vivi

a jayhoon au.

Kota Bandung menyimpan segala keindahan, dan kamu salah satunya.


Cuaca panas dari matahari langsung menyapa ketika Radit putuskan untuk turun langsung ke lapangan dalam agendanya mengecek lahan baru yang akan ia beli sebagai tempat pabrik baru usahanya.

Kesalahan yang Radit lakukan adalah memakai pakaian formal lengkap dengan kacamata hitam di area pesawahan yang langsung terkena sinar matahari. Salahnya sendiri karena tidak mendengarkan sepupu jauhnya, Bagas. Lelaki dengan hidung bangir itu masih saja menertawakan kebodohan dirinya karena tidak menurut perkataan yang lebih muda.

“Kata aing juga apa? pake pakean biasa aja, jangan yang gaya-gaya soalnya lahan yang mau maneh beli itu tempatnya deket sawah. Jadinya gimana sekarang? kotor and gerah kan pak bos?” ledek Bagas yang berjalan di depan Radit.

Radit mendengus, mendorong pundak Bagas pelan. Namun karena keduanya berada di area pesawahan, Bagas hampir saja terjatuh jika dirinya tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya dengan baik.

“Lagian elu yang nggak ngasih tau gua kalo area lahannya di sawah, tau gitu gua pake kaosan doang.” sungut Radit tidak terima.

“Ya lagian elu pake nanya kalo kaosan bisa belang atau engga, ya aing pikir lo mau pake kaosan.”

“Pokoknya ini salah elu!” dengus Radit, mendorong Bagas kembali hingga salah satu kakinya masuk ke area pesawahan. Kakinya penuh lumpur.

“Ah anjing kaki aing! sialan ya lo, sini lo Radit!” Bagas mendorong Radit lumayan kencang hingga si empunya terjerembab masuk ke area pesawahan, merusak pagi yang baru di tanam oleh para petani.

“Anjing Bagas!”

“Hahaha Sorry, ayo aing bantu sini. Kita ke rumahnya oma aja kali ya buat bersih-bersih.”

“Yaudah, terserah.”

Walaupun kesal, Radit tetap menyambut uluran tangan saudara jauhnya itu untuk membantu ia keluar dari lumpur pesawahan.

Bagas yang melihat Radit penuh dengan lumpur hanya bisa menahan tawa, sungguh ia malah teringat ketika masa kecilnya bersama Radit.

“Duh rumahnya masih jauh gak, Gas?”

“Bentar lagi, di depan noh!” ujar Bagas menunjuk salah satu rumah putih yang penuh dengan tanaman.

Bagas dan Radit akhirnya sampai di halaman rumah putih asri milik oma sang pemilik lahan yang akan Radit beli, maka tak menunggu lama Bagas langsung mengetuk pintu meninggalkan Radit yang berdiri kikuk di halaman rumah, persis seperti orang-orangan sawah.

“Punten, oma! initeh Bagas.”

“Mangga, eh den Bagas teh udah datang. Ai aden yang dari kota tea mana? engga di ajak kesini atuh?”

“Di ajak atuh oma, itu orangnya. Kesebur di sawah, petakilan tuda orangnya.” Bagas menunjuk Radit dengan dagunya, buat wanita yang dipanggil oma terkikik geli.

“Aduh den, ngapain nyemplung ke sawah? mau nyari belut?”

Radit tertawa dengan paksa, tidak berniat buruk sebenarnya, tapi dia juga kesal karena tidak langsung di ajak membersihkan diri.

“Yaudah atuh yuk, bersihin dulu badannya.” ajak sang Oma, berjalan mendekat ke arah Radit berdiri, buat Radit mundur beberapa langkah.

“Duh oma saya kotor gausah deket-deket, saya juga gak bawa baju ganti.” tolak Radit halus.

“Eh engga apa-apa, cucu oma juga sering kecebur di sawah pas kecil. Kalo buat baju, kamu bisa pake bajunya si abah.” ujar oma sambil menuntun Radit lewat jalan belakang, untuk masuk rumahnya.


“Oma, Naya pulang!”

Lelaki dengan wajah manis yang tengah membawa sekeranjang buah hasil petikan dari kebun kini mulai membasuh tangan serta kakinya di pancuran air keran di halaman rumah milik sang Oma.

Dengan senyuman yang terpatri di wajahnya membuat Bagas yang masih duduk didepan rumah bangkit dan mulai menyambut si pemilik rumah.

“Abis dari mana kamuteh Nay? panen buah lagi?” ucap Bagas, buyarkan fokus Nayaka yang tengah memilah buah-buahan hasil panennya.

“Eh, A Bagas sejak kapan disitu? aku kok engga lihat ya tadi.”

“Dari kamu lepas sendal, milih buah, aa udah disini.” balas Bagas yang mendapat cengiran lebar dari Nayaka.

“Maaf ya a, akuteh enggak tahu. Oh iya, belum dikasih minum ya sama oma? aa mau minum apa, biar Naya yang siapin?”

“Jus buah ada engga, Nay?”

“Ada a, tapi jus jeruk mau?”

“Mau, nuhun pisan ya Nay.”

“Samuhun a, antosan sakedap. (Iya a, tunggu sebentar.)”

Nayaka melenggang masuk ke dalam rumah milik Oma, berniat menyimpan buah-buahan yang baru ia petik sekaligus membawakan satu gelas jus jeruk untuk Bagas yang menunggu di depan.

“Oma, ini Naya bawain buah mau di taro dimana?” kaki jenjangnya melangkah ke arah kamar sang oma tanpa menatap ke depan. Nayaka fokus dengan kegiatan memilah buah yang belum selesai tadi.

“Oma, ini aku petik buah anggur mau dibikin ap— AAAAAAA MALING!”

“OMAAA ADA MALING! A BAGAS BANTUIN A, ADA MALING!!”

Radit yang tengah memakai baju pemberian oma langsung terkejut ketika ada orang yang meneriaki dan memukulinya dengan bandal, mana di anggap sebagai maling pula. Padahal dirinya kan tamu disini.

“Saya bukan maling!”

“Mana ada maling yang ngaku!”

“Seengaknya berhenti mukulin saya!”

“Engga, OMAA—”

“Diem, saya bukan maling!”

Kedua mata bulat milik Nayaka langsung membulat ketika mulutnya dibekap oleh tangan orang yang ia kira adalah maling. Sementara Radit langsung terdiam ketika netranya tangkap presensi lelaki manis dengan sekeranjang buah di tangan, mungkin bisa dibilang keranjangnya saja karena buah-buahan yang Nayaka petik sudah berceceran di lantai.

“Ada apa initeh kok oma denger ada yang teriak?”

Nayaka yang tersadar dari lamunannya langsung menjauhkan diri dari Radit yang masih enggan untuk berhenti menatapnya hingga Bagas pun yang harus menyadarkan dirinya.

