#
au bxb, jayhoon, fluff—romance, harsh word
#
au bxb, jayhoon, fluff—romance, harsh word
au bxb, jayhoon, fluff—romance, harsh word
Rabu, 16 November 2022 Ruang Hima FEB, 14.00 Wib.
Mungkin Shaquille harus menerima fakta bahwa Kalandra bukanlah sebuah akhir dari kisahnya, melainkan sebuah awal dari bab baru yang berjudul mengikhlaskan.
Pada akhirnya, kita harus belajar menerima, bahwa ternyata memang kalanya sesuatu hancur dan tidak bisa diperbaiki lagi. Kita harus belajar menerima, jika dibeberapa cerita milik orang laib kita bukan tokih utama bagi mereka. Kita harus belajar menerima, jika memang terkadang kita tidak bisa memberikan kesempatan kedua.
Kalandra, lelaki yang ia percaya sebagai tempat sandaran hidupnya kini telah berkhianat.
Shaquille mengetuk pintu ruangan yang bertuliskan 'Hima FEB' dengan sedikit bertenaga. Tangan kirinya ia biarkan digenggam oleh yang lebih muda untuk berikan kekuatan.
“Kalo enggak kuat, gak usah dipaksa. Muka lo gak bisa bohong kak, berapa hari lo nahan tangis?” ucap Rian sambil menatap Shaquille tepat pada kedua matanya.
Shaquille hanya menggeleng dan tersenyum. Rian ia ajak bersamanya bukan bertujuan ingin pamer, ia hanya takut kehilangan kontrol dan berakhir menangis di dalam nanti. Walau di luar ia terlihat kuat, Shaquille hanyalah seorang manusia yang akan merasa sedih dan kecewa ketika dikhianati oleh seseorang.
“I'm tottaly fine, Ian. Kalo gue ngerasa udah gak kuat, tolong bantu gue ya?”
“Of course, bub. Biar gue yang hajar di Kala-kala itu!” ucap Rian yang berhasil buat tawa yang lebih muda menguar ke udara.
Ceklek.
Terlihat seorang wanita cantik dengan rambut diikat satu keluar dan langsung menubruk tubuh tinggi Shaquille. Adinda, perempuan itu kini mulai mengelus punggung Shaquille bermaksud menyalurkan kehangatan.
“Are you ready for the game?”“
“Gue selalu siap Adinda, lo mau berapa kali lagi sih nanya hal yang sama?”
Adinda mendengus pelan. Kedua netranya tangkap sosok lain yang berdiri dibelakang Shaquille, ia menyenggol lengan Shaquille untuk mendapat penjelasan. Namun, Shaquille langsung saja melangkah masuk sambil menarik tangan Rian yang sejak tadi tidak dibiarkan lepas dari genggamannya.
“Halo, guys apa kabar–?” kedua netra Shaquille tangkap Kalandra dan Isabel yang tengah asyik bercanda disebuah ruang yang disekat kaca.
Shaquille buang pandangannya ketika Kalandra tidak sengaja menoleh dan membuat kontak mata dengannya. Ia menyadari Kalandra dan Abel yang mendekat ke arahnya, namun belum sempat dirinya ditarik oleh Kala, Shaquille lebih dulu di tarik pada dekapan hangat milik Kinan dan Celine yang memeluknya hingga dirinya sesak nafas.
“Sha, kemana aja kok jarang main ke sini lagi sih.”
“Gue bukan anak FEB kak Kinan, jadi gue gak ada hak buat masuk ke sini lagi. Lagian, gue ke sini juga karena diajakin Dinda.”
Kemudian tak lama tiga orang laki-laki dengan wajah tampan dan tinggi semampainya keluar dari sebuah ruangan dan langsung melempar senyum pada Shaquille.
“Apa kabar kak Shaquille, kangen nih gue.”
“*How are you, hm? kakak udah lama gak liat kamu main ke sini. Pawangnya jadi anak arsi ya?” canda Haidan sambil mengelus kepala Shaquille dengan lembut.
“Kak Idan bisa aja, kabar aku baik kok.”
“Eh si cakep, apa kabar?”
“Baik bang Galen, abang gimana kabarnya?”
“Wah loyo gue Sha, gue jarang liat asupan pemandangan indah, soalnya lo udah jarang ke sini.”
Shaquille hanya terkekeh dan menggelengkan kepalanya tanda heran dan juga tidak habis pikir dengan para pengurus HIMA FEB ini. Shaquille menarik Rian agar berdiri disampingnya.
“Semuanya kenalin, ini Rian. Calon tunangan gue.”
Semuanya langsung terdiam antara terkejut dan juga tidak percaya. Berbanding terbalik dengan Kalandra yang maju dan menarik lengan Shaquille dengan sedikit kasar.
“Ay, maksud kamu apa dia tunangan kamu? kamu anggep aku apa disini sampe kamu mau tunangan aja aku gak tau ay!”
“Lo nanya gue anggep lo apa? gini deh, gue yang nanya. Lo anggap gue apa di hidup lo Kalandra?” ucap Shaquille sedikit berteriak.
“Dua minggu, dua minggu lo bohongin gue dengan alesan rapat HIMA padahal lo jalan sama adek tiri gue sendiri Kal, lo sadar gak sih lo udah jahat sama gue? cih, nganggep adek aja gue gak sudi. Kalian sama, gak lebih dari sampah!”
“Maksud lo apa tolol!”
Plak.
Isabel maju dan menampar pipi Shaquille hingga memerah, membuat Kinan, Dinda, dan juga Celine mendorong Abel hingga punggungnya menabrak dinding.
“Elo ya tolol, ngaca monyet lo udah rebut semuanya dari Shaquille!”
“Harusnya lo ngaca tai, punya malu gak lo bangsat?”
“Lo itu benalu tau gak bel?”
“CUKUP! LO SEMUA KENAPA SIH?!” Kalandra baru saja berteriak, membuat Shaquille diam tidak percaya.
“Abel cuman korban dari tindakan papanya Shaquille, harusnya kalian gak mihak satu orang dong.”
Haidan maju satu langkah, ingin menghajar Kalandra. Namun, baru saja ia akan menghajarnya, Shaquille lebih dulu maju dan melayangkan sebuah bogeman mentah pada pipi Kalandra hingga di empunya mengeluarkan darah dari hidungnya.
“Ngaca, lo bela si anjing bela juga cuman liat dari sudut pandang dia doang kala! PERNAH GAK LO PERCAYA SAMA GUE? BAHKAN DIA CERITA YANG GAK BENER TENTANG GUE AJA LO PERCAYA KALA—”
Rian yang melihat setetes air mata Shaquille mulai turun tangan dan menariknya untuk ia dekap. Sungguh, hatinya terasa tersayat ketika orang yang ia sayang selama lima tahun terakhir disakiti oleh lelaki bajingan.
“Lo harusnya dengerin gue juga Kala, Abel yang jahat bukan gue!”
Kalandra menatap kesayangannya dengan wajah yang penuh dengan rasa bersalah. Ia ingin mendekap kekasihnya, atau mantan kekasihnya? namun ketika dia melihat ketulusan Rian untuk Shaquille ia mengurungkan dirinya.
Abel yang melihat Kalandra mulai luluh dan tidak berpihak lagi padanya pun mulai mengambil tindakan. Dia menarik tangan Shaquille dengan keras hingga sang empunya menabrak sebuah papan yang digunakan untuk bermain panah-panahan.
“Maksud lo apa Shaquille? bokap lo lebih milih gue sama nyokap gue itu bukan salah gue. Lo dan bunda lo cuman beban, dan akhirnya di buang sama bokap gue!”
Shaquille rasakan keningnya meneteskan sebuah cairan merah nan anyir, ia terdiam ditempat ketika Abel terus saja menyerangnya dengan kata-kata pedas.
“Lo pikir lo siapa sampe bisa nyebarin berita gue yang main sama om-om? eh Shaquille, gue kaya. Bokap gue masih bisa ngasih gue uang yang banyak, lo pikir lo hebat dengan bikin berita hoax kaya gitu buat gue? enggak!”
Plak.
Semuanya terdiam membisu. Shaquille Dirgantara yang terkenal dengan pribadi yang kalem dan juga manis, enggan melukai perempuan kini tampilkan sosok yang berbeda.
Shaquille baru saja menampar Isabel hingga hidungnya berdarah. Abel menatap Shaquille takut, sementara Shaquille perlahan berjalan mundur untuk mengintimidasi Abel.
