaan itu dia langsung bisa mengenali kalian semua?” ujar Jauzan kepada Sanka yang terlihat sedikit menghela nafas.

“Kak Sky hilang ingatan dok, pada saat pertama kali membuka mata kak Sky langsung histeris karena dia gak bisa lihat, dan juga dia gak bisa ngenalin kita semua.”

“Apa sudah dicoba diajak atau diberikan sesuatu atau hal yang bisa membuat Sky ingat kembali masa lalunya? seperti di ajak ke sebuah tempat yang berkesan untuknya?” cecar Jauzan lagi.

“Sudah dok, tapi tetap saja kak Sky masih tidak mengenal dirinya yang sebelumnya. Mas Hugo udah pasrah dan hampir nyerah, sejujurnya tujuan kami pindah dan tinggal kembali disini itu untuk kesembuhan kak Sky juga. Mas Hugo ada harapan kak Sky bisa inget lagi kalo di ajak ke tempat yang ada ditempat dia lahir.”

“Sky mengalami Amnesia pasca trauma terlalu lama Sanka, tujuh tahun seharusnya ada perkembangan.” ujar Jauzan yang membuat Sanka menatap cemas padanya.

“Sky juga pernah mengalami koma selama tiga bulan kan? benturan yang di alami Sky cukup parah, mungkin itu juga yang membuat Sky lama untuk mengingat masa lalunya.” lanjut Jauzan sambil menunjuk salah satu bagian kepala Sky yang terlihat terluka dalam hasil pemeriksaan sinar X-ray yang ia dapat dari rekap medis Sky sebelumnya.

Jauzan terdiam beberapa menit sebelum dia menepuk pundak Sanka untuk menyemangati dan menguatkan.

“Saya harap kamu temani Sky terus ya Sanka, saya yakin adanya orang seperti kamu disisi Sky bisa buat dia kuat dan percaya kalo dia bisa sembuh.”

“Baik dok, kalau begitu saya keluar ya dok. Kasihan kak Sky, takutnya mencari saya karena ditinggal terlalu lama.”

“Baik Sanka, hati-hati ya. Tolong buat Sky untuk tidak terlalu memforsir tubuhnya, karena itu juga bisa berdampak pada kesehatannya.”

“Baik, dok.”

Tepat ketika Sanka keluar dari ruangan dokter Jauzan, Sanka bisa melihat Sky yang tengah kesusahan mengambil tongkatnya yang terjatuh ke lantai rumah sakit. Sanka rasakan sakit ketika ia melihat bagaimana Sky berjuang sekuat tenaga hingga merangkak dilantai untuk menggapai tongkat miliknya.

Setetes air mata jatuh begitu saja ketika Sanka bisa lihat binar bahagia milik Sky karena berhasil menggapai tongkatnya.

“Kakak....”

“Eh, kamu kok keluar aku gak denger suara pintu kebuka?”

“Hehe....yaudah kita pulang yuk kak?” ajak Sanka.

Sky yang sekarang sudah berhasil berdiri pun hanya mengangguk dab menangkap uluran tangan milik Sanka.

Keduanya berjalan beriringan untuk sampai ke luar rumah sakit, Sanka memesan taxi untuk mengantar mereka pulang, tanpa sadar sepasang mata sejak tadi terus saja mengekori mereka berdua.

-Snelli : jas dokter berwarna putih. -Stetoskop : alat yang digunakan para tenaga medis untuk mendengarkan suara organ di dalam tubuh. -Sinar X-ray : jenis radiasi gelombang elektromagnetik yang menciptakan gambar bagian dalam tubuh bernuansa hitam dan putih. -Amnesia pasca trauma : kondisi dimana seseorang kehilangan ingatan akibat cedera kepala yang tergolong parah. Salah satunya adalah mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cedera di daerah kepala. -Koma : tidak sadar dalam waktu panjang yang disebabkan oleh penyakit atau cedera.


written by, ©vivi.

From Universe : Vulnerable sequel from kontrak universe Chapter of : Hiraeth.

au bxb, jayhoon, angst, mention of car accident, blood, and medical words, with all due respect, I apologize if there are medical terms and words that are not in accordance with the procedure


📍Yulje Medical Center. 03 November 2066, 14.00 pm.

Jam sudah menunjukan tepat pada pukul dua siang, Sanka membawa Sky pada ruangan milik salah satu dokter yang bekerja di Rumah sakit ternama ini. Sanka memegang tangan Sky yang terasa dingin dan sedikit berkeringat, gugup.

Sanka berhenti tepat didepan pintu putih yang didepannya terdapat sebuah papan pengenal agar pasien bisa mengenali ruangan tersebut. Di sana terdapat nama Dr. Jauzan Sebastian Danish spesialis mata, tanpa ragu Sanka mengetuk pintu tersebut.

Tok,tok,tok!

“Silahkan masuk!”

