vivi

Bukan hal yang sulit bagi Rayyan untuk jatuh cinta lagi dan lagi pada paras indah nan polos milik Rumi. Sejak kecil, ketika ia pertama kali jatuhkan pandangannya pada wajah Rumi yang tengah tertidur perasaan senang luar biasa bisa Ray rasakan.

Rayyan pikir ia menyukai Rumi karena sudah ia anggap sebagai adik kecil saja, namun ketika ia berumur 28 tahun dan bertemu kembali dengan Rumi yang masih duduk di bangku SMA pada acara arisan ibunya, Rayyan rasakan ia jatuh cinta. Paras Rumi yang menawan dengan senyum manis mata bulan sabit membuat Rayyan terpaku begitu saja, ia terlena.

Hingga akhirnya perjodohan antara dirinya dan juga sang pujaan sudah ditetapkan, hatinya bersorak gembira. Berbanding terbalik dengan Rumi yang awalnya menganggap ini sebuah duka, dan akhir dari hidupnya.

Rayyan tersadar dari lamunan ketika kaca mobilnya diketuk beberapa kali oleh Rumi yang kini tengah menyambut kepulangannya. Dengan hoodie kebesaran berwarna hitam dengan satu bungkus cemilan kentang yang masih digenggam Rumi paksa Rayyan untuk keluar.

“Om saya udah laper banget ini, ayo kita masak pasta. Porsinya jadi empat orang ya, buat pak Asep sama pak Tarno juga. Kasihan tau om tadi pak Asep cerita kalo beliau beli sate, tapi satenya jatoh gara-gara beliau diserempet orang. Emang gila semua manusia zaman sekarang, gak ada sopan santunnya sama orang tua!” ucap Rumi menggebu-gebu.

Rayyan terkekeh singkat sebelum ia mengusak gemas kepala Rumi, aroma shampo dengan harum strawberry langsung menusuk hidung Rayyan. “Kamu ganti shampo lagi? tumben, biasanya rambut kamu wangi jasmine.” ucap Rayyan.

“Shampo yang itu habis, di kamar mandi adanya yang ini. Yaudah, saya pake yang ada aja deh,” Rumi masih fokus dengan kegiatan memakan cemilan, tanpa menyadari jika Rayyan sudah melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan dirinya.

“Cemilan kentangnya udah habis by the way, Om mau gak?” Rumi alihkan pandangannya dari cemilan yang ia pegang, wajahnya berubah masam ketika menyadari hanya tinggal dirinya seorang yang tersisa di luar rumah.

“Oasu gue ditinggal. Nyebelin dasar om cabul so kegantengan!” ucapnya.

Dari Semesta ; TCWM.

Rumah dengan warna kuning pucat itu terlihat sepi dan sunyi. Halaman rumah yang cukup luas dengan berbagai jenis tanaman yang tersusun rapih berjejeran di sekitar pagar rumah. Jayendra berdiri disana, di depan pintu bercat putih dengan ukiran tangan membentuk nama seseorang yang kini selalu menjadi bagian dari rutinitas selama ia tinggal di komplek ini.

Jayendra sudah mengetuk pintu rumah Kiandra beberapa kali namun hasilnya selalu sama, tidak ada jawaban. Tadinya Jayendra tidak berani membuka pintu sebelum sang tuan rumah yang membukanya sendiri, namun ia kembali teringat dengan pesan yang di kirim kakak tingkatnya pukul dua siang tadi perihal si bungsu dari keluarga Surya Atmaja yang tengah sakit.

Jayendra kembali ketuk pintu putih itu sekali lagi, “Cil, buka! Lo gak apa-apa kan?” teriaknya.

Karena tak sabaran, Jayen langsung membuka pintu yang tidak terkunci itu dengan tergesa. Ketika ia sudah masuk, netranya dengan jelas tangkap presensi seseorang yang tertatih-tatih menuruti anak tangga dengan tangan yang terus memegangi kepala.

“Astaga! Ngapain sih, lo kalo gak bisa bangun gak usah maksain buat turun Kian! Kalo lo jatoh gimana? bahaya!” ucap Jayen sambil berlari mendekati Kian yang hampir saja limbung.

“Kekasihku? kenapa kesini? cari Abang ya? Abang belum pulang, nanti kalo Abang pulang Kian kasih tau ya,” jawab Kian pelan, bahkan terdengar berbisik.

Tanpa menunggu lama, Jayendra gendong tubuh yang lebih kecil darinya itu untuk ia bawa naik kembali ke lantai dua. “Kalo sakit tuh minimal minta tolong ke orang lain, atau kalo gak ada pilihan lain bisa minta tolong ke gue Cil!” Ucap Jayendra sedikit kesal.

Kian yang berada di gendongan Jayendra mencoba untuk tetap membuka matanya lebar-lebar karena demi apapun Kian sangat mengantuk saat ini. Bukan kantung karena ingin tidur, tapi karena pening yang terus merenggut kesadarannya.

“Paham gak sama apa yang gue bilang?” Jayendra menghentikan langkahnya ketika dirasa tidak ada respon dari yang lebih muda.

Kian yang sudah memejamkan matanya kembali terkejut ketika intonasi suara Jayendra terdengar seperti sedang marah, “Paham Kekasihku! tapi tadi kian chat kekasihku buat minta tolong tau! tapi kian kira kekasihku marah soalnya balas chat Kian sangat jutek. Kian jadi gak berani buat minta tolong, maaf . . .” balas Kian tidak berani menatap Jayendra yang kini tengah melihatnya.

Hembusan nafas Jayen terdengar oleh telinga Kian, ia kira Jayen akan marah lagi. Namun, ketika Kian sibuk menunduk, ia rasakan usapan lembut pada kepalanya, “Maaf kalo balesan pesan dari gue kesannya kaya yang marah, dan bikin lo takut Cil . . .”

Kian tersenyum kecil, “Tidak apa-apa kekasihku! Kian tidak marah kok, Kekasihku tidak perlu minta maaf!” ucapnya.

Jayendra ikut tersenyum ketika melihat bibir pucat itu tersenyum lebar, menampilkan dua gigi kelinci yang menyembul dari dalam sana. Jayendra mengangguk dan kembali melanjutkan langkahnya untuk menemukan letak kamar Kian dengan sang tuan rumah sebagai petunjuk arah. Suasana hangat semakin terasa di antara keduanya ketika rengkungan di pinggang dibalas rengkungan sama eratnya dileher yang lebih tua.

Diam-diam keduanya tersenyum kecil, senang bukan main. Jutaan kupu-kupu menggelitik didalam perut, rasakan euphoria yang dinamakan kasmaran.

“Stop! ini kamar Kian kekasihku! Taaa daaa! keren nggak? di dalem sana banyak tumbuhan-tumbuhan sihir seperti dikamarnya Howl's tau! kekasihku tau siapa Howl's? kalo gatau kenalin dia suaminya Kian.” celotehan Kian di tanggapi dengan dengusan oleh Jayen.

Buat yang masih berada di gendongan mendelik tajam, “Ey! kekasihku tidak boleh seperti itu pada suamiku! kalian harus akur karena Kian juga bisa adil kok perlakuin kalian berdua!” jawabnya.

“Sutt! Diem, tunggu disini sambil tiduran! gue mau bikin bubur sama ambilin lo obat dulu, kalo mau jadi pacar gue syaratnya harus nurut! paham Kecil?” ucap Jayen sambil membaringkan Kian di atas kasur dengan perlahan.

“Paham kekasihku! tapi ada syaratnya!” Kian menarik tangan Jayen agar tidak menjauh darinya, paham akan ekspresi yang di tampilkan oleh yang lebih tua, Kian terkekeh singkat kemudian kembali melanjutkan ucapannya, “Kekasihku harus cium Kian dulu! baru Kian nurut!” ucapnya.

“Anak kecil gak boleh cium-cium, paham kecil?” ucap Jayen sambil menjawil gemas hidung Kian yang memerah karena flu, Jayen kemudian berjalan menjauh meninggalkan Kian yang merengut kesal karena hidungnya semakin memerah.

“Ish! Sakit Kakak!” ucap Kian kesal, ia usap-usap hidung yang semakin merah itu dengan wajah merengut kesal. Bahkan Kian beberapa kali berikan tatapan menusuk kepada Jayendra yang kini mulai menjauh darinya.

Sementara itu, pelaku hanya bisa tersenyum senang ketika korbannya merengut kesal. Senyuman tipis tidak hilang dari wajah yang lebih tua, bahkan hingga ia sampai di dapur keluarga Surya Atmaja.

“Udah diem! gue mau bikin bubur dulu. Kalo lo turun dari kasur kesempatan jadi pacar gue juga lengap!” ancam Jayen yang membuat Kian mengurungkan niat liciknya untuk kabur dan turun dari kasur.

Rayyan tidak pernah senang ketika melihat seseorang yang bersedih, apalagi karenanya. Rayyan jelas merasa tidak tega kepada seseorang yang kini masih berdiam diri di dalam mobilnya, dengan tatapan kosong yang menerawang jauh keluar jendela. Sejak lima menit yang lalu, mobil yang Rayyan kendarai sudah terparkir dengan rapih pada parkiran sebuah studio foto yang sudah ia booking dari jauh-jauh hari untuk pemotretan prewedding keduanya.

Rayyan bisa melihat dengan jelas kesedihan yang terpancar pada wajah yang lebih muda. Sejujurnya ia merasa bersalah karena dengan lancang mengobrak-abrik kehidupan tentram Rumi dalam sekejap mata, pun itu juga tanpa izin yang lebih muda. Namun apa dayanya, ia juga terpaksa, karena ini sebuah perintah dan janji yang sudah di tetapkan sebelum Rumi lahir ke dunia. Rayyan putuskan untuk menunggu Rumi di luar mobil saja, membiarkan yang lebih muda menuntaskan segala urusan hati dan pikirannya yang mungkin sedang berisik hari ini.

Namun, ketika sudah lima belas menit berlalu, tampaknya si bintang utama enggan meninggalkan kursi penumpang, hingga dengan terpaksa Rayyan harus mengintrupsi Rumi dari lamunan panjangnya.

“Rumi, maaf. Kita sudah sampai, sebaiknya kita segera masuk dan melakukan pemotretan.” Rayyan bisa lihat Rumi mulai menoleh ke arahnya, namun hatinya tiba-tiba mencelos ketika melihat sebulir air mata jatuh dengan cepat dari kedua netra yang lebih muda.

Rumi menghapus air matanya dengan kasar, ia hanya mengangguk dan keluar dari dalam mobil. “Ayo!” katanya.


“Maaf, kakaknya bisa miring sedikit? jaraknya agak lebih deketan ya kak sama masnya! kalo jauh-jauhan gitu nanti di sangkanya kalian nikah karena terpaksa,” ucap sang fotografer kepada Rumi.

Rumi tidak bergeming, ia tetap menjaga jarak dengan Rayyan. Pakaian keduanya bertemakan pakaian santai, Rumi dengan pakaian hitam dengan belahan dada yang lumayan panjang, dan Rayyan memakai sebuah kemeja berbahan levis.

Merasa intruksinya tidak di dengar, sang Fotografer mencoba mengarahkan kembali kedua pasangan ini untuk mendekat. “Boleh di geser lagi masnya? pinggang kakaknya boleh di rangkul juga kalo bisa, biar lebih romantis,” arahan-arahan sang potografer terus Rumi acuhkan, alhasil fotonya belum ada satupun yang bagus.

Hal itu membuat Rayyan agak geram sebenarnya, setidak mau itukah Rumi berdekatan dengan dirinya?

Dengan satu langkah besar, ia menarik pinggang Rumi pelan. Saat Ray merangkul pinggangnya, tampaknya Rumi sedang melamun karena terlihat dari raut wajahnya yang tenang berubah menjadi terkejut.

“Om, ngapain?” bisik Rumi, tangannya mencoba melepaskan rangkulan tangan Rayyan yang bertengger dengan apik disana.

Rayyan melirik Rumi sekilas sebelum matanya tertuju kembali kepada lensa kamera yang sejak tadi sudah di arahkan kepada keduanya. Rayyan berbisik pelan, “Saya tau kamu terpaksa, saya juga tau kamu muak dengan semua ini. Tapi saya minta, untuk kali ini saja kamu bisa di ajak kerjasama, agar pemotretan ini cepat selesai dan kamu bisa pulang.”

