vivi

Pukul sepuluh malam lewat tiga puluh menit sebuah gerungan sepedah motor capai rungu pemuda berambut pirang dengan hidung bangir yang tengah menyiapkan makan malam di dapur bersama dengan asisten rumah tangga yang tinggal di rumah megah miliknya.

Rumah mewah dengan gaya eropa, serta di jaga oleh beberapa satpam di luar. Rumah Varelino Dhafian, sahabat baik Rumi Athaya. Keduanya tinggal di sebuah komplek yang berbeda, komplek elite yang berjarak lima kilometer dari rumah Rumi berada.

Di bandingkan dengan Laras, Rumi lebih dekat dengan Varel karena status mereka yang berteman dari kecil. Bahkan, Rumi tidak segan-segan untuk membawa Varel ke dalam rumahnya saat malam hari tanpa memberitahu siapapun. Keluarganya dan juga keluarga Varel sudah saling mengenal sejak lama, status pertemanan yang terjalin oleh bisnis kedua orang tuanya membuat Rumi kecil yang pemalu menerima ajakan Varel kecil yang jahil untuk menjadi sahabat.

Varel mengecilkan kobaran api yang keluar dari kompor, mencegah makanan yang ia masak gosong. Kemudian ia membasuh kedua tangannya sebelum berpesan kepada sang bibi asisten rumah tangga untuk menyelesaikan masakan mereka karena ia akan menyambut Rumi ke depan sebentar.

“Bi Sum, nanti tolong kasih garam sedikit lagi ya ke Samgyetang nya. Varel mau ke depan sebentar.”

Varel merupakan pemasak handal, sejak kecil ia belajar dan mengambil les tambahan yang tidak berhubungan dengan pelajaran. Dulu ia pernah mengambil les biola, masak, dan juga menyanyi. Semua itu bukan keinginannya, melainkan tuntutan sang ayah yang ingin membuat nama keluarganya jauh lebih unggul dengan para saudaranya yang lain. Semuanya itu bertujuan untuk mengambil hati sang nenek agar menjatuhkan seluruh hartanya pada sang ayah.

Daun pintu coklat dengan ukuran yang lebih besar dari tubuhnya terbuka perlahan, di sana ada Rumi yang cemberut menenteng helm full face miliknya, di belakangnya ada salah satu ajudan kepercayaan ayah Varel yang membawa sekantong cemilan yang Rumi bawa.

“Lo ngapain bawa cemilan segini banyak?”

Rumi dengan mata yang sembab dan berkaca-kaca mulai merengek dan memeluk tubuh Varel hingga si empunya terhuyung ke belakang. “Gue tinggal di sini boleh enggak? gamau pulang!”

Varel mencoba melepas pelukan Rumi dengan paksa, hadiahkan pukulan ringan pada pundak yang lebih tua. “Gila! kalo lo tinggal di sini bokap gue ngamuknya ke gue bukan ke elo!”

Rumi mencebik kembali ketika Varel melengos pergi ke arah dapur. Dirinya mengekor sambil menunduk lesu. Namun, ketika indera pembaunya mencium aroma nikmat dari makanan kepalanya langsung mendongak.

“Bi sum lagi masak apa? baunya wangi banget, Rumi jadi laper nih.” ucap Rumi yang di hadiahi delikan malas dari Varel.

“Ini den Rumi, tadi den Varel ajak saya buat masak makanan Korea. Katanya sih enak, bibi cuman nyelesain doang. Yang beneran masak dari awal sampe ngebumbuin mah den Varel.”

Varel mengambil dua mangkuk kosong untuk ia isi dengan sup ayam ala Korea yang baru ia pelajari dua jam tadi. Ekor matanya menangkap Rumi yang terus memperhatikan empat ekor ayam utuh yang ia isi oleh beras, hampir saja Rumi meneteskan air liur jika tidak di kejutkan oleh Varel yang memukul bokongnya.

“Mingkem entar lo nyeces gimana? ini kita makan di balkon aja sambil cerita.” ujar Varel yang di balas oleh cengiran lucu dari yang lebih muda.

“Bi Sum, ini sisanya bagiin aja ke pak Budi sama yang lainnya. Bi Sum juga jangan lupa makan, aku sama Rumi mau naik ke atas sambil ngobrol.”

“Baik den Varel, kalo ada yang di perluin panggil bibi saja ya?”

“Oke bi, Varel sama Rumi pergi dulu ya.”

Rumi melambai lucu kepada bi Sumi yang di balas oleh kekehan dari sang art. Sudah empat belas tahun Rumi hampir mengenal semua pekerja yang ada di rumah Varel, setengahnya ia masih belum bisa menghafal karena mereka pekerja baru. Namun, ia berusaha untuk membuat semuanya akrab padanya karena ia akan sering main ke rumah majikan mereka jika senggang.

Kedua pemuda itu naik lewat anak tangga, satu nampan penuh dengan makanan mereka angkat berdua. Sebenarnya Varel tidak masalah jika harus membawa nampan itu sendirian karena tidak berat juga, namun yang namanya Rumi Athaya mana pernah mendengarkan orang lain. Sikap keras kepala yang di miliki oleh sahabatnya kadang membuat Varel geleng-geleng kepala.

Keduanya sampai pada kamar milik Varel, mereka memilih untuk duduk diam di balkon super besar yang ada di kamar Varel sambil melihat kilauan bintang di langit malam kota Jakarta. Dua anak ini sangat suka dengan hamparan luas langit malam yang menyuguhkan triliyunan bintang dan rembulan.

Keduanya memilih duduk lesehan di atas bantal empuk yang di sediakan di balkon. Melihat Rumi yang sudah tidak sabar untuk menyantap masakannya membuat hati Varel menghangat.

“Makan yang banyak, gue gamau pas cerita lo malah motong buat makan dulu.”

“Oke.” balas Rumi di sertai anggukan.


Kurang dari dua puluh menit keduanya selesai menyantap makanan masing-masing. Rumi menyantap makanan yang di masak Varel dengan lahap, hal kecil seperti itu mampu membuat hati Varel yang kesepian menghangat.

“Enak banget makanannya. Makasih ya Varel-ku sayang.” Rumi hendak mendekat dan memberikan pelukan dan ciuman kasih sayang, namun jidatnya di tahan oleh yang lebih tua. Buat yang lebih muda mencebik sedih.

“Jangan harap gue mau di cium sama bibir belepotan bekas makan lo itu, nih lap dulu pake tisu basah!” Varel menyodorkan selembar tisu basah kepada Rumi yang cekikikan, puas dengan usahanya yang ingin membuat Varel tampak kesal.

“Udah?” tanya Varel kepada Rumi.

“Udah.”

“Jadi tujuan lo buat balapan liar malem-malem tuh apa?” tanya Varel yang di balas oleh tundukan kepala dari yang di hadiahi pertanyaan.

“Sebenernya enggak mau balapan tadi tuh.” jawab Rumi lesu, tangannya membuat pola memutar di atas karpet berbulu lembut milik Varel.

“Terus?”

“Tadi tuh gue lagi diem di pasar malem, soalnya di sana ada bianglala. Gue tadinya mau naik, tapi lo keburu nanya gue ada dimana.”

“Terus kenapa harus bohong sama gue?” balas Varel sambil mencubit hidung Rumi hingga si empunya merengut kesakitan.

“Takut lo bilang sama Aa kalo gue ada di pasar malem.” adunya sambil manyun-manyun.

Varel merotasikan bola matanya malas. “Jadi lo mau cerita tentang perjodohan itu?” tanya Varel yang di angguki kepala sebagai tanda 'iya' oleh Rumi.

“Kan pas waktu itu tuh bang Aldi ngisengin gue dengan embel-embel mau jodohin gue dan di bilangin ke papi. Nah, pas malemnya itu tiba-tiba bang Aldi chat gue lagi katanya gue beneran mau di jodohin sama papi. Dia gak sengaja nguping omongan papi waktu lagi telponan sama orang, nah awalnya gue gak percaya dong soalnya bang Aldi kan emang tabiatnya gitu.”

Varel mengangguk-anggukan kepalanya ketika Rumi fokus bercerita.

“Terus gue tanya lah tuh ke papi lewat room chat, pi masa kata abang aku mau di jodohin sih. Gue bilang gitu tuh ke papi, nah terus mami bales gue kaya kok kamu taunya dari abang bukan dari papi sih? di situ gue melongo kaya orang bego. Gue mikir kaya ini gue yang bego atau mereka yang sekongkol sama abang, eh taunya papi bilang beneran mau jodohin gue. Lo tau enggak perasaan gue waktu itu, Rel?”

Varel yang kini sudah tengkurap sambil memakan permen jelly hanya menggeleng. Membuat Rumi kembali menyambung ceritanya yang sempat berhenti.

“Perasaan gue di situ kaya sedih, campur aduk, lunglai, dan mulai gak semangat buat menjalani hari-hari.” ucapnya lebay, sangat dramatis hingga membuat Varel langsung terduduk.

“Lebay banget.”

“Tapi seriusan tau apii! kan pas kemarin tuh gue sempet bilang papi mau ngomong sesuatu ke gue, nah gue beneran nyamperin papi buat dengerin apa yang mau dia omongin. Katanya dia jodohin gue tuh dengan dasar kasih sayang, padahal mah buat alat bisnis doang.”

“Terus?”

“Terus abis itu gue langsung cabut ke pasar malem sambil nangis-nangis kaya orang gila. Tadinya gue beneran mau balapan aja, tapi pas liat bianglala gue langsung belok ke sana.”

Varel menyela cerita Rumi dengan menyumpal mulutnya dengan permen jelly yang langsung di kunyah oleh Rumi.

“Lo cabut tanpa dengerin penjelasan yang belum papi lo kasih tau?”

“Iya.” balas Rumi sambil mengunyah permen jelly milik Varel hingga habis.

“Duh Thay! lo mikir enggak sih kalo papi lo beneran punya alasan kuat buat jodohin lo? padahal beliau jelas-jelas udah tau kalo lo udah punya pacar?” perkataan Varel hanya di balas gelengan pelan oleh Rumi.

Varel menepuk jidatnya prustasi. Ia mengguncang badan Rumi hingga membuat si empunya memukul Varel hingga mengaduh kesakitan. “Mau di dengerin juga udah jelas Varel! papi jodohin gue sama om-om buat jadi alat bisnis, papi jadiin gue sebagai alat kontrak kerja sama biar papi gak susah-susah buat bujuk itu orang biar bisa kerja sama.”

“Tapi kalo misalkan ada alasan lain gimana?” balas Varel membuat Rumi terdiam membisu.

“Gue gatau api.” jika sudah memanggilnya dengan sebutan masa kecil, Varel yakin jika Rumi memang sedang bingung dan juga sedih. Sorot matanya sarat memperlihatkan keputus asaan. Varel paham benar jika sahabatnya itu tidak ingin di kekang dan di atur, namun Varel tidak bisa membenarkan tindakan yang di ambil oleh sabatnya itu sekarang.

Dengan kabur tanpa mendengarkan seseorang itu adalah sebuah hal yang tidak sopan, siapa tahu hal yang ingin papinya Rumi sampaikan itu adalah sebuah hal yang mendesak dan penting yang menjadi alasan kuat dirinya mengambil keputusan untuk menjodohkan sahabatnya.