Ceklek

Keduanya berjalan masuk, disana sudah terlihat seorang pria manis lengkap dengan Stetoskop dan juga Snelli kebanggaannya tengah membaca sebuah laporan yang Sanka yakini adalah hasil laporan medical check up milik Sky.

“Selamat siang dokter Jauzan, perkenalkan saya Sanka louis gabriel, dan ini kakak saya Sky.” ucap Sanka sambil melirik Sky yang tampak gelisah.

Dengan keadaan Sky yang seperti ini biasanya hanya Hugo yang bisa menenangkannya, namun Sanka pun sudah berusaha sejak tadi untuk meyakinkan Sky semuanya akan baik-baik saja seperti sebelumnya.

“Halo selamat siang Sanka, kamu kalo mau tunggu diluar tidak apa-apa. Takutnya proses ini sedikit lama karena bisa memakan waktu empat puluh hingga sembilan puluh menitan, Sky bisa langsung tiduran di ranjang biar saya langsung periksa, boleh?”

Sanka dan Sky mengangguk secara bersamaan. Sanka menepuk pundak Sky sebelum berjalan untuk keluar dari ruangan, Sky dibantu oleh dokter Jauzan untuk berbaring diranjang pasien untuk diperiksa.

“Dok, boleh saya tarik nafas dulu? saya takut soalnya.”

Jauzan tertawa karena menurutnya perkataan yang dilontarkan Sky sangat lucu, “Boleh Sky, santai saja. Sepertinya kita seumuran, kamu bisa anggap saya sebagai teman. Saya enggak bakalan nyakitin kamu kok, saya cuman mau periksa keadaan mata kamu saja.”

“Baik dok, bisa dimulai sekarang pemeriksaanya.”

Maka dengan itu Jauzan langsung mengambil perlengkapan medis yang ia butuhkan untuk memeriksa kondisi mata Sky. Di mulai dengan pemeriksaan fisik mata, di mulai dari kelopak mata bagian dalam, kornea, sklera, lensa, pupil, iris, dan juga cairan didalam bola mata.

“Mata kamu sering terasa sakit tidak Sky? kalo ada keluhan lainnya bisa ceritakan pada saya.” ujar Jauzan yang masih fokus dengan pemeriksaannya.

“Tidak dok, tapi beberapa kali saya sering mimpi buruk.”

“Itu karena kamu stress, emosi kamu juga tidak stabil. Jika ada masalah yang tidak bisa kamu ceritakan ke orang terdekat kamu, bisa ceritakan pada saya. Anggap saya sebagai teman kamu, tidak usah sungkan.”

“Baik dok, terimakasih.”

Jauzan mulai mencatat hal-hal penting yang harus ia catat pada hasil laporan Sky nanti, kemudian Jauzan membantu Sky untuk turun dari ranjang pasien dan ia dudukan pada salah satu kursi yang ada disana.

“Waktu kamu tahu kalo kamu tidak bisa melihat itu kapan Sky?” tanya Jauzan.

Sky tampak terdiam sebentar, ia mencoba mengingat-ingat ketika pertama kali ia mengetahui takdirnya ini, “Waktu saya membuka mata untuk pertama kalinya setelah kecelakaan yang saya alami dok, kata mas Hugo dan Sanka saya mengalami kecelakaan tertabrak mobil.”

“Baik, tadi saya membaca laporan hasil rekap medis kamu sebelum menjadi pasien saya, dan disana tertulis jika kamu sering stress dan emosi kamu tidak stabil Sky, tolong dikurangin ya. Karna itu juga bisa berpengaruh pada kesehatan kamu, jika kesehatan kamu menurut ketika akan melakukan operasi mata saya takut kamu malah drop duluan.”

Sky yang diberitahukan seperti itu hanya diam dan mengangguk patuh. Ia ingin bertanya sesuatu hal tetapi masih enggan, jadi ia urungkan niatnya. Namun sepertinya Jauzan peka terhadap gerak-gerik yang Sky lakukan, karena sejak tadi Sky terus saja meremas tangannya tanda sedang gelisah.

“Ada yang ingin kamu sampaikan Sky?”

Sky yang pikirannya entah dimana ditanya seperti itu jelas langsung gelagapan, “T-tidak dok terimakasih, boleh saya keluar sekarang?”

Mengetahui seperti apa watak dari pasiennya ini, Jauzan sudah bisa menduga kalau Sky ini sedikit keras kepala dan panikan. Maka ia biarkan saja Sky keluar untuk menenangkan dirinya.

“Yasudah jika begitu, hati-hati. Mau saya bantu?”

“Tidak dok terimakasih, saya bisa sendiri.”

Tak lama pintu ruangan terbuka dan menampilkan Sanka yang raut wajahnya terlihat jelas jika dia tengah khawatir.

“Kak mau aku bantu keluarnya?” tawarnya pada Sky yang seperti linglung. Pertanyaan Sanka tidak dijawab oleh Sky, sehingga Sanka simbulkan akan mengantar Sky sampai luar terlebih dahulu.