Rumi menunduk, perkataan Rayyan ada benarnya juga. Jika ia tidak bisa di ajak kerjasama, maka proses pemotretan akan semakin lama. Rayyan tidak lepaskan tatapannya dari wajah Rumi yang kembali terlihat sendu, ketika dirinya sedang mengamati wajah yang lebih muda, tiba-tiba terdengar suara jepretan kamera beruntun.

“Nah! ini yang saya maksud, posenya sangat romantis. Tahan ya kak, Mas! oh itu tolong kakaknya dongak sedikit buat tatap masnya!” saut fotografer itu dengan semangat, terlihat dari cara ia mengarahkan dan mengambil foto dari berbagai arah.

Rayyan perlahan mengarahkan jarinya untuk memegang dagu yang lebih muda, buat Rumi mendongak ke arahnya. “Permisi, saya izin untuk memegang kamu Rumi. Maaf jika saya tidak sopan!”

Jepretan kamera kembali terdengar, Rumi pun tak alihkan tatapannya dari kedua jenggala sehitam burung gagak milik Rayyan. Tatapan keduanya seolah terkunci, tangan Rumi berlahan naik untuk mencapai leher yang lebih tua, mengalungkan tangannya disana.

“Maaf,” hanya satu kata yang bisa Rumi ucapkan, setelahnya ia membuang pandangannya ke arah kamera.

Rangkulan pada pinggang Rumi semakin mengerat, hal itu membuat Rumi menatap Rayyan kembali berniat bertanya kenapa. Namun, hatinya mendadak terkejut ketika Rayyan daratkan satu kecupan pada dahinya, telinga Rumi menangkap teriakan dan jepretan kamera yang semakin gencar memotret keduanya. Entah kenapa, tapi ketika Rayyan menciumnya, Rumi tidak risih dan menolak. Ia hanya membiarkan hal itu terjadi, kepalanya semakin bersandar pada dada bidang Rayyan, sehingga ia bisa mendengar suara degup jantung milik Rayyan yang berdegup kencang.

“Sejujurnya saya capek Om, saya dari kecil selalu dijadiin tumbal sama papi. Saya pengen ngeluh, tapi saya gak tau mau ngeluh sama siapa,” Rumi rasakan rangkulan pada pinggangnya berubah menjadi sebuah pelukan, pelukan hangat yang selama ini ia butuhkan.

Rayyan menelusupkan kepalanya pada perpotongan leher Rumi, keduanya mencari rasa nyaman dari diri masing-masing. Usapan-usapan lembut tak lupa Rayyan berikan pada punggung yang lebih muda, bergumam kata maaf karena ia juga terpaksa melakukan semua ini.

“Saya kadang bingung, saya anak kandungnya papi atau bukan, saya capek Om. Saya kaya barang buat dijual belikan, saya capek.”

“Maaf, maafkan saya Rumi,” Rayyan berikan kecupan-kecupan kecil pada pucuk kepala yang lebih muda.

Sadar dengan situasi yang terjadi didepan matanya, sang fotografer memutuskan untuk keluar dan meninggalkan kedua pasangan itu untuk menyelesaikan masalah mereka. Sejujurnya ia tidak peduli, namun entah kenapa ketika melihat Rumi yang sejak datang pun sudah terlihat sedih ia ikut bersimpati. Ia pun terlihat salut dengan perlakuan lembut Rayyan, yang seolah mencoba meyakinkan semua ini salahnya.

Sang fotografer berpikir bahwa mempelai yang lebih muda mungkin gugup karena akan menikah, makannya yang lebih tua mencoba membujuk dan menenangkan. Namun, tanpa ia ketahui masalah keduanya lebih rumit dari yang ia kira.

“Mas, sama kakaknya saya izin keluar sebentar ya untuk cek tempat selanjutnya yang akan kita gunakan untuk pemotretan. Untuk kostum, khusus tema kali ini di pilihkan langsung oleh ibu dari masnya. Kalo begitu, saya permisi,”


Rayyan tidak pernah tau bagaimana jalan pikir sang ibu. Pasalnya tema yang dipilih oleh Renjani berhubungan dengan air, bisa Rayyan lihat kolam renang yang sudah dihias dengan apik di depan matanya.

Dia sudah berganti bajunya ngomong-ngomong, Rayyan memakai sebuah pakaian dengan warna putih mirip seperti kemeja, sementara Rumi belum keluar dari dalam bilik ganti. Takut terjadi hal yang buruk, Rayyan mencoba menyusul Rumi, namun ketika baru beberapa langkah, Rayyan bisa melihat Rumi keluar dengan pakaian berwarna senada dengan dirinya. Bedanya, Pakaian Rumi memiliki hiasan pada rompi bergelombang dan juga tambahan tali pada sekitar lehernya.

Cantik. Rayyan tertegun sejenak. Penampilan Rumi yang sekarang sangat berbeda dengan Rumi yang pertama kali Rayyan lihat. Rayyan bisa melihat Rumi dengan versi yang lebih lembut dan anggun, ia suka.

Rayyan bisa melihat Rumi yang berjalan mendekat ke arahnya, tangan Rumi menarik Rayyan untuk turun ke dalam kolam. Tanpa menunggu lama, Rumi mengambil tangan Rayyan yang bebas untuk memeluk pinggangnya dari belakang. Sementara Rayyan, kesadarannya sudah di ambil sepenuhnya oleh pesona yang lebih muda, buat dirinya tidak waras.

“Ayo mas, kita udah siap. Bisa di mulai pemotretannya,” ucap Rumi.

Berbeda dengan kali ini, jika tadi Rayyan yang memimpin untuk melakukan pose maka kali ini Rumi yang mengarahkan Rayyan untuk berpose dengannya. Keduanya saling berhadapan kembali dengan Rayyan yang membelakangi kamera, dan Rumi yang menempel padanya dan menghadap kamera. Awalnya Rayyan biasa saja, namun ketika jarak antara keduanya semakin menyempit dan hembusan nafas milik Rumi menerpa lehernya, Rayyan merinding.

Sadar akan sikap Rayyan yang berubah, Rumi hanya tersenyum tipis. Rumi bisa rasakan Rayyan yang memberi jarak, namun ia dengan gesit semakin mendekatkan dirinya sendiri. Bukan tanpa alasan, Rumi hanya ingin segera selesai karena tubuhnya saat ini rasanya sudah seperti batu es yang membeku, air kolam yang disediakan oleh sang fotografer sangatlah dingin, membuat Rumi beberapa kali menarik ingusnya masuk.

Rayyan sadar akan hal itu, maka ia bertanya kepada sang fotografer. “Apa sudah ada foto yang bagus?” tanyanya.

“Sudah mas, banyak lagi. Mau liat?” jawab sang fotografer antusias, namun ketika ia akan mengarahkan kameranya pada Rayyan, ia malah mendapat menolakan halus.

“Nanti saja. Jika sudah banyak foto yang bagus kita sudahi saja pemotretannya, sepertinya calon suami saya kedinginan,” Rayyan menuntun tangan Rumi yang masih berada di dada bidangnya.

Ia membantu Rumi untuk naik ke permukaan, ketika kaki Rumi baru menapak pada permukaan kering, tubuhnya limbung. Dengan gerakan cepat Rayyan kembali menggendong Rumi ala bridal style, Rumi pasrah-pasrah saja kamera memang ia sepertinya kedinginan.

“Rumi, buka mata kamu! kita hangatkan tubuh kamu terlebih dahulu, oke?” ucap Rayyan.

Rumi hanya menganggukan kepalanya saja, ia kembali pening luar biasa. Bibirnya pun pucat pasi, maka dengan nyaman ia sandarkan kepalanya pada pundak Rayyan lagi, tangannya semakin erat mengalung pada leher yang lebih muda. Kedua kelopak mata Rumi semakin tertutup, Rumi rasanya ingin tidur saja karena tak kuat dengan pusing di kepalanya, namun sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, Rumi bisa mendengar suara Rayyan meskipun samar-samar.

“Tolong jangan sakit, saya tidak suka melihatnya Rumi. Saya khawatir, cukup waktu itu saja.”


Ketika Rayyan sampai mobil ia langsung masuk ke dalamnya, pemandangan pertama yang ia lihat adalah keadaan Rumi yang sedang meringis kesakitan sambil menutup matanya erat, Rumi bawa tubuhnya untuk menyandar pada kursi mobil milik Rayyan. Dengan cekatan, Rayyan bantu Rumi untuk turunkan kursi penumpang yang Rumi duduki, pergerakan yang tiba-tiba itu membuat Rumi sedikit terkejut.

“Maaf bila saya membangunkan kamu, saya melihat kamu tidak terlalu nyaman dengan posisi ini, jadi saya berniat untuk menurunkan kursi agar kamu bisa berbaring!” jelas Rayyan.

Rumi yang mendengar menjelasan Rayyan yang terlalu panjang hanya mengangguk dan mempersilahkan sang calon suami untuk melakukan apa yang ingin dia lakukan.

“Makasih Om, sekarang kita ke butik buat fitting baju ya om? saya pengen semuanya cepet selesai.”

Tanpa menunggu tanggapan Rayyan, Rumi memalingkan wajahnya, ia enggan terjebak untuk berlama-lama bercengkrama dengan pria di sampingnya.

“Iya, kita ke butik sekarang. Tapi setelah kamu meminum obat ini, silahkan!” Rayyan menyodorkan tablet obat yang ia beli di apotek tadi, dan dengan senang hati di terima oleh yang lebih muda.

“Makasih Om, nanti uangnya saya ganti!” balas Rumi tidak niat, sebenarnya ia tidak ingin bersikap tidak sopan seperti ini. Namun, hatinya masih dongkol kepada Rayyan.

“Tidak usah di ganti. Saya belikan kamu obat dengan apoteknya pun tidak membuat uang saya berkurang banyak.” jawab Rayyan.

Rumi yang mendengar jawaban pria di sampingnya ini hanya mendengus, sombong sekali pikirnya Om cabul satu ini.

Tanpa menunggu lama, Rayyan segera menyalakan mesin mobilnya agar segera sampai di butik yang sudah menjadi titik tuju mereka sebelumnya. Sejujurnya hati Rayyan sedikit berdenyut ketika mendengar respon dari Rumi, tapi ia juga paham mengapa pria manis ini bersikap dingin kepadanya.


Tepat pukul sebelas siang, dengan posisi sang surya yang sudah berada di atas ketinggian sempurna membuat Rumi yang suhu tubuhnya sudah panas semakin panas. Rayyan bukakan pintu mobil untuk Rumi, ia ulurkan tangannya untuk bantu Rumi berdiri. Namun, dengan perasaan yang sedikit kecewa Rayyan harus menelan pahit ketika Rumi hanya menatap uluran tangannya dan segera keluar dari mobil.

Baru saja Rumi menapakan kakinya, ia oleng. Tubuhnya terhuyung dab hampir mencium tanah jika saja tangan sigap Rayyan tidak segera menangkap bobot tubuh Rumi yang menurutnya sangat ringan.

“Hati-hati, bila kamu masih pusing kita diam di mobil saja dulu. Saya takut kamu tiba-tiba pingsan ketika di dalam butik nanti, dan malah merepotkan saya.”

Rumi menggeleng, “Gak usah, saya mau semuanya cepet selesai biar saya bisa pulang dan enggak repotin Om!” ucap Rumi judes.

Maka Rayyan hanya mengangguk dan membantu Rumi untuk berjalan masuk ke dalam butik. Rumi mulai berjalan pelan, sesungguhnya kepalanya terasa seperti di timpa sebuah batu besar. Rayyan yang melihat Rumi berjalan sangat pelan malah gregetan sendiri.

“Sudah, berhenti bergerak! Saya izin menyentuh kamu sekali lagi, tolong jangan tolak saya karena saya tidak pernah menerima penolakan. Permisi!” ucap Rayyan, membuat Rumi menyernyit heran.