“Gue gatau harus bereaksi kaya apa pas papi ngasih penjelasan yang berbelit-belit kaya gitu, gue ngerasa kalo omongan yang di lontarin papi sama mami itu bohong.” ujar Rumi lesu, matanya kembali berkaca-kaca ketika mengingat usapan hangat yang sang papi berikan sore tadi.

“Lo ngerasa juga kalo kasih sayang yang mereka kasih ke lo itu bohong?” tanya Varel.

Rumi menggeleng, “Gue ngerasa kalo kasih sayang yang mereka kasih ke gue itu tulus.”

“Lo harusnya beryukur masih di beri keluarga yang harmonis dan sayang sama lo, Thay. Engga kaya gue.” Varel tersenyum miris sambil memilin kaos hitam yang ia pakai.

“Mungkin lo pikir kasih sayang yang orang tua gue kasih itu tulus, tapi nyatanya enggak Thay. Setelah bokap tau kalo nyokap gue selingkuh, di situ kehidupan gue seratus delapan puluh derajat langsung berubah. Gue yang selalu jadi sasaran empuk dari amukan bokap. Rasanya sakit, bukan sakit lukanya. Tapi yang sakit hati gue Thay, luka yang belum kering di timpa sama luka baru itu enggak bikin sakit.”

Rumi menahan isakannya ketika Varel mulai membuka kaos hitam itu hingga memperlihatkan beberapa luka memar yang masih baru. Di bagian lengan, Rumi bisa lihat luka dalam yang masih mengeluarkan darah, ia jadi ngilu sendiri.

“Tiga tahun gue ngoleksi luka-luka ini, gue jadiin sebagai hadiah ulang tahun yang bokap kasih. Selama gue hidup dan sebelum kejadian itu, bokap sama nyokap gak pernah lupa sama hari ulang tahun gue. Tapi di saat ulang tahun gue yang ke tujuh belas, bokap ngasih hadiah pukulan buat yang pertama kalinya.”

“Rel, udah. Jangan di bahas lagi ya? mending kita tidur.” Rumi mulai berdiri dan menarik Varel agar bangkit juga, menuntunnya untuk tidur di kasur empuk miliknya.

Keduanya mulai berbaring dan menatap langit-langit kamar milik Varel. Terdiam membisu memikirkan nasib mereka berdua. Ketika tengah sibuk melamun, ponsel Rumi tiba-tiba berbunyi dan menampilkan rentetan pesan panjang dari mami, Aldi, dan juga Bima.


Kedua mata Rumi memanas ketika selesai membaca satu-persatu pesan dari keluarganya. Dirinya langsung menyambar jaket dan juga helmnya. Meninggalkan Varel yang berlarian mencoba menghentikannya.

“Gue anter lo ya?”

“Gue harus cepet-cepet kesana Rel, papi masuk rumah sakit gara-gara gue!”

“Tapi lo gabisa nyetir kalo pikiran lo aja semrawut kaya gini Thay! biar gue anter lo kesana. Oke?”

Rumi yang mulai meneteskan air matanya hanya mengangguk. Varel langsung melesat untuk mengambil kunci mobil miliknya, berjaga-jaga karena cuaca malam hari sangatlah dingin. Pukul dua belas malam jalanan mulai sepi, dan ini adalah opsi yang paling bagus untuk Varel mengantar Rumi dalam keadaan seperti ini.

Varel dan Rumi langsung menuju bagasi, keduanya masuk ke dalam mobil. Para satpam yang berjaga langsung membukakan gerbang lebar-lebar ketika suara gerungan mobil sport milik sang majikan terdengar, bi Sumi berdiri gelisah di halaman rumah sambil meremat tangan. Cemas dengan tuan muda yang pergi tiba-tiba.

“Den, kalau tuan besar datang bagaimana?”

“Gapapa bi, nanti aku bilang ke ayah mau antar Rumi ke rumah sakit karena Papinya sakit. Ayah pasti ngerti, tolong nanti jangan lupa kunci semua pintu sama jendela ya bi. Varel berangkat!”

Varel melanjukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jalanan hari ini ternyata sangat sepi, ia kira akan ada beberapa mobil dan motor yang berlalu-lalang, namun ternyata memang sangat sepi. Itu membuatnya langsung menambah laju mobilnya agar cepat sampai.

Rumi yang ada di sebelahnya hanya terisak tertahan, tangannya gemetaran membalas setiap rentetan chat yang di kirimkan oleh sang mami. Membuat Varel agak sedikit cemas dan juga iba.

“Papi lo pasti baik-baik aja, Mi.”

“Papi masuk rumah sakit gara-gara gue, Rel.”

“Enggak ada yang tahu kapan orang bisa sakit Mi, semua itu udah di atur sama yang di atas. Jangan nyalahin diri lo sendiri.”

Pukul sepuluh malam lewat tiga puluh menit sebuah gerungan sepedah motor capai rungu pemuda berambut pirang dengan hidung bangir yang tengah menyiapkan makan malam di dapur bersama dengan asisten rumah tangga yang tinggal di rumah megah miliknya.

Rumah mewah dengan gaya eropa, serta di jaga oleh beberapa satpam di luar. Rumah Varelino Dhafian, sahabat baik Rumi Athaya. Keduanya tinggal di sebuah komplek yang berbeda, komplek elite yang berjarak lima kilometer dari rumah Rumi berada.

Di bandingkan dengan Laras, Rumi lebih dekat dengan Varel karena status mereka yang berteman dari kecil. Bahkan, Rumi tidak segan-segan untuk membawa Varel ke dalam rumahnya saat malam hari tanpa memberitahu siapapun. Keluarganya dan juga keluarga Varel sudah saling mengenal sejak lama, status pertemanan yang terjalin oleh bisnis kedua orang tuanya membuat Rumi kecil yang pemalu menerima ajakan Varel kecil yang jahil untuk menjadi sahabat.

Varel mengecilkan kobaran api yang keluar dari kompor, mencegah makanan yang ia masak gosong. Kemudian ia membasuh kedua tangannya sebelum berpesan kepada sang bibi asisten rumah tangga untuk menyelesaikan masakan mereka karena ia akan menyambut Rumi ke depan sebentar.

“Bi Sum, nanti tolong kasih garam sedikit lagi ya ke Samgyetang nya. Varel mau ke depan sebentar.”

Varel merupakan pemasak handal, sejak kecil ia belajar dan mengambil les tambahan yang tidak berhubungan dengan pelajaran. Dulu ia pernah mengambil les biola, masak, dan juga menyanyi. Semua itu bukan keinginannya, melainkan tuntutan sang ayah yang ingin membuat nama keluarganya jauh lebih unggul dengan para saudaranya yang lain. Semuanya itu bertujuan untuk mengambil hati sang nenek agar menjatuhkan seluruh hartanya pada sang ayah.

Daun pintu coklat dengan ukuran yang lebih besar dari tubuhnya terbuka perlahan, di sana ada Rumi yang cemberut menenteng helm full face miliknya, di belakangnya ada salah satu ajudan kepercayaan ayah Varel yang membawa sekantong cemilan yang Rumi bawa.

“Lo ngapain bawa cemilan segini banyak?”

Rumi dengan mata yang sembab dan berkaca-kaca mulai merengek dan memeluk tubuh Varel hingga si empunya terhuyung ke belakang. “Gue tinggal di sini boleh enggak? gamau pulang!”

Varel mencoba melepas pelukan Rumi dengan paksa, hadiahkan pukulan ringan pada pundak yang lebih tua. “Gila! kalo lo tinggal di sini bokap gue ngamuknya ke gue bukan ke elo!”

Rumi mencebik kembali ketika Varel melengos pergi ke arah dapur. Dirinya mengekor sambil menunduk lesu. Namun, ketika indera pembaunya mencium aroma nikmat dari makanan kepalanya langsung mendongak.

“Bi sum lagi masak apa? baunya wangi banget, Rumi jadi laper nih.” ucap Rumi yang di hadiahi delikan malas dari Varel.

“Ini den Rumi, tadi den Varel ajak saya buat masak makanan Korea. Katanya sih enak, bibi cuman nyelesain doang. Yang beneran masak dari awal sampe ngebumbuin mah den Varel.”

Varel mengambil dua mangkuk kosong untuk ia isi dengan sup ayam ala Korea yang baru ia pelajari dua jam tadi. Ekor matanya menangkap Rumi yang terus memperhatikan empat ekor ayam utuh yang ia isi oleh beras, hampir saja Rumi meneteskan air liur jika tidak di kejutkan oleh Varel yang memukul bokongnya.

“Mingkem entar lo nyeces gimana? ini kita makan di balkon aja sambil cerita.” ujar Varel yang di balas oleh cengiran lucu dari yang lebih muda.

“Bi Sum, ini sisanya bagiin aja ke pak Budi sama yang lainnya. Bi Sum juga jangan lupa makan, aku sama Rumi mau naik ke atas sambil ngobrol.”

“Baik den Varel, kalo ada yang di perluin panggil bibi saja ya?”

“Oke bi, Varel sama Rumi pergi dulu ya.”

Rumi melambai lucu kepada bi Sumi yang di balas oleh kekehan dari sang art. Sudah empat belas tahun Rumi hampir mengenal semua pekerja yang ada di rumah Varel, setengahnya ia masih belum bisa menghafal karena mereka pekerja baru. Namun, ia berusaha untuk membuat semuanya akrab padanya karena ia akan sering main ke rumah majikan mereka jika senggang.

Kedua pemuda itu naik lewat anak tangga, satu nampan penuh dengan makanan mereka angkat berdua. Sebenarnya Varel tidak masalah jika harus membawa nampan itu sendirian karena tidak berat juga, namun yang namanya Rumi Athaya mana pernah mendengarkan orang lain. Sikap keras kepala yang di miliki oleh sahabatnya kadang membuat Varel geleng-geleng kepala.

Keduanya sampai pada kamar milik Varel, mereka memilih untuk duduk diam di balkon super besar yang ada di kamar Varel sambil melihat kilauan bintang di langit malam kota Jakarta. Dua anak ini sangat suka dengan hamparan luas langit malam yang menyuguhkan triliyunan bintang dan rembulan.

Keduanya memilih duduk lesehan di atas bantal empuk yang di sediakan di balkon. Melihat Rumi yang sudah tidak sabar untuk menyantap masakannya membuat hati Varel menghangat.

“Makan yang banyak, gue gamau pas cerita lo malah motong buat makan dulu.”

“Oke.” balas Rumi di sertai anggukan.


Kurang dari dua puluh menit keduanya selesai menyantap makanan masing-masing. Rumi menyantap makanan yang di masak Varel dengan lahap, hal kecil seperti itu mampu membuat hati Varel yang kesepian menghangat.

“Enak banget makanannya. Makasih ya Varel-ku sayang.” Rumi hendak mendekat dan memberikan pelukan dan ciuman kasih sayang, namun jidatnya di tahan oleh yang lebih tua. Buat yang lebih muda mencebik sedih.

“Jangan harap gue mau di cium sama bibir belepotan bekas makan lo itu, nih lap dulu pake tisu basah!” Varel menyodorkan selembar tisu basah kepada Rumi yang cekikikan, puas dengan usahanya yang ingin membuat Varel tampak kesal.

“Udah?” tanya Varel kepada Rumi.

“Udah.”

“Jadi tujuan lo buat balapan liar malem-malem tuh apa?” tanya Varel yang di balas oleh tundukan kepala dari yang di hadiahi pertanyaan.

