vivi

Tok...tok...tok

Suara ketukan pintu yang Rumi dengar kini malah semakin menjadi. Logikanya orang gila mana yang mengetuk bilik toilet yang tengah di pakai oleh orang lain di dalam toilet sebuah mall? bukankah toilet mall memiliki beberapa bilik toilet yang kosong? lantas dengan alasan apa orang di balik pintu sana terus saja mengganggu kegiatan khusu-nya dalam menyetorkan panggilan alam.

“Apa sih anjir ini orang ganggu banget sumpah?” Rumi merutuk dalam hati.

Niat hati ingin menuntaskan mulasnya dengan tenang langsung kandas begitu saja ketika suara ketukan kembali terdengar. Emosi yang sudah tak terbendung membuat Rumi memberanikan diri membalas ketukan itu tidak kalah kencang.

“Mas bisa gak ke bilik sebelah aja? saya lagi pake bilik ini loh? gak sopan banget ganggu orang lain yang lagi ada panggilan alam!”

Karena sudah jengah dan rasa mulasnya mendadak hilang, akhirnya Rumi memutuskan untuk keluar saja, toh orang yang mengetuk tadi sudah hilang—pikirnya. Karena sudah muak dan emosi, Rumi tidak memperhatikan bahwa ternyata orang yang terus-terusan mengganggunya masih berada di depan bilik toilet dan menyender pada tembok.

Rumi yang hendak keluar langsung berteriak kaget ketika orang yang ia pikir sudah pergi malah tengah berdiri menyender dan menunggunya keluar. Rumi menatap orang yang kini tengah tersenyum miring di depannya, oh tidak. Orang ini yang ia tabrak tadi hingga jatuh tersungkur.

“Jadi gimana? sudah ada waktu senggang untuk mengobrol dengan saya?” orang itu mulai membuka obrolan dengan Rumi yang masih mematung karena terkejut bukan main.

“O-om maaf, tadi saya beneran enggak sengaja nabrak. Soalnya saya kebelet banget udah di ujung.” ucap Rumi mulai memelas.

Namun, bukannya memaafkan Rumi. Orang itu malah melangkah maju dan itu membuat Rumi otomatis melangkah mundur hingga kembali masuk ke dalam bilik toilet, orang tadi juga ikut masuk dan langsung mengunci pintu bilik toilet yang mana membuat Rumi melotot kaget sekaligus takut.

“Om maksudnya apa ya? om mau cabulin saya ya?” balas Rumi, panik.

“Kan mau ngobrol. Kata kamu tadi ngobrolnya pas ada waktu senggang, sekarang kamu lagi senggang kan?”

Rumi bergidik takut ketika orang di hadapannya mulai mencondongkan wajahnya ke depan wajahnya sendiri dan hampir menyentuh pipi Rumi. Rumi memejamkan matanya, pasrah dengan nasibnya yang entah berakhir bagaimana.

“Om jangan om, saya mohon. Saya masih suci, jangan di rusak om. Saya juga belum nikah.” Rumi terus berjalan mundur hingga punggungnya bersentuhan dengan tembok toilet.

Rayyan tersenyum miring ketika sosok di hadapannya mulai terduduk di atas wc duduk yang sudah tertutup, karena bilik toilet yang sempit dan ruangnya yang terbatas, Rumi pasrah saja dan terduduk di atas wc dengan kaki gemetar. Rayyan bisa lihat wajah ketakutan orang di hadapannya, terlihat dari bahunya yang bergetar.

“Om saya minta maaf, saya enggak bermaksud buat nubruk om sampe kejengkang kaya tadi. Saya buru-buru, maafin saya.” Rumi menyatukan kedua tangannya di depan wajahnya sendiri, masih dengan mata yang tertutup.

Rayyan terkekeh kecil, berniat menggoda lelaki manis yang ada di hadapannya. “Kalo saya gak mau maafin kamu bagaimana?” balas Rayyan berbisik di sebelah telinga milik Rumi.

“Y-yaudah om maunya apa?”

“Kamu tau apa yang saya mau, kamu udah cukup umur untuk paham sama konteks orang dewasa.” sumpah demi apapun rasanya Rayyan ingin tertawa kencang ketika mata yang terpejam itu langsung menyorot nyalang ke arahnya.

Setelah mengucapkan kalimat barusan, Rayyan mundur dan menyender ke arah pintu toilet.

“Om pikir saya cowok apaan, meskipun saya udah cukup umur saya gak mau lakuin itu sama orang yang enggak saya kenal. Om, asal om tau ya! saya di didik dari kecil buat tanggung jawab sama apa yang saya lakuin, dan saya tadi udah minta maaf sama om. Tapi kenapa om mintanya yang lebih dari itu, om gak punya sopan santun!” balas Rumi panjang lebar.

“Lakuin apa? saya cuman minta ganti rugi karena ice boba saya jadi tumpah gara-gara kamu. Kamu gak lihat tadi saya bawa ice boba?” balas Rayyan, berhasil membuat Rumi bungkam dan memalingkan wajahnya yang memerah karena malu.

Rayyan terkekeh sebelum mendekat ke arah Rumi kembali. “Ini mah kamu yang pikirannya kotor, saya cuman mau minta ganti rugi buat ice boba saya.”

“Y-ya lagian om ini mencurigakan. Masa sampe ikutin saya ke toilet, kalo bukan mau cabulin saya terus om ngapain kesini?” sanggah Rumi tidak mau kalah.

“Nih, saya mau ngembaliin kartu mahasiswa kamu. Tadi jatuh, saya panggil-panggil kamunya enggak nengok. Yaudah saya ikutin saja, siapa tahu ini penting kan.”

Rayyan menyerahkan kartu mahasiswa milik Rumi, membuat Rumi kembali malu atas apa yang sudah ia ucapkan tadi. Mungkin ini adalah hari tersialnya, bagaimana bisa ia malah membuat malu dirinya sendiri dengan menuduh orang yang ingin berbuat baik padanya. Justru, dirinyalah yang harusnya di maki-maki oleh pria di hadapannya karena sudah membuat dia terjerembab mencium lantai mall di keadaan sedang banyak orang.

“O-oh. Makasih om, maaf karena udah salah sangka.” Rumi mengambil kartu miliknya ragu-ragu, malu juga sebenarnya.

Rayyan kembali mendekat ke arah Rumi, mulai mengukung tubuh yang lebih mungil darinya itu di antara kedua lengan kekarnya. “Gak apa-apa, tapi kalo tawaran kamu untuk yang tadi masih berlaku. Saya gak nolak sih.”

Rumi yang sudah mulai tenang kini langsung menoleh terkejut atas apa yang pria di hadapannya ini katakan. Ketika dirinya akan membalas perkataan pria tadi, tiba-tiba sebuah suara terdengar memanggil-manggil namanya dari luar bilik toilet, itu suara kedua calon kakak iparnya.

Rayyan terus memperhatikan Rumi yang mulai panik dan bergerak gelisah dalam kukungannya “Itu kakak kamu ya?”

“Mau tau banget nih om-om satu, gak usah kepo deh kita enggak kenal.” balas Rumi jutek.

“Awas deh om, saya mau keluar udah di cariin juga takutnya mereka mikir aku udah pulang duluan!” Rumi mencoba menggeser tubuh tinggi Rayyan dari depan pintu, namun seolah belum puas menggodanya, Rayyan malah menyilangkan tangannya sambil tersenyum manis.

“Boleh, tapi syaratnya kamu ciuman dulu sama saya.”

“Wah! om udah gila ya? dasar cabul! Awas!” dengan sekuat tenaga akhirnya Rumi berhasil menggeser tubuh Rayyan, membuatnya bisa langsung keluar dari sana.

Rayyan terkekeh geli ketika melihat Rumi memeletkan lidahnya sebelum berbelok menuju pintu keluar toilet. Rayyan merogoh saku jas kantornya untuk mengambil benda pipih yang ada di dalam sana, ingin menanyakan sesuatu pada sang Mommy.

Saat sudah keluar, Rumi bisa melihat Dipta dan Reksa yang mondar-mandir gelisah. Keduanya terus mencoba memanggil Rumi dengan suara lantang, sempat juga Reksa memberikan sebuah ide untuk melaporkan Rumi ke pusat informasi. Namun, di larang Dipta karena takut-takut anaknya akan malu jika namanya di umumkan secara nyaring di mall.

“Kakak....” Rumi berlari pelan ke arah Reksa dan Dipta yang akan pergi dari depan toilet.

Keduanya menoleh secara bersamaan, mereka melihat adik dari pacarnya berlari kecil dengan penuh keringat. Keduanya bertatapan sebentar sebelum mencecar sang calon adik ipar.

“Kamu ini nyelesain panggilan alam atau malah ngapain sih? lama banget dek astaga untung belum kita laporin ke pusat informasi gara-gara ada anak umur dua puluh tahun hilang di mall.” ucap Reksa membuat Rumi mencebikan bibirnya.

“Tadi tuh aku ada urusan sebentar sama orang, makannya agak lama.”

Reksa dan Dipta menyernyit heran, untuk apa menyelesaikan urusan di dalam toilet? kenapa tidak di tempat lain seperti tempat minum, atau makan? namun keduanya tidak ambil pusing dan memilih melupakan semua hal yang mengganjal.

“Gue pikir lo kabur dek.” ujar Dipta, ucapan Dipta membuat Rumi menyernyit heran.

“Kabur? kenapa juga aku harus kabur? emangnya kita mau ngapain? cuman mau shoping doang kan?”

“Iya shoping doang kok, yuk kita shoping sekarang!” balas Reksa dengan semangat.

Diam-diam Dipta menghela nafas lega, hampir saja rencananya akan terbongkar. Rumi berteriak antusias ketika acara shopingnya akan di mulai, namun ketika ia asyik merencanakan apa saja barang yang harus ia beli bersama Dipta dan juga Reksa, bertepatan pada saat itu Rayyan keluar sambil tersenyum. Senyuman yang menurut Rumi sangat mengerikan, lantas dengan terburu-buru ia menarik lengan Reksa dan Dipta secara bersamaan.

“Astaga iya pelan-pelan aja dek kamu ini, tokonya enggak bakalan lari kalo kita telat semenit doang!” ujar Reksa sambil berusaha mengikuti langkah Rumi yang semakin cepat.

“Astaga Thay, santai aja napa sih. Orang tokonya tutup sampe malem, astaga Rumi!” Dipta terseok-seok ketika Rumi malah membawanya berlari, sungguh ia heran dengan calon adik iparnya ini.

“Ayo kak buruan, ada orang mesum!”

“Hah, di mana?”

“Itu ayo buruan kakak ih!”

Tok...tok...tok

Suara ketukan pintu yang Rumi dengar kini malah semakin menjadi. Logikanya orang gila mana yang mengetuk bilik toilet yang tengah di pakai oleh orang lain di dalam toilet sebuah mall? bukankah toilet mall memiliki beberapa bilik toilet yang kosong? lantas dengan alasan apa orang di balik pintu sana terus saja mengganggu kegiatan khusu-nya dalam menyetorkan panggilan alam.

“Apa sih anjir ini orang ganggu banget sumpah?” Rumi merutuk dalam hati.