Pertanyaan yang ada di kepala Rumi terjawab ketika sedetik kemudian tubuhnya melayang karena di gendong oleh Rayyan, Rumi sempat melotot terkejut dan mencoba menghentikan aksi Rayyan karena demi apapun ia sungguh malu. Banyak pekerja butik yang melihat secara bersamaan ke arah mereka berdua.

“Om! Turunin saya gak?! Saya malu Om, turunin saya sekarang!” Rumi coba berikan pukulan bertubi-tubi pada Rayyan, meskipun pukulan itu tidak terasa apa-apa karena tenaganya yang sudah habis.

“Diam, kamu ini berat. Lebih baik simpan tenaga kamu untuk mencoba sepuluh setel baju pengantin daripada memukuli saya seperti ini!” Rayyan acuh, sungguh pria yang ada di gendongannya saat ini sangat berisik.

Setelah melewati beberapa pegawai butik yang mencuri pandang dengan senyuman aneh, akhirnya Rumi rasakan tubuhnya mendarat di sebuah sofa empuk di salah satu ruangan yang ada di butik itu. Detik selanjutnya, Rumi bisa melihat seorang wanita muda berparas cantik menghampiri mereka sambil tersenyum.

“Oh ini ternyata alasan kenapa pegawai butik disini semuanya pada baper, kelakuan kamu toh Ray? mentang-mentang udah ada calon, mesra-mesraan gak tahu tempat!” ucap si wanita yang belum Rumi ketahui namanya siapa.

Rayyan yang berdiri hanya terkekeh dan berjalan untuk memeluk wanita di hadapannya.

Tunggu. Kenapa Om cabul satu ini sangat genit? kenapa juga wanita di hadapannya ini sangat centil? ya walaupun memang cantik dan kemungkinan Rayyan suka, tapi tetap saja Rumi merasa di acuhkan disini. Rumi tidak terima.

Maka detik berikutnya, Rumi berdehem dengan suara keras agar kedua orang di depannya ini sadar bahwa ia juga ada di ruangan yang sama dengan mereka. Oh, Rumi ini tipe manusia yang sangat ingin di akui presensinya asal kalian tau.

“Oh iya maaf Mbak, kenalin ini calon suami Ray. Sini sayang! kenalan dulu sama adiknya tante Amira,” ucap Rayyan sambil tersenyum ke arah Rumi.

Apa tadi katanya? Sayang? telinga Rumi tidak salah dengar kan? Masalahnya sejak datang ke sini pria Cabul yang ada di hadapannya ini sangat menyebalkan.

Rayyan mengulurkan tangannya lagi untuk membantu Rumi berdiri dari sofa, namun lagi-lagi Rumi mengacuhkannya.

Rumi berjalan untuk mendekat ke arah wanita yang jika Rumi tidak salah, dia ini adik dari pemilik butik yang ia datangi. Maka dengan senyuman yang ia buat-buat, Rumi mulai salami tangan wanita itu dengan senyuman manis yang apabila di lihat dari sudut mata Rayyan, terlihat sedikit menyeramkan.

“Halo, saya Rumi Athaya, calon suami mas Rayyan. Salam kenal, semoga Mba bisa bantu kita buat nyari pakaian yang cocok ya!” ucap Rumi.

Wanita yang ada di hadapan Rumi juga tersenyum, “Halo Rumi, saya Salva, adik kandung pemilik butik. Sebelumnya saya minta maaf karena kakak saya, Amira tidak bisa melayani dan membantu kamu secara langsung karena beliau sedang ada pekerjaan di luar negeri. Tapi saya jamin, saya akan memilihkan kalian pakaian yang cantik dan bagus saat kalian pakai untuk pernikahan.”

“Baik, terimakasih sebelumnya Mbak Salva. Saya dan calon suami saya percaya dengan kemampuan Mbak Salva dalam memilih pakaian, sebenarnya saya pakai pakaian apapun pasti cocok sih soalnya proporsi tubuh saya sudah bagus,” Rumi pamerkan senyumannya kembali.

Rayyan yang mendengar jawaban calon suaminya hanya mendengus sebal sebelum mendorong pelan tubuh Rumi untuk mengikuti Salva yang ternyata mulai berjalan menjauh.

“Kamu ikuti Mbak Salva untuk mencoba pakaian, lalu kembali ke hadapan saya. Saya ingin memastikan pakaian yang kamu pakai bagus dan tidak memalukan.”

Rumi mendelik tidak suka, “Ya, terserah Om aja. Bye!” setelahnya ia mengekor kemana Salva pergi.

Saat Rumi sedang bergulat dengan rasa kesalnya, ia tidak sadar bahwa Salva yang berjalan di hadapannya berhenti, sehingga ia tidak sengaja menabrak punggung wanita itu.

“Aduh! Maaf mbak!” ucap Rumi yang di balas kekehan tipis oleh Salva.

“Coba kamu liat-liat dulu, ini sepuluh model pakaian yang sudah di pilihkan oleh ibunya Rayyan. Tapi bila tidak ada yang kamu suka, kamu boleh memilih pakaian lain. Saya tinggal dulu sebentar ya, ingat! pilih dan pakai pakaian yang kamu suka lalu perlihatkan pada calon pasangan kamu di luar sana.”

Rumi hanya mengangguk, kini ia sendirian di sebuah ruangan yang penuh dengan pakaian. Matanya meneliti satu per satu pakaian yang di pilihkan oleh calon mertuanya, tangannya membelai pakaian itu dengan kagum. Ternyata selera calon mertuanya tidak buruk juga, desain yang di pilih oleh calon mertuanya terbilang desain modern namun masih bisa di katakan simple dan sederhana.

Ketika sedang fokus memilih, Rumi terkejut dengan kedatangan Salva dengan dua orang perempuan lainnya yang mengekor di belakang tubuh Salva.

“Rumi, mereka akan membantu kamu ketika memakai pakaiannya, saya akan menemani Rayyan di depan sana. Permisi.”

Sangat pintar mencari kesempatan dalam kesempitan, pikir Rumi. Namun ia tidak peduli, kini ia hanya fokus untuk memilih baju cantik yang ada di depan matanya. Tangannya meraih gantungan baju itu, dan menunjukannya pada dua pegawai wanita yang berada tak jauh di depannya.

“Mbak, baju pertama yang mau saya coba baju yang ini ya. Ruang gantinya dimana ya mba?” tanya Rumi.

“Di sini mas, mari saya antar.” Salah satu di antara dua pegawai tadi mengantar Rumi untuk menuju tempat ganti baju, sementara satunya lagi menunggu.

Rayyan duduk di sofa tunggu sambil sibuk memainkan ponselnya, ia harus memberitahu kepada Hesa dan juga Dante untuk membatalkan pertemuan yang sudah ia jadwalkan saat pagi tadi. Meskipun ia tahu konsekuensi dari tindakannya ini dapat merugikan perusahaan.

Sedang fokus dengan kegiatannya, Rayyan menoleh ketika merasa ada pergerakan dari sofa sebelahnya yang kosong. Ternyata itu Salva.

“Ray, kamu pinter loh milih calon! Mbak percaya sih, dia milih baju sambil merem aja bakalan cocok sama tubuhnya,” ujar Salva ternyum, sesungguhnya saat netranya menatap paras Rumi, Salva tertarik karena proporsi serta wajah yang Rumi punya memiliki potensi untuk menjadi model dari brand yang ia pegang.

“Mbak bisa saja, bagaimana? apakah dia sudah memilih pakaian yang dia suka? kenapa belum keluar?” tanya Rayyan.

“Yang sabar toh, nanti dia juga keluar kalo sudah selesai. Ya sudah mbak tinggal dulu ya, mbak mau ke toilet sebentar,” Salva meninggalkan Rayyan sendirian.

Karena tidak ada kerjaan dan Rayyan bosan, ia kembali membuka ponsel pintarnya. Takut jika ada informasi penting dari Hesa yang tidak ia sadari, tapi ternyata nontifikasi yang muncul malah sms dari operator yang menawarkan kuota besar. Rayyan menghela nafas berat, lama sekali Rumi mencoba pakaian pernikahan mereka.

Saat sedang melamun, Rayyan mendengar langkah kaki mendekat. Ia dengan buru-buru menyambar ponselnya yang tergeletak, mencoba mencari kesibukan dengan membuka tutup aplikasi berlogo hijau.

Rumi berjalan dengan semangat untuk menuju ruang tunggu yang dimana terdapat calon suaminya. Bibirnya terus saja menampilkan senyuman manis setelah ia melihat penampilannya dengan baju pertama. Satu langkah lagi, ia sampai di pintu masuk ruang tunggu, hatinya sungguh senang ingin memperlihatkan baju pilihannya kepada Rayyan di dalam sana.

“Om! lihat deh, saya udah pilih satu baju. Menurut saya ini modelnya bagus, meskipun mewah tapi masih keliatan sederhana. Gimana? menurut Om bagus juga nggak?” Rumi menjelaskan dengan panjang lebar.

“Ganti, jelek!” Rumi melotot tidak percaya dengan jawaban yang di berikan Rayyan, masalahnya pria itu tidak menatapnya sama sekali, bagaimana bisa ia bilang bahwa bajunya jelek. Oh atau penampilan Rumi yang jelek?

“Om lihat dulu! ini bagus loh!” ucap Rumi bersikeras meyakinkan pria di depannya.

“Ganti.” final Rayyan.

Emosi Rumi tersulut, ia menghentakan kaki sambil berjalan menjauh dari ruang tunggu. Ia masuk ke dalam ruang ganti sambil memilih asal baju yang sudah di siapkan pegawai tadi sambil mengoceh.

“Apasih Om Cabul itu! nyebelin banget anjir! di kira gue jelek gitu pake baju yang tadi? matanya liat ke gue aja belum, udah bilang jelek aja! dia kali yang jelek, jelek muka sama jelek sifat, paket komplit! Agggr pengen gue ulek anjing mukanya!”

Rumi memakai pakaian kedua dengan bagian perut dan bahu yang sedikit terbuka, ia tersenyum manis ketika melihat pantulannya di cermin. “Gue yakin baju kali ini di pilih, lihat dong! Sexy begini, mana mungkin dia nolak!” ucapnya yakin.

Rumi kembali berjalan ke arah ruang tunggu, namun baru saja kakinya menginjak plataran tinggi di ruangan itu, Rayyan kembali bersuara. “Ganti! kamu ini mau nikah sama saya atau mau diskotik?! pusar kamu itu kemana-mana Rumi!” ucapnya yang berhasil buat emosi Rumi kembali meningkat.

Terus saja seperti itu sampai Rumi berganti baju hingga yang ke enam kali, sungguh Rumi ingin memakan Rayyan hidup-hidup. Jika bisa di lihat, kepalanya mungkin sudah mengeluarkan asap tebal berwarna putih dengan semburan api yang menyala di matanya. Ia sungguh emosi. Rumi dengan kesabaran setipis tisu langsung mengambil empat baju yang tersisa secara bersamaan, namun ketika ia mengambil baju terakhir, matanya otomatis memancarkan kilatan penuh gembira. Rumi suka baju ini, dan ia harus mendapatkannya.

Setelah selesai memakai baju terakhir, Rumi berjalan pelan menuju ruang tunggu kembali, menaiki pijakan yang lebih tinggi untuk Rayyan bisa melihat penampilannya dengan jelas dari atas hingga bawah. Perihal tiga baju lagi, Rumi putuskan untuk tidak mengenakannya karena model dan desainnya tidak jauh beda dengan baju sebelumnya, namun baju yang ia pakai sekarang memiliki corak unik yang tidak di miliki baju yang sebelumnya.

Rumi berdiri dengan perasaan gugup karena takut jika Rayyan menolak baju yang ia pakai lagi, tanpa sadar Rumi menggigit bibirnya. Rayyan yang sudah tahu bahwa Rumi sudah berganti baju lantas menyimpan ponselnya ke dalam saku jas yang ia pakai, ketika netranya tidak secara sengaja bertubrukan dengan netra bulat Rumi yang terlihat gugup, Rayyan tersenyum simpul.

“Kenapa kamu terlihat gugup? kebelet kencing?” tanya Rayyan.

Rumi menggeleng, “Gimana Om, saya udah ganti baju lagi. Yang ini bajunya lebih bagus loh om! Liat! ada motif unik di bajunya, terus tadi pas saya ngaca juga bajunya pas dan cocok buat saya. Ambil yang ini Om!” jelasnya.