“Kaya? bokap lo kaya? eh ngaca, bokap lo sebulan sekali gue yang kasih uang. Lo hidup karena uang gue, lo bisa beli ini itu karena uang gue, lo bisa makan sama nyokap lo karena gue! dan lo tadi bilang apa? gue siapa sampe bisa nyebarin berita hoax?”
Tangan Shaquille yang bebas kini mulai mencengkram rambut Abel yang tergerai panjang. Ia tarik rambut itu hingga pemiliknya kesakitan.
“A-ampun, Sha..gue mohon..”
“Hah apa? ampun?” tawa Shaquille meledak ketika melihat air mata buaya milik Isabel keluar. Shaquille tertawa diakhiri oleh sebuah seringai setan.
“Waktu nyokap lo narik rambut bunda gue, sampe bunda gue mohon-mohon dia lepasin gak? ENGGAK BEL!”
“Shaquille, cukup ya? aku salah sayang, maafin aku. Shaquille yang aku kenal enggak kaya gini sayang, please?” Kalandra mencoba memisahkan Shaquille dengan Abel, namun tidak berhasil.
“Diem lo anjing, gue lagi mau bikin dia kesiksa sama kaya apa yang gue alamin sama bunda! Bel lo inget gak, gue sampe tidur di ruko karena permintaan nyokap lo yang langsung dituruin sama papa! Sakit bel rasanya, sakit!”
“Sha, ampun....”
“Lo pernah mikir gak sih anjing, lo mau apa sih dari gue? puas lo ambil semua yang gue punya? termasuk Kala juga mau lo ambil? AMBIL BANGSAT GUE GAK BUTUH, AMBIL— ambil....”
Rian langsung menarik kembali Shaquille yang mulai ambruk, kedua mata cantik itu kini sudah sembab karena menangis. Abel yang kehabisan tenaga langsung terjatuh dan terkapar begitu saja, sementara Kalandra kini mencoba mendekat ke arah Shaquille yang menangis tersedu dipelukan Rian.
“Sayang....”
“Gue mohon lo jangan coba-coba buat deketin dia lagi. Sekarang, dia milik gue! cuman milik gue!” ucapan Rian langsung membuat Kalandra terdiam.
Rian langsung menggendong Shaquille ala bridal style karena Shaquille tidak sadarkan diri. Kinan, Dinda, dan juga Celine langsung mengekor dibelakang Rian untuk antarkan Shaquille ke UKS.
Tidak ada yang berbicara karena masih syok dan terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.
Haidan, Galen, dan Hito mulai maju dan menepuk punggung Kalandra yang mematung dan membisu.
“Gue harap lo dapet pelajaran dari apa yang lo perbuat Lan, Shaquille orang baik. Gak seharusnya lo perlakuin dia kaya gitu, ngalamin trauma yang sama bikin dia sakit hati Lan, pikirin lagi. Good Luck!” ucap Haidan kemudian melenggang meninggalkan Kalandra dan juga Abel yang sama-sama terdiam.
“Seharusnya kalo lo udah gak mau sama Shaquille, lo lepas dan biarin dia terbang bebas buat dapetin apa yang dia mau Lan, bukan malah nyiksa batinnya.” Galen menatap sinis ke arah Kalandra yang hanya menatap matanya dengan wajah sendu.
“Gue gak nyangka lo gini bang, gue kira lo tulus. Tapi ternyata lo busuk, kasian kak Shaquille buka lagi luka lama gara-gara lo. Seharusnya dengan adanya lo kak Shaquille bisa lupain lukanya, tapi lo yang udah kenal dia dari lama malah milih orang baru yang jelas-jelas cuman pengen harta lo doang.” Hito tampilkan rasa kecewa mendalamnya pada kakak tingkat yang ia anggap panutan.
Tinggalah Kalandra dan juga Isabel diruangan HIMA ini berdua, Kalandra masih saja tidak bersuara. Sementara Abel masih takut dan enggan untuk menghadapi Kalandra yang kemungkinan mengamuk kapan saja.
“Alan, g-gue minta maaf, gue gak bermaksud—”
“Seharusnya gue gak kenal sama lo bel, lo hancurin semuanya.”
Kalandra meninggalkan Abel dengan perasaan yang campur aduk, ia berasa bodoh karena telah menyia-nyiakan Shaquille yang tulus padanya.
Namun nasi sudah menjadi bubur, mau seberusaha apapun Kalandra untuk mengubah keadaan menjadi seperti semula tetap tidak bisa karena luka hati yang Shaquille dapat tidak akan mudah hilang begitu saja.
“Sayang....”
“Kala, kamu gak sayang aku...”
Finish.
written by ©vivi.
au bxb, jayhoon, fluff—romance
Menaruh ekspetasi terlalu tinggi pada seseorang adalah sebuah karya seni memahat luka, dan akhirnya selalu ada batas untuk setiap perjalanan, selalu ada kata selesai untuk sesuatu yang dimulai.
Langit terlihat sedikit berubah warna menjadi jingga ketika seorang pemuda dudukan bokongnya pada salah satu kursi yang disediakan disalah satu universitas ternama dikotanya.
Shaquille Dirgantara, salah satu mahasiswa semester dua yang sebentar lagi menginjak semester tiga dengan mengambil fakultas teknik dengan program studi Fashion Design kini memilih menutup kedua kelopak matanya saat sapuan angin sore menerpa wajah cantik nan tampannya.
Tanpa disadari, sebuah buliran air mata terjun bebas begitu saja. Niat hati ingin menenangkan diri malah mengundang tangisnya pecah begitu saja.
“hiks...hiks...“
“Nih, tisu buat lo!”
Shaquille sempat terhentak karena terkejut, kedua matanya terbuka dan melirik seseorang yang duduk disampingnya tanpa permisi.
“Dinda? ngapain lo disini?”
Perempuan dengan rambut diurai indah, dengan make up tipis itu tersenyum ke arah Shaquille.
“Nemenin orang yang lagi sakit hati.”
“Lo kalo mau ketawa gapapa, ketawain aja gue!”
Hening menyelimuti keduanya, Shaquille yang memikirkan hubungannya dengan Kalandra. Sementara Dinda yang sibuk dengan kata-kata yang ia susun rapih dikepalanya untuk ia ucapkan pada Shaquille.
“Rasanya sakit banget, ya Sha?” ucapan Dinda mampu membuat Shaquille menoleh padanya.
Dinda ikut menoleh pada Shaquille, ia menarik nafas untuk melanjutkan kalimatnya yang menggantung tadi, “Sha, terkadang memang manusia perlu ngerasain luka biar tau gimana caranya bertahan, biar dia tau gimana caranya bangkit,” Dinda mengusap lembut pipi Shaquille yang berlinang air mata.
“Din, makasih.”
“Ngapain? makasih buat apa Sha? dengerin gue! disini lo gak salah, cuman saat ini semesta lagi gak berpihak sama lo. Semesta mau nunjukin hal yang baik dan gak baik buat lo, Sha,” ucapan Dinda mampu membuat Shaquille termenung dan mengeluarkan tangisnya dalam diam.
Dinda yang merasa iba menarik kepala Shaquille untuk ia bawa bersandar pada bahunya. Selama ini ia sadar jika lelaki disebelahnya ini hatinya selembut sutra, tidak bisa dikoyak-koyak seenaknya karena akan susah untuk dirapihkan lagi. Tapi, malah kekasihnya sendiri yang mengoyak hati selembut sutra milik Shaquille.
“Waktu lo jambak gue digudang, gue sadar Sha kalo lo emang orang yang tulus dan berhak buat bersanding sama Alan yang notabenya cerminan buat mahasiswa. Gue disitu sadar, kalo gue emang gak lebih dari sampah pas ngatain lo pelacur lah, apalah. Sorry ya, Sha.”
Shaquille menggelengkan kepalanya yang masih bersandar pada pundak sang gadis, “Lo enggak salah kok Din, guenya aja yang keterlaluan dan buta sama cinta. Gue minta maaf kalo waktu itu gue jambak rambut lo terlalu kenceng.”
Dinda terkekeh, dia mengangkat kepala Shaquille untuk ia lihat wajahnya. Memerah, persis seperti bayi yang baru menangis.
“Pantesan Kinan manggil lo bayi, emang iya anjir kaya bayi baru nangis lo, Sha. Gemes banget, mau ya gue bayiin?”
“Gamau, lo bau.”
Dinda mencebikkan bibirnya, “Jahat banget, gue udah pake deodorant, parfume dan lainnya kok. Cium aja deh, wangi gue!” ucapnya sewot.