Niat hati ingin menuntaskan mulasnya dengan tenang langsung kandas begitu saja ketika suara ketukan kembali terdengar. Emosi yang sudah tak terbendung membuat Rumi memberanikan diri membalas ketukan itu tidak kalah kencang.

“Mas bisa gak ke bilik sebelah aja? saya lagi pake bilik ini loh? gak sopan banget ganggu orang lain yang lagi ada panggilan alam!”

Karena sudah jengah dan rasa mulasnya mendadak hilang, akhirnya Rumi memutuskan untuk keluar saja, toh orang yang mengetuk tadi sudah hilang—pikirnya. Karena sudah muak dan emosi, Rumi tidak memperhatikan bahwa ternyata orang yang terus-terusan mengganggunya masih berada di depan bilik toilet dan menyender pada tembok.

Rumi yang hendak keluar langsung berteriak kaget ketika orang yang ia pikir sudah pergi malah tengah berdiri menyender dan menunggunya keluar. Rumi menatap orang yang kini tengah tersenyum miring di depannya, oh tidak. Orang ini yang ia tabrak tadi hingga jatuh tersungkur.

“Jadi gimana? sudah ada waktu senggang untuk mengobrol dengan saya?” orang itu mulai membuka obrolan dengan Rumi yang masih mematung karena terkejut bukan main.

“O-om maaf, tadi saya beneran enggak sengaja nabrak. Soalnya saya kebelet banget udah di ujung.” ucap Rumi mulai memelas.

Namun, bukannya memaafkan Rumi. Orang itu malah melangkah maju dan itu membuat Rumi otomatis melangkah mundur hingga kembali masuk ke dalam bilik toilet, orang tadi juga ikut masuk dan langsung mengunci pintu bilik toilet yang mana membuat Rumi melotot kaget sekaligus takut.

“Om maksudnya apa ya? om mau cabulin saya ya?” balas Rumi, panik.

“Kan mau ngobrol. Kata kamu tadi ngobrolnya pas ada waktu senggang, sekarang kamu lagi senggang kan?”

Rumi bergidik takut ketika orang di hadapannya mulai mencondongkan wajahnya ke depan wajahnya sendiri dan hampir menyentuh pipi Rumi. Rumi memejamkan matanya, pasrah dengan nasibnya yang entah berakhir bagaimana.

“Om jangan om, saya mohon. Saya masih suci, jangan di rusak om. Saya juga belum nikah.” Rumi terus berjalan mundur hingga punggungnya bersentuhan dengan tembok toilet.

Rayyan tersenyum miring ketika sosok di hadapannya mulai terduduk di atas wc duduk yang sudah tertutup, karena bilik toilet yang sempit dan ruangnya yang terbatas, Rumi pasrah saja dan terduduk di atas wc dengan kaki gemetar. Rayyan bisa lihat wajah ketakutan orang di hadapannya, terlihat dari bahunya yang bergetar.

“Om saya minta maaf, saya enggak bermaksud buat nubruk om sampe kejengkang kaya tadi. Saya buru-buru, maafin saya.” Rumi menyatukan kedua tangannya di depan wajahnya sendiri, masih dengan mata yang tertutup.

Rayyan terkekeh kecil, berniat menggoda lelaki manis yang ada di hadapannya. “Kalo saya gak mau maafin kamu bagaimana?” balas Rayyan berbisik di sebelah telinga milik Rumi.

“Y-yaudah om maunya apa?”

“Kamu tau apa yang saya mau, kamu udah cukup umur untuk paham sama konteks orang dewasa.” sumpah demi apapun rasanya Rayyan ingin tertawa kencang ketika mata yang terpejam itu langsung menyorot nyalang ke arahnya.

Setelah mengucapkan kalimat barusan, Rayyan mundur dan menyender ke arah pintu toilet.

“Om pikir saya cowok apaan, meskipun saya udah cukup umur saya gak mau lakuin itu sama orang yang enggak saya kenal. Om, asal om tau ya! saya di didik dari kecil buat tanggung jawab sama apa yang saya lakuin, dan saya tadi udah minta maaf sama om. Tapi kenapa om mintanya yang lebih dari itu, om gak punya sopan santun!” balas Rumi panjang lebar.

“Lakuin apa? saya cuman minta ganti rugi karena ice boba saya jadi tumpah gara-gara kamu. Kamu gak lihat tadi saya bawa ice boba?” balas Rayyan, berhasil membuat Rumi bungkam dan memalingkan wajahnya yang memerah karena malu.

Rayyan terkekeh sebelum mendekat ke arah Rumi kembali. “Ini mah kamu yang pikirannya kotor, saya cuman mau minta ganti rugi buat ice boba saya.”

“Y-ya lagian om ini mencurigakan. Masa sampe ikutin saya ke toilet, kalo bukan mau cabulin saya terus om ngapain kesini?” sanggah Rumi tidak mau kalah.

“Nih, saya mau ngembaliin kartu mahasiswa kamu. Tadi jatuh, saya panggil-panggil kamunya enggak nengok. Yaudah saya ikutin saja, siapa tahu ini penting kan.”

Rayyan menyerahkan kartu mahasiswa milik Rumi, membuat Rumi kembali malu atas apa yang sudah ia ucapkan tadi. Mungkin ini adalah hari tersialnya, bagaimana bisa ia malah membuat malu dirinya sendiri dengan menuduh orang yang ingin berbuat baik padanya. Justru, dirinyalah yang harusnya di maki-maki oleh pria di hadapannya karena sudah membuat dia terjerembab mencium lantai mall di keadaan sedang banyak orang.

“O-oh. Makasih om, maaf karena udah salah sangka.” Rumi mengambil kartu miliknya ragu-ragy, malu juga sebenarnya.

Rayyan kembali mendekat ke arah Rumi, mulai mengukung tubuh yang lebih mungil darinya itu di antara kedua lengan kekarnya. “Gak apa-apa, tapi kalo tawaran kamu untuk yang tadi masih berlaku. Saya gak nolak sih.”

Rumi yang sudah mulai tenang kini langsung menoleh terkejut atas apa yang pria di hadapannya ini katakan. Ketika dirinya akan membalas perkataan pria tadi, tiba-tiba sebuah suara terdengar memanggil-manggil namanya dari luar bilik toilet, itu suara kedua calon kakak iparnya.

Rayyan terus memperhatikan Rumi yang mulai panik dan bergerak gelisah dalam kukungannya “Itu kakak kamu ya?”

“Mau tau banget nih om-om satu, gak usah kepo deh kita enggak kenal.” balas Rumi jutek.

“Awas deh om, saya mau keluar udah di cariin juga takutnya mereka mikir aku udah pulang duluan!” Rumi mencoba menggeser tubuh tinggi Rayyan dari depan pintu, namun seolah belum puas menggodanya, Rayyan malah menyilangkan tangannya sambil tersenyum manis.

“Boleh, tapi syaratnya kamu ciuman dulu sama saya.”

“Wah! om udah gila ya? dasar cabul! Awas!” dengan sekuat tenaga akhirnya Rumi berhasil menggeser tubuh Rayyan, membuatnya bisa langsung keluar dari sana.

Rayyan terkekeh geli ketika melihat Rumi memeletkan lidahnya sebelum berbelok menuju pintu keluar toilet. Rayyan merogoh saku jas kantornya untuk mengambil benda pipih yang ada di dalam sana, ingin menanyakan sesuatu pada sang Mommy.

Rumi berlari dengan cepat untuk sampai ke toilet. Kepalanya celingukan kesana-kemari untuk mencari petunjuk yang biasa terpangpang bertuliskan toilet.

Karena sudah tidak tahan, dirinya menabrak seseorang hingga orang itu jatuh tersungkur. Bukannya minta maaf, Rumi malah semakin mempercepat larinya ketika di rasa air seninya hampir keluar.

“Woi kalo jalan liat-liat dong!”

“Maaf om, saya kebelet kencing. Gak bisa ngobrol dulu, nanti aja ya kalo saya senggang.”

Hari ini rasanya Rumi ingin mengubur diri di dalam kubangan es batu, bagaimana tidak? cuaca pada siang ini sangat amat terik, untung ia memakai sunblock dan sunscreen sebelum ke kampus tadi. Ya walaupun meminta pada Varel sih, tapi yang penting kulitnya tidak terbakar kan?

Sudah dua puluh menit dirinya berdiri di depan gerbang kampus, menunggu para calon kakak iparnya datang untuk menjemput. Rencana awal yang sudah ia bangun untuk mengajak sang kekasih makan siang ternyata harus kandas lantaran sang kekasih yang bersikap menyebalkan dan membuat mood nya menurun.

Rumi bisa lihat presensi Kavin yang masih berada di parkiran fakultas Teknik yang kebetulan lokasinya memang dekat dengan gerbang keluar kampus. Ia bisa lihat kekasihnya itu tengah di kerumuni oleh beberapa mahasiswi centil dengan rok mini sepaha dan baju kurang bahan. Oh jangan lupakan juga bagaimana asyiknya Kavin ketika menjadi bahan untuk sensasi. Tatapan keduanya bertubrukan, namun Rumi memutar bola mata malas dan berpaling ketika Kavin tersenyum dan melambai ke arahnya.

“Duh, Kak Dipta sama kak Reksa lama banget. Gue udah gak sanggup ngeliatin kak Kavin. Bawaannya pengen jambak satu-satu rambut ceweknya.” Rumi kembali menoleh untuk memastikan kekasihnya masih di sana dengan para wanita atau tidak.

“Anjing banget lagian ceweknya. Udah tau kak Kavin punya pacar, masih aja kegatelan. Selevel lo sama gue? dih enggak lah masih tinggian level gue ke mana-mana.”

Tiga puluh menit sudah Rumi menunggu, tak lama kemudian sebuah mobil dengan jenis Mitsubishi New Pajero Sport berwarna Quartz White Metallic berhenti tepat di kadapannya. Kaca mobil bagian depan terbuka, menampilkan wajah dua calon kakak iparnya berada, kepala Reksa dan Dipta menyembul dari dalam sana.

“Halo dek, sorry ya lama. Macet soalnya, udah jam makan siang juga jadinya banyak yang nyari makan.” ujar Dipta membuat penjelasan.

“Untung gue gak gosong juga kak.” ucap Rumi sedikit merajuk.

“Kan tadi kakak suruh kamu neduh Mi, kamu gak nurut. Salah sendiri.” balas Reksa cekikikan, pasalnya kini wajah Rumi sudah seperti kepiting remus.

“Iya, tadi gue juga pesen ke lo buat neduh deh dek. Elunya yang bandel, bengal gak nurut kalo di omongin. Di chat iya kaya anak manis, kalem. Pas ketemu beuh ampun bandelnya.” balas Dipta yang membuat Rumi mengecurut sebal.

Kedua calon kakak iparnya itu malah tertawa, menertawakan dirinya yang sudah basah oleh air keringat. Rambut yang sudah ia tata rapih mulai jatuh menyentuh kening.

“Udah ayo masuk, nanti jajan ice cream biar amarahnya reda. Anak Papi gak boleh marah-marah, nanti si merahnya di sita makin lama.” goda Dipta lagi, membuat Rumi yang sudah duduk manis di kursi belakang kembali mengerut kesal.