“Woi! anak orang jangan lo pelototin gitu anying, nanti dia nangis!”

“Sembarangan, dia siapa gas?”

“Cucunya si oma, cakep ya?” ujar Bagas sambil menyikut perut Radit pelan.

“Engga.”

“Itu oma, ada maling yang mau ambil baju abah di dalem lemari. Kan Naya mau ngasih buah ke oma niatnya itu, tapi malah ketemu dia. Ya aku kira teh dia maling soalnya gelagatnya mencurigakan.”

“Dia teh den Radit, yang mau beli lahan kita.”

Nayaka langsung menutup mulutnya pelan, melihat ke arah Radit yang masih mematung dan memperhatikannya.

“Aduh, A Radit maafin saya ya. Saya teh gatau kalo aa yang mau beli lahannya oma, aduh ini bekas pukulan saya masih sakit engga biar saya obatin?”

“Sakit.” jawaban Radit semakin membuat Nayaka kalang kabut dibuatnya, jadilah ia sibuk sendiri untuk mencari kotak obat yang ia simpan di lemari dekat televisi.

“A Radit saya obatinnya di luar aja ya, biar keliatan lukanya. Kalo di dalem gelap.”

Radit hanya anggukan kepalanya, senyuman di bibirnya terlihat sangat menyeramkan menurut Bagas, seperti om pedo.

“Gila ai sia, jiga nugelo. (Serem ai kamu, kaya orang gila.)”

a jayhoon au.

Kota kembang yang indah, cantik penduduknya dan kamu salah satunya.


Cuaca panas dari matahari langsung menyapa ketika Radit putuskan untuk turun langsung ke lapangan dalam agendanya mengecek lahan baru yang akan ia beli sebagai tempat pabrik baru usahanya.

Kesalahan yang Radit lakukan adalah memakai pakaian formal lengkap dengan kacamata hitam di area pesawahan yang langsung terkena sinar matahari. Salahnya sendiri karena tidak mendengarkan sepupu jauhnya, Bagas. Lelaki dengan hidung bangir itu masih saja menertawakan kebodohan dirinya karena tidak menurut perkataan yang lebih muda.

“Kata aing juga apa? pake pakean biasa aja, jangan yang gaya-gaya soalnya lahan yang mau maneh beli itu tempatnya deket sawah. Jadinya gimana sekarang? kotor and gerah kan pak bos?” ledek Bagas yang berjalan di depan Radit.

Radit mendengus, mendorong pundak Bagas pelan. Namun karena keduanya berada di area pesawahan, Bagas hampir saja terjatuh jika dirinya tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya dengan baik.

“Lagian elu yang nggak ngasih tau gua kalo area lahannya di sawah, tau gitu gua pake kaosan doang.” sungut Radit tidak terima.

“Ya lagian elu pake nanya kalo kaosan bisa belang atau engga, ya aing pikir lo mau pake kaosan.”

“Pokoknya ini salah elu!” dengus Radit, mendorong Bagas kembali hingga salah satu kakinya masuk ke area pesawahan. Kakinya penuh lumpur.

“Ah anjing kaki aing! sialan ya lo, sini lo Radit!” Bagas mendorong Radit lumayan kencang hingga si empunya terjerembab masuk ke area pesawahan, merusak pagi yang baru di tanam oleh para petani.

“Anjing Bagas!”

“Hahaha Sorry, ayo aing bantu sini. Kita ke rumahnya oma aja kali ya buat bersih-bersih.”

“Yaudah, terserah.”

Walaupun kesal, Radit tetap menyambut uluran tangan saudara jauhnya itu untuk membantu ia keluar dari lumpur pesawahan.

Bagas yang melihat Radit penuh dengan lumpur hanya bisa menahan tawa, sungguh ia malah teringat ketika masa kecilnya bersama Radit.

“Duh rumahnya masih jauh gak, Gas?”

“Bentar lagi, di depan noh!” ujar Bagas menunjuk salah satu rumah putih yang penuh dengan tanaman.

Bagas dan Radit akhirnya sampai di halaman rumah putih asri milik oma sang pemilik lahan yang akan Radit beli, maka tak menunggu lama Bagas langsung mengetuk pintu meninggalkan Radit yang berdiri kikuk di halaman rumah, persis seperti orang-orangan sawah.

“Punten, oma! initeh Bagas.”

“Mangga, eh den Bagas teh udah datang. Ai aden yang dari kota tea mana? engga di ajak kesini atuh?”

“Di ajak atuh oma, itu orangnya. Kesebur di sawah, petakilan tuda orangnya.” Bagas menunjuk Radit dengan dagunya, buat wanita yang dipanggil oma terkikik geli.

“Aduh den, ngapain nyemplung ke sawah? mau nyari belut?”

Radit tertawa dengan paksa, tidak berniat buruk sebenarnya, tapi dia juga kesal karena tidak langsung di ajak membersihkan diri.

“Yaudah atuh yuk, bersihin dulu badannya.” ajak sang Oma, berjalan mendekat ke arah Radit berdiri, buat Radit mundur beberapa langkah.

“Duh oma saya kotor gausah deket-deket, saya juga gak bawa baju ganti.” tolak Radit halus.

“Eh engga apa-apa, cucu oma juga sering kecebur di sawah pas kecil. Kalo buat baju, kamu bisa pake bajunya si abah.” ujar oma sambil menuntun Radit lewat jalan belakang, untuk masuk rumahnya.


“Oma, Naya pulang!”

Lelaki dengan wajah manis yang tengah membawa sekeranjang buah hasil petikan dari kebun kini mulai membasuh tangan serta kakinya di pancuran air keran di halaman rumah milik sang Oma.

Dengan senyuman yang terpatri di wajahnya membuat Bagas yang masih duduk didepan rumah bangkit dan mulai menyambut si pemilik rumah.

“Abis dari mana kamuteh Nay? panen buah lagi?” ucap Bagas, buyarkan fokus Nayaka yang tengah memilah buah-buahan hasil panennya.

“Eh, A Bagas sejak kapan disitu? aku kok engga lihat ya tadi.”

“Dari kamu lepas sendal, milih buah, aa udah disini.” balas Bagas yang mendapat cengiran lebar dari Nayaka.

“Maaf ya a, akuteh enggak tahu. Oh iya, belum dikasih minum ya sama oma? aa mau minum apa, biar Naya yang siapin?”

“Jus buah ada engga, Nay?”

“Ada a, tapi jus jeruk mau?”

“Mau, nuhun pisan ya Nay.”

“Samuhun a, antosan sakedap. (Iya a, tunggu sebentar.)”

Nayaka melenggang masuk ke dalam rumah milik Oma, berniat menyimpan buah-buahan yang baru ia petik sekaligus membawakan satu gelas jus jeruk untuk Bagas yang menunggu di depan.