“Bercanda Dinda, karena lo udah baik sama gue. Mau gak temenan sama gue?” ucap Shaquille sambil menyodorkan tangan kanannya, menunggu Dinda untuk menjabat tangannya juga.
“Gue selalu mau temenan sama orang kaya lo, Sha. Lo orang yang baik dan tulus, makasih karena udah mau temenan sama gue.”
Keduanya tersenyum dan mengusap air kata satu sama lain yang ternyata terjun bebas diatas pipi merah merona mereka.
“Sha,” panggil Dinda dengan ekspresi sendu sambil tersenyum tipis.
Shaquille berdehem sebagai jawaban dan mengangkat kedua alisnya bingung.
“Lo manusia juga, kalo lo lupa,” ucap Dinda tanpa konteks yang spontan membuat Shaquille bingung.
Shaquille memamerkan cengiran khasnya yang lucu. “Iya gue tau kok, tapi maksudnya apa?”
“Maksud gue, nge-ekspresiin emosi itu wajar. Lo boleh nunjukkin perasaan lo tanpa harus ditahan, lo luapin apa yang buat lo emosi. Sama kaya waktu lo labrak gue, gapapa labrak asalkan maksud dan tujuan lo udah pasti.” katanya. “Lo mau marah, nangis, seneng sampe jingkrak-jingkrak juga...gak bakal ngerubah pandangan orang lain ke lo kok.”
Shaquille tertegun. Kalimat Dinda barusan seolah menamparnya keras-keras. Benar, ia terlalu menahan semuanya selama ini. Haruskah ia berubah dan meluapkan semuanya dengan suka hatinya?
“Kalo mau cerita, cerita aja sama gue. Cari gue ke ruang hima, tapi jangan cari Alan ya! cari gue aja biar yang lain juga kaya bingung kok kalian akur?” wkwk gue pengen liat ekspresinya Alan kalo kita akur.”
“Emang kaya anjing tuh si Alan, ninggalin berlian buat baru asahan.” ucapan Dinda membuat Shaquille tertawa nyaring, hingga kedua matanya membentuk bulan sabit.
Shaquille tersenyum lalu memeluk Dinda erat, ia terharu karena selama ini ia selalu berpikiran buruk kepada wanita yang ada disampingnya ini.
“Dinda makasih ya? untuk semuanya.”
“Belum semuanya, nanti gue bantuin buat kasih pelajaran ke si Abel gubal-gabel itu. Gue gini-gini jago silat loh.”
“Terus kenapa waktu itu gak ngelawan gue?”
“Gak tega, muka lo kaya bayi soalnya kalo ngamuk.” ucap Dinda yang langsung membuat Shaquille mendesis kesal.
“Ish, Shaquille bukan bayi, Dinda!”
“Lah ini, inimah bahasa bayi Sha.”
Dan berakhir dengan Shaquille yang bermain kejar-kejaran dengan Adinda. Mereka menghabiskan waktu sore mereka untuk membagi luka satu sama lain, ternyata memiliki teman yang senasib itu tidak buruk juga.
Semoga.
minggu, 13 november 2022 written by ©vivi.
Menaruh ekspetasi terlalu tinggi pada seseorang adalah sebuah karya seni memahat luka, dan akhirnya selalu ada batas untuk setiap perjalanan, selalu ada kata selesai untuk sesuatu yang dimulai.
Langit terlihat sedikit berubah warna menjadi jingga ketika seorang pemuda dudukan bokongnya pada salah satu kursi yang disediakan disalah satu universitas ternama dikotanya.
Shaquille Dirgantara, salah satu mahasiswa semester dua yang sebentar lagi menginjak semester tiga dengan mengambil fakultas teknik dengan program studi Fashion Design kini memilih menutup kedua kelopak matanya saat sapuan angin sore menerpa wajah cantik nan tampannya.
Tanpa disadari, sebuah buliran air mata terjun bebas begitu saja. Niat hati ingin menenangkan diri malah mengundang tangisnya pecah begitu saja.
“hiks...hiks...“
“Nih, tisu buat lo!”
Shaquille sempat terhentak karena terkejut, kedua matanya terbuka dan melirik seseorang yang duduk disampingnya tanpa permisi.
“Dinda? ngapain lo disini?”
Perempuan dengan rambut diurai indah, dengan make up tipis itu tersenyum ke arah Shaquille.
“Nemenin orang yang lagi sakit hati.”
“Lo kalo mau ketawa gapapa, ketawain aja gue.”
Hening menyelimuti keduanya, Shaquille yang memikirkan hubungannya dengan Kalandra. Sementara Dinda yang sibuk dengan kata-kata yang ia susun rapih dikepalanya untuk ia ucapkan pada Shaquille.
“Rasanya sakit banget, ya Sha?” ucapan Dinda mampu membuat Shaquille menoleh padanya.
Dinda ikut menoleh pada Shaquille, ia menarik nafas untuk melanjutkan kalimatnya yang menggantung tadi, “Sha, terkadang memang manusia perlu ngerasain luka biar tau gimana caranya bertahan, biar dia tau gimana caranya bangkit,” Dinda mengusap lembut pipi Shaquille yang berlinang air mata.
“Din, makasih.”
“Ngapain? makasih buat apa Sha? dengerin gue! disini lo gak salah, cuman saat ini semesta lagi gak berpihak sama lo. Semesta mau nunjukin hal yang baik dan gak baik buat lo, Sha,” ucapan Dinda mampu membuat Shaquille termenung dan mengeluarkan tangisnya dalam diam.
Dinda yang merasa iba menarik kepala Shaquille untuk ia bawa bersandar pada bahunya. Selama ini ia sadar jika lelaki disebelahnya ini hatinya selembut sutra, tidak bisa dikoyak-koyak seenaknya karena akan susah untuk dirapihkan lagi. Tapi, malah kekasihnya sendiri yang mengoyak hati selembut sutra milik Shaquille.
“Waktu lo jambak gue digudang, gue sadar Sha kalo lo emang orang yang tulus dan berhak buat bersanding sama Alan yang notabenya cerminan buat mahasiswa. Gue disitu sadar, kalo gue emang gak lebih dari sampah pas ngatain lo pelacur lah, apalah. Sorry ya, Sha.”
Shaquille menggelengkan kepalanya yang masih bersandar pada pundak sang gadis, “Lo enggak salah kok Din, guenya aja yang keterlaluan dan buta sama cinta. Gue minta maaf kalo waktu itu gue jambak rambut lo terlalu kenceng.”
Dinda terkekeh, dia mengangkat kepala Shaquille untuk ia lihat wajahnya. Memerah, persis seperti bayi yang baru menangis.
“Pantesan Kinan manggil lo bayi, emang iya anjir kaya bayi baru nangis lo, Sha. Gemes banget, mau ya gue bayiin?”
“Gamau, lo bau.”
Dinda mencebikkan bibirnya, “Jahat banget, gue udah pake deodorant, parfume dan lainnya kok. Cium aja deh, wangi gue!” ucapnya sewot.
“Bercanda Dinda, karena lo udah baik sama gue. Mau gak temenan sama gue?” ucap Shaquille sambil menyodorkan tangan kanannya, menunggu Dinda untuk menjabat tangannya juga.
“Gue selalu mau temenan sama orang kaya lo, Sha. Lo orang yang baik dan tulus, makasih karena udah mau temenan sama gue.”
Keduanya tersenyum dan mengusap air kata satu sama lain yang ternyata terjun bebas diatas pipi merah merona mereka.
“Sha,” panggil Dinda dengan ekspresi sendu sambil tersenyum tipis.
Shaquille berdehem sebagai jawaban dan mengangkat kedua alisnya bingung.
“Lo manusia juga, kalo lo lupa,” ucap Dinda tanpa konteks yang spontan membuat Shaquille bingung.
Shaquille memamerkan cengiran khasnya yang lucu. “Iya gue tau kok, tapi maksudnya apa?”
“Maksud gue, nge-ekspresiin emosi itu wajar. Lo boleh nunjukkin perasaan lo tanpa harus ditahan, lo luapin apa yang buat lo emosi. Sama kaya waktu lo labrak gue, gapapa labrak asalkan maksud dan tujuan lo udah pasti.” katanya. “Lo mau marah, nangis, seneng sampe jingkrak-jingkrak juga...gak bakal ngerubah pandangan orang lain ke lo kok.”
Shaquille tertegun. Kalimat Dinda barusan seolah menamparnya keras-keras. Benar, ia terlalu menahan semuanya selama ini. Haruskah ia berubah dan meluapkan semuanya dengan suka hatinya?