“Udah ah ayo jalan. Ngeselin banget kalian, persis kaya Abang sama Aa.”

Dipta mulai menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, sudah cukup ia menggoda calon adik iparnya yang kini masih menekuk mukanya kesal. Sementara Reksa memilih bungkam karena jujur saja ia masih lelah setelah berjaga seharian penuh di rumah sakit.

“Sa, lo kalo ngantuk tidur aja gapapa. Entar kalo udah nyampe gue bangunin deh.” tawar Dipta ketika melihat Reksa yang beberapa kali menahan untuk menguap.

Reksa menoleh kesamping, mendapati Dipta yang terlihat khawatir. “Gak deh kak, kalo tidur juga malah tanggung. Nanti malem malah gak ngantuk akunya, jadi mending sekalian capek dulu baru tidur nyenyak pas malemnya.”

Rumi yang mulai tertarik dengan obrolan dari kedua pacar kakaknya mulai memajukan badan agar bisa bergabung. “Kak Reksa pasien di rumah sakit hari ini banyak ya?” tanya Rumi.

Reksa menoleh ke belakang, ia mendapati Rumi dengan mata bulat berbinar. Reksa mengangguk lesu, “Lumayan dek, setiap kakak jaga pasti pasien banyak. Makannya pas Bima bentak kakak, kakak jadi marah sama dia karena efek dari kecapean juga.”

“Emang anjing ya Aa, gak ada rasa empatinya sama pacar sendiri.” balas Rumi berapi-api, menimbulkan tawa renyah dari yang paling tua.

“Omonganmu ituloh, di jaga. Masa Reksa mau pacaran sama anjing, kakak kamu itu manusia tau dek.” balas Dipta, buat Rumi terkekeh.

“Sorry.”


Lima belas menit di perjalanan akhirnya mobil Dipta sampai pada parkiran mall yang mereka tuju. Rumi turun duluan, terlihat sangat bersemangat. Reksa dan Dipta memilih berjalan di belakang si bungsu dari keluarga Dirgantara itu, menjaga sang adik ipar agar tidak hilang.

Meskipun tinggi Rumi sekitar seratus tujuh puluh delapan centimeter, tapi Reksa dan Dipta tidak yakin sifat yang Rumi punya bisa seimbang dengan tingginya yang sekarang. Kalo kata Dipta sih, badan raksasa tapi kelakuan seperti anak kecil. Ya wajar saja, karena Rumi anak bontot jadinya memang sedikit manja.

Dipta terlahir di keluarga mapan, dengan bergelimang harta seperti Rumi. Namun, bedanya Dipta tidak di manja seperti Rumi. Kedua orang tuanya mempunyai sifat pilih kasih kepada dirinya dengan sang adik yang selalu memberikan segudang prestas.

Hal itu membuat Dipta bertekad untuk memiliki harta dan rumah sendiri agar dirinya bisa terbebas dari embel-embel 'coba kaya adik kamu, bisa banggain mamah sama papah' persetan dengan rasa membuat bangga nama keluarga. Dirinya saja masih berusaha untuk tetap waras ketika masih tinggal bersama kedua orang tuanya.

Di perlakukan tidak adil membuat Dipta selalu merasa kesepian, namun ketika tahun ketiga kuliah ia di pertemukan dengan sosok Aldi yang memiliki sejuta kasih sayang. Meskipun terlihat menyebalkan dari luar, tetapi Dipta bisa jabarkan dengan yakin bahwa Aldi adalah sosok yang penyayang.

Lain pula dengan Reksa. Reksa hidup berkecukupan, biaya sekolah dan kuliahnya saja ia dapatkan karena beasiswa. Dengan hadirnya Bima di hidup Reksa jadikan pria itu semakin merasa di sayang, seperti memiliki sebuah sandaran atas lelahnya ia menghadapi dunia. Seperti sebuah keajaiban mendapatkan pacar yang perhatian walau sering membentak jika kesal, dan keluarga Bima juga tidak kalah baik dengan Bima sendiri.

Reksa dan Dipta. Keduanya di perkenalkan kepada keluarga Wisnu di hari yang sama. Saat itu Rumi masih kelas tiga sekolah menengah atas. Awalnya ketika bertemu dengan Reksa dan juga Dipta, Rumi merajuk karena merasa kakak-kakaknya akan di ambil paksa oleh mereka, perhatian dan kasih sayang dari kedua kakaknya akan di rampas oleh kedua orang yang di bawa kakaknya ke rumah untuk di perkenalkan pada sang papi dan juga mami.

Namun, nyatanya malah sebaliknya. Rumi lah yang mengambil seluruh perhatian dari pacar kakaknya sendiri.

“Kak, beli ice cream ayo!” Rumi menggandeng tangan kedua calon kakak iparnya di sebelah kiri dan kanan, membuat tangannya penuh.

Dipta dan Reksa mau-mau saja ketika tangannya di tarik ke kiri dan ke kanan, sudah lima belas menit mereka berkeliling hanya untuk mencari makanan. Reksa yang notabenya memang tengah kelelahan meminta Rumi untuk berhenti dan meninggalkannya di salah satu tempat duduk yang tersedia di sana.

“Adek kalo mau apa-apa belinya sama kak Dipta aja ya, ini pake uangnya Aa aja.” ujar Reksa sambil menyerahkan satu kartu ATM milik Bima padanya.

“Gak usah deh kak, Aa udah transfer aku kok tadi. Katanya kalo kakak mau beli sesuatu, pake uang yang ini aja.” balas Rumi.

“Gausah, kamu aja. Kakak masih ada uang.”

“Yaudah.”

Dipta yang sejak tadi hanya memperhatikan dua orang yang lebih muda darinya itu hanya tersenyum tipis. Dirinya kemudian meminta izin Rumi dan juga Reksa untuk pergi sebentar, karena ada barang yang harus ia beli.

“Gue mau cari barang dulu, kalian tunggu di sini. Atau masuk resto aja duluan, nanti gue nyusul.”

Rumi dan Reksa mengangguk, Dipta kemudian melangkah menjauh menyisakan Rumi dan Reksa yang kebingungan harus berbuat apa. Karena kebingungan keduanya memutuskan untuk tetap duduk diam di tempat tadi hingga Dipta datang saja. Takut jika mereka berpindah tempat Dipta akan kesulitan mencari mereka.

Selang beberapa menit Rumi merasakan kandung kemihnya penuh, ia kebelet kencing. Maka dengan terburu-buru ia bangkit dari duduknya dan membuat Reksa yang tengah melamun jadi terkejut.

“Astaga adek, kenapa?”

“Kak, aku izin ke toilet bentar ya kebelet pipis.”

“Oke, jangan lama-lama ya.”

“Iya.”

Hari ini rasanya Rumi ingin mengubur diri di dalam kubangan es batu, bagaimana tidak? cuaca pada siang ini sangat amat terik, untung ia memakai sunblock dan sunscreen sebelum ke kampus tadi. Ya walaupun meminta pada Varel sih, tapi yang penting kulitnya tidak terbakar kan?

Sudah dua puluh menit dirinya berdiri di depan gerbang kampus, menunggu para calon kakak iparnya datang untuk menjemput. Rencana awal yang sudah ia bangun untuk mengajak sang kekasih makan siang ternyata harus kandas lantaran sang kekasih yang bersikap menyebalkan dan membuat mood nya menurun.

Rumi bisa lihat presensi Kavin yang masih berada di parkiran fakultas Teknik yang kebetulan lokasinya memang dekat dengan gerbang keluar kampus. Ia bisa lihat kekasihnya itu tengah di kerumuni oleh beberapa mahasiswi centil dengan rok mini sepaha dan baju kurang bahan. Oh jangan lupakan juga bagaimana asyiknya Kavin ketika menjadi bahan untuk sensasi. Tatapan keduanya bertubrukan, namun Rumi memutar bola mata malas dan berpaling ketika Kavin tersenyum dan melambai ke arahnya.

“Duh, Kak Dipta sama kak Reksa lama banget. Gue udah gak sanggup ngeliatin kak Kavin. Bawaannya pengen jambak satu-satu rambut ceweknya.” Rumi kembali menoleh untuk memastikan kekasihnya masih di sana dengan para wanita atau tidak.

“Anjing banget lagian ceweknya. Udah tau kak Kavin punya pacar, masih aja kegatelan. Selevel lo sama gue? dih enggak lah masih tinggian level gue ke mana-mana.”

Tiga puluh menit sudah Rumi menunggu, tak lama kemudian sebuah mobil dengan jenis Mitsubishi New Pajero Sport berwarna Quartz White Metallic berhenti tepat di kadapannya. Kaca mobil bagian depan terbuka, menampilkan wajah dua calon kakak iparnya berada, kepala Reksa dan Dipta menyembul dari dalam sana.

“Halo dek, sorry ya lama. Macet soalnya, udah jam makan siang juga jadinya banyak yang nyari makan.” ujar Dipta membuat penjelasan.

“Untung gue gak gosong juga kak.” ucap Rumi sedikit merajuk.

“Kan tadi kakak suruh kamu neduh Mi, kamu gak nurut. Salah sendiri.” balas Reksa cekikikan, pasalnya kini wajah Rumi sudah seperti kepiting remus.

“Iya, tadi gue juga pesen ke lo buat neduh deh dek. Elunya yang bandel, bengal gak nurut kalo di omongin. Di chat iya kaya anak manis, kalem. Pas ketemu beuh ampun bandelnya.” balas Dipta yang membuat Rumi mengecurut sebal.

Kedua calon kakak iparnya itu malah tertawa, menertawakan dirinya yang sudah basah oleh air keringat. Rambut yang sudah ia tata rapih mulai jatuh menyentuh kening.

“Udah ayo masuk, nanti jajan ice cream biar amarahnya reda. Anak Papi gak boleh marah-marah, nanti si merahnya di sita makin lama.” goda Dipta lagi, membuat Rumi yang sudah duduk manis di kursi belakang kembali mengerut kesal.

“Udah ah ayo jalan. Ngeselin banget kalian, persis kaya Abang sama Aa.”

Dipta mulai menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, sudah cukup ia menggoda calon adik iparnya yang kini masih menekuk mukanya kesal. Sementara Reksa memilih bungkam karena jujur saja ia masih lelah setelah berjaga seharian penuh di rumah sakit.

“Sa, lo kalo ngantuk tidur aja gapapa. Entar kalo udah nyampe gue bangunin deh.” tawar Dipta ketika melihat Reksa yang beberapa kali menahan untuk menguap.

Reksa menoleh kesamping, mendapati Dipta yang terlihat khawatir. “Gak deh kak, kalo tidur juga malah tanggung. Nanti malem malah gak ngantuk akunya, jadi mending sekalian capek dulu baru tidur nyenyak pas malemnya.”

Rumi yang mulai tertarik dengan obrolan dari kedua pacar kakaknya mulai memajukan badan agar bisa bergabung. “Kak Reksa pasien di rumah sakit hari ini banyak ya?” tanya Rumi.

Reksa menoleh ke belakang, ia mendapati Rumi dengan mata bulat berbinar. Reksa mengangguk lesu, “Lumayan dek, setiap kakak jaga pasti pasien banyak. Makannya pas Bima bentak kakak, kakak jadi marah sama dia karena efek dari kecapean juga.”