“Oma, ini Naya bawain buah mau di taro dimana?” kaki jenjangnya melangkah ke arah kamar sang oma tanpa menatap ke depan. Nayaka fokus dengan kegiatan memilah buah yang belum selesai tadi.

“Oma, ini aku petik buah anggur mau dibikin ap— AAAAAAA MALING!”

“OMAAA ADA MALING! A BAGAS BANTUIN A, ADA MALING!!”

Radit yang tengah memakai baju pemberian oma langsung terkejut ketika ada orang yang meneriaki dan memukulinya dengan bandal, mana di anggap sebagai maling pula. Padahal dirinya kan tamu disini.

“Saya bukan maling!”

“Mana ada maling yang ngaku!”

“Seengaknya berhenti mukulin saya!”

“Engga, OMAA—”

“Diem, saya bukan maling!”

Kedua mata bulat milik Nayaka langsung membulat ketika mulutnya dibekap oleh tangan orang yang ia kira adalah maling. Sementara Radit langsung terdiam ketika netranya tangkap presensi lelaki manis dengan sekeranjang buah di tangan, mungkin bisa dibilang keranjangnya saja karena buah-buahan yang Nayaka petik sudah berceceran di lantai.

“Ada apa initeh kok oma denger ada yang teriak?”

Nayaka yang tersadar dari lamunannya langsung menjauhkan diri dari Radit yang masih enggan untuk berhenti menatapnya hingga Bagas pun yang harus menyadarkan dirinya.

“Woi! anak orang jangan lo pelototin gitu anying, nanti dia nangis!”

“Sembarangan, dia siapa gas?”

“Cucunya si oma, cakep ya?” ujar Bagas sambil menyikut perut Radit pelan.

“Engga.”

“Itu oma, ada maling yang mau ambil baju abah di dalem lemari. Kan Naya mau ngasih buah ke oma niatnya itu, tapi malah ketemu dia. Ya aku kira teh dia maling soalnya gelagatnya mencurigakan.”

“Dia teh den Radit, yang mau beli lahan kita.”

Nayaka langsung menutup mulutnya pelan, melihat ke arah Radit yang masih mematung dan memperhatikannya.

“Aduh, A Radit maafin saya ya. Saya teh gatau kalo aa yang mau beli lahannya oma, aduh ini bekas pukulan saya masih sakit engga biar saya obatin?”

“Sakit.” jawaban Radit semakin membuat Nayaka kalang kabut dibuatnya, jadilah ia sibuk sendiri untuk mencari kotak obat yang ia simpan di lemari dekat televisi.

“A Radit saya obatinnya di luar aja ya, biar keliatan lukanya. Kalo di dalem gelap.”

Radit hanya anggukan kepalanya, senyuman di bibirnya terlihat sangat menyeramkan menurut Bagas, seperti om pedo.

“Gila ai sia, jiga nugelo. (Serem ai kamu, kaya orang gila.)”

a jayhoon au.

cw// blood, character died.


Terkadang seseorang bisa menjadi malaikat di hidup orang lain dan menjadi iblis pula di hidup yang lain. Menilai baik atau tidak baiknya seseorang tidak segampang itu. Ada kalanya kamu berfikir bahwa dia baik, ada kalanya kamu berfikir bahwa dia tidak baik pula. Semuanya berubah sesuai dengan apa yang di perlihatkan kepada kita.

Dari kecil mungkin Sena sudah diperkenalkan dengan pahit manisnya kehidupan, ditinggalkan oleh orang terkasih untuk selama-lamanya. Namun, ia tidak pernah berpikir akan mengalami itu lagi sekarang.

Kakinya melangkah perlahan untuk mendekati beberapa orang yang berkerumun di salah satu titik, polisi serta para ahli medis terus berdatangan. Sirine polisi yang terus berbunyi seolah hilang begitu saja, tidak terdengar oleh rungu Sena yang mulai berdenging.

Sekelebat kalimat manis yang Jenan lontarkan padanya terus memutar, terus mengulang di dalam kepala, timbulkan senyuman manis di bibir merah alami miliknya. Sesungguhnya Abiya Sena paling takut ketika harus memulai sebuah hubungan, ia takut akan di tinggalkan.

Kakinya sampai pada titik dimana ia mulai membelah kerumunan itu dengan di dampingi oleh Hugo di sebelahnya. Menggenggam erat tangannya yang dingin, merapalkan doa bahwa itu bukan Jenan.

“Permisi, maaf tuan tidak bisa mendekat.” salah satu polisi menghadang, namun Sena hanya bisa menatap dengan pandangan kosong salah satu kantong yang di yakini jasad kecelakaan itu berada.

“Maaf pak, kami salah satu keluarga korban. Izikan saya untuk memastikan jika itu jasad Jenan Lakhsan—”

“Gak! itu bukan mas Jenan, mas Jenan udah janji sama aku buat tunggu di rumah. Kita bakalan hidup bersama selamanya dan bahagia, itu bukan mas Jenan!”

“Hei sena, tenang. kita pastikan dulu oke?”

“Gak, gamungkin itu mas Jenan, kita pulang sekarang ya mas Hugo?”

Hugo terus bujuk Sena yang kini mulai menariknya untuk menjauh, namun kini Hugo sudah kehilangan kesabaran. Ia menarik Sena untuk mendekat dan memeriksa.

Tangan pucat itu mulai membuka sleting kantong jasad yang ia yakini bukan Jenan di dalamnya, ketika sleting itu turun hingga dada korban. Sena mematung, air matanya luruh begitu saja.

Wajah damai Jenan, dengan penuh lebam dimana-mana terlihat tengah tersenyum teduh. Hugo yang berada di samping Sena langsung mendekapnya erat, air matanya juga luruh begitu saja tanpa ia minta.

“Hiks—Mas....gamungkin!”

“Ga mungkin! MAS JENAN JANGAN TINGGALIN AKU MAS...HIKS—MASS...”

Seolah dirinya hilang kendali, Sena usap beberapa luka yang diakibatkan oleh sayatan kaca mobil yang pecah. “Sayang aku mukanya kena kaca, sakit ya mas? kita pulang ya. Aku obatin di rumah?”

“Sena, cukup. Jenan sudah tidak ada.”

“ENGGA! Mas jenan udah janji loh sama aku, ayo pulang. Aku udah masakin banyak makanan juga, kamu gak hargain aku ya?”

Sumpah demi apapun, Hugo tidak tega melihat seseorang yang ia cintai mengalami hal semenyakitkan ini di hadapan matanya sendiri. Kehilangan sahabat bukanlah hal yang akan ia ikhlaskan dengan mudah, bagaimanapun Jenan adalah sahabatnya dari kecil. Sahabat yang ia jaga dari semua rasa sakit, bahkan ia relakan cintanya demi sang sahabat, namun apa ini balasannya? Tanpa mengucapkan selamat tinggal, Jenan pergi.