“Sebenernya enggak mau balapan tadi tuh.” jawab Rumi lesu, tangannya membuat pola memutar di atas karpet berbulu lembut milik Varel.

“Terus?”

“Tadi tuh gue lagi diem di pasar malem, soalnya di sana ada bianglala. Gue tadinya mau naik, tapi lo keburu nanya gue ada dimana.”

“Terus kenapa harus bohong sama gue?” balas Varel sambil mencubit hidung Rumi hingga si empunya merengut kesakitan.

“Takut lo bilang sama Aa kalo gue ada di pasar malem.” adunya sambil manyun-manyun.

Varel merotasikan bola matanya malas. “Jadi lo mau cerita tentang perjodohan itu?” tanya Varel yang di angguki kepala sebagai tanda 'iya' oleh Rumi.

“Kan pas waktu itu tuh bang Aldi ngisengin gue dengan embel-embel mau jodohin gue dan di bilangin ke papi. Nah, pas malemnya itu tiba-tiba bang Aldi chat gue lagi katanya gue beneran mau di jodohin sama papi. Dia gak sengaja nguping omongan papi waktu lagi telponan sama orang, nah awalnya gue gak percaya dong soalnya bang Aldi kan emang tabiatnya gitu.”

Varel mengangguk-anggukan kepalanya ketika Rumi fokus bercerita.

“Terus gue tanya lah tuh ke papi lewat room chat, pi masa kata abang aku mau di jodohin sih. Gue bilang gitu tuh ke papi, nah terus mami bales gue kaya kok kamu taunya dari abang bukan dari papi sih? di situ gue melongo kaya orang bego. Gue mikir kaya ini gue yang bego atau mereka yang sekongkol sama abang, eh taunya papi bilang beneran mau jodohin gue. Lo tau enggak perasaan gue waktu itu, Rel?”

Varel yang kini sudah tengkurap sambil memakan permen jelly hanya menggeleng. Membuat Rumi kembali menyambung ceritanya yang sempat berhenti.

“Perasaan gue di situ kaya sedih, campur aduk, lunglai, dan mulai gak semangat buat menjalani hari-hari.” ucapnya lebay, sangat dramatis hingga membuat Varel langsung terduduk.

“Lebay banget.”

“Tapi seriusan tau apii! kan pas kemarin tuh gue sempet bilang papi mau ngomong sesuatu ke gue, nah gue beneran nyamperin papi buat dengerin apa yang mau dia omongin. Katanya dia jodohin gue tuh dengan dasar kasih sayang, padahal mah buat alat bisnis doang.”

“Terus?”

“Terus abis itu gue langsung cabut ke pasar malem sambil nangis-nangis kaya orang gila. Tadinya gue beneran mau balapan aja, tapi pas liat bianglala gue langsung belok ke sana.”

Varel menyela cerita Rumi dengan menyumpal mulutnya dengan permen jelly yang langsung di kunyah oleh Rumi.

“Lo cabut tanpa dengerin penjelasan yang belum papi lo kasih tau?”

“Iya.” balas Rumi sambil mengunyah permen jelly milik Varel hingga habis.

“Duh Thay! lo mikir enggak sih kalo papi lo beneran punya alasan kuat buat jodohin lo? padahal beliau jelas-jelas udah tau kalo lo udah punya pacar?” perkataan Varel hanya di balas gelengan pelan oleh Rumi.

Varel menepuk jidatnya prustasi. Ia mengguncang badan Rumi hingga membuat si empunya memukul Varel hingga mengaduh kesakitan. “Mau di dengerin juga udah jelas Varel! papi jodohin gue sama om-om buat jadi alat bisnis, papi jadiin gue sebagai alat kontrak kerja sama biar papi gak susah-susah buat bujuk itu orang biar bisa kerja sama.”

“Tapi kalo misalkan ada alasan lain gimana?” balas Varel membuat Rumi terdiam membisu.

“Gue gatau api.” jika sudah memanggilnya dengan sebutan masa kecil, Varel yakin jika Rumi memang sedang bingung dan juga sedih. Sorot matanya sarat memperlihatkan keputus asaan. Varel paham benar jika sahabatnya itu tidak ingin di kekang dan di atur, namun Varel tidak bisa membenarkan tindakan yang di ambil oleh sabatnya itu sekarang.

Dengan kabur tanpa mendengarkan seseorang itu adalah sebuah hal yang tidak sopan, siapa tahu hal yang ingin papinya Rumi sampaikan itu adalah sebuah hal yang mendesak dan penting yang menjadi alasan kuat dirinya mengambil keputusan untuk menjodohkan sahabatnya.

“Gue gatau harus bereaksi kaya apa pas papi ngasih penjelasan yang berbelit-belit kaya gitu, gue ngerasa kalo omongan yang di lontarin papi sama mami itu bohong.” ujar Rumi lesu, matanya kembali berkaca-kaca ketika mengingat usapan hangat yang sang papi berikan sore tadi.

“Lo ngerasa juga kalo kasih sayang yang mereka kasih ke lo itu bohong?” tanya Varel.

Rumi menggeleng, “Gue ngerasa kalo kasih sayang yang mereka kasih ke gue itu tulus.”

“Lo harusnya beryukur masih di beri keluarga yang harmonis dan sayang sama lo, Thay. Engga kaya gue.” Varel tersenyum miris sambil memilin kaos hitam yang ia pakai.

“Mungkin lo pikir kasih sayang yang orang tua gue kasih itu tulus, tapi nyatanya enggak Thay. Setelah bokap tau kalo nyokap gue selingkuh, di situ kehidupan gue seratus delapan puluh derajat langsung berubah. Gue yang selalu jadi sasaran empuk dari amukan bokap. Rasanya sakit, bukan sakit lukanya. Tapi yang sakit hati gue Thay, luka yang belum kering di timpa sama luka baru itu enggak bikin sakit.”

Rumi menahan isakannya ketika Varel mulai membuka kaos hitam itu hingga memperlihatkan beberapa luka memar yang masih baru. Di bagian lengan, Rumi bisa lihat luka dalam yang masih mengeluarkan darah, ia jadi ngilu sendiri.

“Tiga tahun gue ngoleksi luka-luka ini, gue jadiin sebagai hadiah ulang tahun yang bokap kasih. Selama gue hidup dan sebelum kejadian itu, bokap sama nyokap gak pernah lupa sama hari ulang tahun gue. Tapi di saat ulang tahun gue yang ke tujuh belas, bokap ngasih hadiah pukulan buat yang pertama kalinya.”

“Rel, udah. Jangan di bahas lagi ya? mending kita tidur.” Rumi mulai berdiri dan menarik Varel agar bangkit juga, menuntunnya untuk tidur di kasur empuk miliknya.

Keduanya mulai berbaring dan menatap langit-langit kamar milik Varel. Terdiam membisu memikirkan nasib mereka berdua. Ketika tengah sibuk melamun, ponsel Rumi tiba-tiba berbunyi dan menampilkan rentetan pesan panjang dari mami, Aldi, dan juga Bima.


Kedua mata Rumi memanas ketika selesai membaca satu-persatu pesan dari keluarganya. Dirinya langsung menyambar jaket dan juga helmnya. Meninggalkan Varel yang berlarian mencoba menghentikannya.

“Gue anter lo ya?”

“Gue harus cepet-cepet kesana Rel, papi masuk rumah sakit gara-gara gue!”

“Tapi lo gabisa nyetir kalo pikiran lo aja semrawut kaya gini Thay! biar gue anter lo kesana. Oke?”

Rumi yang mulai meneteskan air matanya hanya mengangguk. Varel langsung melesat untuk mengambil kunci mobil miliknya, berjaga-jaga karena cuaca malam hari sangatlah dingin. Pukul dua belas malam jalanan mulai sepi, dan ini adalah opsi yang paling bagus untuk Varel mengantar Rumi dalam keadaan seperti ini.

Varel dan Rumi langsung menuju bagasi, keduanya masuk ke dalam mobil. Para satpam yang berjaga langsung membukakan gerbang lebar-lebar ketika suara gerungan mobil sport milik sang majikan terdengar, bi Sumi berdiri gelisah di halaman rumah sambil meremat tangan. Cemas dengan tuan muda yang pergi tiba-tiba.

“Den, kalau tuan besar datang bagaimana?”

“Gapapa bi, nanti aku bilang ke ayah mau antar Rumi ke rumah sakit karena Papinya sakit. Ayah pasti ngerti, tolong nanti jangan lupa kunci semua pintu sama jendela ya bi. Varel berangkat!”

Varel melanjukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jalanan hari ini ternyata sangat sepi, ia kira akan ada beberapa mobil dan motor yang berlalu-lalang, namun ternyata memang sangat sepi. Itu membuatnya langsung menambah laju mobilnya agar cepat sampai.

Rumi yang ada di sebelahnya hanya terisak tertahan, tangannya gemetaran membalas setiap rentetan chat yang di kirimkan oleh sang mami. Membuat Varel agak sedikit cemas dan juga iba.

“Papi lo pasti baik-baik aja, Mi.”

“Papi masuk rumah sakit gara-gara gue, Rel.”

“Enggak ada yang tahu kapan orang bisa sakit Mi, semua itu udah di atur sama yang di atas. Jangan nyalahin diri lo sendiri.”

Rumi tidak meminta dirinya di lahirkan di keluarga kaya raya yang penuh dengan tuntutan. Jika boleh meminta, ia lebih baik di lahirkan di keluarga yang sederhana namun penuh dengan kebahagiaan. Tanpa adanya tuntutan kepada sang anak, selalu mendukung apa yang anak mereka pilih, Rumi amat sangat ingin ketika dirinya di dengar dan di hargai.

Bukan berarti dia tidak suka dengan keluarganya yang sekarang. Ia amat sangat suka, hanya saja di tuntut akan suatu hal membuatnya amat sangat tersiksa.

Kedua tungkai miliknya ia bawa untuk melangkah ke lantai bawah rumah milik sang papi. Jauh di lubuk hatinya, ia ingin sang papi berubah pikiran dengan membatalkan perjodohan yang entah sejak kapan di rencanakan.

Sosok sang papi merupakan panutannya, namun kadang sikap sang papi mampu membuatnya menangis semalaman. Papinya adalah sosok yang penuh tanggung jawab, dan pribadi yang sayang kepada keluarga. Namun, kadang sang papi lupa jika keputusan yang ia ambil sepihak bisa membuat anak-anaknya tersiksa.

Rumi sampai di anak tangga paling bawah. Ia terdiam sambil memperhatikan sang papi yang sibuk dengan ipad di tangan, berkas berserakan di mana-mana. Rumi bisa paham bagaimana sibuknya pekerjaan yang papinya ambil, namun ia juga ingin sang papi meluangkan waktunya sebentar saja untuk memahami apa yang diinginkan oleh anak-anaknya.

“Papi.”

Wisnu mendongak ketika suara si bungsu capai rungunya, ia simpan segala alat elektronik yang di gunakan sebagai alat pembantu menyelesaikan pekerjaannya dan tidak lupa juga ia bereskan berkas-berkas yang berserakan.

“Come here, baby.” Wisnu tepuk sofa kosong yang ia duduki, tampilkan senyuman hangat kepada di bungsu yang terlihat enggan mendekat. Mungkin masih teringat dengan perkataannya saat di room chating.