Rayyan mulai berdiri, berjalan pelan untuk mendekati Rumi yang ada tak jauh di depannya.

“Lumayan,” ujar Rayyan. Ia menghentikan langkahnya kemudian melihat Rumi dari atas sampai bawah.

Rumi yang di lihat seperti itu semakin gugup, kenapa ia merasa sedang di intimidasi oleh lelaki cabul di depannya ini. Rumi menahan nafasnya ketika Rayyan naik dan berdiri tepat beberapa centi di depannya.

“Cantik!” ucap Rayyan pelan membuat kedua pipi Rumi menghangat. Setelahnya Rayyan mundur dan mendekati kedua pegawai yang setia menemani calon suaminya untuk mencoba berbagai model baju. “Mbak tolong, saya mau ambil baju yang itu! Calon suami saya kayanya suka, dan tolong antarkan ke alamat yang sudah saya berikan bepada Tante Arum.”

Kedua pegawai itu mengangguk, “Baik, Pak!” setelahnya mereka membantu Rumi untuk turun dan kembali ke ruang ganti untuk mengganti kembali bajunya ke setelan awal saat dirinya kesini.

Rumi tersenyum senang, bahkan ia berjalan cepat menuju ruang ganti. Dadanya bergemuruh hebat ketika apa yang ia inginkan tercapai, rasa senangnya buat kedua matanya ikut menyipit karena tersenyum berlebihan. Rayyan yang melihat tingkah calon suaminya hanya terkekeh, “Lucu sekali.”


© vivi.


Ketika Rayyan sampai mobil ia langsung masuk ke dalamnya, pemandangan pertama yang ia lihat adalah keadaan Rumi yang sedang meringis kesakitan sambil menutup matanya erat, Rumi bawa tubuhnya untuk menyandar pada kursi mobil milik Rayyan. Dengan cekatan, Rayyan bantu Rumi untuk turunkan kursi penumpang yang Rumi duduki, pergerakan yang tiba-tiba itu membuat Rumi sedikit terkejut.

“Maaf bila saya membangunkan kamu, saya melihat kamu tidak terlalu nyaman dengan posisi ini, jadi saya berniat untuk menurunkan kursi agar kamu bisa berbaring!” jelas Rayyan.

Rumi yang mendengar menjelasan Rayyan yang terlalu panjang hanya mengangguk dan mempersilahkan sang calon suami untuk melakukan apa yang ingin dia lakukan.

“Makasih Om, sekarang kita ke butik buat fitting baju ya om? saya pengen semuanya cepet selesai.”

Tanpa menunggu tanggapan Rayyan, Rumi memalingkan wajahnya, ia enggan terjebak untuk berlama-lama bercengkrama dengan pria di sampingnya.

“Iya, kita ke butik sekarang. Tapi setelah kamu meminum obat ini, silahkan!” Rayyan menyodorkan tablet obat yang ia beli di apotek tadi, dan dengan senang hati di terima oleh yang lebih muda.

“Makasih Om, nanti uangnya saya ganti!” balas Rumi tidak niat, sebenarnya ia tidak ingin bersikap tidak sopan seperti ini. Namun, hatinya masih dongkol kepada Rayyan.

“Tidak usah di ganti. Saya belikan kamu obat dengan apoteknya pun tidak membuat uang saya berkurang banyak.” jawab Rayyan.

Rumi yang mendengar jawaban pria di sampingnya ini hanya mendengus, sombong sekali pikirnya Om cabul satu ini.

Tanpa menunggu lama, Rayyan segera menyalakan mesin mobilnya agar segera sampai di butik yang sudah menjadi titik tuju mereka sebelumnya. Sejujurnya hati Rayyan sedikit berdenyut ketika mendengar respon dari Rumi, tapi ia juga paham mengapa pria manis ini bersikap dingin kepadanya.


Tepat pukul sebelas siang, dengan posisi sang surya yang sudah berada di atas ketinggian sempurna membuat Rumi yang suhu tubuhnya sudah panas semakin panas. Rayyan bukakan pintu mobil untuk Rumi, ia ulurkan tangannya untuk bantu Rumi berdiri. Namun, dengan perasaan yang sedikit kecewa Rayyan harus menelan pahit ketika Rumi hanya menatap uluran tangannya dan segera keluar dari mobil.

Baru saja Rumi menapakan kakinya, ia oleng. Tubuhnya terhuyung dab hampir mencium tanah jika saja tangan sigap Rayyan tidak segera menangkap bobot tubuh Rumi yang menurutnya sangat ringan.

“Hati-hati, bila kamu masih pusing kita diam di mobil saja dulu. Saya takut kamu tiba-tiba pingsan ketika di dalam butik nanti, dan malah merepotkan saya.”

Rumi menggeleng, “Gak usah, saya mau semuanya cepet selesai biar saya bisa pulang dan enggak repotin Om!” ucap Rumi judes.

Maka Rayyan hanya mengangguk dan membantu Rumi untuk berjalan masuk ke dalam butik. Rumi mulai berjalan pelan, sesungguhnya kepalanya terasa seperti di timpa sebuah batu besar. Rayyan yang melihat Rumi berjalan sangat pelan malah gregetan sendiri.

“Sudah, berhenti bergerak! Saya izin menyentuh kamu sekali lagi, tolong jangan tolak saya karena saya tidak pernah menerima penolakan. Permisi!” ucap Rayyan, membuat Rumi menyernyit heran.

Pertanyaan yang ada di kepala Rumi terjawab ketika sedetik kemudian tubuhnya melayang karena di gendong oleh Rayyan, Rumi sempat melotot terkejut dan mencoba menghentikan aksi Rayyan karena demi apapun ia sungguh malu. Banyak pekerja butik yang melihat secara bersamaan ke arah mereka berdua.

“Om! Turunin saya gak?! Saya malu Om, turunin saya sekarang!” Rumi coba berikan pukulan bertubi-tubi pada Rayyan, meskipun pukulan itu tidak terasa apa-apa karena tenaganya yang sudah habis.

“Diam, kamu ini berat. Lebih baik simpan tenaga kamu untuk mencoba sepuluh setel baju pengantin daripada memukuli saya seperti ini!” Rayyan acuh, sungguh pria yang ada di gendongannya saat ini sangat berisik.

Setelah melewati beberapa pegawai butik yang mencuri pandang dengan senyuman aneh, akhirnya Rumi rasakan tubuhnya mendarat di sebuah sofa empuk di salah satu ruangan yang ada di butik itu. Detik selanjutnya, Rumi bisa melihat seorang wanita muda berparas cantik menghampiri mereka sambil tersenyum.

“Oh ini ternyata alasan kenapa pegawai butik disini semuanya pada baper, kelakuan kamu toh Ray? mentang-mentang udah ada calon, mesra-mesraan gak tahu tempat!” ucap si wanita yang belum Rumi ketahui namanya siapa.

Rayyan yang berdiri hanya terkekeh dan berjalan untuk memeluk wanita di hadapannya.

Tunggu. Kenapa Om cabul satu ini sangat genit? kenapa juga wanita di hadapannya ini sangat centil? ya walaupun memang cantik dan kemungkinan Rayyan suka, tapi tetap saja Rumi merasa di acuhkan disini. Rumi tidak terima.

Maka detik berikutnya, Rumi berdehem dengan suara keras agar kedua orang di depannya ini sadar bahwa ia juga ada di ruangan yang sama dengan mereka. Oh, Rumi ini tipe manusia yang sangat ingin di akui presensinya asal kalian tau.

“Oh iya maaf Mbak, kenalin ini calon suami Ray. Sini sayang! kenalan dulu sama adiknya tante Amira,” ucap Rayyan sambil tersenyum ke arah Rumi.

Apa tadi katanya? Sayang? telinga Rumi tidak salah dengar kan? Masalahnya sejak datang ke sini pria Cabul yang ada di hadapannya ini sangat menyebalkan.

Rayyan mengulurkan tangannya lagi untuk membantu Rumi berdiri dari sofa, namun lagi-lagi Rumi mengacuhkannya.

Rumi berjalan untuk mendekat ke arah wanita yang jika Rumi tidak salah, dia ini adik dari pemilik butik yang ia datangi. Maka dengan senyuman yang ia buat-buat, Rumi mulai salami tangan wanita itu dengan senyuman manis yang apabila di lihat dari sudut mata Rayyan, terlihat sedikit menyeramkan.

“Halo, saya Rumi Athaya, calon suami mas Rayyan. Salam kenal, semoga Mba bisa bantu kita buat nyari pakaian yang cocok ya!” ucap Rumi.

Wanita yang ada di hadapan Rumi juga tersenyum, “Halo Rumi, saya Salva, adik kandung pemilik butik. Sebelumnya saya minta maaf karena kakak saya, Amira tidak bisa melayani dan membantu kamu secara langsung karena beliau sedang ada pekerjaan di luar negeri. Tapi saya jamin, saya akan memilihkan kalian pakaian yang cantik dan bagus saat kalian pakai untuk pernikahan.”

“Baik, terimakasih sebelumnya Mbak Salva. Saya dan calon suami saya percaya dengan kemampuan Mbak Salva dalam memilih pakaian, sebenarnya saya pakai pakaian apapun pasti cocok sih soalnya proporsi tubuh saya sudah bagus,” Rumi pamerkan senyumannya kembali.

Rayyan yang mendengar jawaban calon suaminya hanya mendengus sebal sebelum mendorong pelan tubuh Rumi untuk mengikuti Salva yang ternyata mulai berjalan menjauh.

“Kamu ikuti Mbak Salva untuk mencoba pakaian, lalu kembali ke hadapan saya. Saya ingin memastikan pakaian yang kamu pakai bagus dan tidak memalukan.”

Rumi mendelik tidak suka, “Ya, terserah Om aja. Bye!” setelahnya ia mengekor kemana Salva pergi.

Saat Rumi sedang bergulat dengan rasa kesalnya, ia tidak sadar bahwa Salva yang berjalan di hadapannya berhenti, sehingga ia tidak sengaja menabrak punggung wanita itu.

“Aduh! Maaf mbak!” ucap Rumi yang di balas kekehan tipis oleh Salva.

“Coba kamu liat-liat dulu, ini sepuluh model pakaian yang sudah di pilihkan oleh ibunya Rayyan. Tapi bila tidak ada yang kamu suka, kamu boleh memilih pakaian lain. Saya tinggal dulu sebentar ya, ingat! pilih dan pakai pakaian yang kamu suka lalu perlihatkan pada calon pasangan kamu di luar sana.”

Rumi hanya mengangguk, kini ia sendirian di sebuah ruangan yang penuh dengan pakaian. Matanya meneliti satu per satu pakaian yang di pilihkan oleh calon mertuanya, tangannya membelai pakaian itu dengan kagum. Ternyata selera calon mertuanya tidak buruk juga, desain yang di pilih oleh calon mertuanya terbilang desain modern namun masih bisa di katakan simple dan sederhana.

Ketika sedang fokus memilih, Rumi terkejut dengan kedatangan Salva dengan dua orang perempuan lainnya yang mengekor di belakang tubuh Salva.

“Rumi, mereka akan membantu kamu ketika memakai pakaiannya, saya akan menemani Rayyan di depan sana. Permisi.”

Sangat pintar mencari kesempatan dalam kesempitan, pikir Rumi. Namun ia tidak peduli, kini ia hanya fokus untuk memilih baju cantik yang ada di depan matanya. Tangannya meraih gantungan baju itu, dan menunjukannya pada dua pegawai wanita yang berada tak jauh di depannya.

“Mbak, baju pertama yang mau saya coba baju yang ini ya. Ruang gantinya dimana ya mba?” tanya Rumi.

“Di sini mas, mari saya antar.” Salah satu di antara dua pegawai tadi mengantar Rumi untuk menuju tempat ganti baju, sementara satunya lagi menunggu.

Rayyan duduk di sofa tunggu sambil sibuk memainkan ponselnya, ia harus memberitahu kepada Hesa dan juga Dante untuk membatalkan pertemuan yang sudah ia jadwalkan saat pagi tadi. Meskipun ia tahu konsekuensi dari tindakannya ini dapat merugikan perusahaan.