Abiya Sena mungkin akan tambahkan trauma pada hidupnya, kehilangan cinta sejati yang ia damba selama ini. Takdir sangat mempermainkan kehidupannya, tidak bisakah ia bahagia untuk selamanya? belum cukup kah dirinya mengorbankan semuanya?

“Mas, ayo pulang. Jangan tinggalin aku!” Sena meraung dan memeluk tubuh kaku Jenan yang semakin memutih pucat.

Semua orang mungkin gagal dengan cata dan takaran berbeda, seperti Jenan yang gagal menjadi suami yang baik bagi Sena, gagal menjadi calon ayah sekaligus suami bagi Casandra dan calon anak yang sudah dipanggil oleh yang maha kuasa, gagal menjadi anak yang berbakti bagi kedua orang tuanya, gagal menjadi kakak yang baik bagi Archie, dan kini ia gagal menjadi pribadi yang menpati janji. Bagi orang yang Jenan sakiti, pasti memiliki waktu dan rasa sakitnya juga tidaklah sama.

Hugo usap kepala Jenan sayang, ucapkan segala bentuk penghormatan terakhir demi sang sahabat. Gemakan semua doa agar dirinya ditempatkan pada tempat yang seharusnya, Hugo berikan penghormatan terakhirnya.

“Seharusnya lo bilang kalo mau pergi, sekarang gua harus ngomong apa sama tante Tamara sama om Jastara, apalagi Archie.”

Sena sudah merasakan berbagai kesakitan yang ia alami semenjak ia dilahirkan ke muka bumi. Namun, di dunia ini tidak ada satupun orang yang cukup umur untuk merasa cukup siap untuk ditinggalkan oleh orang terkasih. Sekalipun kepergian adalah hal yang pasti.

Lantas, apa yang harus ia ucapkan untuk hal ini. Selamat jalan sayang, selamat bermimpi indah?

Atau,

Selamat jalan mas Jenan, terimakasih karena sudah menjadi seseorang yang mencintai saya dengan tulus hingga saat ini.

Terimakasih Jenan Karius Lakhsan untuk pengabdian dan pengorbanan yang kamu lakukan untuk Abiya Sena Alister. Terimakasih karena telah mengajarkan bahwa mencintai tidak harus selalu dengan cara romantis, terimakasih karena sudah merelakan segala hidup untuk cintamu.

Selamat Tinggal, Jenan Karius Lakhsan. Sudah cukup semuanya, ini akhirnya.

“MASS! JANGAN TINGGALIN AKU, AKU MOHON!”

a jayhoon au.

cw// blood, character died.


Terkadang seseorang bisa menjadi malaikat di hidup orang lain dan menjadi iblis pula di hidup yang lain. Menilai baik atau tidak baiknya seseorang tidak segampang itu. Ada kalanya kamu berfikir bahwa dia baik, ada kalanya kamu berfikir bahwa dia tidak baik pula. Semuanya berubah sesuai dengan apa yang di perlihatkan kepada kita.

Dari kecil mungkin Sena sudah diperkenalkan dengan pahit manisnya kehidupan, ditinggalkan oleh orang terkasih untuk selama-lamanya. Namun, ia tidak pernah berpikir akan mengalami itu lagi sekarang.

Kakinya melangkah perlahan untuk mendekati beberapa orang yang berkerumun di salah satu titik, polisi serta para ahli medis terus berdatangan. Sirine polisi yang terus berbunyi seolah hilang begitu saja, tidak terdengar oleh rungu Sena yang mulai berdenging.

Sekelebat kalimat manis yang Jenan lontarkan padanya terus memutar, terus mengulang di dalam kepala, timbulkan senyuman manis di bibir merah alami miliknya. Sesungguhnya Abiya Sena paling takut ketika harus memulai sebuah hubungan, ia takut akan di tinggalkan.

Kakinya sampai pada titik dimana ia mulai membelah kerumunan itu dengan di dampingi oleh Hugo di sebelahnya. Menggenggam erat tangannya yang dingin, merapalkan doa bahwa itu bukan Jenan.

“Permisi, maaf tuan tidak bisa mendekat.” salah satu polisi menghadang, namun Sena hanya bisa menatap dengan pandangan kosong salah satu kantong yang di yakini jasad kecelakaan itu berada.

“Maaf pak, kami salah satu keluarga korban. Izikan saya untuk memastikan jika itu jasad Jenan Lakhsan—”

“Gak! itu bukan mas Jenan, mas Jenan udah janji sama aku buat tunggu di rumah. Kita bakalan hidup bersama selamanya dan bahagia, itu bukan mas Jenan!”

“Hei sena, tenang. kita pastikan dulu oke?”

“Gak, gamungkin itu mas Jenan, kita pulang sekarang ya mas Hugo?”

Hugo terus bujuk Sena yang kini mulai menariknya untuk menjauh, namun kini Hugo sudah kehilangan kesabaran. Ia menarik Sena untuk mendekat dan memeriksa.

Tangan pucat itu mulai membuka sleting kantong jasad yang ia yakini bukan Jenan di dalamnya, ketika sleting itu turun hingga dada korban. Sena mematung, air matanya luruh begitu saja.

Wajah damai Jenan, dengan penuh lebam dimana-mana terlihat tengah tersenyum teduh. Hugo yang berada di samping Sena langsung mendekapnya erat, air matanya juga luruh begitu saja tanpa ia minta.

“Hiks—Mas....gamungkin!”

“Ga mungkin! MAS JENAN JANGAN TINGGALIN AKU MAS...HIKS—MASS...”

Seolah dirinya hilang kendali, Sena usap beberapa luka yang diakibatkan oleh sayatan kaca mobil yang pecah. “Sayang aku mukanya kena kaca, sakit ya mas? kita pulang ya. Aku obatin di rumah?”

“Sena, cukup. Jenan sudah tidak ada.”

“ENGGA! Mas jenan udah janji loh sama aku, ayo pulang. Aku udah masakin banyak makanan juga, kamu gak hargain aku ya?”

Sumpah demi apapun, Hugo tidak tega melihat seseorang yang ia cintai mengalami hal semenyakitkan ini di hadapan matanya sendiri. Kehilangan sahabat bukanlah hal yang akan ia ikhlaskan dengan mudah, bagaimanapun Jenan adalah sahabatnya dari kecil. Sahabat yang ia jaga dari semua rasa sakit, bahkan ia relakan cintanya demi sang sahabat, namun apa ini balasannya? Tanpa mengucapkan selamat tinggal, Jenan pergi.

Abiya Sena mungkin akan tambahkan trauma pada hidupnya, kehilangan cinta sejati yang ia damba selama ini. Takdir sangat mempermainkan kehidupannya, tidak bisakah ia bahagia untuk selamanya? belum cukup kah dirinya mengorbankan semuanya?

“Mas, ayo pulang. Jangan tinggalin aku!” Sena meraung dan memeluk tubuh kaku Jenan yang semakin memutih pucat.