Rumi perlahan berjalan mendekat ke arah sang papi, dudukan bokongnya di sebelah sofa yang di duduki Wisnu. Enggan terlalu dekat sebab hatinya masih sakit ketika mengingat sederet ketikan menyakitkan yang di kirimkan sang papi padanya siang tadi.

“Kenapa jauh sekali duduknya? Rumi masih kesal sama papi ya nak?”

Rumi terdiam menunduk. Enggan menatap sepasang obsidian tegas milik sang papi, dirinya takut luluh jika menatap mata sang papi.

“Maafin papi karena bikin Rumi sakit. Papi tidak bermaksud untuk membuat Rumi benci sama papi, papi sayang anak-anak papi. Papi mau anak-anak papi hidup enak, enggak sengsara.”

Wisnu bangkit dan duduk di sebelah si bungsu, elus kepalanya lembut sambil tersenyum tipis. Putra bungsunya sudah tumbuh dewasa dan tampan, juga cantik. Sangat persis dengan sang mami dan juga dirinya.

“Kalo papi sayang sama kita, kenapa papi selalu maksain kehendak papi buat kita? padahal kita udah dewasa dan bisa ambil keputusan sendiri.” balas Rumi masih menunduk.

Wisnu tersenyum tipis, tangannya masih terus mengelus puncak kepala sang anak bungsu. “Maafin papi Rumi.”

“Papi tau enggak kalo aku sakit hati pas papi bilang kalo aku egois ? papi enggak pernah marahin Rumi, aku selalu jadi anak yang baik buat papi, tapi kenapa sekarang aku minta batalin perjodohan aja papi enggak kabulin?” runtuh sudah pertahanan yang Rumi tahan. Air mata yang ia tahan akhirnya terjun bebas, sangat deras.

Kedua obsidian sejernih danau itu kini mulai meredup, Wisnu bisa lihat kilauan di mata si bungsu yang selalu menatapnya kagum kini sudah hilang. Hanya ada kilatan amarah dan kekecewaan yang bisa ia lihat di sana.

“Papi, Rumi selalu turutin semua yang papi sama mami mau. Tapi kenapa papi malah jodohin aku sama orang yang bahkan aku enggak kenal? Rumi enggak pernah minta hal yang enggak bisa papi wujudin, tapi kenapa papi minta itu sama Rumi, Pi?” isakan demi isakan keluar, Wisnu sakit ketika melihat putra yang ia selalu manja menangis kencang di hadapannya.

Aldi, Bima, dan Sheila yang tengah berdiam di kamar masing-masing sampai harus keluar dan turun untuk melihat apa yang terjadi di ruang keluarga. Mereka bisa melihat si bungsu yang tengah menangis sesegukan.

“Papi menjodohkan kamu dengan dasar kasih sayang, nak. Tidak pernah sekalipun papi berfikir untuk menjadikan kamu sebagai alat bisnis, papi sangat menyayangi ketiga anak papi.”

Rumi memberontak ketika dirinya mulai di tarik untuk Wisnu peluk, dirinya mulai bangkit dan menjauh. Enggan di peluk oleh sang papi.

“Kasih sayang? papi jangan bercanda. Dari kecil loh, aku selalu jadi tumbal papi! dulu, aku yang jadi bahan papi buat dapetin sorotan baik dari media, bahkan sampe sekarang masih! apa papi enggak bisa turunin ego papi buat bikin anak papi bahagia? aku benci papi!”

Rumi berbalik dan berjalan menjauh, ia membuka pintu dan penutupnya dengan kasar. Membuat suara debuman kencang yang membuat Sheila terkejut dan langsung turun dari tempat persembunyiannya. Ingin mengejar si bungsu ketika suara gerungan motor mulai terdengar, namun ia di tahan oleh Wisnu.

“Biarin dia sendiri dulu, aku gak mau Rumi semakin benci sama kita.”

“Tapi mas, kamu bahkan belum jelasin alasan apa yang bikin kamu memilih ini!”

“Nanti mas coba nyari waktu yang pas untuk obrolin ini dengan kepala dingin. Bagaimanapun Rumi masih marah karena ketikan mas waktu di room chat.

Sheila memilih mengalah dan mengangguk. Melihat Rumi yang melesat dengan motor merah kesayangannya lewat jendela, hati ibu mana yang tidak ikut sedih ketika melihat kedua mata anaknya memerah karena menahan tangis.

Aldi dan Bima yang masih diam di anak tangga hanya bisa saling melempar tatapan sedih dan juga khawatir, bagaimanapun Rumi adalah adik kesayangan mereka berdua. Mereka tidak suka ketika adik kesayangan mereka bersedih seperti ini. Satu hal yang mereka berdua takuti adalah, Rumi menyesal karena telah pergi tanpa mendengarkan penjelasan dari sang papi hingga habis.

“Lo tanyain temen-temennya adek, dia ke sana atau enggak.” Aldi meminta Bima untuk melakukan tugas ini karena Bima jauh lebih tahu siapa saja yang menjadi teman dari adiknya.

Meskipun Aldi sering menjahili sang adik hingga membuatnya menangis kesal, sesungguhnya ia sangat sayang dan ingin selalu menjaga sang adik dari segala hal yang bisa membuat adik tersayangnya terluka.

Bima mulai mencari rentetan nama-nama teman Rumi yang nomornya ia simpan. Berjaga-jaga jika ada suatu hal yang tidak di inginkan terjadi kepada sang adik.

“Bang, katanya adek ada di salah satu rumah temennya.”

“Oke. tanyain setiap satu jam sekali sama temennya, takutnya itu anak minggat lagi.”

“Oke.”

Rumi tidak meminta dirinya di lahirkan di keluarga kaya raya yang penuh dengan tuntutan. Jika boleh meminta, ia lebih baik di lahirkan di keluarga yang sederhana namun penuh dengan kebahagiaan. Tanpa adanya tuntutan kepada sang anak, selalu mendukung apa yang anak mereka pilih, Rumi amat sangat ingin ketika dirinya di dengar dan di hargai.

Bukan berarti dia tidak suka dengan keluarganya yang sekarang. Ia amat sangat suka, hanya saja di tuntut akan suatu hal membuatnya amat sangat tersiksa.

Kedua tungkai miliknya ia bawa untuk melangkah ke lantai bawah rumah milik sang papi. Jauh di lubuk hatinya, ia ingin sang papi berubah pikiran dengan membatalkan perjodohan yang entah sejak kapan di rencanakan.

Sosok sang papi merupakan panutannya, namun kadang sikap sang papi mampu membuatnya menangis semalaman. Papinya adalah sosok yang penuh tanggung jawab, dan pribadi yang sayang kepada keluarga. Namun, kadang sang papi lupa jika keputusan yang ia ambil sepihak bisa membuat anak-anaknya tersiksa.

Rumi sampai di anak tangga paling bawah. Ia terdiam sambil memperhatikan sang papi yang sibuk dengan ipad di tangan, berkas berserakan di mana-mana. Rumi bisa paham bagaimana sibuknya pekerjaan yang papinya ambil, namun ia juga ingin sang papi meluangkan waktunya sebentar saja untuk memahami apa yang diinginkan oleh anak-anaknya.

“Papi.”

Wisnu mendongak ketika suara si bungsu capai rungunya, ia simpan segala alat elektronik yang di gunakan sebagai alat pembantu menyelesaikan pekerjaannya dan tidak lupa juga ia bereskan berkas-berkas yang berserakan.

“Come here, baby.” Wisnu tepuk sofa kosong yang ia duduki, tampilkan senyuman hangat kepada di bungsu yang terlihat enggan mendekat. Mungkin masih teringat dengan perkataannya saat di room chating.

Rumi perlahan berjalan mendekat ke arah sang papi, dudukan bokongnya di sebelah sofa yang di duduki Wisnu. Enggan terlalu dekat sebab hatinya masih sakit ketika mengingat sederet ketikan menyakitkan yang di kirimkan sang papi padanya siang tadi.

“Kenapa jauh sekali duduknya? Rumi masih kesal sama papi ya nak?”

Rumi terdiam menunduk. Enggan menatap sepasang obsidian tegas milik sang papi, dirinya takut luluh jika menatap mata sang papi.

“Maafin papi karena bikin Rumi sakit. Papi tidak bermaksud untuk membuat Rumi benci sama papi, papi sayang anak-anak papi. Papi mau anak-anak papi hidup enak, enggak sengsara.”

Wisnu bangkit dan duduk di sebelah si bungsu, elus kepalanya lembut sambil tersenyum tipis. Putra bungsunya sudah tumbuh dewasa dan tampan, juga cantik. Sangat persis dengan sang mami dan juga dirinya.

“Kalo papi sayang sama kita, kenapa papi selalu maksain kehendak papi buat kita? padahal kita udah dewasa dan bisa ambil keputusan sendiri.” balas Rumi masih menunduk.

Wisnu tersenyum tipis, tangannya masih terus mengelus puncak kepala sang anak bungsu. “Maafin papi Rumi.”

“Papi tau enggak kalo aku sakit hati pas papi bilang kalo aku egois ? papi enggak pernah marahin Rumi, aku selalu jadi anak yang baik buat papi, tapi kenapa sekarang aku minta batalin perjodohan aja papi enggak kabulin?” runtuh sudah pertahanan yang Rumi tahan. Air mata yang ia tahan akhirnya terjun bebas, sangat deras.

Kedua obsidian sejernih danau itu kini mulai meredup, Wisnu bisa lihat kilauan di mata si bungsu yang selalu menatapnya kagum kini sudah hilang. Hanya ada kilatan amarah dan kekecewaan yang bisa ia lihat di sana.

“Papi, Rumi selalu turutin semua yang papi sama mami mau. Tapi kenapa papi malah jodohin aku sama orang yang bahkan aku enggak kenal? Rumi enggak pernah minta hal yang enggak bisa papi wujudin, tapi kenapa papi minta itu sama Rumi, Pi?” isakan demi isakan keluar, Wisnu sakit ketika melihat putra yang ia selalu manja menangis kencang di hadapannya.

Aldi, Bima, dan Sheila yang tengah berdiam di kamar masing-masing sampai harus keluar dan turun untuk melihat apa yang terjadi di ruang keluarga. Mereka bisa melihat si bungsu yang tengah menangis sesegukan.

“Papi menjodohkan kamu dengan dasar kasih sayang, nak. Tidak pernah sekalipun papi berfikir untuk menjadikan kamu sebagai alat bisnis, papi sangat menyayangi ketiga anak papi.”

Rumi memberontak ketika dirinya mulai di tarik untuk Wisnu peluk, dirinya mulai bangkit dan menjauh. Enggan di peluk oleh sang papi.

“Kasih sayang? papi jangan bercanda. Dari kecil loh, aku selalu jadi tumbal papi! dulu, aku yang jadi bahan papi buat dapetin sorotan baik dari media, bahkan sampe sekarang masih! apa papi enggak bisa turunin ego papi buat bikin anak papi bahagia? aku benci papi!”

Rumi berbalik dan berjalan menjauh, ia membuka pintu dan penutupnya dengan kasar. Membuat suara debuman kencang yang membuat Sheila terkejut dan langsung turun dari tempat persembunyiannya. Ingin mengejar si bungsu ketika suara gerungan motor mulai terdengar, namun ia di tahan oleh Wisnu.