“Sanka, setelah mengantar Sky keluar kamu tolong temui saya lagi ya?”

“Baik, dok.”

Lima menit kemudian Sanka kembali lagi ke ruangan Jauzan, sesuai apa yang dokter itu amanahkan padanya. Tanpa banyak basa-basi lagi, Jauzan berikan seluruh atensinya kepada Sanka yang terlihat sudah siap mendengarkan penjelasannya.

“Jadi, bagaimana dok keadaan kakak saya?”

Terlihat Jauzan yang sedikit menghela nafas, “Setelah saya bertanya dan mendengarkan langsung dari mulut Sky, sepertinya kecelakaan yang terjadi tujuh tahun lalu membuat penglihatan Sky semakin memburuk. Tapi kamu tenang saja, saya akan jadwalkan terapi mata untuk Sky mulai besok.”

Sanka terlihat menahan tangis ketika mendengar keadaan Sky yang ternyata tidak ada kemajuan.

“Saat tabrakan itu sepertinya Sky mengalami cedera pada kepalanya sehingga menimbulkan berbagai komplikasi, salah satunya kehilangan penglihatan. Tadi saya periksa kondisi matanya, saraf yang berperan dalam proses penglihatan ikut mengalami cedera, ini terjadi pada komponen mata bagian retina ataupun kornea.”

Sanka dengan khusyu mendengar dan memperhatikan laporan yang ditulis Jauzan tadi, tidak lupa Jauzan mengeluarkan hasil test sinar X-ray pada kedua mata Sky dan juga kepalanya.

“Dok, apa ada kemungkinan kak Sky bisa melihat lagi?”

“Sepertinya masih bisa Sanka, tapi kembali lagi. Jika kita ingin mengetahui apakah mata Sky bisa normal kembali itu tergantung pada komponen apa yang mengalami kerusakan.” ujar Jauzan sambil terus menerangkan apa yang ia tau.

“Apakah dokter bisa carikan donor mata untuk kakak saya?”

“Bisa, mas Hugo juga sudah berpesan pada saya untuk carikan Sky donor mata. Jika nanti ada, saya akan segera informasikan pada kamu dan juga mas Hugo.”

“Baik dok jika begitu.”

“Sanka, ketika Sky membuka mata setelah kecelakaan itu dia langsung bisa mengenali kalian semua?” ujar Jauzan kepada Sanka yang terlihat sedikit menghela nafas.

“Kak Sky hilang ingatan dok, pada saat pertama kali membuka mata kak Sky langsung histeris karena dia gak bisa lihat, dan juga dia gak bisa ngenalin kita semua.”

“Apa sudah dicoba diajak atau diberikan sesuatu atau hal yang bisa membuat Sky ingat kembali masa lalunya? seperti di ajak ke sebuah tempat yang berkesan untuknya?” cecar Jauzan lagi.

“Sudah dok, tapi tetap saja kak Sky masih tidak mengenal dirinya yang sebelumnya. Mas Hugo udah pasrah dan hampir nyerah, sejujurnya tujuan kami pindah dan tinggal kembali disini itu untuk kesembuhan kak Sky juga. Mas Hugo ada harapan kak Sky bisa inget lagi kalo di ajak ke tempat yang ada ditempat dia lahir.”

“Sky mengalami Amnesia pasca trauma terlalu lama Sanka, tujuh tahun seharusnya ada perkembangan.” ujar Jauzan yang membuat Sanka menatap cemas padanya.

“Sky juga pernah mengalami koma selama tiga bulan kan? benturan yang di alami Sky cukup parah, mungkin itu juga yang membuat Sky lama untuk mengingat masa lalunya.” lanjut Jauzan sambil menunjuk salah satu bagian kepala Sky yang terlihat terluka dalam hasil pemeriksaan sinar X-ray yang ia dapat dari rekap medis Sky sebelumnya.

Jauzan terdiam beberapa menit sebelum dia menepuk pundak Sanka untuk menyemangati dan menguatkan.

“Saya harap kamu temani Sky terus ya Sanka, saya yakin adanya orang seperti kamu disisi Sky bisa buat dia kuat dan percaya kalo dia bisa sembuh.”

“Baik dok, kalau begitu saya keluar ya dok. Kasihan kak Sky, takutnya mencari saya karena ditinggal terlalu lama.”

“Baik Sanka, hati-hati ya. Tolong buat Sky untuk tidak terlalu memforsir tubuhnya, karena itu juga bisa berdampak pada kesehatannya.”

“Baik, dok.”

Tepat ketika Sanka keluar dari ruangan dokter Jauzan, Sanka bisa melihat Sky yang tengah kesusahan mengambil tongkatnya yang terjatuh ke lantai rumah sakit. Sanka rasakan sakit ketika ia melihat bagaimana Sky berjuang sekuat tenaga hingga merangkak dilantai untuk menggapai tongkat miliknya.