Semua orang mungkin gagal dengan cata dan takaran berbeda, seperti Jenan yang gagal menjadi suami yang baik bagi Sena, gagal menjadi calon ayah sekaligus suami bagi Casandra dan calon anak yang sudah dipanggil maha kuasa, gagal menjadi anak yang berbakti bagi kedua orang tuanya, gagal menjadi kakak yang baik bagi Archie, dan kini ia gagal menjadi pribadi yang menetapi janji. Waktu dan rasa sakitnya juga tidaklah sama.

Sena sudah merasakan berbagai kesakitan yang ia alami semenjak ia dilahirkan ke muka bumi. Namun, di dunia ini tidak ada satupun orang yang cukup umur untuk merasa cukup siap untuk ditinggalkan oleh orang terkasih. Sekalipun kepergian adalah hal yang pasti.

Lantas, apa yang harus ia ucapkan untuk hal ini. Selamat jalan sayang, selamat bermimpi indah?

Atau,

Selamat jalan mas Jenan, terimakasih karena sudah menjadi seseorang yang mencintai saya dengan tulus hingga saat ini.

Terimakasih Jenan Karius Lakhsan untuk pengabdian dan pengorbanan yang kamu lakukan untuk Abiya Sena Alister. Terimakasih karena telah mengajarkan bahwa mencintai tidak harus selalu dengan cara romantis, terimakasih karena sudah merelakan segala hidup untuk cintamu.

Selamat Tinggal, Jenan Karius Lakhsan. Sudah cukup semuanya, ini akhirnya.

“MASS! JANGAN TINGGALIN AKU, AKU MOHON!”

a jayhoon au.

cw// blood, character died.


Terkadang seseorang bisa menjadi malaikat di hidup orang lain dan menjadi iblis pula di hidup yang lain. Menilai baik atau tidak baiknya seseorang tidak segampang itu. Ada kalanya kamu berfikir bahwa dia baik, ada kalanya kamu berfikir bahwa dia tidak baik pula. Semuanya berubah sesuai dengan apa yang di perlihatkan kepada kita.

Dari kecil mungkin Sena sudah diperkenalkan dengan pahit manisnya kehidupan, ditinggalkan oleh orang terkasih untuk selama-lamanya. Namun, ia tidak pernah berpikir akan mengalami itu lagi sekarang.

Kakinya melangkah perlahan untuk mendekati beberapa orang yang berkerumun di salah satu titik, polisi serta para ahli medis terus berdatangan. Sirine polisi yang terus berbunyi seolah hilang begitu saja, tidak terdengar oleh rungu Sena yang mulai berdenging.

Sekelebat kalimat manis yang Jenan lontarkan padanya terus memutar, terus mengulang di dalam kepala, timbulkan senyuman manis di bibir merah alami miliknya. Sesungguhnya Abiya Sena paling takut ketika harus memulai sebuah hubungan, ia takut akan di tinggalkan.

Kakinya sampai pada titik dimana ia mulai membelah kerumunan itu dengan di dampingi oleh Hugo di sebelahnya. Menggenggam erat tangannya yang dingin, merapalkan doa bahwa itu bukan Jenan.

“Permisi, maaf tuan tidak bisa mendekat.” salah satu polisi menghadang, namun Sena hanya bisa menatap dengan pandangan kosong salah satu kantong yang di yakini jasad kecelakaan itu berada.

“Maaf pak, kami salah satu keluarga korban. Izikan saya untuk memastikan jika itu jasad Jenan Lakhsan—”

“Gak! itu bukan mas Jenan, mas Jenan udah janji sama aku buat tunggu di rumah. Kita bakalan hidup bersama selamanya dan bahagia, itu bukan mas Jenan!”

“Hei sena, tenang. kita pastikan dulu oke?”

“Gak, gamungkin itu mas Jenan, kita pulang sekarang ya mas Hugo?”

Hugo terus bujuk Sena yang kini mulai menariknya untuk menjauh, namun kini Hugo sudah kehilangan kesabaran. Ia menarik Sena untuk mendekat dan memeriksa.

Tangan pucat itu mulai membuka sleting kantong jasad yang ia yakini bukan Jenan di dalamnya, ketika sleting itu turun hingga dada korban. Sena mematung, air matanya luruh begitu saja.

Wajah damai Jenan, dengan penuh lebam dimana-mana terlihat tengah tersenyum teduh. Hugo yang berada di samping Sena langsung mendekapnya erat, air matanya juga luruh begitu saja tanpa ia minta.

“Hiks—Mas....gamungkin!”

“Ga mungkin! MAS JENAN JANGAN TINGGALIN AKU MAS...HIKS—MASS...”

Seolah dirinya hilang kendali, Sena usap beberapa luka yang diakibatkan oleh sayatan kaca mobil yang pecah. “Sayang aku mukanya kena kaca, sakit ya mas? kita pulang ya. Aku obatin di rumah?”

“Sena, cukup. Jenan sudah tidak ada.”

“ENGGA! Mas jenan udah janji loh sama aku, ayo pulang. Aku udah masakin banyak makanan juga, kamu gak hargain aku ya?”

Sumpah demi apapun, Hugo tidak tega melihat seseorang yang ia cintai mengalami hal semenyakitkan ini di hadapan matanya sendiri. Kehilangan sahabat bukanlah hal yang akan ia ikhlaskan dengan mudah, bagaimanapun Jenan adalah sahabatnya dari kecil. Sahabat yang ia jaga dari semua rasa sakit, bahkan ia relakan cintanya demi sang sahabat, namun apa ini balasannya? Tanpa mengucapkan selamat tinggal, Jenan pergi.

Abiya Sena mungkin akan tambahkan trauma pada hidupnya, kehilangan cinta sejati yang ia damba selama ini. Takdir sangat mempermainkan kehidupannya, tidak bisakah ia bahagia untuk selamanya? belum cukup kah dirinya mengorbankan semuanya?

“Mas, ayo pulang. Jangan tinggalin aku!” Sena meraung dan memeluk tubuh kaku Jenan yang semakin memutih pucat.

Semua orang mungkin gagal dengan cata dan takaran berbeda, seperti Jenan yang gagal menjadi suami yang baik bagi Sena, gagal menjadi calon ayah sekaligus suami bagi Casandra dan calon anak yang sudah dipanggil maha kuasa, gagal menjadi anak yang berbakti bagi kedua orang tuanya, gagal menjadi kakak yang baik bagi Archie, dan kini ia gagal menjadi pribadi yang menetapi janji. Waktu dan rasa sakitnya juga tidaklah sama.

Sena sudah merasakan berbagai kesakitan yang ia alami semenjak ia dilahirkan ke muka bumi. Namun, di dunia ini tidak ada satupun orang yang cukup umur untuk merasa cukup siap untuk ditinggalkan oleh orang terkasih. Sekalipun kepergian adalah hal yang pasti.