Sedang fokus dengan kegiatannya, Rayyan menoleh ketika merasa ada pergerakan dari sofa sebelahnya yang kosong. Ternyata itu Salva.

“Ray, kamu pinter loh milih calon! Mbak percaya sih, dia milih baju sambil merem aja bakalan cocok sama tubuhnya,” ujar Salva ternyum, sesungguhnya saat netranya menatap paras Rumi, Salva tertarik karena proporsi serta wajah yang Rumi punya memiliki potensi untuk menjadi model dari brand yang ia pegang.

“Mbak bisa saja, bagaimana? apakah dia sudah memilih pakaian yang dia suka? kenapa belum keluar?” tanya Rayyan.

“Yang sabar toh, nanti dia juga keluar kalo sudah selesai. Ya sudah mbak tinggal dulu ya, mbak mau ke toilet sebentar,” Salva meninggalkan Rayyan sendirian.

Karena tidak ada kerjaan dan Rayyan bosan, ia kembali membuka ponsel pintarnya. Takut jika ada informasi penting dari Hesa yang tidak ia sadari, tapi ternyata nontifikasi yang muncul malah sms dari operator yang menawarkan kuota besar. Rayyan menghela nafas berat, lama sekali Rumi mencoba pakaian pernikahan mereka.

Saat sedang melamun, Rayyan mendengar langkah kaki mendekat. Ia dengan buru-buru menyambar ponselnya yang tergeletak, mencoba mencari kesibukan dengan membuka tutup aplikasi berlogo hijau.

Rumi berjalan dengan semangat untuk menuju ruang tunggu yang dimana terdapat calon suaminya. Bibirnya terus saja menampilkan senyuman manis setelah ia melihat penampilannya dengan baju pertama. Satu langkah lagi, ia sampai di pintu masuk ruang tunggu, hatinya sungguh senang ingin memperlihatkan baju pilihannya kepada Rayyan di dalam sana.

“Om! lihat deh, saya udah pilih satu baju. Menurut saya ini modelnya bagus, meskipun mewah tapi masih keliatan sederhana. Gimana? menurut Om bagus juga nggak?” Rumi menjelaskan dengan panjang lebar.

“Ganti, jelek!” Rumi melotot tidak percaya dengan jawaban yang di berikan Rayyan, masalahnya pria itu tidak menatapnya sama sekali, bagaimana bisa ia bilang bahwa bajunya jelek. Oh atau penampilan Rumi yang jelek?

“Om lihat dulu! ini bagus loh!” ucap Rumi bersikeras meyakinkan pria di depannya.

“Ganti.” final Rayyan.

Emosi Rumi tersulut, ia menghentakan kaki sambil berjalan menjauh dari ruang tunggu. Ia masuk ke dalam ruang ganti sambil memilih asal baju yang sudah di siapkan pegawai tadi sambil mengoceh.

“Apasih Om Cabul itu! nyebelin banget anjir! di kira gue jelek gitu pake baju yang tadi? matanya liat ke gue aja belum, udah bilang jelek aja! dia kali yang jelek, jelek muka sama jelek sifat, paket komplit! Agggr pengen gue ulek anjing mukanya!”

Rumi memakai pakaian kedua dengan bagian perut dan bahu yang sedikit terbuka, ia tersenyum manis ketika melihat pantulannya di cermin. “Gue yakin baju kali ini di pilih, lihat dong! Sexy begini, mana mungkin dia nolak!” ucapnya yakin.

Rumi kembali berjalan ke arah ruang tunggu, namun baru saja kakinya menginjak plataran tinggi di ruangan itu, Rayyan kembali bersuara. “Ganti! kamu ini mau nikah sama saya atau mau diskotik?! pusar kamu itu kemana-mana Rumi!” ucapnya yang berhasil buat emosi Rumi kembali meningkat.

Terus saja seperti itu sampai Rumi berganti baju hingga yang ke enam kali, sungguh Rumi ingin memakan Rayyan hidup-hidup. Jika bisa di lihat, kepalanya mungkin sudah mengeluarkan asap tebal berwarna putih dengan semburan api yang menyala di matanya. Ia sungguh emosi. Rumi dengan kesabaran setipis tisu langsung mengambil empat baju yang tersisa secara bersamaan, namun ketika ia mengambil baju terakhir, matanya otomatis memancarkan kilatan penuh gembira. Rumi suka baju ini, dan ia harus mendapatkannya.

Setelah selesai memakai baju terakhir, Rumi berjalan pelan menuju ruang tunggu kembali, menaiki pijakan yang lebih tinggi untuk Rayyan bisa melihat penampilannya dengan jelas dari atas hingga bawah. Perihal tiga baju lagi, Rumi putuskan untuk tidak mengenakannya karena model dan desainnya tidak jauh beda dengan baju sebelumnya, namun baju yang ia pakai sekarang memiliki corak unik yang tidak di miliki baju yang sebelumnya.

Rumi berdiri dengan perasaan gugup karena takut jika Rayyan menolak baju yang ia pakai lagi, tanpa sadar Rumi menggigit bibirnya. Rayyan yang sudah tahu bahwa Rumi sudah berganti baju lantas menyimpan ponselnya ke dalam saku jas yang ia pakai, ketika netranya tidak secara sengaja bertubrukan dengan netra bulat Rumi yang terlihat gugup, Rayyan tersenyum simpul.

“Kenapa kamu terlihat gugup? kebelet kencing?” tanya Rayyan.

Rumi menggeleng, “Gimana Om, saya udah ganti baju lagi. Yang ini bajunya lebih bagus loh om! Liat! ada motif unik di bajunya, terus tadi pas saya ngaca juga bajunya pas dan cocok buat saya. Ambil yang ini Om!” jelasnya.

Rayyan mulai berdiri, berjalan pelan untuk mendekati Rumi yang ada tak jauh di depannya.

“Lumayan,” ujar Rayyan. Ia menghentikan langkahnya kemudian melihat Rumi dari atas sampai bawah.

Rumi yang di lihat seperti itu semakin gugup, kenapa ia merasa sedang di intimidasi oleh lelaki cabul di depannya ini. Rumi menahan nafasnya ketika Rayyan naik dan berdiri tepat beberapa centi di depannya.

“Cantik!” ucap Rayyan pelan membuat kedua pipi Rumi menghangat. Setelahnya Rayyan mundur dan mendekati kedua pegawai yang setia menemani calon suaminya untuk mencoba berbagai model baju. “Mbak tolong, saya mau ambil baju yang itu! Calon suami saya kayanya suka, dan tolong antarkan ke alamat yang sudah saya berikan bepada Tante Arum.”

Kedua pegawai itu mengangguk, “Baik, Pak!” setelahnya mereka membantu Rumi untuk turun dan kembali ke ruang ganti untuk mengganti kembali bajunya ke setelan awal saat dirinya kesini.

Rumi tersenyum senang, bahkan ia berjalan cepat menuju ruang ganti. Dadanya bergemuruh hebat ketika apa yang ia inginkan tercapai, rasa senangnya buat kedua matanya ikut menyipit karena tersenyum berlebihan. Rayyan yang melihat tingkah calon suaminya hanya terkekeh, “Lucu sekali.”


© vivi.

#Just A Little Bit—#155.


Ketika Rayyan sampai mobil ia langsung masuk ke dalamnya, pemandangan pertama yang ia lihat adalah keadaan Rumi yang sedang meringis kesakitan sambil menutup matanya erat, Rumi bawa tubuhnya untuk menyandar pada kursi mobil milik Rayyan. Dengan cekatan, Rayyan bantu Rumi untuk turunkan kursi penumpang yang Rumi duduki, pergerakan yang tiba-tiba itu membuat Rumi sedikit terkejut.

“Maaf bila saya membangunkan kamu, saya melihat kamu tidak terlalu nyaman dengan posisi ini, jadi saya berniat untuk menurunkan kursi agar kamu bisa berbaring!” jelas Rayyan.

Rumi yang mendengar menjelasan Rayyan yang terlalu panjang hanya mengangguk dan mempersilahkan sang calon suami untuk melakukan apa yang ingin dia lakukan.

“Makasih Om, sekarang kita ke butik buat fitting baju ya om? saya pengen semuanya cepet selesai.”

Tanpa menunggu tanggapan Rayyan, Rumi memalingkan wajahnya, ia enggan terjebak untuk berlama-lama bercengkrama dengan pria di sampingnya.

“Iya, kita ke butik sekarang. Tapi setelah kamu meminum obat ini, silahkan!” Rayyan menyodorkan tablet obat yang ia beli di apotek tadi, dan dengan senang hati di terima oleh yang lebih muda.

“Makasih Om, nanti uangnya saya ganti!” balas Rumi tidak niat, sebenarnya ia tidak ingin bersikap tidak sopan seperti ini. Namun, hatinya masih dongkol kepada Rayyan.

“Tidak usah di ganti. Saya belikan kamu obat dengan apoteknya pun tidak membuat uang saya berkurang banyak.” jawab Rayyan.

Rumi yang mendengar jawaban pria di sampingnya ini hanya mendengus, sombong sekali pikirnya Om cabul satu ini.

Tanpa menunggu lama, Rayyan segera menyalakan mesin mobilnya agar segera sampai di butik yang sudah menjadi titik tuju mereka sebelumnya. Sejujurnya hati Rayyan sedikit berdenyut ketika mendengar respon dari Rumi, tapi ia juga paham mengapa pria manis ini bersikap dingin kepadanya.


Tepat pukul sebelas siang, dengan posisi sang surya yang sudah berada di atas ketinggian sempurna membuat Rumi yang suhu tubuhnya sudah panas semakin panas. Rayyan bukakan pintu mobil untuk Rumi, ia ulurkan tangannya untuk bantu Rumi berdiri. Namun, dengan perasaan yang sedikit kecewa Rayyan harus menelan pahit ketika Rumi hanya menatap uluran tangannya dan segera keluar dari mobil.

Baru saja Rumi menapakan kakinya, ia oleng. Tubuhnya terhuyung dab hampir mencium tanah jika saja tangan sigap Rayyan tidak segera menangkap bobot tubuh Rumi yang menurutnya sangat ringan.

“Hati-hati, bila kamu masih pusing kita diam di mobil saja dulu. Saya takut kamu tiba-tiba pingsan ketika di dalam butik nanti, dan malah merepotkan saya.”

Rumi menggeleng, “Gak usah, saya mau semuanya cepet selesai biar saya bisa pulang dan enggak repotin Om!” ucap Rumi judes.

Maka Rayyan hanya mengangguk dan membantu Rumi untuk berjalan masuk ke dalam butik. Rumi mulai berjalan pelan, sesungguhnya kepalanya terasa seperti di timpa sebuah batu besar. Rayyan yang melihat Rumi berjalan sangat pelan malah gregetan sendiri.

“Sudah, berhenti bergerak! Saya izin menyentuh kamu sekali lagi, tolong jangan tolak saya karena saya tidak pernah menerima penolakan. Permisi!” ucap Rayyan, membuat Rumi menyernyit heran.

Pertanyaan yang ada di kepala Rumi terjawab ketika sedetik kemudian tubuhnya melayang karena di gendong oleh Rayyan, Rumi sempat melotot terkejut dan mencoba menghentikan aksi Rayyan karena demi apapun ia sungguh malu. Banyak pekerja butik yang melihat secara bersamaan ke arah mereka berdua.

“Om! Turunin saya gak?! Saya malu Om, turunin saya sekarang!” Rumi coba berikan pukulan bertubi-tubi pada Rayyan, meskipun pukulan itu tidak terasa apa-apa karena tenaganya yang sudah habis.

“Diam, kamu ini berat. Lebih baik simpan tenaga kamu untuk mencoba sepuluh setel baju pengantin daripada memukuli saya seperti ini!” Rayyan acuh, sungguh pria yang ada di gendongannya saat ini sangat berisik.

Setelah melewati beberapa pegawai butik yang mencuri pandang dengan senyuman aneh, akhirnya Rumi rasakan tubuhnya mendarat di sebuah sofa empuk di salah satu ruangan yang ada di butik itu. Detik selanjutnya, Rumi bisa melihat seorang wanita muda berparas cantik menghampiri mereka sambil tersenyum.