Setetes air mata jatuh begitu saja ketika Sanka bisa lihat binar bahagia milik Sky karena berhasil menggapai tongkatnya.

“Kakak....”

“Eh, kamu kok keluar aku gak denger suara pintu kebuka?”

“Hehe....yaudah kita pulang yuk kak?” ajak Sanka.

Sky yang sekarang sudah berhasil berdiri pun hanya mengangguk dab menangkap uluran tangan milik Sanka.

Keduanya berjalan beriringan untuk sampai ke luar rumah sakit, Sanka memesan taxi untuk mengantar mereka pulang, tanpa sadar sepasang mata sejak tadi terus saja mengekori mereka berdua.

-Snelli : jas dokter berwarna putih. -Stetoskop : alat yang digunakan para tenaga medis untuk mendengarkan suara organ di dalam tubuh, seperti denyut jantung, nadi, organ pencernaan, dan paru-paru. -Sinar X-ray : jenis radiasi gelombang elektromagnetik yamg menciptakan gambar bagian dalam tubuh bernuansa hitam dan putih. -Amnesia pasca trauma : kondisi dimana seseorang kehilangan ingatan akibat cedera kepala yang tergolong parah. Salah satunya adalah mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cedera di daerah kepala. -Koma : tidak sadar dalam waktu panjang yang disebabkan oleh penyakit atau cedera.


written by, ©vivi.

From Universe : Vulnerable sequel from kontrak universe Chapter of : Hiraeth.

au bxb, jayhoon, angst, mention of car accident, blood, and medical words, with all due respect, I apologize if there are medical terms and words that are not in accordance with the procedure


📍Yulje Medical Center. 03 November 2066, 14.00 pm.

Jam sudah menunjukan tepat pada pukul dua siang, Sanka membawa Sky pada ruangan milik salah satu dokter yang bekerja di Rumah sakit ternama ini. Sanka memegang tangan Sky yang terasa dingin dan sedikit berkeringat, gugup.

Sanka berhenti tepat didepan pintu putih yang didepannya terdapat sebuah papan pengenal agar pasien bisa mengenali ruangan tersebut. Di sana terdapat nama Dr. Jauzan Sebastian Danish spesialis mata, tanpa ragu Sanka mengetuk pintu tersebut.

Tok,tok,tok!

“Silahkan masuk!”

Ceklek

Keduanya berjalan masuk, disana sudah terlihat seorang pria manis lengkap dengan Stetoskop dan juga Snelli kebanggaannya tengah membaca sebuah laporan yang Sanka yakini adalah hasil laporan medical check up milik Sky.

“Selamat siang dokter Jauzan, perkenalkan saya Sanka louis gabriel, dan ini kakak saya Sky.” ucap Sanka sambil melirik Sky yang tampak gelisah.

Dengan keadaan Sky yang seperti ini biasanya hanya Hugo yang bisa menenangkannya, namun Sanka pun sudah berusaha sejak tadi untuk meyakinkan Sky semuanya akan baik-baik saja seperti sebelumnya.

“Halo selamat siang Sanka, kamu kalo mau tunggu diluar tidak apa-apa. Takutnya proses ini sedikit lama karena bisa memakan waktu empat puluh hingga sembilan puluh menitan, Sky bisa langsung tiduran di ranjang biar saya langsung periksa, boleh?”

Sanka dan Sky mengangguk secara bersamaan. Sanka menepuk pundak Sky sebelum berjalan untuk keluar dari ruangan, Sky dibantu oleh dokter Jauzan untuk berbaring diranjang pasien untuk diperiksa.

“Dok, boleh saya tarik nafas dulu? saya takut soalnya.”

Jauzan tertawa karena menurutnya perkataan yang dilontarkan Sky sangat lucu, “Boleh Sky, santai saja. Sepertinya kita seumuran, kamu bisa anggap saya sebagai teman. Saya enggak bakalan nyakitin kamu kok, saya cuman mau periksa keadaan mata kamu saja.”

“Baik dok, bisa dimulai sekarang pemeriksaanya.”

Maka dengan itu Jauzan langsung mengambil perlengkapan medis yang ia butuhkan untuk memeriksa kondisi mata Sky. Di mulai dengan pemeriksaan fisik mata, di mulai dari kelopak mata bagian dalam, kornea, sklera, lensa, pupil, iris, dan juga cairan didalam bola mata.

“Mata kamu sering terasa sakit tidak Sky? kalo ada keluhan lainnya bisa ceritakan pada saya.” ujar Jauzan yang masih fokus dengan pemeriksaannya.

“Tidak dok, tapi beberapa kali saya sering mimpi buruk.”

“Itu karena kamu stress, emosi kamu juga tidak stabil. Jika ada masalah yang tidak bisa kamu ceritakan ke orang terdekat kamu, bisa ceritakan pada saya. Anggap saya sebagai teman kamu, tidak usah sungkan.”

“Baik dok, terimakasih.”