Lantas, apa yang harus ia ucapkan untuk hal ini. Selamat jalan sayang, selamat bermimpi indah?

Atau,

Selamat jalan mas Jenan, terimakasih karena sudah menjadi seseorang yang mencintai saya dengan tulus hingga saat ini.

Terimakasih Jenan Karius Lakhsan untuk pengabdian dan pengorbanan yang kamu lakukan untuk Abiya Sena Alister. Terimakasih karena telah mengajarkan bahwa mencintai tidak harus selalu dengan cara romantis, terimakasih karena sudah merelakan segala hidup untuk cintamu.

Selamat Tinggal, Jenan Karius Lakhsan. Sudah cukup semuanya, ini akhirnya.

“MASS! JANGAN TINGGALIN AKU, AKU MOHON!”

a jayhoon au.

cw// blood, character died.


Terkadang seseorang bisa menjadi malaikat di hidup orang lain dan menjadi iblis pula di hidup yang lain. Menilai baik atau tidak baiknya seseorang tidak segampang itu. Ada kalanya kamu berfikir bahwa dia baik, ada kalanya kamu berfikir bahwa dia tidak baik pula. Semuanya berubah sesuai dengan apa yang di perlihatkan kepada kita.

Dari kecil mungkin Sena sudah diperkenalkan dengan pahit manisnya kehidupan, ditinggalkan oleh orang terkasih untuk selama-lamanya. Namun, ia tidak pernah berpikir akan mengalami itu lagi sekarang.

Kakinya melangkah perlahan untuk mendekati beberapa orang yang berkerumun di salah satu titik, polisi serta para ahli medis terus berdatangan. Sirine polisi yang terus berbunyi seolah hilang begitu saja, tidak terdengar oleh rungu Sena yang mulai berdenging.

Sekelebat kalimat manis yang Jenan lontarkan padanya terus memutar, terus mengulang di dalam kepala, timbulkan senyuman manis di bibir merah alami miliknya. Sesungguhnya Abiya Sena paling takut ketika harus memulai sebuah hubungan, ia takut akan di tinggalkan.

Kakinya sampai pada titik dimana ia mulai membelah kerumunan itu dengan di dampingi oleh Hugo di sebelahnya. Menggenggam erat tangannya yang dingin, merapalkan doa bahwa itu bukan Jenan.

“Permisi, maaf tuan tidak bisa mendekat.” salah satu polisi menghadang, namun Sena hanya bisa menatap dengan pandangan kosong salah satu kantong yang di yakini jasad kecelakaan itu berada.

“Maaf pak, kami salah satu keluarga korban. Izikan saya untuk memastikan jika itu jasad Jenan Lakhsan—”

“Gak! itu bukan mas Jenan, mas Jenan udah janji sama aku buat tunggu di rumah. Kita bakalan hidup bersama selamanya dan bahagia, itu bukan mas Jenan!”

“Hei sena, tenang. kita pastikan dulu oke?”

“Gak, gamungkin itu mas Jenan, kita pulang sekarang ya mas Hugo?”

Hugo terus bujuk Sena yang kini mulai menariknya untuk menjauh, namun kini Hugo sudah kehilangan kesabaran. Ia menarik Sena untuk mendekat dan memeriksa.

Tangan pucat itu mulai membuka sleting kantong jasad yang ia yakini bukan Jenan di dalamnya, ketika sleting itu turun hingga dada korban. Sena mematung, air matanya luruh begitu saja.

Wajah damai Jenan, dengan penuh lebam dimana-mana terlihat tengah tersenyum teduh. Hugo yang berada di samping Sena langsung mendekapnya erat, air matanya juga luruh begitu saja tanpa ia minta.

“Hiks—Mas....gamungkin!”

“Ga mungkin! MAS JENAN JANGAN TINGGALIN AKUM MAS...HIKS—MASS...”

Seolah dirinya hilang kendali, Sena usap beberapa luka yang diakibatkan oleh sayatan kaca mobil yang pecah. “Sayang aku mukanya kena kaca, sakit ya mas? kita pulang ya. Aku obatin di rumah?”

“Sena, cukup. Jenan sudah tidak ada.”

“ENGGA! Mas jenan udah janji loh sama aku, ayo pulang. Aku udah masakin banyak makanan juga, kamu gak hargain aku ya?”

Sumpah demi apapun, Hugo tidak tega melihat seseorang yang ia cintai mengalami hal semenyakitkan ini di hadapan matanya sendiri. Kehilangan sahabat bukanlah hal yang akan ia ikhlaskan dengan mudah, bagaimanapun Jenan adalah sahabatnya dari kecil. Sahabat yang ia jaga dari semua rasa sakit, bahkan ia relakan cintanya demi sang sahabat, namun apa ini balasannya? Tanpa mengucapkan selamat tinggal, Jenan pergi.

Abiya Sena mungkin akan tambahkan trauma pada hidupnya, kehilangan cinta sejati yang ia damba selama ini. Takdir sangat mempermainkan kehidupannya, tidak bisakah ia bahagia untuk selamanya? belum cukup kah dirinya mengorbankan semuanya?

“Mas, ayo pulang. Jangan tinggalin aku!” Sena meraung dan memeluk tubuh kaku Jenan yang semakin memutih pucat.

Semua orang mungkin gagal dengan cata dan takaran berbeda, seperti Jenan yang gagal menjadi suami yang baik bagi Sena, gagal menjadi calon ayah sekaligus suami bagi Casandra dan calon anak yang sudah dipanggil maha kuasa, gagal menjadi anak yang berbakti bagi kedua orang tuanya, gagal menjadi kakak yang baik bagi Archie, dan kini ia gagal menjadi pribadi yang menetapi janji. Waktu dan rasa sakitnya juga tidaklah sama.

Sena sudah merasakan berbagai kesakitan yang ia alami semenjak ia dilahirkan ke muka bumi. Namun, di dunia ini tidak ada satupun orang yang cukup umur untuk merasa cukup siap untuk ditinggalkan oleh orang terkasih. Sekalipun kepergian adalah hal yang pasti.

Lantas, apa yang harus ia ucapkan untuk hal ini. Selamat jalan sayang, selamat bermimpi indah?

Atau,

Selamat jalan mas Jenan, terimakasih karena sudah menjadi seseorang yang mencintai saya dengan tulus hingga saat ini.

Terimakasih Jenan Karius Lakhsan untuk pengabdian dan pengorbanan yang kamu lakukan untuk Abiya Sena Alister. Terimakasih karena telah mengajarkan bahwa mencintai tidak harus selalu dengan cara romantis, terimakasih karena sudah merelakan segala hidup untuk cintamu.

Selamat Tinggal, Jenan Karius Lakhsan. Sudah cukup semuanya, ini akhirnya.