“Oh ini ternyata alasan kenapa pegawai butik disini semuanya pada baper, kelakuan kamu toh Ray? mentang-mentang udah ada calon, mesra-mesraan gak tahu tempat!” ucap si wanita yang belum Rumi ketahui namanya siapa.

Rayyan yang berdiri hanya terkekeh dan berjalan untuk memeluk wanita di hadapannya.

Tunggu. Kenapa Om cabul satu ini sangat genit? kenapa juga wanita di hadapannya ini sangat centil? ya walaupun memang cantik dan kemungkinan Rayyan suka, tapi tetap saja Rumi merasa di acuhkan disini. Rumi tidak terima.

Maka detik berikutnya, Rumi berdehem dengan suara keras agar kedua orang di depannya ini sadar bahwa ia juga ada di ruangan yang sama dengan mereka. Oh, Rumi ini tipe manusia yang sangat ingin di akui presensinya asal kalian tau.

“Oh iya maaf Mbak, kenalin ini calon suami Ray. Sini sayang! kenalan dulu sama adiknya tante Amira,” ucap Rayyan sambil tersenyum ke arah Rumi.

Apa tadi katanya? Sayang? telinga Rumi tidak salah dengar kan? Masalahnya sejak datang ke sini pria Cabul yang ada di hadapannya ini sangat menyebalkan.

Rayyan mengulurkan tangannya lagi untuk membantu Rumi berdiri dari sofa, namun lagi-lagi Rumi mengacuhkannya.

Rumi berjalan untuk mendekat ke arah wanita yang jika Rumi tidak salah, dia ini adik dari pemilik butik yang ia datangi. Maka dengan senyuman yang ia buat-buat, Rumi mulai salami tangan wanita itu dengan senyuman manis yang apabila di lihat dari sudut mata Rayyan, terlihat sedikit menyeramkan.

“Halo, saya Rumi Athaya, calon suami mas Rayyan. Salam kenal, semoga Mba bisa bantu kita buat nyari pakaian yang cocok ya!” ucap Rumi.

Wanita yang ada di hadapan Rumi juga tersenyum, “Halo Rumi, saya Salva, adik kandung pemilik butik. Sebelumnya saya minta maaf karena kakak saya, Amira tidak bisa melayani dan membantu kamu secara langsung karena beliau sedang ada pekerjaan di luar negeri. Tapi saya jamin, saya akan memilihkan kalian pakaian yang cantik dan bagus saat kalian pakai untuk pernikahan.”

“Baik, terimakasih sebelumnya Mbak Salva. Saya dan calon suami saya percaya dengan kemampuan Mbak Salva dalam memilih pakaian, sebenarnya saya pakai pakaian apapun pasti cocok sih soalnya proporsi tubuh saya sudah bagus,” Rumi pamerkan senyumannya kembali.

Rayyan yang mendengar jawaban calon suaminya hanya mendengus sebal sebelum mendorong pelan tubuh Rumi untuk mengikuti Salva yang ternyata mulai berjalan menjauh.

“Kamu ikuti Mbak Salva untuk mencoba pakaian, lalu kembali ke hadapan saya. Saya ingin memastikan pakaian yang kamu pakai bagus dan tidak memalukan.”

Rumi mendelik tidak suka, “Ya, terserah Om aja. Bye!” setelahnya ia mengekor kemana Salva pergi.

Saat Rumi sedang bergulat dengan rasa kesalnya, ia tidak sadar bahwa Salva yang berjalan di hadapannya berhenti, sehingga ia tidak sengaja menabrak punggung wanita itu.

“Aduh! Maaf mbak!” ucap Rumi yang di balas kekehan tipis oleh Salva.

“Coba kamu liat-liat dulu, ini sepuluh model pakaian yang sudah di pilihkan oleh ibunya Rayyan. Tapi bila tidak ada yang kamu suka, kamu boleh memilih pakaian lain. Saya tinggal dulu sebentar ya, ingat! pilih dan pakai pakaian yang kamu suka lalu perlihatkan pada calon pasangan kamu di luar sana.”

Rumi hanya mengangguk, kini ia sendirian di sebuah ruangan yang penuh dengan pakaian. Matanya meneliti satu per satu pakaian yang di pilihkan oleh calon mertuanya, tangannya membelai pakaian itu dengan kagum. Ternyata selera calon mertuanya tidak buruk juga, desain yang di pilih oleh calon mertuanya terbilang desain modern namun masih bisa di katakan simple dan sederhana.

Ketika sedang fokus memilih, Rumi terkejut dengan kedatangan Salva dengan dua orang perempuan lainnya yang mengekor di belakang tubuh Salva.

“Rumi, mereka akan membantu kamu ketika memakai pakaiannya, saya akan menemani Rayyan di depan sana. Permisi.”

Sangat pintar mencari kesempatan dalam kesempitan, pikir Rumi. Namun ia tidak peduli, kini ia hanya fokus untuk memilih baju cantik yang ada di depan matanya. Tangannya meraih gantungan baju itu, dan menunjukannya pada dua pegawai wanita yang berada tak jauh di depannya.

“Mbak, baju pertama yang mau saya coba baju yang ini ya. Ruang gantinya dimana ya mba?” tanya Rumi.

“Di sini mas, mari saya antar.” Salah satu di antara dua pegawai tadi mengantar Rumi untuk menuju tempat ganti baju, sementara satunya lagi menunggu.

Rayyan duduk di sofa tunggu sambil sibuk memainkan ponselnya, ia harus memberitahu kepada Hesa dan juga Dante untuk membatalkan pertemuan yang sudah ia jadwalkan saat pagi tadi. Meskipun ia tahu konsekuensi dari tindakannya ini dapat merugikan perusahaan.

Sedang fokus dengan kegiatannya, Rayyan menoleh ketika merasa ada pergerakan dari sofa sebelahnya yang kosong. Ternyata itu Salva.

“Ray, kamu pinter loh milih calon! Mbak percaya sih, dia milih baju sambil merem aja bakalan cocok sama tubuhnya,” ujar Salva ternyum, sesungguhnya saat netranya menatap paras Rumi, Salva tertarik karena proporsi serta wajah yang Rumi punya memiliki potensi untuk menjadi model dari brand yang ia pegang.

“Mbak bisa saja, bagaimana? apakah dia sudah memilih pakaian yang dia suka? kenapa belum keluar?” tanya Rayyan.

“Yang sabar toh, nanti dia juga keluar kalo sudah selesai. Ya sudah mbak tinggal dulu ya, mbak mau ke toilet sebentar,” Salva meninggalkan Rayyan sendirian.

Karena tidak ada kerjaan dan Rayyan bosan, ia kembali membuka ponsel pintarnya. Takut jika ada informasi penting dari Hesa yang tidak ia sadari, tapi ternyata nontifikasi yang muncul malah sms dari operator yang menawarkan kuota besar. Rayyan menghela nafas berat, lama sekali Rumi mencoba pakaian pernikahan mereka.

Saat sedang melamun, Rayyan mendengar langkah kaki mendekat. Ia dengan buru-buru menyambar ponselnya yang tergeletak, mencoba mencari kesibukan dengan membuka tutup aplikasi berlogo hijau.

Rumi berjalan dengan semangat untuk menuju ruang tunggu yang dimana terdapat calon suaminya. Bibirnya terus saja menampilkan senyuman manis setelah ia melihat penampilannya dengan baju pertama. Satu langkah lagi, ia sampai di pintu masuk ruang tunggu, hatinya sungguh senang ingin memperlihatkan baju pilihannya kepada Rayyan di dalam sana.

“Om! lihat deh, saya udah pilih satu baju. Menurut saya ini modelnya bagus, meskipun mewah tapi masih keliatan sederhana. Gimana? menurut Om bagus juga nggak?” Rumi menjelaskan dengan panjang lebar.

“Ganti, jelek!” Rumi melotot tidak percaya dengan jawaban yang di berikan Rayyan, masalahnya pria itu tidak menatapnya sama sekali, bagaimana bisa ia bilang bahwa bajunya jelek. Oh atau penampilan Rumi yang jelek?

“Om lihat dulu! ini bagus loh!” ucap Rumi bersikeras meyakinkan pria di depannya.

“Ganti.” final Rayyan.

Emosi Rumi tersulut, ia menghentakan kaki sambil berjalan menjauh dari ruang tunggu. Ia masuk ke dalam ruang ganti sambil memilih asal baju yang sudah di siapkan pegawai tadi sambil mengoceh.

“Apasih Om Cabul itu! nyebelin banget anjir! di kira gue jelek gitu pake baju yang tadi? matanya liat ke gue aja belum, udah bilang jelek aja! dia kali yang jelek, jelek muka sama jelek sifat, paket komplit! Agggr pengen gue ulek anjing mukanya!”

Rumi memakai pakaian kedua dengan bagian perut dan bahu yang sedikit terbuka, ia tersenyum manis ketika melihat pantulannya di cermin. “Gue yakin baju kali ini di pilih, lihat dong! Sexy begini, mana mungkin dia nolak!” ucapnya yakin.

Rumi kembali berjalan ke arah ruang tunggu, namun baru saja kakinya menginjak plataran tinggi di ruangan itu, Rayyan kembali bersuara. “Ganti! kamu ini mau nikah sama saya atau mau diskotik?! pusar kamu itu kemana-mana Rumi!” ucapnya yang berhasil buat emosi Rumi kembali meningkat.

Terus saja seperti itu sampai Rumi berganti baju hingga yang ke enam kali, sungguh Rumi ingin memakan Rayyan hidup-hidup. Jika bisa di lihat, kepalanya mungkin sudah mengeluarkan asap tebal berwarna putih dengan semburan api yang menyala di matanya. Ia sungguh emosi. Rumi dengan kesabaran setipis tisu langsung mengambil empat baju yang tersisa secara bersamaan, namun ketika ia mengambil baju terakhir, matanya otomatis memancarkan kilatan penuh gembira. Rumi suka baju ini, dan ia harus mendapatkannya.

Setelah selesai memakai baju terakhir, Rumi berjalan pelan menuju ruang tunggu kembali, menaiki pijakan yang lebih tinggi untuk Rayyan bisa melihat penampilannya dengan jelas dari atas hingga bawah. Perihal tiga baju lagi, Rumi putuskan untuk tidak mengenakannya karena model dan desainnya tidak jauh beda dengan baju sebelumnya, namun baju yang ia pakai sekarang memiliki corak unik yang tidak di miliki baju yang sebelumnya.

Rumi berdiri dengan perasaan gugup karena takut jika Rayyan menolak baju yang ia pakai lagi, tanpa sadar Rumi menggigit bibirnya. Rayyan yang sudah tahu bahwa Rumi sudah berganti baju lantas menyimpan ponselnya ke dalam saku jas yang ia pakai, ketika netranya tidak secara sengaja bertubrukan dengan netra bulat Rumi yang terlihat gugup, Rayyan tersenyum simpul.

“Kenapa kamu terlihat gugup? kebelet kencing?” tanya Rayyan.

Rumi menggeleng, “Gimana Om, saya udah ganti baju lagi. Yang ini bajunya lebih bagus loh om! Liat! ada motif unik di bajunya, terus tadi pas saya ngaca juga bajunya pas dan cocok buat saya. Ambil yang ini Om!” jelasnya.

Rayyan mulai berdiri, berjalan pelan untuk mendekati Rumi yang ada tak jauh di depannya.

“Lumayan,” ujar Rayyan. Ia menghentikan langkahnya kemudian melihat Rumi dari atas sampai bawah.

Rumi yang di lihat seperti itu semakin gugup, kenapa ia merasa sedang di intimidasi oleh lelaki cabul di depannya ini. Rumi menahan nafasnya ketika Rayyan naik dan berdiri tepat beberapa centi di depannya.

“Cantik!” ucap Rayyan pelan membuat kedua pipi Rumi menghangat. Setelahnya Rayyan mundur dan mendekati kedua pegawai yang setia menemani calon suaminya untuk mencoba berbagai model baju. “Mbak tolong, saya mau ambil baju yang itu! Calon suami saya kayanya suka, dan tolong antarkan ke alamat yang sudah saya berikan bepada Tante Arum.”