“Emang anjing ya Aa, gak ada rasa empatinya sama pacar sendiri.” balas Rumi berapi-api, menimbulkan tawa renyah dari yang paling tua.

“Omonganmu ituloh, di jaga. Masa Reksa mau pacaran sama anjing, kakak kamu itu manusia tau dek.” balas Dipta, buat Rumi terkekeh.

“Sorry.”


Lima belas menit di perjalanan akhirnya mobil Dipta sampai pada parkiran mall yang mereka tuju. Rumi turun duluan, terlihat sangat bersemangat. Reksa dan Dipta memilih berjalan di belakang si bungsu dari keluarga Dirgantara itu, menjaga sang adik ipar agar tidak hilang.

Meskipun tinggi Rumi sekitar seratus tujuh puluh delapan centimeter, tapi Reksa dan Dipta tidak yakin sifat yang Rumi punya bisa seimbang dengan tingginya yang sekarang. Kalo kata Dipta sih, badan raksasa tapi kelakuan seperti anak kecil. Ya wajar saja, karena Rumi anak bontot jadinya memang sedikit manja.

Dipta terlahir di keluarga mapan, dengan bergelimang harta seperti Rumi. Namun, bedanya Dipta tidak di manja seperti Rumi. Kedua orang tuanya mempunyai sifat pilih kasih kepada dirinya dengan sang adik yang selalu memberikan segudang prestasi, itu membuat Dipta bertekad untuk memiliki harta dan rumah sendiri agar dirinya bisa terbebas dari embel-embel 'coba kaya adik kamu, bisa banggain mamah sama papah' persetan dengan rasa membuat bangga nama keluarga. Dirinya saja masih berusaha untuk tetap waras ketika masih tinggal bersama kedua orang tuanya.

Di perlakukan tidak adil membuat Dipta selalu merasa kesepian, namun ketika tahun ketiga kuliah ia di pertemukan dengan sosok Aldi yang memiliki sejuta kasih sayang. Meskipun terlihat menyebalkan dari luar, tetapi Dipta bisa jabarkan dengan yakin bahwa Aldi adalah sosok yang penyayang.

Lain pula dengan Reksa. Reksa hidup berkecukupan, biaya sekolah dan kuliahnya saja ia dapatkan karena beasiswa. Dengan hadirnya Bima di hidup Reksa jadikan pria itu semakin merasa di sayang, seperti memiliki sebuah sandaran atas lelahnya ia menghadapi dunia. Seperti sebuah keajaiban mendapatkan pacar yang perhatian walau sering membentak jika kesal, dan keluarga Bima juga tidak kalah baik dengan Bima sendiri.

Reksa dan Dipta. Keduanya di perkenalkan kepada keluarga Wisnu di hari yang sama. Saat itu Rumi masih kelas tiga sekolah menengah atas. Awalnya ketika bertemu dengan Reksa dan juga Dipta, Rumi merajuk karena merasa kakak-kakaknya akan di ambil paksa oleh mereka, perhatian dan kasih sayang dari kedua kakaknya akan di rampas oleh kedua orang yang di bawa kakaknya ke rumah untuk di perkenalkan pada sang papi dan juga mami.

Namun, nyatanya malah sebaliknya. Rumi lah yang mengambil seluruh perhatian dari pacar kakaknya sendiri.

“Kak, beli ice cream ayo!” Rumi menggandeng tangan kedua calon kakak iparnya di sebelah kiri dan kanan, membuat tangannya penuh.

Dipta dan Reksa mau-mau saja ketika tangannya di tarik ke kiri dan ke kanan, sudah lima belas menit mereka berkeliling hanya untuk mencari makanan. Reksa yang notabenya memang tengah kelelahan meminta Rumi untuk berhenti dan meninggalkannya di salah satu tempat duduk yang tersedia di sana.

“Adek kalo mau apa-apa belinya sama kak Dipta aja ya, ini pake uangnya Aa aja.” ujar Reksa sambil menyerahkan satu kartu ATM milik Bima padanya.

“Gak usah deh kak, Aa udah transfer aku kok tadi. Katanya kalo kakak mau beli sesuatu, pake uang yang ini aja.” balas Rumi.

“Gausah, kamu aja. Kakak masih ada uang.”

“Yaudah.”

Dipta yang sejak tadi hanya memperhatikan dua orang yang lebih muda darinya itu hanya tersenyum tipis. Dirinya kemudian meminta izin Rumi dan juga Reksa untuk pergi sebentar, karena ada barang yang harus ia beli.

“Gue mau cari barang dulu, kalian tunggu di sini. Atau masuk resto aja duluan, nanti gue nyusul.”

Rumi dan Reksa mengangguk, Dipta kemudian melangkah menjauh menyisakan Rumi dan Reksa yang kebingungan harus berbuat apa. Karena kebingungan keduanya memutuskan untuk tetap duduk diam di tempat tadi hingga Dipta datang saja. Takut jika mereka berpindah tempat Dipta akan kesulitan mencari mereka.

Selang beberapa menit Rumi merasakan kandung kemihnya penuh, ia kebelet kencing. Maka dengan terburu-buru ia bangkit dari duduknya dan membuat Reksa yang tengah melamun jadi terkejut.

“Astaga adek, kenapa?”

“Kak, aku izin ke toilet bentar ya kebelet pipis.”

“Oke, jangan lama-lama ya.”

“Iya.”

Hari ini rasanya Rumi ingin mengubur diri di dalam kubangan es batu, bagaimana tidak? cuaca pada siang ini sangat amat terik, untung ia memakai sunblock dan sunscreen sebelum ke kampus tadi. Ya walaupun meminta pada Varel sih, tapi yang penting kulitnya tidak terbakar kan?

Sudah dua puluh menit dirinya berdiri di depan gerbang kampus, menunggu para calon kakak iparnya datang untuk menjemput. Rencana awal yang sudah ia bangun untuk mengajak sang kekasih makan siang ternyata harus kandas lantaran sang kekasih yang bersikap menyebalkan dan membuat mood nya menurun.

Rumi bisa lihat presensi Kavin yang masih berada di parkiran fakultas Teknik yang kebetulan lokasinya memang dekat dengan gerbang keluar kampus. Ia bisa lihat kekasihnya itu tengah di kerumuni oleh beberapa mahasiswi centil dengan rok mini sepaha dan baju kurang bahan. Oh jangan lupakan juga bagaimana asyiknya Kavin ketika menjadi bahan untuk sensasi. Tatapan keduanya bertubrukan, namun Rumi memutar bola mata malas dan berpaling ketika Kavin tersenyum dan melambai ke arahnya.

“Duh, Kak Dipta sama kak Reksa lama banget. Gue udah gak sanggup ngeliatin kak Kavin. Bawaannya pengen jambak satu-satu rambut ceweknya.” Rumi kembali menoleh untuk memastikan kekasihnya masih di sana dengan para wanita atau tidak.

“Anjing banget lagian ceweknya. Udah tau kak Kavin punya pacar, masih aja kegatelan. Selevel lo sama gue? dih enggak lah masih tinggian level gue ke mana-mana.”

Tiga puluh menit sudah Rumi menunggu, tak lama kemudian sebuah mobil dengan jenis Mitsubishi New Pajero Sport berwarna Quartz White Metallic berhenti tepat di kadapannya. Kaca mobil bagian depan terbuka, menampilkan wajah dua calon kakak iparnya berada, kepala Reksa dan Dipta menyembul dari dalam sana.

“Halo dek, sorry ya lama. Macet soalnya, udah jam makan siang juga jadinya banyak yang nyari makan.” ujar Dipta membuat penjelasan.

“Untung gue gak gosong juga kak.” ucap Rumi sedikit merajuk.

“Kan tadi kakak suruh kamu neduh Mi, kamu gak nurut. Salah sendiri.” balas Reksa cekikikan, pasalnya kini wajah Rumi sudah seperti kepiting remus.

“Iya, tadi gue juga pesen ke lo buat neduh deh dek. Elunya yang bandel, bengal gak nurut kalo di omongin. Di chat iya kaya anak manis, kalem. Pas ketemu beuh ampun bandelnya.” balas Dipta yang membuat Rumi mengecurut sebal.

Kedua calon kakak iparnya itu malah tertawa, menertawakan dirinya yang sudah basah oleh air keringat. Rambut yang sudah ia tata rapih mulai jatuh menyentuh kening.

“Udah ayo masuk, nanti jajan ice cream biar amarahnya reda. Anak Papi gak boleh marah-marah, nanti si merahnya di sita makin lama.” goda Dipta lagi, membuat Rumi yang sudah duduk manis di kursi belakang kembali mengerut kesal.

“Udah ah ayo jalan. Ngeselin banget kalian, persis kaya Abang sama Aa.”

Dipta mulai menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, sudah cukup ia menggoda calon adik iparnya yang kini masih menekuk mukanya kesal. Sementara Reksa memilih bungkam karena jujur saja ia masih lelah setelah berjaga seharian penuh di rumah sakit.

“Sa, lo kalo ngantuk tidur aja gapapa. Entar kalo udah nyampe gue bangunin deh.” tawar Dipta ketika melihat Reksa yang beberapa kali menahan untuk menguap.

Reksa menoleh kesamping, mendapati Dipta yang terlihat khawatir. “Gak deh kak, kalo tidur juga malah tanggung. Nanti malem malah gak ngantuk akunya, jadi mending sekalian capek dulu baru tidur nyenyak pas malemnya.”

Rumi yang mulai tertarik dengan obrolan dari kedua pacar kakaknya mulai memajukan badan agar bisa bergabung. “Kak Reksa pasien di rumah sakit hari ini banyak ya?” tanya Rumi.

Reksa menoleh ke belakang, ia mendapati Rumi dengan mata bulat berbinar. Reksa mengangguk lesu, “Lumayan dek, setiap kakak jaga pasti pasien banyak. Makannya pas Bima bentak kakak, kakak jadi marah sama dia karena efek dari kecapean juga.”

“Emang anjing ya Aa, gak ada rasa empatinya sama pacar sendiri.” balas Rumi berapi-api, menimbulkan tawa renyah dari yang paling tua.

“Omonganmu ituloh, di jaga. Masa Reksa mau pacaran sama anjing, kakak kamu itu manusia tau dek.” balas Dipta, buat Rumi terkekeh.

“Sorry.”


Lima belas menit di perjalanan akhirnya mobil Dipta sampai pada parkiran mall yang mereka tuju. Rumi turun duluan, terlihat sangat bersemangat. Reksa dan Dipta memilih berjalan di belakang si bungsu dari keluarga Dirgantara itu, menjaga sang adik ipar agar tidak hilang.

Meskipun tinggi Rumi sekitar seratus tujuh puluh delapan centimeter, tapi Reksa dan Dipta tidak yakin sifat yang Rumi punya bisa seimbang dengan tingginya yang sekarang. Kalo kata Dipta sih, badan raksasa tapi kelakuan seperti anak kecil. Ya wajar saja, karena Rumi anak bontot jadinya memang sedikit manja.