“MASS! JANGAN TINGGALIN AKU, AKU MOHON!”

a jayhoon au.

cw// harsh words.

Pukul tiga dini hari jenan putuskan untuk menyambangi kediaman megah milik sang kakek, James Lakhsan. Dengan penuh tekad dan kepercayaan diri jenan terus langkahkan kakinya untuk memasuki kawasan rumah megah dengan keamanan ketat milik kakeknya.

Saat dirinya masuk, sekitar sepuluh penjaga sewaan kakeknya menyambut dengan tundukan kepala pada cucu tuan mereka, tanpa tahu jika jenan akan lakukan hal yang pasti buat nyawanya terancam.

“Kakek...” jenan panggil pria berumur delapan puluh tahunan itu untuk berbalik dan menatapnya.

Asap rokok mengepul ketika sang kakek berbalik dan tersenyum padanya. Ruangan luas dengan banyak patung itu tampak lebih tertata ketika terakhir kali jenan melihatnya. Ruangan yang menjadi saksi bisu bagaimana dirinya selalu di siksa hingga mengeluarkan darah, ruangan dimana dirinya selalu mendapat perintah, ruangan dimana sang kakek selalu terduduk dengan berkas perusahaan milik nyonya Rosabella.

“Untuk apa kamu datang ke ruangan saya? apakah kamu ingin berlutut kepada saya agar sena sena yang kamu cintai itu tidak saya habisi?”

Jenan tatap wajah pria tua itu dengan tatapan sengit, jemarinya terkepal kuat ketika di rasa sang kakek semakin keterlaluan.

“Jangan sakiti sena! dia tidak tahu apa-apa mengenai dendam anda pada nyonya Rosabella, jadi saya mohon untuk berhenti saat ini juga.”

James tertawa terbahak ketika melihat sang cucu yang mulai so pahlawan. Dirinya bertepuk tangan dan mulai berjalan tertatih ke arah Jenan berdiri, menampar pipi kanan Jenan hingga berbunyi nyaring.

Plak.

“Keparat sialan! kamu pikir saya akan melepaskan cucu dari pengkhianat itu begitu saja? bagaimanapun dia juga menikmati harta hasil dari rampasan Rosabella. Jadi dia pantas untuk di siksa.”

“Jenan mohon kek, kalo kakek mau hukum orang. Hukum Jenan aja, jangan sena. Jenan tahu kakek sangat sayang kepada nyonya Rosabella, makannya kakek sebegininya. Kakek cuman kecewa, dan kakek gak terlanjur nanya ke nyonya Rosabella kenapa dia bertindak seperti itu. Jenan—”

Plak.

“Jangan berlaga seperti orang so pintar Karius! Bella itu pengkhianat, dia merampas habis semua saham dan perusahaan milik saya.”

“Terserah, tapi yang Jenan tau. Kakek sangat mencintai nyonya Rosabella.”

James murka, dirinya memanggil beberapa anak buahnya untuk datang ke ruangan miliknya. Membawa Jenan pergi untuk mereka siksa dan pukuli, meski sudah dijelaskan sebegitu lembutnya pun hati seorang James Lakhsan akan tetap sekeras batu. Jenan tidaj habis pikir, mengapa di usia yang sudah setua ini sang kakek tidak ada keinginan untuk bertaubat dan menghentikan segala aksinya untuk membalas dendam.

“Siksa dia sampai dia tidak bisa berdiri, dan temukan cucu Rosabella itu. Habisi dia saat itu juga. Paham?”

“Perintah tuan akan kami laksanakan!”

Jenan meronta, dalam cengkraman pria berbadan besar yang berjumlah lima orang itu Jenan mencoba melawan, namun gagal. Dirinya di seret paksa ke dalam sebuah ruangan kecil yang terdapat di salah satu sudut ruangan milik sang kakek, tempat dirinya selalu di siksa.

“Kek, jenan mohon jangan sakiti sena!”

“Kakek, jenan mohon!”

“Berisik kamu bedebah sialan.”

a jayhoon au.

cw// harsh words.

Pukul tiga dini hari jenan putuskan untuk menyambangi kediaman megah milik sang kakek, James Lakhsan. Dengan penuh tekad dan kepercayaan diri jenan terus langkahkan kakinya untuk memasuki kawasan rumah megah dengan keamanan ketat milik kakeknya.

Saat dirinya masuk, sekitar sepuluh penjaga sewaan kakeknya menyambut dengan tundukan kepala pada cucu tuan mereka, tanpa tahu jika jenan akan lakukan hal yang pasti buat nyawanya terancam.

“Kakek...” jenan panggil pria berumur delapan puluh tahunan itu untuk berbalik dan menatapnya.

Asap rokok mengepul ketika sang kakek berbalik dan tersenyum padanya. Ruangan luas dengan banyak patung itu tampak lebih tertata ketika terakhir kali jenan melihatnya. Ruangan yang menjadi saksi bisu bagaimana dirinya selalu di siksa hingga mengeluarkan darah, ruangan dimana dirinya selalu mendapat perintah, ruangan dimana sang kakek selalu terduduk dengan berkas perusahaan milik nyonya Rosabella.

“Untuk apa kamu datang ke ruangan saya? apakah kamu ingin berlutut kepada saya agar sena sena yang kamu cintai itu tidak saya habisi?”

Jenan tatap wajah pria tua itu dengan tatapan sengit, jemarinya terkepal kuat ketika di rasa sang kakek semakin keterlaluan.

“Jangan sakiti sena! dia tidak tahu apa-apa mengenai dendam anda pada nyonya Rosabella, jadi saya mohon untuk berhenti saat ini juga.”

James tertawa terbahak ketika melihat sang cucu yang mulai so pahlawan. Dirinya bertepuk tangan dan mulai berjalan tertatih ke arah Jenan berdiri, menampar pipi kanan Jenan hingga berbunyi nyaring.

Plak.

“Keparat sialan! kamu pikir saya akan melepaskan cucu dari pengkhianat itu begitu saja? bagaimanapun dia juga menikmati harta hasil dari rampasan Rosabella. Jadi dia pantas untuk di siksa.”

“Jenan mohon kek, kalo kakek mau hukum orang. Hukum Jenan aja, jangan sena. Jenan tahu kakek sangat sayang kepada nyonya Rosabella, makannya kakek sebegininya. Kakek cuman kecewa, dan kakek gak terlanjur nanya ke nyonya Rosabella kenapa dia bertindak seperti itu. Jenan—”

Plak.

“Jangan berlaga seperti orang so pintar Karius! Bella itu pengkhianat, dia merampas habis semua saham dan perusahaan milik saya.”

“Terserah, tapi yang Jenan tau. Kakek sangat mencintai nyonya Rosabella.”

#Namanya Jenan Karius Lakhsan. a jayhoon au.