Kedua pegawai itu mengangguk, “Baik, Pak!” setelahnya mereka membantu Rumi untuk turun dan kembali ke ruang ganti untuk mengganti kembali bajunya ke setelan awal saat dirinya kesini.

Rumi tersenyum senang, bahkan ia berjalan cepat menuju ruang ganti. Dadanya bergemuruh hebat ketika apa yang ia inginkan tercapai, rasa senangnya buat kedua matanya ikut menyipit karena tersenyum berlebihan. Rayyan yang melihat tingkah calon suaminya hanya terkekeh, “Lucu sekali.”


© vivi.

Nayaka who had trouble dealing with raditya's spoiled attitude, which doubled that day.

cw // nsfw, kissing, anal sex, full of adult scenes, vulgar words, dirty words, harshwords, minor dni please, unsafe sex, mention of mature stuffs. tags : bxb, jayhoon.


Dahulu, ketika Nayaka masih berumur sepuluh tahun, ia selalu bermain sebuah kisah romansa anak belia dengan anak-anak seumurannya di desa, berlaga sebagai sepasang kekasih yang menjalin asmara dab berakhir dengan mengikat janji suci di altar yang mereka buat dari bahan seadanya. Nayaka sangat senang bermain lakon sebagai seorang pembawa bunga, ia senang menjadi bagian terpenting dalam sebuah upacara pernikahan, mereka semua bermain bersama. Anak perempuan dan anak laki-laki tergelak sepanjang waktu tanpa memandang gender masing-masing dengan aneh dan berbeda.

Waktu demi waktu berlalu, namun impian Nayaka untuk menikah dengan seseorang yang ia cinta tanpa paksaan selalu ia simpan di ingatan. Dulu, ketika umurnya baru menginjak tujuh belas tahun Nayaka pernah merasakan menyukai seseorang, namun perasaannya kandas begitu saja ketika orang yang ia sukai secara gamblang menyebutnya menjijikan karena memiliki perbedaan dengan kebanyakan lelaki lainnya. Perasaan Nayaka luar biasa sakitnya ketika beberapa orang langsung mencemooh dan menghakimi jika ia adalah bibit virus di masyarakat. Namun, jatuh cinta bukanlah sebuah kesalahan. Nayaka hanya jatuh cinta, dan ia juga tidak merugikan orang yang ia suka, namun kenapa orang-orang menganggapnya gila.

Tepat ketika umurnya menginjak dua puluh tahun, Nayaka rasakan perasaan itu kembali. Awalnya ia takut, takut jika ia kembali di benci karena memiliki perasaan pada sesama jenis, namun ternyata manusia tidak semuanya sama. Dengan Raditya, Nayaka bisa ungkapkan secara gamblang bahwa ia jatuh cinta, tanpa harus takut hatinya terluka untuk kedua kalinya.

Bagi Nayaka, Raditya adalah sebuah hadiah yang datang tiba-tiba seperti sebuah kejutan dari semesta, yang di bungkus dengan rapi berhiasi pita merah dengan berbagai bentuk dan corak yang indah. Terlalu istimewa, bila semua orang deskripsikan Raditya sebagai penyelamat hidupnya, maka Nayaka terlampau sepakat.

Nayaka tersenyum ketika mengingat pertemuan pertamanya dengan Raditya, bahkan ia hampir lupa dengan masakan ayam kecap yang ia buat untuk makan malam dirinya bersama pujaan hatinya. Nayaka lirik jam dinding yang terpasang apik di dapur, dan menunjukan pukul tujuh malam. Kenapa kekasihnya belum sampai juga?

“Macet kali ya? nggak biasanya Aa telat pulang kaya gini, wajar sih sekarang jam-jamnya orang kantor pulang pasti Aa kejebak macet,” Nayaka bergumam pelan. Detik selanjutnya Nayaka bisa mendengar bunyi pin yang di tekan, senyumnya merekah bak bunga yang baru mekar, sepersekon Nayaka hanya diam menanti seseorang dari balik pintu keluar. Ah, Nayaka rasakan hatinya lega ketika lihat senyuman kekasihnya terbit menyapa.

“Sayang, Aa pulang!” Raditya rentangkan tangannya sambil berjalan mendekat ke arah dapur, ia bisa mengetahui kekasihnya ada di sana karena bau harum yang menguar saat ia masuk.

“Selamat datang di rumah, Aa. Kok pulangnya terlambat? macet ya di jalannya?” Nayaka bertanya sambil kembali mengaduk ayam yang tengah ia masak, tanpa memperdulikan tatapan memangsa Radit yang di buat takjub dengan penampilannya sekarang.

Nayaka terkesiap ketika kedua tangan kekar milik si taurus melingkar pada pinggangnya yang ramping, Nayaka tahan nafas ketika hidung bagir kekasihnya menempel apik pada perpotongan lehernya. Mengendus dan membelai kulit lehernya hingga buat bulunya meremang.

“Maksudnya pake baju kebuka gini apa, hm? sengaja mancing kepunyaan Aa biar berdiri ya?”

“Gerah, kamu tau sendiri Jakarta panas, jadinya yaudah aku pake tanktop doang. Lagian kamu liatnya juga suka kan?” tanpa menoleh sedikitpun Nayaka berikan senyuman mengejek pada Radit.

“Ya suka, makannya Aa langsung cium-cium pundaknya. Cantik banget sayang, punya siapa kamu?”

“Punya Aa. Eh bentar, Nay baru sadar baju kamu beda sama pas berangkat main golf tadi. Mandi di rumah Mama sama Papa?” Radit tidak menjawab, ia hanya fokus melingkari pinggang Nayaka dengan tangannya, tak lupa Radit juga terus ciumi pundak si cantik saat sang empunya sedang fokus memasak.

Nayaka bisa rasakan gelenyar aneh saat bahunya dikecup dengan lembut, saat perpotongan lehernya di endus dan dicium oleh Radit, saat pinggang rampingnya di elus pelan, Nayaka bisa rasakan seluruh sendi di tubuhnya tidak berfungsi, Nayaka lemas.

“How come you're born so handsome, aa.” Nayaka menggeliat pelan, mendongak untuk mempersilahkan si taurus cium habis lehernya.

Tak tahan, Radit membalik tubuh Nayaka menghadap dirinya. Nayaka terkejut ketika rasakan tubuhnya melayang, kakinya tak menapak lantai, ia rasakan pinggangnya di rengkuh erat oleh Radit, bawa tubuhnya untuk duduk di atas kitchen set yang ada di apartemen milik Radit. Tak lupa pria taurus itu matikan kompor yang masih menyala.

“Cantik, Aa udah lapar. Makannya udah bisa dimakan sekarang?” Radit tatap kedua mata bulat bertabur kerlap-kerlip bintang milik Nayaka, selami kedua bola mata itu hingga ia puas, tak lupa ia berikan stimulasi dengan elus paha bagian dalam milik sang kekasih.

“S-sure.. selamat menikmati!” semburan merah merona bisa Radit lihat dari pipi sang kekasih, senyum manis malu-malu yang Radit tunggu akhirnya bisa ia tangkap oleh kedua matanya lagi. Oh, Radit rindu.

Perpotongan leher yang indah buat Radit memangsanya sebagai pembuka malam panas mereka berdua, lidahnya sapu habis setiap inci leher jenjang milik kasihnya malam ini. Berikan saliva serta bercak merah secara cuma-cuma sebagai penanda bahwa si cantik miliknya.

Nayaka tidak mau kalah, tangan lentiknya buka gesper milik si dominan dengan sedikit paksa. Nayaka tarik kepala Radit untuk satukan labium sebagai penanda cinta mereka berdua, bertukar saliva hingga desahan demi desahan mengalun di rungu keduanya.

“AHHH . . let me take a breath!” Seolah tidak hirau dengan Nayaka yang sudah kehabisan nafas, Radit malah semakin raup bibir yang mengkilap karena di lumuri saliva keduanya.

Fuck, you're so beautiful, sayang!” Radit angkat tubuh Nayaka dan kembali turunkan si cantiknya untuk kulum kejantanannya yang sudah mengeras.

“Kulum!” Tanpa harus di perintah dua kali, Nayaka dengan sigap berjongkok untuk mensejajarkan wajahnya dengan kejantanan Radit yang selalu ia suka.

Dengan perlahan, Nayaka membuka celana bahan milik kekasihnya, kemudian celana dalam, dan seketika saja kedua matanya berbinar senang karena santapan untuk ia makan sudah terlihat jelas di depan mata.

“Kamu udah keras banget, Aa. Aku izin buat kulum ini boleh ya?”

Nayaka urut pelan penis Radit dengan tangannya, mainkan dua bola kembar disana, berikan stimulasi awal sebelum ia akan kesetanan dengan benda panjang nan berurat milik kekasihnya.

Radit mendesis ketika ujung kejantanannya mulai masuk ke dalam rongga mulut si cantik, hangat yang ia rasa ketika Nayaka mulai maju mundurkan kepalanya mengikuti irama.

“Ah . . . Enak Nay, iya di situ sayang! Pelan-pelan, nanti kesedak.”

Nayaka semakin semangat ketika telinganya mendengar Radit terus-terusan mendesah menyebut namanya, hingga detik berikutnya Nayaka bisa rasakan kejantanan Radit membesar di dalam mulutnya.

“Berdiri, copot celana kamu terus nungging, sayang. Aa gak akan nyuruh dua kali, Aa tau kamu pinter!”

Maka Nayaka hanya menurut, ia lepas celana tidur pendek yang ia pakai. Nayaka bertumpu pada kitchen set di depannya, menungging agar Radit bisa lihat lubangnya yang sudah berkedut sejak tadi, meminta untuk di isi.

Come on! I miss your dick, Aa!” Nayaka goyangkan pantatnya dengan sensual, undang hasrat Radit yang berdiri di belakangnya.

“Jangan nangis kalo sakit, karena ini yang kamu mau kan, sayang? siap-siap ya!”

Radit kocok penisnya terlebih dahulu sebelum ia lesatkan benda itu pada lubang surgawi milik Nayaka, Radit akan masukan penisnya dengan satu dorongan. Jarang sekali ia bermain kasar, namun penampilan Nayaka sekarang seperti ingin ia kasari.

“AHHH . . SAKIT . . PELAN AA . . AHHH!” Nayaka bertumpu pada kitchen set di hadapannya ketika Radit dengan secara tiba-tiba masukan kejantanannya dalam sekali dorongan.

Seolah tak peduli dengan rasa sakit yang di rasakan pihak bawah, Radit terus mendorong penisnya hingga Nayaka kewalahan. Kedua kakinya sudah lemas dan tak kuat menahan beban tubuhnya sendiri.

“Ahhh . . Nghhh . . Kamu enak banget, Aa. Selalu enak!” Nayaka coba raih bibir sang kekasih, yang senang hati di sambut oleh Radit yang kini tersenyum dalam ciumannya.

Saat keduanya tengah menikmati penyatuan yang begitu panas, tiba-tiba ponsel Nayaka berdering menandakan ada seseorang yang menelpon. Radit dengan terpaksa harus melepas kejantanannya dan membantu Nayaka mengambil ponsel yang berada di atas meja makan.

Mamah.

“Siapa A yang nelfon? penting nggak? kalo nggak mending kamu masukin aku lagi sekarang, telfonnya di tutup aja! ayo Aa cepetan!” Nayak merekangek.

“Yakin mau di tolak aja? coba kamu liat siapa yang nelfon.”

Nayaka meraih ponselnya dari tangan Radit, membuka matanya lebar-lebar untuk membaca siapa yang menelfon pada saat-saat dirinya hampir mencapai klimaksnya.

“Loh Mamah?” Tangan lentik Nayaka perlahan menggulir tombol jawab pada telfon yang terus-menerus masuk dari calon mertuanya. “Halo, mamah? ada apa?”

Nayaka melirik Radit yang kini mencoba memasukan penisnya pada lubang Nayaka kembali. Buat Nayaka menutup mulutnya rapat, Radit menekan tombol speakers pada ponsel Nayaka agar ia juga bisa mendengar apa yang tengah kekasihnya dan ibunya bicarakan.