Jauzan mulai mencatat hal-hal penting yang harus ia catat pada hasil laporan Sky nanti, kemudian Jauzan membantu Sky untuk turun dari ranjang pasien dan ia dudukan pada salah satu kursi yang ada disana.

“Waktu kamu tahu kalo kamu tidak bisa melihat itu kapan Sky?” tanya Jauzan.

Sky tampak terdiam sebentar, ia mencoba mengingat-ingat ketika pertama kali ia mengetahui takdirnya ini, “Waktu saya membuka mata untuk pertama kalinya setelah kecelakaan yang saya alami dok, kata mas Hugo dan Sanka saya mengalami kecelakaan tertabrak mobil.”

“Baik, tadi saya membaca laporan hasil rekap medis kamu sebelum menjadi pasien saya, dan disana tertulis jika kamu sering stress dan emosi kamu tidak stabil Sky, tolong dikurangin ya. Karna itu juga bisa berpengaruh pada kesehatan kamu, jika kesehatan kamu menurut ketika akan melakukan operasi mata saya takut kamu malah drop duluan.”

Sky yang diberitahukan seperti itu hanya diam dan mengangguk patuh. Ia ingin bertanya sesuatu hal tetapi masih enggan, jadi ia urungkan niatnya. Namun sepertinya Jauzan peka terhadap gerak-gerik yang Sky lakukan, karena sejak tadi Sky terus saja meremas tangannya tanda sedang gelisah.

“Ada yang ingin kamu sampaikan Sky?”

Sky yang pikirannya entah dimana ditanya seperti itu jelas langsung gelagapan, “T-tidak dok terimakasih, boleh saya keluar sekarang?”

Mengetahui seperti apa watak dari pasiennya ini, Jauzan sudah bisa menduga kalau Sky ini sedikit keras kepala dan panikan. Maka ia biarkan saja Sky keluar untuk menenangkan dirinya.

“Yasudah jika begitu, hati-hati. Mau saya bantu?”

“Tidak dok terimakasih, saya bisa sendiri.”

Tak lama pintu ruangan terbuka dan menampilkan Sanka yang raut wajahnya terlihat jelas jika dia tengah khawatir.

“Kak mau aku bantu keluarnya?” tawarnya pada Sky yang seperti linglung. Pertanyaan Sanka tidak dijawab oleh Sky, sehingga Sanka simbulkan akan mengantar Sky sampai luar terlebih dahulu.

“Sanka, setelah mengantar Sky keluar kamu tolong temui saya lagi ya?”

“Baik, dok.”

Lima menit kemudian Sanka kembali lagi ke ruangan Jauzan, sesuai apa yang dokter itu amanahkan padanya. Tanpa banyak basa-basi lagi, Jauzan berikan seluruh atensinya kepada Sanka yang terlihat sudah siap mendengarkan penjelasannya.

“Jadi, bagaimana dok keadaan kakak saya?”

Terlihat Jauzan yang sedikit menghela nafas, “Setelah saya bertanya dan mendengarkan langsung dari mulut Sky, sepertinya kecelakaan yang terjadi tujuh tahun lalu membuat penglihatan Sky semakin memburuk. Tapi kamu tenang saja, saya akan jadwalkan terapi mata untuk Sky mulai besok.”

Sanka terlihat menahan tangis ketika mendengar keadaan Sky yang ternyata tidak ada kemajuan.

“Saat tabrakan itu sepertinya Sky mengalami cedera pada kepalanya sehingga menimbulkan berbagai komplikasi, salah satunya kehilangan penglihatan. Tadi saya periksa kondisi matanya, saraf yang berperan dalam proses penglihatan ikut mengalami cedera, ini terjadi pada komponen mata bagian retina ataupun kornea.”

Sanka dengan khusyu mendengar dan memperhatikan laporan yang ditulis Jauzan tadi, tidak lupa Jauzan mengeluarkan hasil test sinar X-ray pada kedua mata Sky dan juga kepalanya.

“Dok, apa ada kemungkinan kak Sky bisa melihat lagi?”

“Sepertinya masih bisa Sanka, tapi kembali lagi. Jika kita ingin mengetahui apakah mata Sky bisa normal kembali itu tergantung pada komponen apa yang mengalami kerusakan.” ujar Jauzan sambil terus menerangkan apa yang ia tau.

“Apakah dokter bisa carikan donor mata untuk kakak saya?”

“Bisa, mas Hugo juga sudah berpesan pada saya untuk carikan Sky donor mata. Jika nanti ada, saya akan segera informasikan pada kamu dan juga mas Hugo.”

“Baik dok jika begitu.”

“Sanka, ketika Sky membuka mata setelah kecelakaan itu dia langsung bisa mengenali kalian semua?” ujar Jauzan kepada Sanka yang terlihat sedikit menghela nafas.