“Biarin dia sendiri dulu, aku gak mau Rumi semakin benci sama kita.”

“Tapi mas, kamu bahkan belum jelasin alasan apa yang bikin kamu memilih ini!”

“Nanti mas coba nyari waktu yang pas untuk obrolin ini dengan kepala dingin. Bagaimanapun Rumi masih marah karena ketikan mas waktu di room chat.

Sheila memilih mengalah dan mengangguk. Melihat Rumi yang melesat dengan motor merah kesayangannya lewat jendela, hati ibu mana yang tidak ikut sedih ketika melihat kedua mata anaknya memerah karena menahan tangis.

Aldi dan Bima yang masih diam di anak tangga hanya bisa saling melempar tatapan sedih dan juga khawatir, bagaimanapun Rumi adalah adik kesayangan mereka berdua. Mereka tidak suka ketika adik kesayangan mereka bersedih seperti ini. Satu hal yang mereka berdua takuti adalah, Rumi menyesal karena telah pergi tanpa mendengarkan penjelasan dari sang papi hingga habis.

“Lo tanyain temen-temennya adek, dia ke sana atau enggak.” Aldi meminta Bima untuk melakukan tugas ini karena Bima jauh lebih tahu siapa saja yang menjadi teman dari adiknya.

Meskipun Aldi sering menjahili sang adik hingga membuatnya menangis kesal, sesungguhnya ia sangat sayang dan ingin selalu menjaga sang adik dari segala hal yang bisa membuat adik tersayangnya terluka.

Bima mulai mencari rentetan nama-nama teman Rumi yang nomornya ia simpan. Berjaga-jaga jika ada suatu hal yang tidak di inginkan terjadi kepada sang adik.

“Bang, katanya adek ada di salah satu rumah temennya.”

“Oke. tanyain setiap satu jam sekali sama temennya, takutnya itu anak minggat lagi.”

“Oke.”

Rumi tidak meminta dirinya di lahirkan di keluarga kaya raya yang penuh dengan tuntutan. Jika boleh meminta, ia lebih baik di lahirkan di keluarga yang sederhana namun penuh dengan kebahagiaan. Tanpa adanya tuntutan kepada sang anak, selalu mendukung apa yang anak mereka pilih, Rumi amat sangat ingin ketika dirinya di dengar dan di hargai.

Bukan berarti dia tidak suka dengan keluarganya yang sekarang. Ia amat sangat suka, hanya saja di tuntut akan suatu hal membuatnya amat sangat tersiksa.

Kedua tungkai miliknya ia bawa untuk melangkah ke lantai bawah rumah milik sang papi. Jauh di lubuk hatinya, ia ingin sang papi berubah pikiran dengan membatalkan perjodohan yang entah sejak kapan di rencanakan.

Sosok sang papi merupakan panutannya, namun kadang sikap sang papi mampu membuatnya menangis semalaman. Papinya adalah sosok yang penuh tanggung jawab, dan pribadi yang sayang kepada keluarga. Namun, kadang sang papi lupa jika keputusan yang ia ambil sepihak bisa membuat anak-anaknya tersiksa.

Rumi sampai di anak tangga paling bawah. Ia terdiam sambil memperhatikan sang papi yang sibuk dengan ipad di tangan, berkas berserakan di mana-mana. Rumi bisa paham bagaimana sibuknya pekerjaan yang papinya ambil, namun ia juga ingin sang papi meluangkan waktunya sebentar saja untuk memahami apa yang diinginkan oleh anak-anaknya.

“Papi.”

Wisnu mendongak ketika suara si bungsu capai rungunya, ia simpan segala alat elektronik yang di gunakan sebagai alat pembantu menyelesaikan pekerjaannya dan tidak lupa juga ia bereskan berkas-berkas yang berserakan.

“Come here, baby.” Wisnu tepuk sofa kosong yang ia duduki, tampilkan senyuman hangat kepada di bungsu yang terlihat enggan mendekat. Mungkin masih teringat dengan perkataannya saat di room chating.

Rumi perlahan berjalan mendekat ke arah sang papi, dudukan bokongnya di sebelah sofa yang di duduki Wisnu. Enggan terlalu dekat sebab hatinya masih sakit ketika mengingat sederet ketikan menyakitkan yang di kirimkan sang papi padanya siang tadi.

“Kenapa jauh sekali duduknya? Rumi masih kesal sama papi ya nak?”

Rumi terdiam menunduk. Enggan menatap sepasang obsidian tegas milik sang papi, dirinya takut luluh jika menatap mata sang papi.

“Maafin papi karena bikin Rumi sakit. Papi tidak bermaksud untuk membuat Rumi benci sama papi, papi sayang anak-anak papi. Papi mau anak-anak papi hidup enak, enggak sengsara.”

Wisnu bangkit dan duduk di sebelah si bungsu, elus kepalanya lembut sambil tersenyum tipis. Putra bungsunya sudah tumbuh dewasa dan tampan, juga cantik. Sangat persis dengan dirinya.

“Kalo papi sayang sama kita, kenapa papi selalu maksain kehendak papi buat kita? padahal kita udah dewasa dan bisa ambil keputusan sendiri.” balas Rumi masih menunduk.

Wisnu tersenyum tipis, tangannya masih terus mengelus puncak kepala sang anak bungsu. “Maafin papi Rumi.”

“Papi tau enggak kalo aku sakit hati pas papi bilang kalo aku egois ? papi enggak pernah marahin Rumi, aku selalu jadi anak yang baik buat papi, tapi kenapa sekarang aku minta batalin perjodohan aja papi enggak kabulin?” runtuh sudah pertahanan yang Rumi tahan. Air mata yang ia tahan akhirnya terjun bebas, sangat deras.

Kedua obsidian sejernih danau itu kini mulai meredup, Wisnu bisa lihat kilauan di mata si bungsu yang selalu menatapnya kagum kini sudah hilang. Hanya ada kilatan amarah dan kekecewaan yang bisa ia lihat di sana.

“Papi, Rumi selalu turutin semua yang papi sama mami mau. Tapi kenapa papi malah jodohin aku sama orang yang bahkan aku enggak kenal? Rumi enggak pernah minta hal yang enggak bisa papi wujudin, tapi kenapa papi minta itu sama Rumi, Pi?” isakan demi isakan keluar, Wisnu sakit ketika melihat putra yang ia selalu manja menangis kencang di hadapannya.

Aldi, Bima, dan Sheila yang tengah berdiam di kamar masing-masing sampai harus keluar dan turun untuk melihat apa yang terjadi di ruang keluarga. Mereka bisa melihat si bungsu yang tengah menangis sesegukan.

“Papi menjodohkan kamu dengan dasar kasih sayang, nak. Tidak pernah sekalipun papi berfikir untuk menjadikan kamu sebagai alat bisnis, papi sangat menyayangi ketiga anak papi.”

Rumi memberontak ketika dirinya mulai di tarik untuk Wisnu peluk, dirinya mulai bangkit dan menjauh. Enggan di peluk oleh sang papi.

“Kasih sayang? papi jangan bercanda. Dari kecil loh, aku selalu jadi tumbal papi! dulu, aku yang jadi bahan papi buat dapetin sorotan baik dari media, bahkan sampe sekarang masih! apa papi enggak bisa turunin ego papi buat bikin anak papi bahagia? aku benci papi!”

Rumi berbalik dan berjalan menjauh, ia membuka pintu dan penutupnya dengan kasar. Membuat suara debuman kencang yang membuat Sheila terkejut dan langsung turun dari tempat persembunyiannya. Ingin mengejar si bungsu ketika suara gerungan motor mulai terdengar, namun ia di tahan oleh Wisnu.

“Biarin dia sendiri dulu, aku gak mau Rumi semakin benci sama kita.”

“Tapi mas, kamu bahkan belum jelasin alasan apa yang bikin kamu memilih ini!”

“Nanti mas coba nyari waktu yang pas untuk obrolin ini dengan kepala dingin. Bagaimanapun Rumi masih marah karena ketikan mas waktu di room chat.

Sheila memilih mengalah dan mengangguk. Melihat Rumi yang melesat dengan motor merah kesayangannya lewat jendela, hati ibu mana yang tidak ikut sedih ketika melihat kedua mata anaknya memerah karena menahan tangis.

Aldi dan Bima yang masih diam di anak tangga hanya bisa saling melempar tatapan sedih dan juga khawatir, bagaimanapun Rumi adalah adik kesayangan mereka berdua. Mereka tidak suka ketika adik kesayangan mereka bersedih seperti ini. Satu hal yang mereka berdua takuti adalah, Rumi menyesal karena telah pergi tanpa mendengarkan penjelasan dari sang papi hingga habis.

“Lo tanyain temen-temennya adek, dia ke sana atau enggak.” Aldi meminta Bima untuk melakukan tugas ini karena Bima jauh lebih tahu siapa saja yang menjadi teman dari adiknya.

Meskipun Aldi sering menjahili sang adik hingga membuatnya menangis kesal, sesungguhnya ia sangat sayang dan ingin selalu menjaga sang adik dari segala hal yang bisa membuat adik tersayangnya terluka.

Bima mulai mencari rentetan nama-nama teman Rumi yang nomornya ia simpan. Berjaga-jaga jika ada suatu hal yang tidak di inginkan terjadi kepada sang adik.

“Bang, katanya adek ada di salah satu rumah temennya.”

“Oke. tanyain setiap satu jam sekali sama temennya, takutnya itu anak minggat lagi.”

“Oke.”


Nayaka bukanlah pribadi yang mudah mencintai, sekalinya nyaman dan menemukan tempat yang ia anggap bisa melindunginya, maka ia akan menetap lama. Dirinya sederhana, baginya perihal mencintai dan di cintai itu hal yang lumrah, yang sulit adalah menjaga kepercayaan.

Malam ini hujan melanda kota Bandung, maka Nayaka putuskan untuk keluar rumah dan menyambut rintik hujan yang mulai turun. Bahagia bisa ia dapatkan ketika menyentuh hujan, malam ini akan menjadi malam panjang ketika sebuah ide terlintas dibenaknya. Nayaka memesan taxi untuk ia tumpangi, berkeliling di saat hujan seperti ini sangatlah menyenangkan.

Ia menyalakan ipad yang menjadi alat untuk ia mendesain dan menggambar miliknya, Nayaka mulai goreskan beberapa garis pada layar ipad yang ia genggam. Menggambar kota Bandung saat di guyur hujan, tepat ketika ia akan mewarnai setiap detail kecil gambarnya, sang supir taxi mulai bersuara.

“Nak, ini sudah malam. Keluarga saya sedang menunggu di rumah, jika berkenan memberitahu nak ini mau kemana sebenarnya?”

“Oh maaf pak, sebenarnya saya cuman mau keliling kota saja. Kalo begitu turunin saya di cafe depan saja ya pak, ini ongkosnya. Kembaliannya ambil saja sebagai permintaan maaf saya karena membuat bapak pulang terlalu malam.”

Setelahnya Nayaka mulai berlari kecil untuk memasuki cafe yang masih buka pada malam hari, tidak ada salahnya menenangkan diri disini. Sebenarnya ia hanya ingin menghilangkan pikiran buruknya tentang Radit yang kini sudah jarang mengabari, apalagi ketika ia mendengar kabar bahwa pacarnya itu kembali berhubungan dengan sang mantan.