“Kalo mau cerita, cerita aja sama gue. Cari gue ke ruang hima, tapi jangan cari Alan ya! cari gue aja biar yang lain juga kaya bingung kok kalian akur?” wkwk gue pengen liat ekspresinya Alan kalo kita akur.”
Shaquille tersenyum lalu memeluk Dinda erat, ia terharu karena selama ini ia selalu berpikiran buruk kepada wanita yang ada disampingnya ini.
“Dinda makasih ya? untuk semuanya.”
“Belum semuanya, nanti gue bantuin buat kasih pelajaran ke si Abel gubal-gabel itu. Gue gini-gini jago silat loh.”
“Terus kenapa waktu itu gak ngelawan gue?”
“Gak tega, muka lo kaya bayi soalnya kalo ngamuk.” ucap Dinda yang langsung membuat Shaquille mendesis kesal.
“Ish, Shaquille bukan bayi, Dinda!”
“Lah ini, inimah bahasa bayi Sha.”
Dan berakhir dengan Shaquille yang bermain kejar-kejaran dengan Adinda. Mereka menghabiskan waktu sore mereka untuk membagi luka satu sama lain, ternyata memiliki teman yang senasib itu tidak buruk juga.
Semoga.
minggu, 13 november 2022 written by ©vivi.
**cw// mention about sex (adult scene), di bawah umur skip aja.
....
Seoul, Korea Selatan
29 August 2059, 04.00 pm.
Jenan bersumpah ia menyesal karena menuruti kemauan Karla dari pada mementingkan pesan yang di kirim oleh Sena, suaminya. Jenan menyesal karena ikuti segala kemauan Karla yang ternyata hanya berpura-pura mabuk dan malah sengaja tuangkan obat perangsang pada minumannya juga.
Jenan bisa katakan dirinya bodoh dan tolol urusan seperti ini. Jenan kita Karla wanita baik karena suka rela membantunya, ia kira Karla wanita suci yang akan bantu ia dapatkan segala hal yang kakeknya inginkan. Namun, faktanya dirinya malah terjebak dalam keadaan memangku wanita ini di rumahnya sendiri.
Karla dengan lancang buka semua kancing bajunya meski Jenan susah payah tepis tangannya. Sesekali Jenan di beri minum lagi oleh Karla yang masih seratus persen sadar, Jenan bisa lihat samar-samar wajah cantik suaminya— Abiya Sena tengah gelayut manja di atas pangkuannya. Berikan elusan serta erangan desahan manja dan sensual di sisi telinganya.
Jenan bisa lihat Abiya Sena buka bajunya sendiri hingga tampilkan tubuh putih moles bak porselen, hingga Jenan bisa lihat ilusi Sena yang buka celananya sendiri seperti di malam itu ketika dirinya dan Sena resmi bersatu dalam ranjang dan di bawah selimut yang sama.
Bak orang kesetanan, Jenan perlahan majukan wajahnya guna hisap nipple merah muda milik Sena hingga sang empunya erangkan nikmat tiada tara. Netra Jenan menggelap ketika di dalam pandangannya Abiya Sena berikan senyum paling manis sedunia, semanis madu gula yang tidak ada duanya.
“Ah…mas jenan…”
“Lagi mas….”
“Harusnya lo jadi milik gue jenan, tapi dengan gak tahu dirinya lo malah milih Sena terus.”
Jenan bisa rasakan penisnya semakin menegang ketika dirinya lihat tangan gemulai milik Sena pegang kepuanyaannya, ia bisa rasakan tangan itu arahkan kejantanannya hingga masuk ke dalam singgasananya. Jenan mengerang frustasi hingga sebutkan nama Sena berkali-kali hingga sebelum pukulan itu membuat dirinya tersungkur tak sadarkan diri.
“Ah Jenan….”
“Sena….Sena…”
Jenan tidak hiraukan ponselnya yang terus berdenting semenjak jam dua belas malam hingga empat dini hari, yang ia pentingkan hanya nafsunya saja. Samar-samar juga ia bisa dengar suara isakan serta teriakan keras di sana.
written by vivi, @acilmoll.
Jangan sia-siakan yang sudah ada, jika hilang maka kamu juga yang kehilangan arah.
📍R.S Hallym University Medical Center, Korea Selatan.
29 August 2022, 20.00 am.
Sudah sekitar empat jam lamanya Jenan tertidur karena efek obat bius dari obat yang di suntikan oleh dokter. Pemandangan pertama yang Jenan bisa tangkap ketika dirinya membuka mata adalah dirinya yang tertidur dengan perban di kepala, serta ruangan serba putih dan bau obat yang menusuk langsung pada indera penciumannya, sangat menyengat.
Jenan mengalami luka pendarahan pada kepalanya yang di sebabkan oleh pukulan benda keras pada kepalanya.
Jenan memegang kepalanya ketika di rasa sedikit nyeri, ia meringis kesakitan. Efek pukulan dan minuman keras sepertinya. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi setelah ia tidak sadar karena mabuk, Jenan memijat pelipisnya karena pusing yang melanda.
Akhirnya Jenan ingat, ingat semuanya.
”.....Sena!”
Saat dirinya hendak turun dari bangsal tempatnya di rawat, tiba-tiba pintu ruangan tempat ia di rawat terbuka. Menampilkan Jastara dan Tamara.
Jenan tersenyum, senang. Ia melangkahkan kakinya meskipun tertatih-tatih, bersiap berhambur ke pelukan sang mamah yang tidak menunjukan ekspresi apapun.
“Mah, Pah...kalian jenguk Jenan?”
“Sena di mana? Jenan enggak liat dia dimana-mana, Sena baik-baik saja kan mah, pah?”
Hening. Jastara dan Tamaranya hanya diam membisu sambil menatap Jenan yang kini sudah berada di hadapan mereka berdua. Di rasa tidak puas karena pertanyaannya tidak diberikan jawaban, Jenan menarik tangan Tamara yang menggantung bebas di sebelah tubuhnya.
“Mah...”
Bug.
Jenan limbung sebab Jastara memukulnya tiba-tiba. Jenan terdiam ketika melihat Papahnya mendekat dan menarik kerah bajunya, hingga membuat Jenan bangun dengan leher yang sedikit tercekik.
“Bangun, saya bilang bangun!”
“Pah—”
Bug.
Tanpa menunggu anak semata wayangnya menjelaskan semuanya, Jastara kembali menampar pipi Jenan yang sudah merah dimana-mana. Jenan terbatuk ketika Jastara mulai memukul perutnya.
“Anak gak tahu di untung, seharusnya anda itu menjaga cucu nyonya Rosabella! bukan malah menyakiti hatinya.” Jastara menampar kedua pipi Jenan lagi.
Tamara yang tidak tega melihat anak kesayangannya di perlakukan seperti itu hanya menangis, mencoba menahan suaminya agar tidak bertindak gegabah.
“Mas, udah.”
“Seharusnya kamu itu turuti perkataan saya, bukan malah memilih pelacur seperti wanita itu!”
Bug.
“Uhuk...uhuk...Ampun pah, jenan minta maaf.” Jenan mulai bersujud ketika Jastara melepaskan cengkraman pada kerah bajunya.
“Seharusnya dari awal saya tidak percaya dengan anda. Pergi, jangan pulang ke rumah saya lagi.”
Tamara melotot karena ucapan suaminya, “Mas, aku mohon mas.”
“Pah..maafin jenan.”
“Saya tidak sudi memiliki anak seperti anda. Setelah ini, jangan pernah injakkan kaki anda ke runah saya. Saya tidak mau rumah saya kotor.”
Jenan tatap kedua orang tuanya, dirinya menyesal. Jenan menatap Tamara, namun ibunya itu memalingkan muka. Tamara menangis, namun tidak bisa apa-apa.
Tamara tahu jika anaknya salah, Tamara tidak bisa berbuat apa-apa karena suaminya sudah memilih keputusan.
“Ayo, kita pergi.” ucap Jastara pada istrinya, meninggalkan Jenan yang berlutut penuh dengan luka.
Jangan sia-siakan yang sudah ada, jika hilang maka kamu juga yang kehilangan arah.
📍R.S Hallym University Medical Center, Korea Selatan.
29 August 2022, 20.00 am.
Sudah sekitar empat jam lamanya Jenan tertidur karena efek obat bius dari obat yang di suntikan oleh dokter. Pemandangan pertama yang Jenan bisa tangkap ketika dirinya membuka mata adalah dirinya yang tertidur dengan perban di kepala, serta ruangan serba putih dan bau obat yang menusuk langsung pada indera penciumannya, sangat menyengat.