Dipta terlahir di keluarga mapan, dengan bergelimang harta seperti Rumi. Namun, bedanya Dipta tidak di manja seperti Rumi. Kedua orang tuanya mempunyai sifat pilih kasih kepada dirinya dengan sang adik yang selalu memberikan segudang prestasi, itu membuat Dipta bertekad untuk memiliki harta dan rumah sendiri agar dirinya bisa terbebas dari embel-embel 'coba kaya adik kamu, bisa banggain mamah sama papah' persetan dengan rasa membuat bangga nama keluarga. Dirinya saja masih berusaha untuk tetap waras ketika masih tinggal bersama kedua orang tuanya.

Di perlakukan tidak adil membuat Dipta selalu merasa kesepian, namun ketika tahun ketiga kuliah ia di pertemukan dengan sosok Aldi yang memiliki sejuta kasih sayang. Meskipun terlihat menyebalkan dari luar, tetapi Dipta bisa jabarkan dengan yakin bahwa Aldi adalah sosok yang penyayang.

Lain pula dengan Reksa. Reksa hidup berkecukupan, biaya sekolah dan kuliahnya saja ia dapatkan karena beasiswa. Dengan hadirnya Bima di hidup Reksa jadikan pria itu semakin merasa di sayang, seperti memiliki sebuah sandaran atas lelahnya ia menghadapi dunia. Seperti sebuah keajaiban mendapatkan pacar yang perhatian walau sering membentak jika kesal, dan keluarga Bima juga tidak kalah baik dengan Bima sendiri.

Reksa dan Dipta. Keduanya di perkenalkan kepada keluarga Wisnu di hari yang sama. Saat itu Rumi masih kelas tiga sekolah menengah atas. Awalnya ketika bertemu dengan Reksa dan juga Dipta, Rumi merajuk karena merasa kakak-kakaknya akan di ambil paksa oleh mereka, perhatian dan kasih sayang dari kedua kakaknya akan di rampas oleh kedua orang yang di bawa kakaknya ke rumah untuk di perkenalkan pada sang papi dan juga mami.

Namun, nyatanya malah sebaliknya. Rumi lah yang mengambil seluruh perhatian dari pacar kakaknya sendiri.

“Kak, beli ice cream ayo!” Rumi menggandeng tangan kedua calon kakak iparnya di sebelah kiri dan kanan, membuat tangannya penuh.

Dipta dan Reksa mau-mau saja ketika tangannya di tarik ke kiri dan ke kanan, sudah lima belas menit mereka berkeliling hanya untuk mencari makanan. Reksa yang notabenya memang tengah kelelahan meminta Rumi untuk berhenti dan meninggalkannya di salah satu tempat duduk yang tersedia di sana.

“Adek kalo mau apa-apa belinya sama kak Dipta aja ya, ini pake uangnya Aa aja.” ujar Reksa sambil menyerahkan satu kartu ATM milik Bima padanya.

“Gak usah deh kak, Aa udah transfer aku kok tadi. Katanya kalo kakak mau beli sesuatu, pake uang yang ini aja.” balas Rumi.

“Gausah, kamu aja. Kakak masih ada uang.”

“Yaudah.”

Dipta yang sejak tadi hanya memperhatikan dua orang yang lebih muda darinya itu hanya tersenyum tipis. Dirinya kemudian meminta izin Rumi dan juga Reksa untuk pergi sebentar, karena ada barang yang harus ia beli.

“Gue mau cari barang dulu, kalian tunggu di sini. Atau masuk resto aja duluan, nanti gue nyusul.”

Rumi dan Reksa mengangguk, Dipta kemudian melangkah menjauh menyisakan Rumi dan Reksa yang kebingungan harus berbuat apa. Selang beberapa menit Rumi merasakan empedunya penuh, ia kebelet pipis.

“Kak, aku izin ke toilet bentar ya.”

“Oke, jangan lama-lama ya.”

“Iya.”

Kafka yang kini sedang di bantu berdiri oleh Shaka bergerak gelisah. Matanya terus saja melihat ke arah pintu kamar, jaga-jaga jika teman-temannya ke rumah sakit. Namun, sepuluh menit setelah tweet tadi teman-temannya itu belum juga memunculkan batang hidung.

Kafka menghela nafas lega, mungkin mereka tidak serius untuk datang ke rumah sakit pikirnya.

Kelakuan Kafka terus di perhatikan oleh Shaka yang kini terlihat sangat amat menawan dan juga cantik untuk seukuran pria. Dengan jas dokter kebanggaannya, serta bando lucu yang mungkin lupa untuk ia lepas. Senyuman kecil Shaka tunjukan ketika obsidian hitam milik Kafka tak sengaja bertatapan langsung dengan obsidian kecoklatan milik Shaka.

“Aduh dok, jangan senyumin saya kaya gitu dong. Pingsan beneran nih saya.” ujar Kafka bercanda.

Shaka terkekeh, ia mendudukan Kafka ke kursi roda. “Kamu lucu, saya perhatiin dari tadi kaya gelisah banget. Mau cepet-cepet pulang ya?”

“Engga dok, saya takut temen-temen saya kesini. takut berisik terus ganggu pasien lain.”

“Loh ya asik dong kalo mereka kesini, kamu jadi ada temen pulang nanti kan?”

“Engga dok, mereka kalo kesini takut malu-maluin. Mereka kaya orang utan lepas soalnya.”

Ucapan kafka tadi berhasil membuat Shaka tertawa, bukan tertawa hingga hilang kontrol. Tetapi ketawa yang cantik dan anggun, tidak tahu seperti apa, hanya Kafka yang tahu.

“Dokter,” panggil Kafka, membuat Shaka yang masih tertawa menoleh ke arahnya.

“Kenapa Kafka, ada yang sakit?”

“Enggak dok, cuman mau bilang kalo ketawa dokter cantik. Sering-sering deh dok, tapi jangan keseringan juga sih takut sayanya mimisan.”

Shaka bersumpah ia akan memukul brondong satu ini jika sekali lagi membuatnya tersipu malu. Oh astaga, meskipun umurnya sudah dua puluh enam tahun, tapi perasaan seperti itu masih ada pada dirinya.

“Ah kamu, bisa saja. kamu juga ganteng kalo lagi senyum, sering-sering ya soalnya saya suka.”

Anjing. batin kafka.

Kafka menelan ludahnya dengan susah payah, ia bisa melihat setelah mengucapkan kalimat itu sang dokter mengedipkan sebelah matanya seolah sedang menggoda. Makin jatuh cinta saja Kafka dengan sang dokter.

“Saya juga suka dokter kok. Apalagi kalo lagi pake bando kaya gini, lucu pengen cium.” balas Kafka.

Shaka yang tidak sadar jika bando yang di berikan salah satu pasien anak perempuan kepada dirinya belum ia lepas. Jadi, sedari tadi banyak dokter yang memperhatikannya itu karena bando ini kah? Oh astaga Shaka sungguh malu.

“Astaga saya malu, kamu kenapa gak bilang dari awal sih?”

“Sengaja, soalnya saya suka.”

Shaka mendorong Kafka yang memakai kursi roda hingga pintu keluar rumah sakit. Niatnya Shaka akan memesankan Kafka taxi online saja supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan karena pasalnya Kafka sempat memberitahu bahwa dirinya tidak ada yang menjemput pulang.

“Nanti di rumah jangan ceroboh, kalo mau turun minta bantuan orang lain ya?”

Kafka yang sejak tadi menolehkan kepalanya ke belakang dan agak mendongak malah di sentil pelan oleh Shaka yang sejak tadi terus memberi nasihat untuk Kafka agar lebih hati-hati.

“Aw, sayanya kok di sentil?”

“Lihat ke depan, nanti kamu pusing.”

“Pusing karena dokter cantik banget, kenapa ya?”

Shaka memutar bola matanya malas, sementara Kafka hanya terkekeh ketika melihat dokter yang ia suka mulai jengah olehnya.

Keduanya hampir sampai pada pintu keluar, tepat ketika baru dua langkah kaki Shaka melewati pintu dengan Kafka yang ia dorong, sebuah bucket bunga langsung menghalangi pandangan. Di sana tertulis nama Kafka dengan bait kalimat “Selamat kembali ke rumah.” sukses membuat Shaka berhenti mendadak.

“Halo dokter selamat siang, kami teman-temannya Kafka bermaksud menjemput dia untuk pulang. Boleh dok?” ini Haikal.

Shaka menatap kelima anak muda yang ia yakini umur dua puluhan itu dengan senyum mengembang. Lantas menyingkir dari belakang Kafka untuk mempersilahkan teman-teman pasiennya untuk mengambil alih.

“Terimakasih ya dokter cantik, udah jagain abang saya sampe sempuh. Semoga dokter tambah cantik dan selalu sehat.” Rafael menyalimi tangan Shaka dengan sedikit brutal, buat Shaka terkesiap.

“Eh iya, sama-sama.”

“Dok, saya Javier. Apa ada jadwal check up untuk teman saya? kalo ada biar saya saja yang antar.” Javier menyalimi tangan Shaka sedikit lama, buat Kafka yang memperhatikan sejak tadi langsung menggeplak tangan Javier dengan paksa.

“Lepas, tangan lu tau tengi.”

“Sembarangan.”

Shaka melirik Kafka yang tengah cemberut, sangat lucu. Kemudian pandangannya melihat kepada dua pemuda lain yang hanya tersenyum dan memperhatikan dirinya, saat dirinya mendekat kedua orang itu malah menjauh. Membuat Shaka bingung dan kembali mendekati mereka.

“Dok udah dok, diem di situ. Kita gak mau mimisan kalo liat kecantikan dokter dari deket. Cukup segini aja.” ucap Putra sambil memajukan kedua tangannya, pertanda untuk Shaka agar tidak melangkah lebih maju.

Sementara Astra kini sudah melongo sejadi-jadinya ketika Shaka berada beberapa langkah di depannya. “Nama kamu siapa?” tanya Shaka kepada Astra.

“Astra dok, bapak saya juragan lele. Dokter mau gak sama saya?” ucapnya tanpa sadar.

Buat Shaka terbahak, kemudian ia melirik Kafka yang semakin naik pitam. Melihat pasiennya yang seperti itu, Shaka kembali mendekat dan berjongkok di hadapan Kafka.

“Kafka tadi di ingat ya yang saya bilang? kamu check up ke sini seminggu sekali, nanti ketemu lagi sama saya.”

“Iya dok, nanti saya kesini sendiri.”

“Loh kok sendiri, itu temennya udah sedia nganter loh.” ucap Shaka sembari melihat satu-persatu teman Kafka yang kini menampilkan wajah memelas tanda ingin si kasihani.

“Enggak, yang ada saya makin sakit kalo di anter sama mereka. Sendiri aja, gapapa kan cantik?”

Shaka mengangguk lalu penepuk kepala Kafka sekali, buat senyuman Kafka mengembang. Namun semenit kemudian senyumnya langsung luntur ketika kelima temannya berjejer rapih di hadapan Shaka.

“Loh ini juga kenapa malah ngejejer?”

“Kita mau di puk-puk sama dokter juga.” ucap kelimanya kompak, buat Kafka semakin naik pitam.

“Oh oke, makasih ya udah mau jemput Kafka.” Shaka menepuk-nepuk pucuk kepala kelima teman Kafka seperti ia menepuk kepala Kafka dengan pelan.