Nayaka tahu bagaimana Radit sangat antusias ketika menceritakan Nathalie padanya saat hubungan mereka baru menginjak bulan ketiga, mata Radit selalu saja berbinar ketika ia ucapkan nama Nathalie. Jujur saja, Nayaka sedikit cemburu. Maka ia putuskan untuk melupakan segala hal yang mengusik pikirannya malam ini, ia ingin tenang dan kerjaannya cepat beres juga.

“Mas, caramel latte satu ya.”

“Baik mas, silahkan tunggu sebentar.”

Setelah memesan, Nayaka berjalan ke arah tempat duduk yang pemandangannya mengarah langsung pada jalanan kota Bandung yang di landa hujan deras, ia mungkin bisa mendapat inspirasi untuk desain terbaru miliknya.

Tangan lentik itu mulai menggambar kembali, memuangkan segala imajinasi yang ada pada otaknya ke dalam sebuah layar putih kosong yang ada pada ipad miliknya. Kecintaannya terhadap dunia desain dan seni rupa membuat Nayaka bercita-cita menjadi desainer dan seniman terkenal.

Saat tengah fokus dengan kegiatannya. Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya pelan, Nayaka pikir itu adalah mas-mas yang mengantar minumannya, namun ketika ia mendongak, ia malah melihat seseorang yang tak asing baginya tengah berdiri dengan nampan lengkap dengan minuman yang ia pesan.

“Long time no see, Nay!”

“A Aga?!”

a jayhoon au.

Kota Bandung menyimpan segala keindahan, dan kamu salah satunya.


Cuaca panas dari matahari langsung menyapa ketika Radit putuskan untuk turun langsung ke lapangan dalam agendanya mengecek lahan baru yang akan ia beli sebagai tempat pabrik baru usahanya.

Kesalahan yang Radit lakukan adalah memakai pakaian formal lengkap dengan kacamata hitam di area pesawahan yang langsung terkena sinar matahari. Salahnya sendiri karena tidak mendengarkan sepupu jauhnya, Bagas. Lelaki dengan hidung bangir itu masih saja menertawakan kebodohan dirinya karena tidak menurut perkataan yang lebih muda.

“Kata aing juga apa? pake pakean biasa aja, jangan yang gaya-gaya soalnya lahan yang mau maneh beli itu tempatnya deket sawah. Jadinya gimana sekarang? kotor and gerah kan pak bos?” ledek Bagas yang berjalan di depan Radit.

Radit mendengus, mendorong pundak Bagas pelan. Namun karena keduanya berada di area pesawahan, Bagas hampir saja terjatuh jika dirinya tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya dengan baik.

“Lagian elu yang nggak ngasih tau gua kalo area lahannya di sawah, tau gitu gua pake kaosan doang.” sungut Radit tidak terima.

“Ya lagian elu pake nanya kalo kaosan bisa belang atau engga, ya aing pikir lo mau pake kaosan.”

“Pokoknya ini salah elu!” dengus Radit, mendorong Bagas kembali hingga salah satu kakinya masuk ke area pesawahan. Kakinya penuh lumpur.

“Ah anjing kaki aing! sialan ya lo, sini lo Radit!” Bagas mendorong Radit lumayan kencang hingga si empunya terjerembab masuk ke area pesawahan, merusak padi yang baru di tanam oleh para petani.

“Anjing Bagas!”

“Hahaha Sorry, ayo aing bantu sini. Kita ke rumahnya oma aja kali ya buat bersih-bersih.”

“Yaudah, terserah.”

Walaupun kesal, Radit tetap menyambut uluran tangan saudara jauhnya itu untuk membantu ia keluar dari lumpur pesawahan.

Bagas yang melihat Radit penuh dengan lumpur hanya bisa menahan tawa, sungguh ia malah teringat ketika masa kecilnya bersama Radit.

“Duh rumahnya masih jauh gak, Gas?”

“Bentar lagi, di depan noh!” ujar Bagas menunjuk salah satu rumah putih yang penuh dengan tanaman.

Bagas dan Radit akhirnya sampai di halaman rumah putih asri milik oma sang pemilik lahan yang akan Radit beli, maka tak menunggu lama Bagas langsung mengetuk pintu meninggalkan Radit yang berdiri kikuk di halaman rumah, persis seperti orang-orangan sawah.

“Punten, oma! initeh Bagas.”

“Mangga, eh den Bagas teh udah datang. Ai aden yang dari kota tea mana? engga di ajak kesini atuh?”

“Di ajak atuh oma, itu orangnya. Kecebur di sawah, petakilan tuda orangnya.” Bagas menunjuk Radit dengan dagunya, buat wanita yang dipanggil oma terkikik geli.

“Aduh den, ngapain nyemplung ke sawah? mau nyari belut?”

Radit tertawa dengan paksa, tidak berniat buruk sebenarnya, tapi dia juga kesal karena tidak langsung di ajak membersihkan diri.

“Yaudah atuh yuk, bersihin dulu badannya.” ajak sang Oma, berjalan mendekat ke arah Radit berdiri, buat Radit mundur beberapa langkah.

“Duh oma saya kotor gausah deket-deket, saya juga gak bawa baju ganti.” tolak Radit halus.

“Eh engga apa-apa, cucu oma juga sering kecebur di sawah pas masih kecil. Kalo buat baju, kamu bisa pake bajunya si abah.” ujar oma sambil menuntun Radit lewat jalan belakang, untuk masuk rumahnya.


“Oma, Naya pulang!”

Lelaki dengan wajah manis yang tengah membawa sekeranjang buah hasil petikan dari kebun kini mulai membasuh tangan serta kakinya di pancuran air keran di halaman rumah milik sang Oma.

Dengan senyuman yang terpatri di wajahnya membuat Bagas yang masih duduk didepan rumah bangkit dan mulai menyambut si pemilik rumah.

“Abis dari mana kamuteh Nay? panen buah lagi?” ucap Bagas, buyarkan fokus Nayaka yang tengah memilah buah-buahan hasil panennya.

“Eh, A Bagas sejak kapan disitu? aku kok engga lihat ya tadi.”

“Dari kamu lepas sendal, milih buah, aa udah disini.” balas Bagas yang mendapat cengiran lebar dari Nayaka.

“Maaf ya a, akuteh enggak tahu. Oh iya, belum dikasih minum ya sama oma? aa mau minum apa, biar Naya yang siapin?”

“Jus buah ada engga, Nay?”

“Ada a, tapi jus jeruk mau?”

“Mau, nuhun pisan ya Nay.”

“Samuhun a, antosan sakedap. (Iya a, tunggu sebentar.)”

Nayaka melenggang masuk ke dalam rumah milik Oma, berniat menyimpan buah-buahan yang baru ia petik sekaligus membawakan satu gelas jus jeruk untuk Bagas yang menunggu di depan.

“Oma, ini Naya bawain buah mau di taro dimana?” kaki jenjangnya melangkah ke arah kamar sang oma tanpa menatap ke depan. Nayaka fokus dengan kegiatan memilah buah yang belum selesai tadi.

“Oma, ini aku petik buah anggur mau dibikin ap— AAAAAAA MALING!”

“OMAAA ADA MALING! A BAGAS BANTUIN A, ADA MALING!!”

Radit yang tengah memakai baju pemberian oma langsung terkejut ketika ada orang yang meneriaki dan memukulinya dengan sandal, mana di anggap sebagai maling pula. Padahal dirinya kan tamu disini.

“Saya bukan maling!”

“Mana ada maling yang ngaku!”

“Seengaknya berhenti mukulin saya!”

“Engga, OMAA—”

“Diem, saya bukan maling!”

Kedua mata bulat milik Nayaka langsung membulat ketika mulutnya dibekap oleh tangan orang yang ia kira adalah maling. Sementara Radit langsung terdiam ketika netranya tangkap presensi lelaki manis dengan sekeranjang buah di tangan, mungkin bisa dibilang keranjangnya saja karena buah-buahan yang Nayaka petik sudah berceceran di lantai.

“Ada apa initeh kok oma denger ada yang teriak?”

Nayaka yang tersadar dari lamunannya langsung menjauhkan diri dari Radit yang masih enggan untuk berhenti menatapnya hingga Bagas pun yang harus menyadarkan saudaranya.

“Woi! anak orang jangan lo pelototin gitu anying, nanti dia nangis!”

“Sembarangan, dia siapa gas?”

“Cucunya si oma, cakep ya?” ujar Bagas sambil menyikut perut Radit pelan.

“Engga.”

“Itu oma, ada maling yang mau ambil baju abah di dalem lemari. Kan Naya mau ngasih buah ke oma niatnya itu, tapi malah ketemu dia. Ya aku kira teh dia maling soalnya gelagatnya mencurigakan.”

“Dia teh den Radit, yang mau beli lahan kita.”

Nayaka langsung menutup mulutnya pelan, melihat ke arah Radit yang masih mematung dan memperhatikannya.

“Aduh, A Radit maafin saya ya. Saya teh gatau kalo aa yang mau beli lahannya oma, aduh ini bekas pukulan saya masih sakit engga biar saya obatin?”

“Sakit.” jawaban Radit semakin membuat Nayaka kalang kabut dibuatnya, jadilah ia sibuk sendiri untuk mencari kotak obat yang ia simpan di lemari dekat televisi.

“A Radit saya obatinnya di luar aja ya, biar keliatan lukanya. Kalo di dalem gelap.”

Radit hanya anggukan kepalanya, senyuman di bibirnya terlihat sangat menyeramkan menurut Bagas, seperti om pedo.

“Gila ai sia, jiga nugelo. (Serem ai kamu, kaya orang gila.)”

a jayhoon au.

Kota Bandung menyimpan segala keindahan, dan kamu salah satunya.


Cuaca panas dari matahari langsung menyapa ketika Radit putuskan untuk turun langsung ke lapangan dalam agendanya mengecek lahan baru yang akan ia beli sebagai tempat pabrik baru usahanya.

Kesalahan yang Radit lakukan adalah memakai pakaian formal lengkap dengan kacamata hitam di area pesawahan yang langsung terkena sinar matahari. Salahnya sendiri karena tidak mendengarkan sepupu jauhnya, Bagas. Lelaki dengan hidung bangir itu masih saja menertawakan kebodohan dirinya karena tidak menurut perkataan yang lebih muda.

“Kata aing juga apa? pake pakean biasa aja, jangan yang gaya-gaya soalnya lahan yang mau maneh beli itu tempatnya deket sawah. Jadinya gimana sekarang? kotor and gerah kan pak bos?” ledek Bagas yang berjalan di depan Radit.

Radit mendengus, mendorong pundak Bagas pelan. Namun karena keduanya berada di area pesawahan, Bagas hampir saja terjatuh jika dirinya tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya dengan baik.

“Lagian elu yang nggak ngasih tau gua kalo area lahannya di sawah, tau gitu gua pake kaosan doang.” sungut Radit tidak terima.

“Ya lagian elu pake nanya kalo kaosan bisa belang atau engga, ya aing pikir lo mau pake kaosan.”

“Pokoknya ini salah elu!” dengus Radit, mendorong Bagas kembali hingga salah satu kakinya masuk ke area pesawahan. Kakinya penuh lumpur.

“Ah anjing kaki aing! sialan ya lo, sini lo Radit!” Bagas mendorong Radit lumayan kencang hingga si empunya terjerembab masuk ke area pesawahan, merusak padi yang baru di tanam oleh para petani.