Jenan mengalami luka pendarahan pada kepalanya yang di sebabkan oleh pukulan benda keras pada kepalanya.
Jenan memegang kepalanya ketika di rasa sedikit nyeri, ia meringis kesakitan. Efek pukulan dan minuman keras sepertinya. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi setelah ia tidak sadar karena mabuk, Jenan memijat pelipisnya karena pusing yang melanda.
Akhirnya Jenan ingat, ingat semuanya.
”.....Sena!”
Saat dirinya hendak turun dari bangsal tempatnya di rawat, tiba-tiba pintu ruangan tempat ia di rawat terbuka. Menampilkan Jastara dan Tamara.
Jenan tersenyum, senang. Ia melangkahkan kakinya meskipun tertatih-tatih, bersiap berhambur ke pelukan sang mamah yang tidak menunjukan ekspresi apapun.
“Mah, Pah...kalian jenguk Jenan?”
“Sena di mana? Jenan enggak liat dia dimana-mana, Sena baik-baik saja kan mah, pah?”
Hening. Jastara dan Tamaranya hanya diam membisu sambil menatap Jenan yang kini sudah berada di hadapan mereka berdua. Di rasa tidak puas karena pertanyaannya tidak diberikan jawaban, Jenan menarik tangan Tamara yang menggantung bebas di sebelah tubuhnya.
“Mah...”
Bug.
Jenan limbung sebab Jastara memukulnya tiba-tiba. Jenan terdiam ketika melihat Papahnya mendekat dan menarik kerah bajunya, hingga membuat Jenan bangun dengan leher yang sedikit tercekik.
“Bangun, saya bilang bangun!”
“Pah—”
Bug.
Tanpa menunggu anak semata wayangnya menjelaskan semuanya, Jastara kembali menampar pipi Jenan yang sudah merah dimana-mana. Jenan terbatuk ketika Jastara mulai memukul perutnya.
“Anak gak tahu di untung, seharusnya anda itu menjaga cucu nyonya Rosabella! bukan malah menyakiti hatinya.” Jastara menampar kedua pipi Jenan lagi.
Tamara yang tidak tega melihat anak kesayangannya di perlakukan seperti itu hanya menangis, mencoba menahan suaminya agar tidak bertindak gegabah.
“Mas, udah.”
“Seharusnya kamu itu turuti perkataan saya, bukan malah memilih pelacur seperti wanita itu!”
Bug.
“**Uhuk...uhuk...Ampun pah, jenan minta maaf.” Jenan mulai bersujud ketika Jastara melepaskan cengkraman pada kerah bajunya.
“Seharusnya dari awal saya tidak percaya dengan anda. Pergi, jangan pulang ke rumah saya lagi.”
Tamara melotot karena ucapan suaminya, “Mas, aku mohon mas.”
“Pah..maafin jenan.”
“Saya tidak sudi memiliki anak seperti anda. Setelah ini, jangan pernah injakkan kaki anda ke runah saya. Saya tidak mau rumah saya kotor.”
Jenan tatap kedua orang tuanya, dirinya menyesal. Jenan menatap Tamara, namun ibunya itu memalingkan muka. Tamara menangis, namun tidak bisa apa-apa.
Tamara tahu jika anaknya salah, Tamara tidak bisa berbuat apa-apa karena suaminya sudah memilih keputusan.
“Ayo, kita pergi.” ucap Jastara pada istrinya, meninggalkan Jenan yang berlutut penuh dengan luka.
harsh word, mention of blood,
Jangan sia-siakan yang sudah ada, jika hilang maka kamu juga yang kehilangan arah.
📍R.S Hallym University Medical Center, Korea Selatan.
29 August 2022, 20.00 am.
Sudah sekitar empat jam lamanya Jenan tertidur karena efek obat bius dari obat yang di suntikan oleh dokter. Pemandangan pertama yang Jenan bisa tangkap ketika dirinya membuka mata adalah dirinya yang tertidur dengan perban di kepala, serta ruangan serba putih dan bau obat yang menusuk langsung pada indera penciumannya, sangat menyengat.
Jenan mengalami luka pendarahan pada kepalanya yang di sebabkan oleh pukulan benda keras pada kepalanya.
Jenan memegang kepalanya ketika di rasa sedikit nyeri, ia meringis kesakitan. Efek pukulan dan minuman keras sepertinya. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi setelah ia tidak sadar karena mabuk, Jenan memijat pelipisnya karena pusing yang melanda.
Akhirnya Jenan ingat, ingat semuanya.
”.....Sena!”
Saat dirinya hendak turun dari bangsal tempatnya di rawat, tiba-tiba pintu ruangan tempat ia di rawat terbuka. Menampilkan Jastara dan Tamara.
Jenan tersenyum, senang. Ia melangkahkan kakinya meskipun tertatih-tatih, bersiap berhambur ke pelukan sang mamah yang tidak menunjukan ekspresi apapun.
“Mah, Pah...kalian jenguk Jenan?”
“Sena di mana? Jenan enggak liat dia dimana-mana, Sena baik-baik saja kan mah, pah?”
Hening. Jastara dan Tamaranya hanya diam membisu sambil menatap Jenan yang kini sudah berada di hadapan mereka berdua. Di rasa tidak puas karena pertanyaannya tidak diberikan jawaban, Jenan menarik tangan Tamara yang menggantung bebas di sebelah tubuhnya.
“Mah...”
Bug.
Jenan limbung sebab Jastara memukulnya tiba-tiba. Jenan terdiam ketika melihat Papahnya mendekat dan menarik kerah bajunya, hingga membuat Jenan bangun dengan leher yang sedikit tercekik.
“Bangun, saya bilang bangun!”
“Pah—”
Bug.
Tanpa menunggu anak semata wayangnya menjelaskan semuanya, Jastara kembali menampar pipi Jenan yang sudah merah dimana-mana. Jenan terbatuk ketika Jastara mulai memukul perutnya.
“Anak gak tahu di untung, seharusnya anda itu menjaga cucu nyonya Rosabella! bukan malah menyakiti hatinya.” Jastara menampar kedua pipi Jenan lagi.
Tamara yang tidak tega melihat anak kesayangannya di perlakukan seperti itu hanya menangis, mencoba menahan suaminya agar tidak bertindak gegabah.
“Mas, udah.”
“Seharusnya kamu itu turuti perkataan saya, bukan malah memilih pelacur seperti wanita itu!”
Bug.
“**Uhuk...uhuk...Ampun pah, jenan minta maaf.” Jenan mulai bersujud ketika Jastara melepaskan cengkraman pada kerah bajunya.
“Seharusnya dari awal saya tidak percaya dengan anda. Pergi, jangan pulang ke rumah saya lagi.”
Tamara melotot karena ucapan suaminya, “Mas, aku mohon mas.”
“Pah..maafin jenan.”
“Saya tidak sudi memiliki anak seperti anda. Setelah ini, jangan pernah injakkan kaki anda ke runah saya. Saya tidak mau rumah saya kotor.”
Jenan tatap kedua orang tuanya, dirinya menyesal. Jenan menatap Tamara, namun ibunya itu memalingkan muka. Tamara menangis, namun tidak bisa apa-apa.
Tamara tahu jika anaknya salah, Tamara tidak bisa berbuat apa-apa karena suaminya sudah memilih keputusan.
“Ayo, kita pergi.” ucap Jastara pada istrinya, meninggalkan Jenan yang berlutut penuh dengan luka.
bxb—jayhoon, tw//kissing, if this au making you uncomfortable, then leave it.
narasinya 1566 word, bacanya pelan-pelan aja ya. nikmatin setiap alur yang aku tulis.
seoulkarta, 2022.
yang namanya marchelio tidak akan pernah bisa memaksa kehendaknya sendiri, marchelio atau akrab di panggil cio oleh orang terdekat memiliki hati yang begitu lembut dan tulus layaknya anak kecil.
cio yang telah memutuskan sambungan vidio call dengan kekasihnya kini mendesah kecewa, satu bulan sudah ia berjauhan dengan varo. hubungan keduanya sudah berjalan empat tahun lamanya, varo yang tadinya anak motor kini mencoba mengikuti jejak sang kakak menjadi seorang pilot utama.
pekerjaan yang mengharuskan keduanya terus berjauhan, bukan antar komplek, tapi kini keduanya harus berjauhan antar negara.
cio bergegas membersihkan dirinya dan tidur. ia juga lelah hari ini, karena telah mengikuti sebuah pertandingan di luar kota. ia butuh mengisi tenaga.
pukul 22.00, tanpa cio ketahui kekasihnya itu sebenarnya berbohong tentang kepulangannya yang di undur, ia hanya ingin menjahili cio dengan bekerja sama dengan bundanya cio.