Pukul tiga dini hari jenan putuskan untuk menyambangi kediaman megah milik sang kakek, James Lakhsan. Dengan penuh tekad dan kepercayaan diri jenan terus langkahkan kakinya untuk memasuki kawasan rumah megah dengan keamanan ketat milik kakeknya.

Saat dirinya masuk, sekitar sepuluh penjaga sewaan kakeknya menyambut dengan tundukan kepala pada cucu tuan mereka, tanpa tahu jika jenan akan lakukan hal yang pasti buat nyawanya terancam.

“Kakek...” jenan panggil pria berumur delapan puluh tahunan itu untuk berbalik dan menatapnya.

Asap rokok mengepul ketika sang kakek berbalik dan tersenyum padanya. Ruangan luas dengan banyak patung itu tampak lebih tertata ketika terakhir kali jenan melihatnya. Ruangan yang menjadi saksi bisu bagaimana dirinya selalu di siksa hingga mengeluarkan darah, ruangan dimana dirinya selalu mendapat perintah, ruangan dimana sang kakek selalu terduduk dengan berkas perusahaan milik nyonya Rosabella.

“Untuk apa kamu datang ke ruangan saya? apakah kamu ingin berlutut kepada saya agar sena sena yang kamu cintai itu tidak saya habisi?”

Jenan tatap wajah pria tua itu dengan tatapan sengit, jemarinya terkepal kuat ketika di rasa sang kakek semakin keterlaluan.

“Jangan sakiti sena! dia tidak tahu apa-apa mengenai dendam anda pada nyonya Rosabella, jadi saya mohon untuk berhenti saat ini juga.”

James tertawa terbahak ketika melihat sang cucu yang mulai so pahlawan. Dirinya bertepuk tangan dan mulai berjalan tertatih ke arah Jenan berdiri, menampar pipi kanan Jenan hingga berbunyi nyaring.

Plak.

“Keparat sialan! kamu pikir saya akan melepaskan cucu dari pengkhianat itu begitu saja? bagaimanapun dia juga menikmati harta hasil dari rampasan Rosabella. Jadi dia pantas untuk di siksa.”

“Jenan mohon kek, kalo kakek mau hukum orang. Hukum Jenan aja, jangan sena. Jenan tahu kakek sangat sayang kepada nyonya Rosabella, makannya kakek sebegininya. Kakek cuman kecewa, dan kakek gak terlanjur nanya ke nyonya Rosabella kenapa dia bertindak seperti itu. Jenan—”

Plak.

“Jangan berlaga seperti orang so pintar Karius! Bella itu pengkhianat, dia merampas habis semua saham dan perusahaan milik saya.”

“Terserah, tapi yang Jenan tau. Kakek sangat mencintai nyonya Rosabella.”

a jayhoon au.

cw//kissing, bxb, cw// adult content, kissing, bxb, organism, please be wise in choosing what to read.


Sang rembulan sepertinya ikut senang ketika kedua insan memutuskan untuk datang ke apartemen mewah milik jenan, keduanya memutuskan untuk 'makan' pada malam yang larut seperti ini.

Keduanya sepakat untuk memadu kasih dan mencumbui tubuh satu sama lain hingga salah satunya gemakan suara merdu yang sering di sebut sebuah suara desahan. jenan berani sumpah ketika kejantanan nya di lahap habis oleh mulut kecil sena, ia rasanya ingin menggila.

When the tip of his penis is licked by sena's tongue, when the two mounds of his manhood are played with, when the long manhood is sucked hard, Jenan dares to swear that sena is very charming.

“Mas, how do you like my blowjop?” sena alihkan seluruh perhatiannya untuk tatap lelaki yang duduk sambil mendongakan kepalanya, seksi.

“Enak sayang, mas suka!”

Maka sena sungnyingkan senyuman bahwa ia puas dengan jawaban sang kekasih. ia kembali beralih pada kejantanan jenan yang sudah membesar siap mengeluarkan spermanya, sena terus jilat, hisap, jilat, pijat hingga isi putih jenan keluar semua dan menyembur tepat di wajahnya.

“Giliran mas!” jenan rebahkan tubuh sena pada kasur empuk miliknya, berikan kecupan-kecupan singkat pada setiap tubuh indah milik kasihnya.

keduanya memutuskan untuk melepas baju bersama ketika di dalam lift apartemen, masa bodoh dengan kamera keamanan yang merekam aksi keduanya. yang jenan tau, ia sudah tutupi kamera itu dengan baju luaran miliknya.

Jenan licks and kisses sena's neck until sena moans and sighs, he continues downward and stops to suck and lick sena's pink nipples. sucking them like a thirsty baby.

“Ah, ah, mas, masukin aku mas ayo...” sena tak sabaran. ia balikan posisi jenan untuk ia kukung.

Jenan biarkan sena untuk memimpin terlebih dahulu, jenan tersenyum ketika melihat wajah sena yang keenakan ketika tangan lentik itu pegang penis panjangnya untuk ia masukan pada anal yang lebih muda. “A-ah, mas aku gerak ya?”

Sena continued to push jenan's manhood into him own hole, moving back and forth, up and down, until it twisted, Sena was so happy he was dizzy. maka jenan yang akan ambil alih.

Fan out and kiss all the curves of your sweetheart's body, giving him an intoxicating touch until he screams his name over and over again in sighs. jenan terus sodok lubang kenikmatan itu hingga sena keluarkan putihnya.

Jenan angkat sena untuk ia pangku dan kembali sodok lubang kenikmatan itu hingga sena sendiri yang bergerak maju mundur dengan tempo yang cepat. “Mas, ah, ah, cium aku...”

“Engh…More baby..more…” jenan erangkan nama sena ketika si cantik semakin kuat untuk memaju mundurkan tubuhnya sendiri.

“Ah, enak mas?”

“Enak sayang, Ah...!”

Saat jenan hampir mencapai puncak, sena kembali gerakan pinggulnya memutar hingga jenan kewalahan. jenan tahan pinggul si cantik dan hentakkan jenantanannya untuk masuk lebih dalam dan mencapai titik prostat milik sena.

“Ah—mas, ah, a-ah...”

“You like it, honey? mmhp…”

Sena terdiam ketika kalimat itu mengalun dari mulut kasihnya, pikirannya melayang jauh hingga ia mendesis karena pening di kepalanya menyerang. jenan yang menyadari sena sedikit pucat menggentikan kegiatan senggamanya.

“Sayang hei, you oke?” jenan menangkup wajah sena dan melihat kedua mata sayu itu mulai memejam.

“Aku capek mas, pusing...”

“Oke, kita stop! kamu tidur ya?” jenan tarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang mereka berdua, berikan usapan sayang pada kepala sena untuk meredakan penting yang mendera.

“Mas gak tega kalo liat kamu kaya gini sayang, minum obat ya?”

“Engga usah mas, nanti juga sembuh kalo ditidurin.” sena mendusal pada dada bidang jenan, dirinya mulai terlelap.