“Anjing Bagas!”

“Hahaha Sorry, ayo aing bantu sini. Kita ke rumahnya oma aja kali ya buat bersih-bersih.”

“Yaudah, terserah.”

Walaupun kesal, Radit tetap menyambut uluran tangan saudara jauhnya itu untuk membantu ia keluar dari lumpur pesawahan.

Bagas yang melihat Radit penuh dengan lumpur hanya bisa menahan tawa, sungguh ia malah teringat ketika masa kecilnya bersama Radit.

“Duh rumahnya masih jauh gak, Gas?”

“Bentar lagi, di depan noh!” ujar Bagas menunjuk salah satu rumah putih yang penuh dengan tanaman.

Bagas dan Radit akhirnya sampai di halaman rumah putih asri milik oma sang pemilik lahan yang akan Radit beli, maka tak menunggu lama Bagas langsung mengetuk pintu meninggalkan Radit yang berdiri kikuk di halaman rumah, persis seperti orang-orangan sawah.

“Punten, oma! initeh Bagas.”

“Mangga, eh den Bagas teh udah datang. Ai aden yang dari kota tea mana? engga di ajak kesini atuh?”

“Di ajak atuh oma, itu orangnya. Kecebur di sawah, petakilan tuda orangnya.” Bagas menunjuk Radit dengan dagunya, buat wanita yang dipanggil oma terkikik geli.

“Aduh den, ngapain nyemplung ke sawah? mau nyari belut?”

Radit tertawa dengan paksa, tidak berniat buruk sebenarnya, tapi dia juga kesal karena tidak langsung di ajak membersihkan diri.

“Yaudah atuh yuk, bersihin dulu badannya.” ajak sang Oma, berjalan mendekat ke arah Radit berdiri, buat Radit mundur beberapa langkah.

“Duh oma saya kotor gausah deket-deket, saya juga gak bawa baju ganti.” tolak Radit halus.

“Eh engga apa-apa, cucu oma juga sering kecebur di sawah pas masih kecil. Kalo buat baju, kamu bisa pake bajunya si abah.” ujar oma sambil menuntun Radit lewat jalan belakang, untuk masuk rumahnya.


“Oma, Naya pulang!”

Lelaki dengan wajah manis yang tengah membawa sekeranjang buah hasil petikan dari kebun kini mulai membasuh tangan serta kakinya di pancuran air keran di halaman rumah milik sang Oma.

Dengan senyuman yang terpatri di wajahnya membuat Bagas yang masih duduk didepan rumah bangkit dan mulai menyambut si pemilik rumah.

“Abis dari mana kamuteh Nay? panen buah lagi?” ucap Bagas, buyarkan fokus Nayaka yang tengah memilah buah-buahan hasil panennya.

“Eh, A Bagas sejak kapan disitu? aku kok engga lihat ya tadi.”

“Dari kamu lepas sendal, milih buah, aa udah disini.” balas Bagas yang mendapat cengiran lebar dari Nayaka.

“Maaf ya a, akuteh enggak tahu. Oh iya, belum dikasih minum ya sama oma? aa mau minum apa, biar Naya yang siapin?”

“Jus buah ada engga, Nay?”

“Ada a, tapi jus jeruk mau?”

“Mau, nuhun pisan ya Nay.”

“Samuhun a, antosan sakedap. (Iya a, tunggu sebentar.)”

Nayaka melenggang masuk ke dalam rumah milik Oma, berniat menyimpan buah-buahan yang baru ia petik sekaligus membawakan satu gelas jus jeruk untuk Bagas yang menunggu di depan.

“Oma, ini Naya bawain buah mau di taro dimana?” kaki jenjangnya melangkah ke arah kamar sang oma tanpa menatap ke depan. Nayaka fokus dengan kegiatan memilah buah yang belum selesai tadi.

“Oma, ini aku petik buah anggur mau dibikin ap— AAAAAAA MALING!”

“OMAAA ADA MALING! A BAGAS BANTUIN A, ADA MALING!!”

Radit yang tengah memakai baju pemberian oma langsung terkejut ketika ada orang yang meneriaki dan memukulinya dengan bandal, mana di anggap sebagai maling pula. Padahal dirinya kan tamu disini.

“Saya bukan maling!”

“Mana ada maling yang ngaku!”

“Seengaknya berhenti mukulin saya!”

“Engga, OMAA—”

“Diem, saya bukan maling!”

Kedua mata bulat milik Nayaka langsung membulat ketika mulutnya dibekap oleh tangan orang yang ia kira adalah maling. Sementara Radit langsung terdiam ketika netranya tangkap presensi lelaki manis dengan sekeranjang buah di tangan, mungkin bisa dibilang keranjangnya saja karena buah-buahan yang Nayaka petik sudah berceceran di lantai.

“Ada apa initeh kok oma denger ada yang teriak?”

Nayaka yang tersadar dari lamunannya langsung menjauhkan diri dari Radit yang masih enggan untuk berhenti menatapnya hingga Bagas pun yang harus menyadarkan dirinya.

“Woi! anak orang jangan lo pelototin gitu anying, nanti dia nangis!”

“Sembarangan, dia siapa gas?”

“Cucunya si oma, cakep ya?” ujar Bagas sambil menyikut perut Radit pelan.

“Engga.”

“Itu oma, ada maling yang mau ambil baju abah di dalem lemari. Kan Naya mau ngasih buah ke oma niatnya itu, tapi malah ketemu dia. Ya aku kira teh dia maling soalnya gelagatnya mencurigakan.”

“Dia teh den Radit, yang mau beli lahan kita.”

Nayaka langsung menutup mulutnya pelan, melihat ke arah Radit yang masih mematung dan memperhatikannya.

“Aduh, A Radit maafin saya ya. Saya teh gatau kalo aa yang mau beli lahannya oma, aduh ini bekas pukulan saya masih sakit engga biar saya obatin?”

“Sakit.” jawaban Radit semakin membuat Nayaka kalang kabut dibuatnya, jadilah ia sibuk sendiri untuk mencari kotak obat yang ia simpan di lemari dekat televisi.

“A Radit saya obatinnya di luar aja ya, biar keliatan lukanya. Kalo di dalem gelap.”

Radit hanya anggukan kepalanya, senyuman di bibirnya terlihat sangat menyeramkan menurut Bagas, seperti om pedo.

“Gila ai sia, jiga nugelo. (Serem ai kamu, kaya orang gila.)”

a jayhoon au.

Kota Bandung menyimpan segala keindahan, dan kamu salah satunya.


Cuaca panas dari matahari langsung menyapa ketika Radit putuskan untuk turun langsung ke lapangan dalam agendanya mengecek lahan baru yang akan ia beli sebagai tempat pabrik baru usahanya.

Kesalahan yang Radit lakukan adalah memakai pakaian formal lengkap dengan kacamata hitam di area pesawahan yang langsung terkena sinar matahari. Salahnya sendiri karena tidak mendengarkan sepupu jauhnya, Bagas. Lelaki dengan hidung bangir itu masih saja menertawakan kebodohan dirinya karena tidak menurut perkataan yang lebih muda.

“Kata aing juga apa? pake pakean biasa aja, jangan yang gaya-gaya soalnya lahan yang mau maneh beli itu tempatnya deket sawah. Jadinya gimana sekarang? kotor and gerah kan pak bos?” ledek Bagas yang berjalan di depan Radit.

Radit mendengus, mendorong pundak Bagas pelan. Namun karena keduanya berada di area pesawahan, Bagas hampir saja terjatuh jika dirinya tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya dengan baik.

“Lagian elu yang nggak ngasih tau gua kalo area lahannya di sawah, tau gitu gua pake kaosan doang.” sungut Radit tidak terima.

“Ya lagian elu pake nanya kalo kaosan bisa belang atau engga, ya aing pikir lo mau pake kaosan.”

“Pokoknya ini salah elu!” dengus Radit, mendorong Bagas kembali hingga salah satu kakinya masuk ke area pesawahan. Kakinya penuh lumpur.

“Ah anjing kaki aing! sialan ya lo, sini lo Radit!” Bagas mendorong Radit lumayan kencang hingga si empunya terjerembab masuk ke area pesawahan, merusak padi yang baru di tanam oleh para petani.

“Anjing Bagas!”

“Hahaha Sorry, ayo aing bantu sini. Kita ke rumahnya oma aja kali ya buat bersih-bersih.”

“Yaudah, terserah.”

Walaupun kesal, Radit tetap menyambut uluran tangan saudara jauhnya itu untuk membantu ia keluar dari lumpur pesawahan.

Bagas yang melihat Radit penuh dengan lumpur hanya bisa menahan tawa, sungguh ia malah teringat ketika masa kecilnya bersama Radit.

“Duh rumahnya masih jauh gak, Gas?”

“Bentar lagi, di depan noh!” ujar Bagas menunjuk salah satu rumah putih yang penuh dengan tanaman.

Bagas dan Radit akhirnya sampai di halaman rumah putih asri milik oma sang pemilik lahan yang akan Radit beli, maka tak menunggu lama Bagas langsung mengetuk pintu meninggalkan Radit yang berdiri kikuk di halaman rumah, persis seperti orang-orangan sawah.

“Punten, oma! initeh Bagas.”

“Mangga, eh den Bagas teh udah datang. Ai aden yang dari kota tea mana? engga di ajak kesini atuh?”

“Di ajak atuh oma, itu orangnya. Kesebur di sawah, petakilan tuda orangnya.” Bagas menunjuk Radit dengan dagunya, buat wanita yang dipanggil oma terkikik geli.

“Aduh den, ngapain nyemplung ke sawah? mau nyari belut?”

Radit tertawa dengan paksa, tidak berniat buruk sebenarnya, tapi dia juga kesal karena tidak langsung di ajak membersihkan diri.

“Yaudah atuh yuk, bersihin dulu badannya.” ajak sang Oma, berjalan mendekat ke arah Radit berdiri, buat Radit mundur beberapa langkah.

“Duh oma saya kotor gausah deket-deket, saya juga gak bawa baju ganti.” tolak Radit halus.

“Eh engga apa-apa, cucu oma juga sering kecebur di sawah pas kecil. Kalo buat baju, kamu bisa pake bajunya si abah.” ujar oma sambil menuntun Radit lewat jalan belakang, untuk masuk rumahnya.


“Oma, Naya pulang!”

Lelaki dengan wajah manis yang tengah membawa sekeranjang buah hasil petikan dari kebun kini mulai membasuh tangan serta kakinya di pancuran air keran di halaman rumah milik sang Oma.

Dengan senyuman yang terpatri di wajahnya membuat Bagas yang masih duduk didepan rumah bangkit dan mulai menyambut si pemilik rumah.

“Abis dari mana kamuteh Nay? panen buah lagi?” ucap Bagas, buyarkan fokus Nayaka yang tengah memilah buah-buahan hasil panennya.

“Eh, A Bagas sejak kapan disitu? aku kok engga lihat ya tadi.”

“Dari kamu lepas sendal, milih buah, aa udah disini.” balas Bagas yang mendapat cengiran lebar dari Nayaka.

“Maaf ya a, akuteh enggak tahu. Oh iya, belum dikasih minum ya sama oma? aa mau minum apa, biar Naya yang siapin?”

“Jus buah ada engga, Nay?”

“Ada a, tapi jus jeruk mau?”