“bunda, cionya udah tidur?”
“udah kayaknya, bunda gak denger suara dia lagi. soalnya tadi pas udah ngobrol sama kamu dia ngeluh terus, kedengeran tuh sampe ruang keluarga.”
varo terkekeh, ia bisa membayangkan wajah cio yang memerah karna kesal, serta halis yang selalu bertaut ketika mengoceh.
“ini varo terus ngumpet dikamar bunda atau boleh keluar aja?” tanya varo pada bunda cio.
varo sebenarnya sudah sampai tiga puluh menit sebelum cio terlelap, ia datang ketika cio tengah membersihkan badan.
“boleh, masuk aja ke kamarnya cio, bunda mau tidur dulu ah ngantuk.”
“iya bunda, good night.”
“pelan-pelan buka pintunya, sekalian kamu nginep disini aja. nanti bunda yang bilang mamah kamu.”
“ay ay captain!” seru varo sambil mengambil sikap hormat pada bunda cio yang dibalas pukulan pada lengannya.
“bisaan, yaudah sana samperin anak bundanya. cepet-cepet lamar, bunda mau nimang cucu.”
varo hanya cengengesan lalu berjalan keluar untuk menuju kamar cio yang letaknya di lantai dua.
varo berjalan perlahan ketika dirinya sudah sampai di depan pintu kamar cio, aroma parfum vanilla citrus menguar hingga keluar kamar, oh ayolah varo sudah tidak sabar ingin memeluk dan mencium kekasih manisnya itu.
wajar, sudah lama ia menahan rindu.
dengan perlahan, varo menarik knop pintu itu agar tidak menimbulkan suara yang dapat membuat cionya terbangun. ia bawa perlahan kakinya untuk mendekat ke arah ranjang yang kini ditempati oleh yang terkasih.
kamar cio lumayan gelap karena lampu utamanya dimatikan, tapi untungnya cio menyalakan lampu tidur sehingga varo bisa melihat sosok pujaan hati yang menutup mata, sosok manis yang kini sudah menyelam ke alam bawah sadar.
varo tersenyum ketika ia melihat foto cio dan dirinya di atas nakas sebelah kiri, ia alihkan pandangannya pada yang terkasih lagi karena sepertinya tidurnya tidak tenang.
“suutt....kakak disini sayang, bobonya yang tenang sayang aku temenin.”
cio membalik tubuhnya pada varo, kedua alis cio kini mengkerut pertanda bahwa tidurnya tidak nyenyak. varo dengan sikap mengambil posisi terlentang di sebelah cio yang kini mulai menitikan air mata.
“cio...sayang, kok nangis tidurnya? kakak disini sayang, varo disini.”
“k..kakak...hiks..”
“ini sayang, iya kakak disini.”
bukannya mereda, tangisan cio malah semakin terdengar menyedihkan. entah cio bermimpi apa dalam tidurnya, varo yang melihat hidung cio yang memerah tak tega.
maka dengan terpaksa ia bangunkan cio dengan menepuk pelan pipi gembil sang kekasih.
“cio..sayang bangun dulu yuk? sini cerita sama kakak kenapa nangisnya sesakit itu sayang..”
“hiks..k..kakak...ngga..”
“hey, bangun yuk sayang? kakak disini, jangan nangis sayang, bangun dulu.”
perlahan kedua mata bulat itu terbuka, betapa sakitnya hati varo ketika melihat kedua mata itu meredup. hanya ada genangan air mata disana, bintang-bintang yang selalu varo lihat dikedua mata cio kini tidak ia lihat lagi.
“sayang...bangun yuk? minum dulu ya?”
bukannya menjawab, cio malah memanyunkan bibirnya bersiap menangis lagi.
“KAKAK...HIKS...KA..KAK...” tangisnya pecah, suara nafas yang tersendat serta suhu tubuh yang sangat panas bisa varo rasakan ketika yang terkasih berhambur memeluknya.
“adek demam sayang, mau minum obat?”
cio menggeleng, ia malah beringsut untuk meminta pangku pada yang lebih tua.
“gendong...” cicitnya.
“sini, kakak pangku aja ya?” maka dijawab anggukan kepala oleh yang muda.
sekitar dua puluh menit varo mencoba menenangkan cio yang masih menangis, tidak tahu kenapa tapi malam ini cio begitu rewel.
“sayang, hey...tiduran ya?”
“enggak, mau sama kakak.”
“iya ini juga sama kakak kan? kakak ngga kemana-mana sayang.”
cio menggeleng, ia kembali sembunyikan wajahnya pada leher yang lebih tua. tetap kekeuh pada posisinya, demi apapun varo sudah pegal, seluruh sandinya minta diistirahatkan.
“kakaknya capek cio, adeknya bobo ya?”
“enggak...”
“sebentar aja, kakaknya pegel sayang. ngga bakal ditinggal lagi kok, kakak mau mandi dulu.”
“ngga mau kakak...hiks..”
“kakaknya mau bersih-bersih dulu sayang, nanti tidur sama kamu kok.”
“enggak kakak engga, gamau euung...”
hilang sudah kesabaran varo, ia terpaksa menjatuhkan tubuh cio pada sisi ranjang sebelah kiri. varo langsung berdiri tegak, urat tangannya menonjol karena menahan emosi, tatapannya menajam.
cio yang terkejut langsung membulatkan matanya, wajahnya kembali sendu ketika melihat varonya menatap dengan amarah. dirinya takut, ia takut.
“gini ya, kakak baru pulang kerja. kakak capek, tolong kamu ngertiin kakak, kakak juga butuh istirahat cio. bukan kamu doang!”
cio menangis, ia tumpahkan seluruh air mata yang coba ia tahan ketika mendengar varo membentaknya.
“kamu tuh...bisa gak sih sehari jangan rewel, kakak juga capek sayang.”
“maaf...” cicit yang lebih muda.
cio beringsut untuk menggapai selimut tebal yang ada disebelah kirinya, tangannya gemetar karena ketakutan melihat varo yang memarahinya habis-habisnya.
bibirnya ia gigit dengan keras hingga berdarah, cio tidak ingin suara tangisannya keluar. ia baringkan tubuhnya menghadap samping, menghindari kontak mata langsung dengan varo.
sementara varo yang tersadar kini sudah kelabakan, ia kelepasan. tidak seharusnya ia membentak dan memarahi cio, cio hanya ingin diperhatikan dan dimanja karena sudah lama tidak bertemu varo.
“sayang...” panggil varo yang tidak mendapat jawaban.
“maafin kakak sayang, kakak bentak kamu. takut sama kakak ya?” varo mencoba mendekat ke arah cio yang kini memeluk boneka singa pemberian varo untuknya.
“enggak..hiks. cionya yang nakal k..kakak.”
oh astaga, lihat apa yang kamu perbuat varo.
“sayang, liat sini dulu yuk. kakaknya mau ngomong!”
cio tidak memberi tanggapan, ia hanya terus memilin ujung kaki bonekanya itu sambil menangis dan menggigit bibir.
“marchelio, lihat sini.”
tersulut amarahnya lagi, dengan sedikit kasar varo balikan tubuh yang menyamping itu untuk menghadap ke arahnya.
“AAAKR KAKAK AMPUN, AMPUN..HIKS..AMPUN.”
“hey, hey look at me! kakak engga ngapa-ngapain kamu sayang.”
“k..kakak takut..”
“maaf sayang maaf, sini kakak gendong lagi.”
cio menurut, ia takut varo akan marah padanya lagi. dengan tangan yang masih bergetar, ia kalungkan pada leher yang lebih tua.
“takut ya sama kakak, galak kakaknya?”
“eungg...takut...”
“maaf ya sayang, kakaknya bentak kamu. pukul aja pukul kakaknya, berani-beraninya bikin adek nangis.”
cio mengangkat wajahnya dari ceruk leher yang lebih tua. gelengkan kepala atas apa yang baru saja varo katakan.
“enggak, kakak ngga salah. jangan dipukul.”
varo tersenyum ketika kedua mata itu akan kembali menangis, apalagi ditambah bibir yang mengerucut lucu. saat mata elang itu menatap bibir yang lebih muda, tangan kanan varo yang bebas refleks terangkat dan mengusap bibir cio.