“Yaudah, kamu pulang ya. Saya mau balik ke ruangan, hati-hati di jalan. Kalian juga hati-hati ya bawa mobilnya, jangan ngebut.”

“Siap dokter cantik.” jawab kelimanya sambil memberi hormat.

Shaka mengangguk dan mulai berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan keenam pemuda yang kini sama-sama melihatnya hingga akan mencapai pintu. Namun, ketika Shaka akan melangkah masuk, tiba-tiba ada anak remaja berusia sekitar lima belas tahunan memeluknya dari belakang sambil menggemakan nama 'Papi'.

Buat Kafka dkk, mematung. Hingga ada satu orang pria lainnya yang ikut datang sambil membawa satu kantong hitam yang di yakini milik remaja tadi. Shaka di cium keningnya, keduanya saling melempar senyuman. Hingga si pria tadi merangkul pinggang ramping Shaka dan membawanya masuk, sementara remaja tadi berbalik ke arah Kafka dan mendekat.

“Jangan posting-posting foto papi lagi! Keenan gak suka!” ucapnya, kemudian meninggalkan keenam pemuda yang masih melongo sejadi-jadinya.

“Anjir, udah ada pawang.”

“Yah pupus harapan.”

“Ayo balik, kita menyerah saja kawan.”

“Kita nyelesain skripsi aja udah, itu yang paling bener.”

Kafka yang kini sedang di bantu berdiri oleh Shaka bergerak gelisah. Matanya terus saja melihat ke arah pintu kamar, jaga-jaga jika teman-temannya ke rumah sakit. Namun, sepuluh menit setelah tweet tadi teman-temannya itu belum juga memunculkan batang hidung.

Kafka menghela nafas lega, mungkin mereka tidak serius untuk datang ke rumah sakit pikirnya.

Kelakuan Kafka terus di perhatikan oleh Shaka yang kini terlihat sangat amat menawan dan juga cantik untuk seukuran pria. Dengan jas dokter kebanggaannya, serta bando lucu yang mungkin lupa untuk ia lepas. Senyuman kecil Shaka tunjukan ketika obsidian hitam milik Kafka tak sengaja bertatapan langsung dengan obsidian kecoklatan milik Shaka.

“Aduh dok, jangan senyumin saya kaya gitu dong. Pingsan beneran nih saya.” ujar Kafka bercanda.

Shaka terkekeh, ia mendudukan Kafka ke kursi roda. “Kamu lucu, saya perhatiin dari tadi kaya gelisah banget. Mau cepet-cepet pulang ya?”

“Engga dok, saya takut temen-temen saya kesini. takut berisik terus ganggu pasien lain.”

“Loh ya asik dong kalo mereka kesini, kamu jadi ada temen pulang nanti kan?”

“Engga dok, mereka kalo kesini takut malu-maluin. Mereka kaya orang utan lepas soalnya.”

Ucapan kafka tadi berhasil membuat Shaka tertawa, bukan tertawa hingga hilang kontrol. Tetapi ketawa yang cantik dan anggun, tidak tahu seperti apa, hanya Kafka yang tahu.

“Dokter,” panggil Kafka, membuat Shaka yang masih tertawa menoleh ke arahnya.

“Kenapa Kafka, ada yang sakit?”

“Enggak dok, cuman mau bilang kalo ketawa dokter cantik. Sering-sering deh dok, tapi jangan keseringan juga sih takut sayanya mimisan.”

Shaka bersumpah ia akan memukul brondong satu ini jika sekali lagi membuatnya tersipu malu. Oh astaga, meskipun umurnya sudah dua puluh enam tahun, tapi perasaan seperti itu masih ada pada dirinya.

“Ah kamu, bisa saja. kamu juga ganteng kalo lagi senyum, sering-sering ya soalnya saya suka.”

Anjing. batin kafka.

Kafka menelan ludahnya dengan susah payah, ia bisa melihat setelah mengucapkan kalimat itu sang dokter mengedipkan sebelah matanya seolah sedang menggoda. Makin jatuh cinta saja Kafka dengan sang dokter.

“Saya juga suka dokter kok. Apalagi kalo lagi pake bando kaya gini, lucu pengen cium.” balas Kafka.

Shaka yang tidak sadar jika bando yang di berikan salah satu pasien anak perempuan kepada dirinya belum ia lepas. Jadi, sedari tadi banyak dokter yang memperhatikannya itu karena bando ini kah? Oh astaga Shaka sungguh malu.

“Astaga saya malu, kamu kenapa gak bilang dari awal sih?”

“Sengaja, soalnya saya suka.”

Shaka mendorong Kafka yang memakai kursi roda hingga pintu keluar rumah sakit. Niatnya Shaka akan memesankan Kafka taxi online saja supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan karena pasalnya Kafka sempat memberitahu bahwa dirinya tidak ada yang menjemput pulang.

“Nanti di rumah jangan ceroboh, kalo mau turun minta bantuan orang lain ya?”

Kafka yang sejak tadi menolehkan kepalanya ke belakang dan agak mendongak malah di sentil pelan oleh Shaka yang sejak tadi terus memberi nasihat untuk Kafka agar lebih hati-hati.

“Aw, sayanya kok di sentil?”

“Lihat ke depan, nanti kamu pusing.”

“Pusing karena dokter cantik banget, kenapa ya?”

Shaka memutar bola matanya malas, sementara Kafka hanya terkekeh ketika melihat dokter yang ia suka mulai jengah olehnya.

Keduanya hampir sampai pada pintu keluar, tepat ketika baru dua langkah kaki Shaka melewati pintu dengan Kafka yang ia dorong, sebuah bucket bunga langsung menghalangi pandangan. Di sana tertulis nama Kafka dengan bait kalimat “Selamat kembali ke rumah.” sukses membuat Shaka berhenti mendadak.

“Halo dokter selamat siang, kami teman-temannya Kafka bermaksud menjemput dia untuk pulang. Boleh dok?” ini Haikal.

Shaka menatap kelima anak muda yang ia yakini umur dua puluhan itu dengan senyum mengembang. Lantas menyingkir dari belakang Kafka untuk mempersilahkan teman-teman pasiennya untuk mengambil alih.

“Terimakasih ya dokter cantik, udah jagain abang saya sampe sempuh. Semoga dokter tambah cantik dan selalu sehat.” Rafael menyalimi tangan Shaka dengan sedikit brutal, buat Shaka terkesiap.

“Eh iya, sama-sama.”

“Dok, saya Javier. Apa ada jadwal check up untuk teman saya? kalo ada biar saya saja yang antar.” Javier menyalimi tangan Shaka sedikit lama, buat Kafka yang memperhatikan sejak tadi langsung menggeplak tangan Javier dengan paksa.

“Lepas, tangan lu tau tengi.”

“Sembarangan.”

Shaka melirik Kafka yang tengah cemberut, sangat lucu. Kemudian pandangannya melihat kepada dua pemuda lain yang hanya tersenyum dan memperhatikan dirinya, saat dirinya mendekat kedua orang itu malah menjauh. Membuat Shaka bingung dan kembali mendekati mereka.

“Dok udah dok, diem di situ. Kita gak mau mimisan kalo liat kecantikan dokter dari deket. Cukup segini aja.” ucap Putra sambil memajukan kedua tangannya, pertanda untuk Shaka agar tidak melangkah lebih maju.

Sementara Astra kini sudah melongo sejadi-jadinya ketika Shaka berada beberapa langkah di depannya. “Nama kamu siapa?” tanya Shaka kepada Astra.

“Astra dok, bapak saya juragan lele. Dokter mau gak sama saya?” ucapnya tanpa sadar.

Buat Shaka terbahak, kemudian ia melirik Kafka yang semakin naik pitam. Melihat pasiennya yang seperti itu, Shaka kembali mendekat dan berjongkok di hadapan Kafka.

“Kafka tadi di ingat ya yang saya bilang? kamu check up ke sini seminggu sekali, nanti ketemu lagi sama saya.”

“Iya dok, nanti saya kesini sendiri.”

“Loh kok sendiri, itu temennya udah sedia nganter loh.” ucap Shaka sembari melihat satu-persatu teman Kafka yang kini menampilkan wajah memelas tanda ingin si kasihani.

“Enggak, yang ada saya makin sakit kalo di anter sama mereka. Sendiri aja, gapapa kan cantik?”

Shaka mengangguk lalu penepuk kepala Kafka sekali, buat senyuman Kafka mengembang. Namun semenit kemudian senyumnya langsung luntur ketika kelima temannya berjejer rapih di hadapan Shaka.

“Loh ini juga kenapa malah ngejejer?”

“Kita mau di puk-puk sama dokter juga.” ucap kelimanya kompak, buat Kafka semakin naik pitam.

“Oh oke, makasih ya udah mau jemput Kafka.” Shaka menepuk-nepuk pucuk kepala kelima teman Kafka seperti ia menepuk kepala Kafka dengan pelan.

“Yaudah, kamu pulang ya. Saya mau balik ke ruangan, hati-hati di jalan. Kalian juga hati-hati ya bawa mobilnya, jangan ngebut.”

“Siap dokter cantik.” jawab kelimanya sambil memberi hormat.

Shaka mengangguk dan mulai berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan keenam pemuda yang kini sama-sama melihatnya hingga akan mencapai pintu. Namun, ketika Shaka akan melangkah masuk, tiba-tiba ada anak remaja berusia sekitar lima belas tahunan memeluknya dari belakang sambil menggemakan nama 'Papi'.

Buat Kafka dkk, mematung. Hingga ada satu orang pria lainnya yang ikut datang sambil membawa satu kantong hitam yang di yakini milik remaja tadi. Shaka di cium keningnya, keduanya saling melempar senyuman. Hingga si pria tadi merangkul pinggang ramping Shaka dan membawanya masuk, sementara remaja tadi berbalik ke arah Kafka dan mendekat.

“Jangan posting-posting foto papi lagi! Keenan gak suka!” ucapnya, kemudian meninggalkan keenam pemuda yang masih melongo sejadi-jadinya.

“Anjir, udah ada pawang.”

“Yah pupus harapan.”

“Ayo balik, kita menyerah saja kawan.”

Sudah terhitung satu setengah jam Rumi coba menutup matanya dengan paksa agar ia bisa terlelap dan bangun di pagi hari untuk berangkat ke kampus. Namun naas, kedua matanya seolah tidak bisa di ajak kerja sama karena sang insomnia yang kembali tanpa di undang.

Rumi memiliki gangguan tidak bisa tidur atau sering kali di sebut dengan istilah insomnia oleh kebanyakan orang. Gejala umum dari insomnia adalah sebagai mudah merasa lelah dan sulit berkonsentrasi saat melakukan aktivitas di siang hari dan ini sangat mengganggu Rumi ketika dirinya tengah beraktivitas di kampus, selain itu juga Rumi sering kali mudah terbangun di malam hari dan tidak dapat tidur kembali.

Karena bingung harus melakukan apa, akhirnya Rumi berinisiatif untuk membawa tungkai miliknya berjalan-jalan di komplek mewah Varel pada malam hari. Selain mencari udara sengar, rumi juga berniat untuk mencari minimarket yang buka dua puluh empat jam untuk membeli susu agar ia bisa terlelap.