“Kak Sky hilang ingatan dok, pada saat pertama kali membuka mata kak Sky langsung histeris karena dia gak bisa lihat, dan juga dia gak bisa ngenalin kita semua.”

“Apa sudah dicoba diajak atau diberikan sesuatu atau hal yang bisa membuat Sky ingat kembali masa lalunya? seperti di ajak ke sebuah tempat yang berkesan untuknya?” cecar Jauzan lagi.

“Sudah dok, tapi tetap saja kak Sky masih tidak mengenal dirinya yang sebelumnya. Mas Hugo udah pasrah dan hampir nyerah, sejujurnya tujuan kami pindah dan tinggal kembali disini itu untuk kesembuhan kak Sky juga. Mas Hugo ada harapan kak Sky bisa inget lagi kalo di ajak ke tempat yang ada ditempat dia lahir.”

“Sky mengalami Amnesia pasca trauma terlalu lama Sanka, tujuh tahun seharusnya ada perkembangan.” ujar Jauzan yang membuat Sanka menatap cemas padanya.

“Sky juga pernah mengalami koma selama tiga bulan kan? benturan yang di alami Sky cukup parah, mungkin itu juga yang membuat Sky lama untuk mengingat masa lalunya.” lanjut Jauzan sambil menunjuk salah satu bagian kepala Sky yang terlihat terluka dalam hasil pemeriksaan sinar X-ray yang ia dapat dari rekap medis Sky sebelumnya.

Jauzan terdiam beberapa menit sebelum dia menepuk pundak Sanka untuk menyemangati dan menguatkan.

“Saya harap kamu temani Sky terus ya Sanka, saya yakin adanya orang seperti kamu disisi Sky bisa buat dia kuat dan percaya kalo dia bisa sembuh.”

“Baik dok, kalau begitu saya keluar ya dok. Kasihan kak Sky, takutnya mencari saya karena ditinggal terlalu lama.”

“Baik Sanka, hati-hati ya. Tolong buat Sky untuk tidak terlalu memforsir tubuhnya, karena itu juga bisa berdampak pada kesehatannya.”

“Baik, dok.”

Tepat ketika Sanka keluar dari ruangan dokter Jauzan, Sanka bisa melihat Sky yang tengah kesusahan mengambil tongkatnya yang terjatuh ke lantai rumah sakit. Sanka rasakan sakit ketika ia melihat bagaimana Sky berjuang sekuat tenaga hingga merangkak dilantai untuk menggapai tongkat miliknya.

Setetes air mata jatuh begitu saja ketika Sanka bisa lihat binar bahagia milik Sky karena berhasil menggapai tongkatnya.

“Kakak....”

“Eh, kamu kok keluar aku gak denger suara pintu kebuka?”

“Hehe....yaudah kita pulang yuk kak?” ajak Sanka.

Sky yang sekarang sudah berhasil berdiri pun hanya mengangguk dab menangkap uluran tangan milik Sanka.

Keduanya berjalan beriringan untuk sampai ke luar rumah sakit, Sanka memesan taxi untuk mengantar mereka pulang, tanpa sadar sepasang mata sejak tadi terus saja mengekori mereka berdua.

-Snelli : jas dokter berwarna putih.

-Stetoskop : alat yang digunakan para tenaga medis untuk mendengarkan suara organ di dalam tubuh, seperti denyut jantung, nadi, organ pencernaan, dan paru-paru.

-Sinar X-ray : jenis radiasi gelombang elektromagnetik yamg menciptakan gambar bagian dalam tubuh bernuansa hitam dan putih.

-Amnesia pasca trauma : kondisi dimana seseorang kehilangan ingatan akibat cedera kepala yang tergolong parah. Salah satunya adalah mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cedera di daerah kepala.

-Koma : tidak sadar dalam waktu panjang yang disebabkan oleh penyakit atau cedera.


written by, ©vivi.

From Universe : Vulnerable sequel from kontrak universe Chapter of : Hiraeth.

au bxb, jayhoon, angst, mention of car accident, blood, and medical words, with all due respect, I apologize if there are medical terms and words that are not in accordance with the procedure


📍Yulje Medical Center. 03 November 2066, 14.00 pm.

Jam sudah menunjukan tepat pada pukul dua siang, Sanka membawa Sky pada ruangan milik salah satu dokter yang bekerja di Rumah sakit ternama ini. Sanka memegang tangan Sky yang terasa dingin dan sedikit berkeringat, gugup.

Sanka berhenti tepat didepan pintu putih yang didepannya terdapat sebuah papan pengenal agar pasien bisa mengenali ruangan tersebut. Di sana terdapat nama Dr. Jauzan Sebastian Danish spesialis mata, tanpa ragu Sanka mengetuk pintu tersebut.

Tok,tok,tok!

“Silahkan masuk!”

Ceklek

Keduanya berjalan masuk, disana sudah terlihat seorang pria manis lengkap dengan jas putih kebanggaannya tengah membaca sebuah laporan yang Sanka yakini adalah hasil laporan medical check up milik Sky.