“k...kakak sakit, jangan diusap.”
“kenapa berdarah sayang, jangan digigit. takut banget ya sama kakak?” cio mengangguk.
membuat perasaan bersalah didalam diri varo semakin berkali lipat.
“kakak obatin ya, pake betadin.”
“gamau kakak, perih..”
“tapi itu harus diobatin sayang.”
“cium..”
“hah?”
cio cemberut lagi, kedua matanya menitikan air mata.
“hey jangan nangis lagi dong sayang, mau kakak cium dimana emangnya?”
“disini..” tunjuknya pada bibir.
maka tanpa menunggu lama, varo dekatkan kepalanya pada yang lebih muda. menyesap benda kenyal yang memiliki rasa manis itu untuk ia kecap rasanya, tangan kanannya yang bebas menarik tenguk yang lebih muda untuk memperdalam ciuman.
membuat sebuah lenguhan nikmat dari yang lebih muda.
“mmph..k..kakak pelan, cio gak bisa..mph..nafas..”
varo turunkan bibirnya untuk menyesap kulit putih bak porselen milik cio, menyesap apa yang ia bisa sesap. meninggalkan jejak rona merah pada perpotongan tulang selangka dileher cio.
“k..kakak...”
cio menarik kepala varo untuk ia sesap kembali benda kenyal milik yang lebih tua. sesap dan lumat terus ia lakukan hingga yang lebih tua membawa tubuhnya untuk berbaring dan ia kukung, dinginnya angin malam kini tidak terasa karena kegiatan panas mereka.
cio yang sudah kehabisan nafas dan kewalahan juga terpaksa menarik kepala varo yang asik menyesap lehernya.
“kakak udah, capek.”
“tadi nantangin.”
“IHH NGGA, KAPAN?!”
“tadi yang cium kakak lagi siapa? bilangnya gak kuat, tapi kok ciumnya nuntut banget.”
tersipu, cio membenamkan wajahnya pada dada yang lebih tua. posisinya telah berubah, ia kini sudah diatas. entah kapan berubahnya.
“ish kakak diem...malu...”
varo tertawa, “kenapa malu, kan seminggu lagi mau tunangan.”
“ish diem ah kakak..”
“pipinya merah, lucu. coba sini kakak mau cium lagi.”
“ENGGAK, UDAH AH KATANYA TADI MAU MANDI...”
“lah, tadi dilarang pake segala nangis-nangis, mana nangisnya sakit banget.”
“ish kakak...”
varo terbahak ketika melihat cio yang menggulung dirinya di dalam selimut, ia arahkan telapak tangannya pada kening yang lebih muda. hendak mengecek suhu badan cio.
“udah turun demamnya, berarti harus ciuman ya kalo mau sembuh?”
lagi-lagi wajah cio merona bak tomat. ia kembali meringsut untuk memendam dirinya di dalam selimut, varo tertawa ketika melihat tingkah kekasihnya.
“mirip ulat pohon pisang kamu dek.”
“ish gaboleh ledek, sana mandii..”
“iya iya ini kakak mandi, tapi dimaafin kan? udah gak marah?”
“enggak kakak, udah sana!”
“sini dulu, kakak cium dulu!”
“KAKAK!!”
“ampuun, ada singa ngamuk.”
varo berlari ke arah kamar mandi milik cio yang ada dikamarnya, sementara cio kini menurunkan selimut yang menghalangi pandangannya.
ketika dirasa aman, ia mengulurkan jemarinya untuk mengusap bibir cherrynya. tak lama ia malah tersenyum salah tingkah mengingat tindakannya tadi.
“AAAAA MALUUU....”
cio kembali memasukan kepalanya pada selimut, memendam teriakan karena perasaan bahagia yang datang tiba-tiba.
—end—
written by ©vivi.
bxb—jayhoon, tw//kissing, if this au making you uncomfortable, then leave it.
narasinya 1566 word, bacanya pelan-pelan aja ya. nikmatin setiap alur yang aku tulis.
seoulkarta, 2022.
yang namanya marchelio tidak akan pernah bisa memaksa kehendaknya sendiri, marchelio atau akrab di panggil cio oleh orang terdekat memiliki hati yang begitu lembut dan tulus layaknya anak kecil.
cio yang telah memutuskan sambungan vidio call dengan kekasihnya kini mendesah kecewa, satu bulan sudah ia berjauhan dengan varo. hubungan keduanya sudah berjalan empat tahun lamanya, varo yang tadinya anak motor kini mencoba mengikuti jejak sang kakak menjadi seorang pilot utama.
pekerjaan yang mengharuskan keduanya terus berjauhan, bukan antar komplek, tapi kini keduanya harus berjauhan antar negara.
cio bergegas membersihkan dirinya dan tidur. ia juga lelah hari ini, karena telah mengikuti sebuah pertandingan di luar kota. ia butuh mengisi tenaga.
pukul 22.00, tanpa cio ketahui kekasihnya itu sebenarnya berbohong tentang kepulangannya yang di undur, ia hanya ingin menjahili cio dengan bekerja sama dengan bundanya cio.
“bunda, cionya udah tidur?”
“udah kayaknya, bunda gak denger suara dia lagi. soalnya tadi pas udah ngobrol sama kamu dia ngeluh terus, kedengeran tuh sampe ruang keluarga.”
varo terkekeh, ia bisa membayangkan wajah cio yang memerah karna kesal, serta halis yang selalu bertaut ketika mengoceh.
“ini varo terus ngumpet dikamar bunda atau boleh keluar aja?” tanya varo pada bunda cio.
varo sebenarnya sudah sampai tiga puluh menit sebelum cio terlelap, ia datang ketika cio tengah membersihkan badan.
“boleh, masuk ada ke kamarnya cio ya varo, bunda mau tidur dulu ah ngantuk.”
“iya bunda, good night.”
“pelan-pelan buka pintunya, sekalian kamu nginep disini aja. nanti bunda yang bilang mamah kamu!”
“ay ay captain!” seru varo sambil mengambil sikap hormat pada bunda cio yang dibalas pukulan pada lengannya.
“bisaan, yaudah sana samperin anak bundanya. cepet-cepet lamar, bunda mau nimang cucu.”
varo hanya cengengesan lalu berjalan keluar untuk menuju kamar cio yang letaknya di lantai dua.
varo berjalan perlahan ketika dirinya sudah sampai di depan pintu kamar cio, aroma parfum vanilla citrus menguar hingga keluar kamar, oh ayolah varo sudah tidak sabar ingin memeluk dan mencium kekasih manisnya itu.
wajar, sudah lama ia menahan rindu.
dengan perlahan, varo menarik knop pintu itu agar tidak menimbulkan suara yang dapat membuat cionya terbangun. ia bawa perlahan kakinya untuk mendekat ke arah ranjang yang kini ditempati oleh yang terkasih.
kamar cio lumayan gelap karena lampu utamanya dimatikan, tapi untungnya cio menyalakan lampu tidur sehingga varo bisa melihat sosok pujaan hati yang menutup mata, sosok manis yang kini sudah menyelam ke alam bawah sadar.
varo tersenyum ketika ia melihat foto cio dan dirinya di atas nakas sebelah kiri, ia alihkan pandangannya pada yang terkasih lagi karena sepertinya tidurnya tidak tenang.
“susususu....aku disini sayang, bobonya yang tenang sayang aku temenin.”
cio membalik tubuhnya pada varo, kedua alis cio kini mengkerut pertanda bahwa tidurnya tidak nyenyak. varo dengan sikap mengambil posisi terlentang di sebelah cio yang kini mulai menitikan air mata.
“cio...sayang, kok nangis tidurnya? aku disini sayang, varo disini.”
“k..kakak...hiks..”
“ini sayang, iya kakak disini.”
bukannya mereda, tangisan cio malah semakin terdengar menyedihkan. entah cio bermimpi apa dalam tidurnya, varo yang melihat hidung cio yang memerah tak tega.
maka dengan terpaksa ia bangunkan cio dengan menepuk pelan pipi gembil sang kekasih.
“cio..sayang bangun dulu yuk? sini cerita sama kakak kenapa nangisnya sesakit itu sayang..”
“hiks..k..kakak...ngga..”
“hey, bangun yuk sayang? kakak disini, jangan nangis sayang. bangun dulu!”
perlahan kedua mata bulat itu terbuka, betapa sakitnya hati varo ketika melihat kedua mata itu meredup. hanya ada genangan air mata disana, bintang-bintang yang selalu varo lihat dikedua mata cio kini tidak ia lihat lagi.