Rumi sangat suka dengan langit, apalagi langit malam. Dia termasuk golongan orang yang biasa di sebut dengan istilah Astrophile ; orang-orang menyukai langit malam. Sederhana saja sebetulnya jika ditanya alasan kenapa dia suka langit malam, katanya suasana malam sangat menenangkan isi pikiran. Dengan melihat ribuan bintang yang berkerlap-kerlip di atas langit membuat hatinya tenang tanpa beban.

Rumi juga sangat suka dengan sejarah ruang angkasa, tadinya ia ingin mengambil jurusan Astronomi agar kelak ia bisa menjadi Astronomer dan bekerja di Observatorium. Observatorium adalah sebuah sarana atau tempat di mana perlengkapan pengamatan seperti teleskop yang dapat digunakan untuk melihat langit dan peristiwa yang berhubungan dengan astronomi berada di sana.

Ia sudah membayangkan bagaimana kerennya dirinya nanti ketika berdiri di atas podium dengan menjelaskan bagaimana bintang, dan benda langit lainnya, dan mendapat tepuk tangan dari banyak orang. Memikirkan semua hal itu saja mampu membuat dirinya tersenyum lebar. Baginya, benda-benda luar angkasa sangat indah dan luar biasa. Rumi selalu memasang alarm setiap subuh agar ia tidak tertinggal ketika sang bintang pagi ; Venus muncul.

Namun, impiannya kandas begitu saja ketika sang papi malah memaksa dirinya untuk mengambil fakultas Manajemen yang tidak ia sukai. Mungkin kedua kakak laki-lakinya sangat pandai ketika membahas perihal yang menyangkut Manajemen karena kedua kakak kandungnya itu memiliki darah sang Papi. Namun, dirinya lebih mirip dengan sang Mami yang suka dengan benda-benda luar angkasa.

Rumi menghembuskan nafas berat ketika ia terpaksa harus mengingat kembali memori pahit ketika dua tahun lalu. Kedua netra gelapnya menengok kanan dan kiri, mencari apakah ada minimarket atau tidak di sekitaran dirinya berjalan. Ketika tengah fokus berjalan Rumi malah menemukan seekor kucing berwarna orange tengah mengeong kelaparan di tengah jalan. Karena tidak tega, akhirnya Rumi mendekat dan berjongkok di hadapan sang kucing sambil mengelus-elus bulu sehalus kapas milik sang kucing.

“Halo meng, ngapain sendirian di sini? gak bisa tidur juga ya? kamu insomnia juga?” Rumi terus mengajak sang kucing untuk mengobrol, meskipun dia tau jika sang kucing tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan.

“Kalo gue tinggal dia sendirian di sini kasian, nanti ketabrak mobil lewat.” monolognya bimbang antara harus tetap berjalan dan meninggalkan kucing lucu ini, atau dirinya harus membawa kucing ini ke tempat yang lebih aman.

Rumi melihat sekitar, kemudian dirinya membawa sang kucing dalam gendongan. Ia berjalan sembari membawa kucing tadi yang terus menggigit tali hoodie yang ia pakai. Sebenarnya itu hoodie milik Varel sih, Rumi hanya meminjam saja walaupun cara ia meminjam patut mendapat gelengan kepala.

Sebelum keluar dan berjalan-jalan Rumi sempat meminta izin kepada sang sahabat untuk meminjam hoodie kebesaran berwarna hitam dengan gambar anjing jenis Siberian husky di depannya. Rumi berjalan ke arah ranjang milik Varel dengan membawa baju Varel yang akan ia pinjam, lantas dirinya mendekat dan berbisik di sebelah telinga Varel.

“Rel, minjem bentar ya gue mau jalan-jalan.” kemudian Rumi membuat suara lain dengan maksud itu adalah suara Varel yang menjawabnya.

“Iya Thay pake aja.” katanya menjawab pertanyaannya sendiri.

“Oke, makasih.” selanjutnya Rumi terkekeh geli karena tingkahnya yang di luar nalar, ia langsung bergegas untuk memakai baju milik Varel dan langsung keluar.


Sekitar pukul dua dini hari akhirnya Rumi menemukan minimarket yang masih buka. Ia lantas menaruh kucing orange itu di luar minimarket sebelum ia masuk. Rumi akan membeli beberapa kotak susu dan juga cemilan untuk ia bagi kepada si kucing.

Jari lentiknya terus memilah dan memilik apa saja yang sekiranya bisa ia makan dengan kalori yang cukup rendah karena ia tidak ingin berat badannya bertambah. Rumi memiliki status sebagai duta kampus di fakultasnya, bahkan fakultas lain juga tidak jarang yang mengenal dirinya. Memiliki proporsi tubuh yang ideal membuatnya di pilih menjadi model of the week dalam majalah kampus yang di buat oleh Prodi Fotografi dan juga UKM Jurnalistik di kampusnya.

Membuat dirinya sangat terkenal. Banyak yang menginginkan dirinya untuk menjadi pacar, tunangan, bahkan suami. Namun, Rumi tidak bisa luluh dengan mudah. Ia hanya bisa luluh oleh Kavin seorang, kakak tingkat semester tujuh dari Fakultas Teknik yang kini sudah berstatus sebagai pacarnya sejak enam bulan lalu.

Oh iya juga. Rumi tidak bertukar kabar dengan sang kekasih semenjak dirinya mendengar kabar bahwa akan di jodohkan oleh sang papi. Mungkin Rumi mendapat beberapa pesan spam yang berasal dari nomor Kavin, namun seolah tidak peduli Rumi malah mengabaikan itu dan lanjut dengan memikirkan kehidupannya yang di ujung tanduk.

Setelah selesai memilih beberapa cemilan dan juga susu Rumi berjalan ke arah kasir untuk membayar. Sekitar tiga menit berlalu akhirnya ia keluar dari minimarket dan menghampiri kucing orange tadi, memberikannya makan makanan ringan yang ia yakini akan di sukai sang kucing.

Belum sampai lima menit dirinya bermain dengan sang kucing, tiba-tiba ponselnya bergetar dan berbunyi menandakan ada pesan masuk. Namun, ketika baru melihat siapa yang mengiriminya pesan matanya langsung membelalak terkejut dan panik.

“Mampus, Varel bakalan marahin gue habis-habisan nih malem ini.” monolognya.

“Meng maaf ya aku tinggal pulang dulu, mam yang banyak ya. Kapan-kapan kalo kita ketemu lagi aku bakalan bawain kamu makanan kucing, aku pulang ya dadah.”

Pukul sepuluh malam lewat tiga puluh menit sebuah gerungan sepedah motor capai rungu pemuda berambut pirang dengan hidung bangir yang tengah menyiapkan makan malam di dapur bersama dengan asisten rumah tangga yang tinggal di rumah megah miliknya.

Rumah mewah dengan gaya eropa, serta di jaga oleh beberapa satpam di luar. Rumah Varelino Dhafian, sahabat baik Rumi Athaya. Keduanya tinggal di sebuah komplek yang berbeda, komplek elite yang berjarak lima kilometer dari rumah Rumi berada.

Di bandingkan dengan Laras, Rumi lebih dekat dengan Varel karena status mereka yang berteman dari kecil. Bahkan, Rumi tidak segan-segan untuk membawa Varel ke dalam rumahnya saat malam hari tanpa memberitahu siapapun.

Keluarganya dan juga keluarga Varel sudah saling mengenal sejak lama, status pertemanan yang terjalin oleh bisnis kedua orang tuanya membuat Rumi kecil yang pemalu menerima ajakan Varel kecil yang jahil untuk menjadi sahabat.

Varel mengecilkan kobaran api yang keluar dari kompor, mencegah makanan yang ia masak gosong. Kemudian ia membasuh kedua tangannya sebelum berpesan kepada sang bibi asisten rumah tangga untuk menyelesaikan masakan mereka karena ia akan menyambut Rumi ke depan sebentar.

“Bi Sum, nanti tolong kasih garam sedikit lagi ya ke Samgyetang nya. Varel mau ke depan sebentar.”

Varel merupakan pemasak handal, sejak kecil ia belajar dan mengambil les tambahan yang tidak berhubungan dengan pelajaran. Dulu ia pernah mengambil les biola, masak, dan juga menyanyi. Semua itu bukan keinginannya, melainkan tuntutan sang ayah yang ingin membuat nama keluarganya jauh lebih unggul dengan para saudaranya yang lain. Semuanya itu bertujuan untuk mengambil hati sang nenek agar menjatuhkan seluruh hartanya pada sang ayah.

Daun pintu coklat dengan ukuran yang lebih besar dari tubuhnya terbuka perlahan, di sana ada Rumi yang cemberut menenteng helm full face miliknya, di belakangnya ada salah satu ajudan kepercayaan ayah Varel yang membawa sekantong cemilan yang Rumi bawa.

“Lo ngapain bawa cemilan segini banyak?”

Rumi dengan mata yang sembab dan berkaca-kaca mulai merengek dan memeluk tubuh Varel hingga si empunya terhuyung ke belakang. “Gue tinggal di sini boleh enggak? gamau pulang!”

Varel mencoba melepas pelukan Rumi dengan paksa, hadiahkan pukulan ringan pada pundak yang lebih muda. “Gila! kalo lo tinggal di sini bokap gue ngamuknya ke gue bukan ke elo!”

Rumi mencebik kembali ketika Varel melengos pergi ke arah dapur. Dirinya mengekor sambil menunduk lesu. Namun, ketika indera pembaunya mencium aroma nikmat dari makanan kepalanya langsung mendongak.

“Bi sum lagi masak apa? baunya wangi banget, Rumi jadi laper nih.” ucap Rumi yang di hadiahi delikan malas dari Varel.

“Ini den Rumi, tadi den Varel ajak saya buat masak makanan Korea. Katanya sih enak, bibi cuman nyelesain doang. Yang beneran masak dari awal sampe ngebumbuin mah den Varel.”

Varel mengambil dua mangkuk kosong untuk ia isi dengan sup ayam ala Korea yang baru ia pelajari dua jam tadi. Ekor matanya menangkap Rumi yang terus memperhatikan empat ekor ayam utuh yang ia isi oleh beras, hampir saja Rumi meneteskan air liur jika tidak di kejutkan oleh Varel yang memukul bokongnya.

“Mingkem entar lo nyeces gimana? ini kita makan di balkon aja sambil cerita.” ujar Varel yang di balas oleh cengiran lucu dari yang lebih muda.

“Bi Sum, ini sisanya bagiin aja ke pak Budi sama yang lainnya. Bi Sum juga jangan lupa makan, aku sama Rumi mau naik ke atas sambil ngobrol.”

“Baik den Varel, kalo ada yang di perluin panggil bibi saja ya?”

“Oke bi, Varel sama Rumi pergi dulu ya.”

Rumi melambai lucu kepada bi Sumi yang di balas oleh kekehan dari sang art. Sudah empat belas tahun Rumi hampir mengenal semua pekerja yang ada di rumah Varel, setengahnya ia masih belum bisa menghafal karena mereka pekerja baru. Namun, ia berusaha untuk membuat semuanya akrab padanya karena ia akan sering main ke rumah majikan mereka jika senggang.