“Selamat siang dokter Jauzan, perkenalkan saya Sanka louis gabriel, dan ini kakak saya Sky.” ucap Sanka sambil melirik Sky yang tampak gelisah.

Dengan keadaan Sky yang seperti ini biasanya hanya Hugo yang bisa menenangkannya, namun Sanka pun sudah berusaha sejak tadi untuk meyakinkan Sky semuanya akan baik-baik saja seperti sebelumnya.

“Halo selamat siang Sanka, kamu kalo mau tunggu diluar tidak apa-apa. Takutnya proses ini sedikit lama karena bisa memakan waktu empat puluh hingga sembilan puluh menitan, Sky bisa langsung tiduran di ranjang biar saya langsung periksa, boleh?”

Sanka dan Sky mengangguk secara bersamaan. Sanka menepuk pundak Sky sebelum berjalan untuk keluar dari ruangan, Sky dibantu oleh dokter Jauzan untuk berbaring diranjang pasien untuk diperiksa.

“Dok, boleh saya tarik nafas dulu? saya takut soalnya.”

Jauzan tertawa karena menurutnya perkataan yang dilontarkan Sky sangat lucu, “Boleh Sky, santai saja. Sepertinya kita seumuran, kamu bisa anggap saya sebagai teman. Saya enggak bakalan nyakitin kamu kok, saya cuman mau periksa keadaan mata kamu saja.”

“Baik dok, bisa dimulai sekarang pemeriksaanya.”

Maka dengan itu Jauzan langsung mengambil perlengkapan medis yang ia butuhkan untuk memeriksa kondisi mata Sky. Di mulai dengan pemeriksaan fisik mata, di mulai dari kelopak mata bagian dalam, kornea, sklera, lensa, pupil, iris, dan juga cairan didalam bola mata.

“Mata kamu sering terasa sakit tidak Sky? kalo ada keluhan lainnya bisa ceritakan pada saya.” ujar Jauzan yang masih fokus dengan pemeriksaannya.

“Tidak dok, tapi beberapa kali saya sering mimpi buruk.”

“Itu karena kamu stress, emosi kamu juga tidak stabil. Jika ada masalah yang tidak bisa kamu ceritakan ke orang terdekat kamu, bisa ceritakan pada saya. Anggap saya sebagai teman kamu, tidak usah sungkan.”

“Baik dok, terimakasih.”

Jauzan mulai mencatat hal-hal penting yang harus ia catat pada hasil laporan Sky nanti, kemudian Jauzan membantu Sky untuk turun dari ranjang pasien dan ia dudukan pada salah satu kursi yang ada disana.

“Waktu kamu tahu kalo kamu tidak bisa melihat itu kapan Sky?” tanya Jauzan.

Sky tampak terdiam sebentar, ia mencoba mengingat-ingat ketika pertama kali ia mengetahui takdirnya ini, “Waktu saya membuka mata untuk pertama kalinya setelah kecelakaan yang saya alami dok, kata mas Hugo dan Sanka saya mengalami kecelakaan tertabrak mobil.”

“Baik, tadi saya membaca laporan hasil rekap medis kamu sebelum menjadi pasien saya, dan disana tertulis jika kamu sering stress dan emosi kamu tidak stabil Sky, tolong dikurangin ya. Karna itu juga bisa berpengaruh pada kesehatan kamu, jika kesehatan kamu menurut ketika akan melakukan operasi mata saya takut kamu malah drop duluan.”

Sky yang diberitahukan seperti itu hanya diam dan mengangguk patuh. Ia ingin bertanya sesuatu hal tetapi masih enggan, jadi ia urungkan niatnya. Namun sepertinya Jauzan peka terhadap gerak-gerik yang Sky lakukan, karena sejak tadi Sky terus saja meremas tangannya tanda sedang gelisah.

“Ada yang ingin kamu sampaikan Sky?”

Sky yang pikirannya entah dimana ditanya seperti itu jelas langsung gelagapan, “T-tidak dok terimakasih, boleh saya keluar sekarang?”

Mengetahui seperti apa watak dari pasiennya ini, Jauzan sudah bisa menduga kalau Sky ini sedikit keras kepala dan panikan. Maka ia biarkan saja Sky keluar untuk menenangkan dirinya.

“Yasudah jika begitu, hati-hati. Mau saya bantu?”

“Tidak dok terimakasih, saya bisa sendiri.”

Tak lama pintu ruangan terbuka dan menampilkan Sanka yang raut wajahnya terlihat jelas jika dia tengah khawatir.

“Kak mau aku bantu keluarnya?” tawarnya pada Sky yang seperti linglung. Pertanyaan Sanka tidak dijawab oleh Sky, sehingga Sanka simbulkan akan mengantar Sky sampai luar terlebih dahulu.

“Sanka, setelah mengantar Sky keluar kamu tolong temui saya lagi ya?”

“Baik, dok.”