“sayang...bangun yuk? minum dulu ya?”
bukannya menjawab, cio malah memanyunkan bibirnya bersiap menangis lagi.
“KAKAK...HIKS...KA..KAK...” tangisnya pecah, suara nafas yang tersendat serta suhu tubuh yang sangat panas bisa varo rasakan ketika yang terkasih berhambur memeluknya.
“adek demam sayang, mau minum obat?”
cio menggeleng, ia malah beringsut untuk meminta pangku pada yang lebih tua.
“gendong...” cicitnya.
“sini, kakak pangku aja ya?” maka dijawab anggukan kepala oleh yang muda.
sekitar dua puluh menit varo mencoba menenangkan cio yang masih menangis, tidak tahu kenapa tapi malam ini cio begitu rewel.
“sayang, hey...tiduran ya?”
“enggak, mau sama kakak.”
“iya ini juga sama kakak kan? kakak ngga kemana-mana sayang.”
cio menggeleng, ia kembali sembunyikan wajahnya pada leher yang lebih tua. tetap kekeuh pada posisinya, demi apapun varo sudah pegal, seluruh sandinya minta diistirahatkan.
“kakaknya capek cio, adeknya bobo ya?”
“enggak...”
“sebentar aja, kakaknya pegel sayang. ngga bakal ditinggal lagi kok, kakak mau mandi dulu.”
“ngga mau kakak...hiks..”
“kakaknya mau bersih-bersih dulu sayang, nanti tidur sama kamu kok.”
“enggak kakak engga, gamau euung...”
hilang sudah kesabaran varo, ia terpaksa menjatuhkan tubuh cio pada sisi ranjang sebelah kiri. varo langsung berdiri tegak, urat tangannya menonjol karena menahan emosi, tatapannya menajam.
cio yang terkejut langsung membulatkan matanya, wajahnya kembali sendu ketika melihat varonya menatap dengan amarah. dirinya takut, ia takut.
“gini ya, kakak baru pulang kerja. kakak capek, tolong kamu ngertiin kakak, kakak juga butuh istirahat cio. bukan kamu doang!”
cio menangis, ia tumpahkan seluruh air mata yang coba ia tahan ketika mendengar varo membentaknya.
“kamu tuh...bisa gak sih sehari jangan rewel, kakak juga capek sayang.”
“maaf...” cicit yang lebih muda.
cio beringsut untuk menggapai selimut tebal yang ada disebelah kirinya, tangannya gemetar karena ketakutan melihat varo yang memarahinya habis-habisnya.
bibirnya ia gigit dengan keras hingga berdarah, cio tidak ingin suara tangisannya keluar. ia baringkan tubuhnya menghadap samping, menghindari kontak mata langsung dengan varo.
sementara varo yang tersadar kini sudah kelabakan, ia kelepaskan. tidak seharusnya ia membentak dan memarahi cio, cio hanya ingin diperhatikan dan dimanja karena sudah lama tidak bertemu varo.
“sayang...” panggil varo yang tidak mendapat jawaban.
“maafin kakak sayang, kakak bentak kamu. takut sama kakak ya?” varo mencoba mendekat ke arah cio yang kini memeluk boneka singa pemberian varo untuknya.
“enggak..hiks. cionya yang nakal k..kakak.”
oh astaga, lihat apa yang kamu perbuat varo.
“sayang, liat sini dulu yuk. kakaknya mau ngomong!”
cio tidak memberi tanggapan, ia hanya terus memilin ujung kaki bonekanya itu sambil menangis dab menggigit bibir.
“marchelio, lihat sini.”
tersulut amarahnya lagi, dengan sedikit kasar varo balikan tubuh yang menyamping itu untuk menghadap ke arahnya.
“AAAKR KAKAK AMPUN, AMPUN..HIKS..AMPUN.”
“hey, hey look at me! kakak engga ngapa-ngapain kamu sayang.”
“k..kakak takut..”
“maaf sayang maaf, sini kakak gendong lagi.”
cio menurut, ia takut varo akan marah padanya lagi. dengan tangan yang masih bergetar, ia kalungkan pada leher yang lebih tua.
“takut ya sama kakak, galak kakaknya?”
“eungg..takut..”
“maaf ya sayang, kakaknya bentak kamu. pukul aja pukul kakaknya, berani-beraninya bikin adek nangis.”
cio mengangkat wajahnya dari ceruk leher yang lebih tua. gelengkan kepala atas apa yang baru saja varo katakan.
“enggak, kakak ngga salah. jangan dipukul.”
varo tersenyum ketika kedua mata itu akan kembali menangis, apalagi ditambah bibir yang mengerucut lucu. saat mata elang itu menatap bibir yang lebih muda, tangan kanan varo yang bebas refleks terangkat dan mengusap bibir cio.
“k...kakak sakit, jangan diusap.”
“kenapa berdarah sayang, jangan digigit. takut banget ya sama kakak?” cio mengangguk.
membuat perasaan bersalah didalam diri varo semakin berkali lipat.
“kakak obatin ya, pake betadin.”
“gamau kakak, perih..”
“tapi itu harus diobatin sayang.”
“cium..”
“hah?”
cio cemberut lagi, kedua matanya menitikan air mata.
“hey jangan nangis lagi dong sayang, mau kakak cium dimana emangnya?”
“disini..” tunjuknya pada bibir.
maka tanpa menunggu lama, varo dekatkan kepalanya pada yang lebih muda. menyesap benda kenyal yang memiliki rasa manis itu untuk ia kecap rasanya, tangan kanannya yang bebas menarik tenguk yang lebih muda untuk memperdalam ciuman.
membuat sebuah lenguhan nikmat dari yang lebih muda.
“mmph..k..kakak pelan, cio gak bisa..mph..nafas..”
varo turunkan bibirnya untuk menyesap kulit putih bak porselen milik cio, menyesap apa yang ia bisa sesap. meninggalkan jejak rona merah pada perpotongan tulang selangka dileher cio.
“k..kakak...”
cio menarik kepala varo untuk ia sesap kembali benda kenyal milik yang lebih tua. sesap dan lumat terus ia lakukan hingga yang lebih tua membawa tubuhnya untuk berbaring dan ia kukung, dinginnya angin malam kini tidak terasa karena kegiatan panas mereka.
cio yang sudah kehabisan nafas dan kewalahan juga terpaksa menarik kepala varo yang asik menyesap lehernya.
“kakak udah, capek.”
“tadi nantangin.”
“IHH NGGA, KAPAN?!”
“tadi yang cium kakak lagi siapa? bilangnya gak kuat, tapi kok ciumnya nuntut banget.”
tersipu, cio membenamkan wajahnya pada dada yang lebih tua. posisinya telah berubah, ia kini sudah diatas. entah kapan berubahnya.
“ish kakak diem...malu...”
varo tertawa, “kenapa malu, kan seminggu lagi mau tunangan.”
“ish diem ah kakak..”
“pipinya merah, lucu. coba sini kakak mau cium lagi.”
“ENGGAK, UDAH AH KATANYA TADI MAU MANDI...”
“lah, tadi dilarang pake segala nangis-nangis, mana nangisnya sakit banget.”
“ish kakak...”
varo terbahak ketika melihat cio yang menggulung dirinya di dalam selimut, ia arahkan telapak tangannya pada kening yang lebih muda. hendak mengecek suhu badan cio.
“udah turun demamnya, berarti harus ciuman ya kalo mau sembuh?”
lagi-lagi wajah cio merona bak tomat. ia kembali meringsut untuk memendam dirinya di dalam selimut. varo tertawa ketika melihat tingkah kekasihnya.
“mirip ulat pohon pisang kamu dek.”
“ish gaboleh ledek, sana mandii..”
“iya iya ini kakak mandi, tapi dimaafin kan? udah gak marah?”
“enggak kakak, udah sana!”
“sini dulu, kakak cium dulu!”
“KAKAK!!”
“ampuun, ada singa ngamuk.”
varo berlari ke arah kamar mandi milik cio yang ada dikamarnya, sementara cio kini menurunkan selimut yang menghalangi pandangannya.
ketika dirasa aman, ia mengulurkan jemarinya untuk mengusap bibir cherrynya. tak lama ia malah tersenyum salah tingkah mengingat tindakannya tadi.
“AAAAA MALUUU....”
cio kembali memasukan kepalanya pada selimut, memendam teriakan karena perasaan bahagia yang datang tiba-tiba.
—end—
written by ©vivi.