Kedua pemuda itu naik lewat anak tangga, satu nampan penuh dengan makanan mereka angkat berdua. Sebenarnya Varel tidak masalah jika harus membawa nampan itu sendirian karena tidak berat juga, namun yang namanya Rumi Athaya mana pernah mendengarkan orang lain. Sikap keras kepala yang di miliki oleh sahabatnya kadang membuat Varel geleng-geleng kepala.

Keduanya sampai pada kamar milik Varel, mereka memilih untuk duduk diam di balkon super besar yang ada di kamar Varel sambil melihat kilauan bintang di langit malam kota Jakarta. Dua anak ini sangat suka dengan hamparan luas langit malam yang menyuguhkan triliyunan bintang dan rembulan.

Keduanya memilih duduk lesehan di atas bantal empuk yang di sediakan di balkon. Melihat Rumi yang sudah tidak sabar untuk menyantap masakannya membuat hati Varel menghangat.

“Makan yang banyak, gue gamau pas cerita lo malah motong buat makan dulu.”

“Oke.” balas Rumi di sertai anggukan.


Kurang dari dua puluh menit keduanya selesai menyantap makanan masing-masing. Rumi menyantap makanan yang di masak Varel dengan lahap, hal kecil seperti itu mampu membuat hati Varel yang kesepian menghangat.

“Enak banget makanannya. Makasih ya Varel-ku sayang.” Rumi hendak mendekat dan memberikan pelukan dan ciuman kasih sayang, namun jidatnya di tahan oleh yang lebih tua. Buat yang lebih muda mencebik sedih.

“Jangan harap gue mau di cium sama bibir belepotan bekas makan lo itu, nih lap dulu pake tisu basah!” Varel menyodorkan selembar tisu basah kepada Rumi yang cekikikan, puas dengan usahanya yang ingin membuat Varel tampak kesal.

“Udah?” tanya Varel kepada Rumi.

“Udah.”

“Jadi tujuan lo buat balapan liar malem-malem tuh apa?” tanya Varel yang di balas oleh tundukan kepala dari yang di hadiahi pertanyaan.

“Sebenernya enggak mau balapan tadi tuh.” jawab Rumi lesu, tangannya membuat pola memutar di atas karpet berbulu lembut milik Varel.

“Terus?”

“Tadi tuh gue lagi diem di pasar malem, soalnya di sana ada bianglala. Gue tadinya mau naik, tapi lo keburu nanya gue ada dimana.”

“Terus kenapa harus bohong sama gue?” balas Varel sambil mencubit hidung Rumi hingga si empunya merengut kesakitan.

“Takut lo bilang sama Aa kalo gue ada di pasar malem.” adunya sambil manyun-manyun.

Varel merotasikan bola matanya malas. “Jadi lo mau cerita tentang perjodohan itu?” tanya Varel yang di angguki kepala sebagai tanda 'iya' oleh Rumi.

“Kan pas waktu itu tuh bang Aldi ngisengin gue dengan embel-embel mau jodohin gue dan di bilangin ke papi. Nah, pas malemnya itu tiba-tiba bang Aldi chat gue lagi katanya gue beneran mau di jodohin sama papi. Dia gak sengaja nguping omongan papi waktu lagi telponan sama orang, nah awalnya gue gak percaya dong soalnya bang Aldi kan emang tabiatnya gitu.”

Varel mengangguk-anggukan kepalanya ketika Rumi fokus bercerita.

“Terus gue tanya lah tuh ke papi lewat room chat, pi masa kata abang aku mau di jodohin sih. Gue bilang gitu tuh ke papi, nah terus mami bales gue kaya kok kamu taunya dari abang bukan dari papi sih? di situ gue melongo kaya orang bego. Gue mikir kaya ini gue yang bego atau mereka yang sekongkol sama abang, eh taunya papi bilang beneran mau jodohin gue. Lo tau enggak perasaan gue waktu itu, Rel?”

Varel yang kini sudah tengkurap sambil memakan permen jelly hanya menggeleng. Membuat Rumi kembali menyambung ceritanya yang sempat terhenti.

“Perasaan gue di situ kaya sedih, campur aduk, lunglai, dan mulai gak semangat buat menjalani hari-hari.” ucapnya lebay, sangat dramatis hingga membuat Varel langsung terduduk.

“Lebay banget.”

“Tapi seriusan tau apii! kan pas kemarin tuh gue sempet bilang papi mau ngomong sesuatu ke gue, nah gue beneran nyamperin papi buat dengerin apa yang mau dia omongin. Katanya dia jodohin gue tuh dengan dasar kasih sayang, padahal mah buat alat bisnis doang.”

“Terus?”

“Terus abis itu gue langsung cabut ke pasar malem sambil nangis-nangis kaya orang gila. Tadinya gue beneran mau balapan aja, tapi pas liat bianglala gue langsung belok ke sana.”

Varel menyela cerita Rumi dengan menyumpal mulutnya dengan permen jelly yang langsung di kunyah oleh Rumi.

“Lo cabut tanpa dengerin penjelasan yang belum papi lo kasih tau?”

“Iya.” balas Rumi sambil mengunyah permen jelly milik Varel hingga habis.

“Duh Thay! lo mikir enggak sih kalo papi lo beneran punya alasan kuat buat jodohin lo? padahal beliau jelas-jelas udah tau kalo lo udah punya pacar?” perkataan Varel hanya di balas gelengan pelan oleh Rumi.

Varel menepuk jidatnya prustasi. Ia mengguncang badan Rumi hingga membuat si empunya memukul Varel hingga mengaduh kesakitan. “Mau di dengerin juga udah jelas Varel! papi jodohin gue sama om-om buat jadi alat bisnis, papi jadiin gue sebagai alat kontrak kerja sama biar papi gak susah-susah buat bujuk itu orang biar bisa kerja sama.”

“Tapi kalo misalkan ada alasan lain gimana?” balas Varel membuat Rumi terdiam membisu.

“Gue gatau api.” jika sudah memanggilnya dengan sebutan masa kecil, Varel yakin jika Rumi memang sedang bingung dan juga sedih. Sorot matanya sarat memperlihatkan keputus asaan. Varel paham benar jika sahabatnya itu tidak ingin di kekang dan di atur, namun Varel tidak bisa membenarkan tindakan yang di ambil oleh sabatnya itu sekarang.

Dengan kabur tanpa mendengarkan seseorang itu adalah sebuah hal yang tidak sopan, siapa tahu hal yang ingin papinya Rumi sampaikan itu adalah sebuah hal yang mendesak dan penting yang menjadi alasan kuat dirinya mengambil keputusan untuk menjodohkan sahabatnya.

“Gue gatau harus bereaksi kaya apa pas papi ngasih penjelasan yang berbelit-belit kaya gitu, gue ngerasa kalo omongan yang di lontarin papi sama mami itu bohong.” ujar Rumi lesu, matanya kembali berkaca-kaca ketika mengingat usapan hangat yang sang papi berikan sore tadi.

“Lo ngerasa juga kalo kasih sayang yang mereka kasih ke lo itu bohong?” tanya Varel.

Rumi menggeleng, “Gue ngerasa kalo kasih sayang yang mereka kasih ke gue itu tulus.”

“Lo harusnya beryukur masih di beri keluarga yang harmonis dan sayang sama lo, Thay. Engga kaya gue.” Varel tersenyum miris sambil memilin kaos hitam yang ia pakai.

“Mungkin lo pikir kasih sayang yang orang tua gue kasih itu tulus, tapi nyatanya enggak Thay. Setelah bokap tau kalo nyokap gue selingkuh, di situ kehidupan gue seratus delapan puluh derajat langsung berubah. Gue yang selalu jadi sasaran empuk dari amukan bokap. Rasanya sakit, bukan sakit lukanya. Tapi yang sakit hati gue Thay, luka yang belum kering di timpa sama luka baru itu enggak bikin sakit.”

Rumi menahan isakannya ketika Varel mulai membuka kaos hitam itu hingga memperlihatkan beberapa luka memar yang masih baru. Di bagian lengan, Rumi bisa lihat luka dalam yang masih mengeluarkan darah, ia jadi ngilu sendiri.

“Tiga tahun gue ngoleksi luka-luka ini, gue jadiin sebagai hadiah ulang tahun yang bokap kasih. Selama gue hidup dan sebelum kejadian itu, bokap sama nyokap gak pernah lupa sama hari ulang tahun gue. Tapi di saat ulang tahun gue yang ke tujuh belas, bokap ngasih hadiah pukulan buat yang pertama kalinya.”

“Rel, udah. Jangan di bahas lagi ya? mending kita tidur.” Rumi mulai berdiri dan menarik Varel agar bangkit juga, menuntunnya untuk tidur di kasur empuk miliknya.

Keduanya mulai berbaring dan menatap langit-langit kamar milik Varel. Terdiam membisu memikirkan nasib mereka berdua. Ketika tengah sibuk melamun, ponsel Rumi tiba-tiba berbunyi dan menampilkan rentetan pesan panjang dari mami, Aldi, dan juga Bima.


Kedua mata Rumi memanas ketika selesai membaca satu-persatu pesan dari keluarganya. Dirinya langsung menyambar jaket dan juga helmnya. Meninggalkan Varel yang berlarian mencoba menghentikannya.

“Gue anter lo ya?”

“Gue harus cepet-cepet kesana Rel, papi masuk rumah sakit gara-gara gue!”

“Tapi lo gabisa nyetir kalo pikiran lo aja semrawut kaya gini Thay! biar gue anter lo kesana. Oke?”

Rumi yang mulai meneteskan air matanya hanya mengangguk. Varel langsung melesat untuk mengambil kunci mobil miliknya, berjaga-jaga karena cuaca malam hari sangatlah dingin. Pukul dua belas malam jalanan mulai sepi, dan ini adalah opsi yang paling bagus untuk Varel mengantar Rumi dalam keadaan seperti ini.

Varel dan Rumi langsung menuju garasi, keduanya masuk ke dalam mobil. Para satpam yang berjaga langsung membukakan gerbang lebar-lebar ketika suara gerungan mobil sport milik sang majikan terdengar, bi Sumi berdiri gelisah di halaman rumah sambil meremat tangan. Cemas dengan tuan muda yang pergi tiba-tiba.

“Den, kalau tuan besar datang bagaimana?”

“Gapapa bi, nanti aku bilang ke ayah mau antar Rumi ke rumah sakit karena Papinya sakit. Ayah pasti ngerti, tolong nanti jangan lupa kunci semua pintu sama jendela ya bi. Varel berangkat!”

Varel melanjukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jalanan hari ini ternyata sangat sepi, ia kira akan ada beberapa mobil dan motor yang berlalu-lalang, namun ternyata memang sangat sepi. Itu membuatnya langsung menambah laju mobilnya agar cepat sampai.

Rumi yang ada di sebelahnya hanya terisak tertahan, tangannya gemetaran membalas setiap rentetan chat yang di kirimkan oleh sang mami. Membuat Varel agak sedikit cemas dan juga iba.

“Papi lo pasti baik-baik aja, Mi.”

“Papi masuk rumah sakit gara-gara gue, Rel.”

“Enggak ada yang tahu kapan orang bisa sakit Mi, semua itu udah di atur sama yang di atas. Jangan nyalahin diri lo sendiri.”