“Mau, nuhun pisan ya Nay.”

“Samuhun a, antosan sakedap. (Iya a, tunggu sebentar.)”

Nayaka melenggang masuk ke dalam rumah milik Oma, berniat menyimpan buah-buahan yang baru ia petik sekaligus membawakan satu gelas jus jeruk untuk Bagas yang menunggu di depan.

“Oma, ini Naya bawain buah mau di taro dimana?” kaki jenjangnya melangkah ke arah kamar sang oma tanpa menatap ke depan. Nayaka fokus dengan kegiatan memilah buah yang belum selesai tadi.

“Oma, ini aku petik buah anggur mau dibikin ap— AAAAAAA MALING!”

“OMAAA ADA MALING! A BAGAS BANTUIN A, ADA MALING!!”

Radit yang tengah memakai baju pemberian oma langsung terkejut ketika ada orang yang meneriaki dan memukulinya dengan bandal, mana di anggap sebagai maling pula. Padahal dirinya kan tamu disini.

“Saya bukan maling!”

“Mana ada maling yang ngaku!”

“Seengaknya berhenti mukulin saya!”

“Engga, OMAA—”

“Diem, saya bukan maling!”

Kedua mata bulat milik Nayaka langsung membulat ketika mulutnya dibekap oleh tangan orang yang ia kira adalah maling. Sementara Radit langsung terdiam ketika netranya tangkap presensi lelaki manis dengan sekeranjang buah di tangan, mungkin bisa dibilang keranjangnya saja karena buah-buahan yang Nayaka petik sudah berceceran di lantai.

“Ada apa initeh kok oma denger ada yang teriak?”

Nayaka yang tersadar dari lamunannya langsung menjauhkan diri dari Radit yang masih enggan untuk berhenti menatapnya hingga Bagas pun yang harus menyadarkan dirinya.

“Woi! anak orang jangan lo pelototin gitu anying, nanti dia nangis!”

“Sembarangan, dia siapa gas?”

“Cucunya si oma, cakep ya?” ujar Bagas sambil menyikut perut Radit pelan.

“Engga.”

“Itu oma, ada maling yang mau ambil baju abah di dalem lemari. Kan Naya mau ngasih buah ke oma niatnya itu, tapi malah ketemu dia. Ya aku kira teh dia maling soalnya gelagatnya mencurigakan.”

“Dia teh den Radit, yang mau beli lahan kita.”

Nayaka langsung menutup mulutnya pelan, melihat ke arah Radit yang masih mematung dan memperhatikannya.

“Aduh, A Radit maafin saya ya. Saya teh gatau kalo aa yang mau beli lahannya oma, aduh ini bekas pukulan saya masih sakit engga biar saya obatin?”

“Sakit.” jawaban Radit semakin membuat Nayaka kalang kabut dibuatnya, jadilah ia sibuk sendiri untuk mencari kotak obat yang ia simpan di lemari dekat televisi.

“A Radit saya obatinnya di luar aja ya, biar keliatan lukanya. Kalo di dalem gelap.”

Radit hanya anggukan kepalanya, senyuman di bibirnya terlihat sangat menyeramkan menurut Bagas, seperti om pedo.

“Gila ai sia, jiga nugelo. (Serem ai kamu, kaya orang gila.)”

a jayhoon au.

Kota Bandung menyimpan segala keindahan, dan kamu salah satunya.


Cuaca panas dari matahari langsung menyapa ketika Radit putuskan untuk turun langsung ke lapangan dalam agendanya mengecek lahan baru yang akan ia beli sebagai tempat pabrik baru usahanya.

Kesalahan yang Radit lakukan adalah memakai pakaian formal lengkap dengan kacamata hitam di area pesawahan yang langsung terkena sinar matahari. Salahnya sendiri karena tidak mendengarkan sepupu jauhnya, Bagas. Lelaki dengan hidung bangir itu masih saja menertawakan kebodohan dirinya karena tidak menurut perkataan yang lebih muda.

“Kata aing juga apa? pake pakean biasa aja, jangan yang gaya-gaya soalnya lahan yang mau maneh beli itu tempatnya deket sawah. Jadinya gimana sekarang? kotor and gerah kan pak bos?” ledek Bagas yang berjalan di depan Radit.

Radit mendengus, mendorong pundak Bagas pelan. Namun karena keduanya berada di area pesawahan, Bagas hampir saja terjatuh jika dirinya tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya dengan baik.

“Lagian elu yang nggak ngasih tau gua kalo area lahannya di sawah, tau gitu gua pake kaosan doang.” sungut Radit tidak terima.

“Ya lagian elu pake nanya kalo kaosan bisa belang atau engga, ya aing pikir lo mau pake kaosan.”

“Pokoknya ini salah elu!” dengus Radit, mendorong Bagas kembali hingga salah satu kakinya masuk ke area pesawahan. Kakinya penuh lumpur.

“Ah anjing kaki aing! sialan ya lo, sini lo Radit!” Bagas mendorong Radit lumayan kencang hingga si empunya terjerembab masuk ke area pesawahan, merusak pagi yang baru di tanam oleh para petani.

“Anjing Bagas!”

“Hahaha Sorry, ayo aing bantu sini. Kita ke rumahnya oma aja kali ya buat bersih-bersih.”

“Yaudah, terserah.”

Walaupun kesal, Radit tetap menyambut uluran tangan saudara jauhnya itu untuk membantu ia keluar dari lumpur pesawahan.

Bagas yang melihat Radit penuh dengan lumpur hanya bisa menahan tawa, sungguh ia malah teringat ketika masa kecilnya bersama Radit.

“Duh rumahnya masih jauh gak, Gas?”

“Bentar lagi, di depan noh!” ujar Bagas menunjuk salah satu rumah putih yang penuh dengan tanaman.

Bagas dan Radit akhirnya sampai di halaman rumah putih asri milik oma sang pemilik lahan yang akan Radit beli, maka tak menunggu lama Bagas langsung mengetuk pintu meninggalkan Radit yang berdiri kikuk di halaman rumah, persis seperti orang-orangan sawah.

“Punten, oma! initeh Bagas.”

“Mangga, eh den Bagas teh udah datang. Ai aden yang dari kota tea mana? engga di ajak kesini atuh?”

“Di ajak atuh oma, itu orangnya. Kesebur di sawah, petakilan tuda orangnya.” Bagas menunjuk Radit dengan dagunya, buat wanita yang dipanggil oma terkikik geli.

“Aduh den, ngapain nyemplung ke sawah? mau nyari belut?”

Radit tertawa dengan paksa, tidak berniat buruk sebenarnya, tapi dia juga kesal karena tidak langsung di ajak membersihkan diri.

“Yaudah atuh yuk, bersihin dulu badannya.” ajak sang Oma, berjalan mendekat ke arah Radit berdiri, buat Radit mundur beberapa langkah.

“Duh oma saya kotor gausah deket-deket, saya juga gak bawa baju ganti.” tolak Radit halus.

“Eh engga apa-apa, cucu oma juga sering kecebur di sawah pas kecil. Kalo buat baju, kamu bisa pake bajunya si abah.” ujar oma sambil menuntun Radit lewat jalan belakang, untuk masuk rumahnya.


“Oma, Naya pulang!”

Lelaki dengan wajah manis yang tengah membawa sekeranjang buah hasil petikan dari kebun kini mulai membasuh tangan serta kakinya di pancuran air keran di halaman rumah milik sang Oma.

Dengan senyuman yang terpatri di wajahnya membuat Bagas yang masih duduk didepan rumah bangkit dan mulai menyambut si pemilik rumah.

“Abis dari mana kamuteh Nay? panen buah lagi?” ucap Bagas, buyarkan fokus Nayaka yang tengah memilah buah-buahan hasil panennya.

“Eh, A Bagas sejak kapan disitu? aku kok engga lihat ya tadi.”

“Dari kamu lepas sendal, milih buah, aa udah disini.” balas Bagas yang mendapat cengiran lebar dari Nayaka.

“Maaf ya a, akuteh enggak tahu. Oh iya, belum dikasih minum ya sama oma? aa mau minum apa, biar Naya yang siapin?”

“Jus buah ada engga, Nay?”

“Ada a, tapi jus jeruk mau?”

“Mau, nuhun pisan ya Nay.”

“Samuhun a, antosan sakedap. (Iya a, tunggu sebentar.)”

Nayaka melenggang masuk ke dalam rumah milik Oma, berniat menyimpan buah-buahan yang baru ia petik sekaligus membawakan satu gelas jus jeruk untuk Bagas yang menunggu di depan.

“Oma, ini Naya bawain buah mau di taro dimana?” kaki jenjangnya melangkah ke arah kamar sang oma tanpa menatap ke depan. Nayaka fokus dengan kegiatan memilah buah yang belum selesai tadi.

“Oma, ini aku petik buah anggur mau dibikin ap— AAAAAAA MALING!”

“OMAAA ADA MALING! A BAGAS BANTUIN A, ADA MALING!!”

Radit yang tengah memakai baju pemberian oma langsung terkejut ketika ada orang yang meneriaki dan memukulinya dengan bandal, mana di anggap sebagai maling pula. Padahal dirinya kan tamu disini.

“Saya bukan maling!”

“Mana ada maling yang ngaku!”

“Seengaknya berhenti mukulin saya!”

“Engga, OMAA—”

“Diem, saya bukan maling!”

Kedua mata bulat milik Nayaka langsung membulat ketika mulutnya dibekap oleh tangan orang yang ia kira adalah maling. Sementara Radit langsung terdiam ketika netranya tangkap presensi lelaki manis dengan sekeranjang buah di tangan, mungkin bisa dibilang keranjangnya saja karena buah-buahan yang Nayaka petik sudah berceceran di lantai.

“Ada apa initeh kok oma denger ada yang teriak?”

Nayaka yang tersadar dari lamunannya langsung menjauhkan diri dari Radit yang masih enggan untuk berhenti menatapnya hingga Bagas pun yang harus menyadarkan dirinya.

“Woi! anak orang jangan lo pelototin gitu anying, nanti dia nangis!”

“Sembarangan, dia siapa gas?”

“Cucunya si oma, cakep ya?” ujar Bagas sambil menyikut perut Radit pelan.

“Engga.”

“Itu oma, ada maling yang mau ambil baju abah di dalem lemari. Kan Naya mau ngasih buah ke oma niatnya itu, tapi malah ketemu dia. Ya aku kira teh dia maling soalnya gelagatnya mencurigakan.”

“Dia teh den Radit, yang mau beli lahan kita.”

Nayaka langsung menutup mulutnya pelan, melihat ke arah Radit yang masih mematung dan memperhatikannya.

“Aduh, A Radit maafin saya ya. Saya teh gatau kalo aa yang mau beli lahannya oma, aduh ini bekas pukulan saya masih sakit engga biar saya obatin?”

“Sakit.” jawaban Radit semakin membuat Nayaka kalang kabut dibuatnya, jadilah ia sibuk sendiri untuk mencari kotak obat yang ia simpan di lemari dekat televisi.

“A Radit saya obatinnya di luar aja ya, biar keliatan lukanya. Kalo di dalem gelap.”

Radit hanya anggukan kepalanya, senyuman di bibirnya terlihat sangat menyeramkan menurut Bagas, seperti om pedo.

“Gila ai sia, jiga nugelo. (Serem ai kamu, kaya orang gila.)”