Lima menit kemudian Sanka kembali lagi ke ruangan Jauzan, sesuai apa yang dokter itu amanahkan padanya. Tanpa banyak basa-basi lagi, Jauzan berikan seluruh atensinya kepada Sanka yang terlihat sudah siap mendengarkan penjelasannya.

“Jadi, bagaimana dok keadaan kakak saya?”

Terlihat Jauzan yang sedikit menghela nafas, “Setelah saya bertanya dan mendengarkan langsung dari mulut Sky, sepertinya kecelakaan yang terjadi tujuh tahun lalu membuat penglihatan Sky semakin memburuk. Tapi kamu tenang saja, saya akan jadwalkan terapi mata untuk Sky mulai besok.”

Sanka terlihat menahan tangis ketika mendengar keadaan Sky yang ternyata tidak ada kemajuan.

“Saat tabrakan itu sepertinya Sky mengalami cedera pada kepalanya sehingga menimbulkan berbagai komplikasi, salah satunya kehilangan penglihatan. Tadi saya periksa kondisi matanya, saraf yang berperan dalam proses penglihatan ikut mengalami cedera, ini terjadi pada komponen mata bagian retina ataupun kornea.”

Sanka dengan khusyu mendengar dan memperhatikan laporan yang ditulis Jauzan tadi, tidak lupa Jauzan mengeluarkan hasil test sinar X-ray pada kedua mata Sky dan juga kepalanya.

“Dok, apa ada kemungkinan kak Sky bisa melihat lagi?”

“Sepertinya masih bisa Sanka, tapi kembali lagi. Jika kita ingin mengetahui apakah mata Sky bisa normal kembali itu tergantung pada komponen apa yang mengalami kerusakan.” ujar Jauzan sambil terus menerangkan apa yang ia tau.

“Apakah dokter bisa carikan donor mata untuk kakak saya?”

“Bisa, mas Hugo juga sudah berpesan pada saya untuk carikan Sky donor mata. Jika nanti ada, saya akan segera informasikan pada kamu dan juga mas Hugo.”

“Baik dok jika begitu.”

“Sanka, ketika Sky membuka mata setelah kecelakaan itu dia langsung bisa mengenali kalian semua?” ujar Jauzan kepada Sanka yang terlihat sedikit menghela nafas.

“Kak Sky hilang ingatan dok, pada saat pertama kali membuka mata kak Sky langsung histeris karena dia gak bisa lihat, dan juga dia gak bisa ngenalin kita semua.”

“Apa sudah dicoba diajak atau diberikan sesuatu atau hal yang bisa membuat Sky ingat kembali masa lalunya? seperti di ajak ke sebuah tempat yang berkesan untuknya?” cecar Jauzan lagi.

“Sudah dok, tapi tetap saja kak Sky masih tidak mengenal dirinya yang sebelumnya. Mas Hugo udah pasrah dan hampir nyerah, sejujurnya tujuan kami pindah dan tinggal kembali disini itu untuk kesembuhan kak Sky juga. Mas Hugo ada harapan kak Sky bisa inget lagi kalo di ajak ke tempat yang ada ditempat dia lahir.”

Jauzan terdiam beberapa menit sebelum dia menepuk pundak Sanka untuk menyemangati dan menguatkan.

“Saya harap kamu temani Sky terus ya Sanka, saya yakin adanya orang seperti kamu disisi Sky bisa buat dia kuat dan percaya kalo dia bisa sembuh.”

“Baik dok, kalau begitu saya keluar ya dok. Kasihan kak Sky, takutnya mencari saya karena ditinggal terlalu lama.”

“Baik Sanka, hati-hati ya. Tolong buat Sky untuk tidak terlalu memporsir tubuhnya, karena itu juga bisa berdampak pada kesehatannya.”

“Baik, dok.”

Tepat ketika Sanka keluar dari ruangan dokter Jauzan, Sanka bisa melihat Sky yang tengah kesusahan mengambil tongkatnya yang terjatuh ke lantai rumah sakit. Sanka rasakan sakit ketika ia melihat bagaimana Sky berjuang sekuat tenaga hingga merangkak dilantai untuk menggapai tongkat miliknya.

Setetes air mata jatuh begitu saja ketika Sanka bisa lihat binar bahagia milik Sky karena berhasil menggapai tongkatnya.

“Kakak....”

“Eh, kamu kok keluar aku gak denger suara pintu kebuka?”

“Hehe....yaudah kita pulang yuk kak?” ajak Sanka.

Sky yang sekarang sudah berhasil berdiri pun hanya mengangguk dab menangkap uluran tangan milik Sanka.

Keduanya berjalan beriringan untuk sampai ke luar rumah sakit, Sanka memesan taxi untuk mengantar mereka pulang, tanpa sadar sepasang mata sejak tadi terus saja mengekori mereka berdua.


written by, ©vivi.

#How To See?

au bxb, jayhoon, fluff—romance, harsh word