“Halo sayangnya mamah, papa ternyata hadiahin mamah tiket buat jalan-jalan ke thailand. Mamah seneng banget, nanti kamu ikut ya ke thailand ajak Radit juga. Eh, dia mungkin udah tau sih soalnya tadi mereka kan jalan bareng. Mamah juga belum bilang makasih sama kamu sayang, karena tadi udah temenin mama beliin hadiah buat papa.”

“I-iya sama-sama mama—ahhh . . .” Nayaka tidak sengaja mendesah ketika Radit secara jahil gerakan penisnya maju mundur.

Nayaka merengut sebal sementara Radit hanya berikan cengiran yang buat Nayaka ingin memukulnya dengan keras.

“Kenapa sayang? kamu nggak apa-apa kan?” terdengar nada khawatir dari mama Radit, perempuan itu menyernyit heran ketika sang calon menantu tiba-tiba menjerit.

“Nggak apa-apa ma, tadi tangan Nayaka luka kena pisau. Nayaka lagi masak buat Aa soalnya!”

“Oh yaudah sayang, lain kali hati-hati ya! Mama juga mau bilang makasih karena kamu udah mau sembunyiin hal ini sama Radit, yaudah Mama tutup ya telfonnya. Kamu fokus masak gih, dadah sayang”

Nayaka menghela nafas lega ketika telfon sudah terputus, ia bisa rasakan pinggangnya semakin di tarik ke belakang hingga penyatuan mereka berdua semakin intens, dan tak bisa di tahan Nayaka mulai memaju mundurkan tubuhnya.

“Oh kalian main rahasia-rahasiaan nih, curang banget akunya nggak di ajak!” Radit jilat telinga Nayaka sensual, buat desahan merdu kembali keluar.

“Shhhh . . Ahhh . . kamu juga punya rahasia sama papa, jadi impas! Ahhh kencengin Aa, enak!”

Radit lepas kejantanannya, kemudian ia angkat tubuh kekasihnya dan menggendongnya ala koala, Radit masukan kembali kejantanannya, lalu mendorong baju mundur. Makanan yang sudah matang kini tidak buat Radit keroncongan, makanan yang bisa ia buat mendesah jauh lebih membuatnya keroncongan.

Radit mempercepat sodokannya hingga Nayaka tak kuasa menahan desahan, bahkan ia hampir berteriak keenakan jika saja Radit tidak cepat membungkam mulut manis cantiknya dengan bibirnya sendiri.

“Ahhh . . Ahhh . . Ahhh . . Enak Aa, terus masukin penis kamu Ah! Ah! Enak!”

“Cantik sayang, desah lagi yang kenceng!”

“AHHHHHHH! TERLALU DALEM!! AA!!!” Nayaka menjerit keenakan ketika tubuhnya di bawa ke sofa dan kembali Radit sodok hingga titik sensitifnya tersentuh terlalu dalam.

“Aa! Ahh . . Nay udah mau keluar!”

“Bareng sayang!”

“AHHHHH—ENAK!”

Keduanya keluar bersamaan. Radit yang kini berada di atas tubuh Nayaka mulai gencar mencumbui semua titik sensitif Nayaka, sementara Nayaka hanya mampu menutup matanya pasrah dengan adegan apa selanjutnya yang akan kekasihnya berikan.

“Aa lepasin penisnya! Nay mau packing buat lusa, ayo cepetan!”

“Packing bisa besok lagi sayang, genjot kamu kapan lagi. Sampe pagi ya? jangan di lepas, nanti kalo ngantuk tidur aja!”

“Enak aja, nggak mau ah nanti Nay gak bisa jalan!”

“Bisa sayang. Ayo Aa genjot lagi!”

“NGGAK MAUUU!”

Nayaka mulai menjerit ketakutan ketika tubuhnya yang sudah lemas kembali di gendong dan di bawa ke kamar. Radit akan memakannya hingga habis dan tak tersisa malam ini, impiannya untuk menghangatkan burung kebanggaannya seharian akan terkabul, meski tidak di setujui oleh si cantik.

Persetujuan itu tidak penting jika si cantiknya saja terlihat keenakan saat ia masukan penisnya.


halo, udah ya guys udah lunas. maaf kalo kurang hot narasinya soalnya aku gak terlalu mahir buat cerita NSFW.

maybe if you are old enough, you can see the video as an illustration of the position of nayaka and aa sex pas paginya, here ;

https://twitter.com/ggukdilff/status/1657078502502326280?t=LvcBz5cCZrx-W1tgsQFc1Q&s=19


thanks guys.

Nayaka who had trouble dealing with raditya's spoiled attitude, which doubled that day.

cw // bxb, kissing scene, dirty words, harsh words, minor dni please, mention of mature stuffs.


Dahulu, ketika Nayaka masih berumur sepuluh tahun, ia selalu bermain sebuah kisah romansa anak belia dengan anak-anak seumurannya di desa, berlaga sebagai sepasang kekasih yang menjalin asmara dab berakhir dengan mengikat janji suci di altar yang mereka buat dari bahan seadanya. Nayaka sangat senang bermain lakon sebagai seorang pembawa bunga, ia senang menjadi bagian terpenting dalam sebuah upacara pernikahan, mereka semua bermain bersama. Anak perempuan dan anak laki-laki tergelak sepanjang waktu tanpa memandang gender masing-masing dengan aneh dan berbeda.

Waktu demi waktu berlalu, namun impian Nayaka untuk menikah dengan seseorang yang ia cinta tanpa paksaan selalu ia simpan di ingatan. Dulu, ketika umurnya baru menginjak tujuh belas tahun Nayaka pernah merasakan menyukai seseorang, namun perasaannya kandas begitu saja ketika orang yang ia sukai secara gamblang menyebutnya menjijikan karena memiliki perbedaan dengan kebanyakan lelaki lainnya. Perasaan Nayaka luar biasa sakitnya ketika beberapa orang langsung mencemooh dan menghakimi jika ia adalah bibit virus di masyarakat. Namun, jatuh cinta bukanlah sebuah kesalahan. Nayaka hanya jatuh cinta, dan ia juga tidak merugikan orang yang ia suka, namun kenapa orang-orang menganggapnya gila.

Tepat ketika umurnya menginjak dua puluh tahun, Nayaka rasakan perasaan itu kembali. Awalnya ia takut, takut jika ia kembali di benci karena memiliki perasaan pada sesama jenis, namun ternyata manusia tidak semuanya sama. Dengan Raditya, Nayaka bisa ungkapkan secara gamblang bahwa ia jatuh cinta, tanpa harus takut hatinya terluka untuk kedua kalinya.

Bagi Nayaka, Raditya adalah sebuah hadiah yang datang tiba-tiba seperti sebuah kejutan dari semesta, yang di bungkus dengan rapi berhiasi pita merah dengan berbagai bentuk dan corak yang indah. Terlalu istimewa, bila semua orang deskripsikan Raditya sebagai penyelamat hidupnya, maka Nayaka terlampau sepakat.

Nayaka tersenyum ketika mengingat pertemuan pertamanya dengan Raditya, bahkan ia hampir lupa dengan masakan ayam kecap yang ia buat untuk makan malam dirinya bersama pujaan hatinya. Nayaka lirik jam dinding yang terpasang apik di dapur, dan menunjukan pukul tujuh malam. Kenapa kekasihnya belum sampai juga?

“Macet kali ya? nggak biasanya Aa telat pulang kaya gini, wajar sih sekarang jam-jamnya orang kantor pulang pasti Aa kejebak macet,” Nayaka bergumam pelan. Detik selanjutnya Nayaka bisa mendengar bunyi pin yang di tekan, senyumnya merekah bak bunga yang baru mekar, sepersekon Nayaka hanya diam menanti seseorang dari balik pintu keluar. Ah, Nayaka rasakan hatinya lega ketika lihat senyuman kekasihnya terbit menyapa.

“Sayang, Aa pulang!” Raditya rentangkan tangannya sambil berjalan mendekat ke arah dapur, ia bisa mengetahui kekasihnya ada di sana karena bau harum yang menguar saat ia masuk.

“Selamat datang di rumah, Aa. Kok pulangnya terlambat? macet ya di jalannya?” Nayaka bertanya sambil kembali mengaduk ayam yang tengah ia masak, tanpa memperdulikan tatapan memangsa Radit yang di buat takjub dengan penampilannya sekarang.

Nayaka terkesiap ketika kedua tangan kekar milik si taurus melingkar pada pinggangnya yang ramping, Nayaka tahan nafas ketika hidung bagir kekasihnya menempel apik pada perpotongan lehernya. Mengendus dan membelai kulit lehernya hingga buat bulunya meremang.

“Maksudnya pake baju kebuka gini apa, hm? sengaja mancing kepunyaan Aa biar berdiri ya?”

“Gerah, kamu tau sendiri Jakarta panas, jadinya yaudah aku pake tanktop doang. Lagian kamu liatnya juga suka kan?” tanpa menoleh sedikitpun Nayaka berikan senyuman mengejek pada Radit.

“Ya suka, makannya Aa langsung cium-cium pundaknya. Cantik banget sayang, punya siapa kamu?”

“Punya Aa. Eh bentar, Nay baru sadar baju kamu beda sama pas berangkat main golf tadi. Mandi di rumah Mama sama Papa?” Radit tidak menjawab, ia hanya fokus melingkari pinggang Nayaka dengan tangannya, tak lupa Radit juga terus ciumi pundak si cantik saat sang empunya sedang fokus memasak.

Nayaka bisa rasakan gelenyar aneh saat bahunya dikecup dengan lembut, saat perpotongan lehernya di endus dan dicium oleh Radit, saat pinggang rampingnya di elus pelan, Nayaka bisa rasakan seluruh sendi di tubuhnya tidak berfungsi, Nayaka lemas.

“How come you're born so handsome, aa.” Nayaka menggeliat pelan, mendongak untuk mempersilahkan si taurus cium habis lehernya.

Tak tahan, Radit membalik tubuh Nayaka menghadap dirinya. Nayaka terkejut ketika rasakan tubuhnya melayang, kakinya tak menapak lantai, ia rasakan pinggangnya di rengkuh erat oleh Radit, bawa tubuhnya untuk duduk di atas kitchen set yang ada di apartemen milik Radit. Tak lupa pria taurus itu matikan kompor yang masih menyala.

“Cantik, Aa udah lapar. Makannya udah bisa dimakan sekarang?” Radit tatap kedua mata bulat bertabur kerlap-kerlip bintang milik Nayaka, selami kedua bola mata itu hingga ia puas, tak lupa ia berikan stimulasi dengan elus paha bagian dalam milik sang kekasih.

“S-sure.. selamat menikmati!” semburan merah merona bisa Radit lihat dari pipi sang kekasih, senyum manis malu-malu yang Radit tunggu akhirnya bisa ia tangkap oleh kedua matanya lagi. Oh, Radit rindu.

Perpotongan leher yang indah buat Radit memangsanya sebagai pembuka malam panas mereka berdua, lidahnya sapu habis setiap inci leher jenjang milik kasihnya malam ini. Berikan saliva serta bercak merah secara cuma-cuma sebagai penanda bahwa si cantik miliknya.

Nayaka tidak mau kalah, tangan lentiknya buka gesper milik si dominan dengan sedikit paksa. Nayaka tarik kepala Radit untuk satukan labium sebagai penanda cinta mereka berdua, bertukar saliva hingga desahan demi desahan mengalun di rungu keduanya.

“AHHH . . let me take a breath!” Seolah tidak hirau dengan Nayaka yang sudah kehabisan nafas, Radit malah semakin raup bibir yang mengkilap karena di lumuri saliva keduanya.

Fuck, you're so beautiful, sayang!” Radit angkat tubuh Nayaka dan kembali turunkan si cantiknya untuk kulum kejantanannya yang sudah mengeras.

“Kulum!” Tanpa harus di perintah dua kali, Nayaka dengan sigap berjongkok untuk mensejajarkan wajahnya dengan kejantanan Radit yang selalu ia suka.

Dengan perlahan, Nayaka membuka celana bahan milik kekasihnya, kemudian celana dalam, dan seketika saja kedua matanya berbinar senang karena santapan untuk ia makan sudah terlihat jelas di depan mata.

“Kamu udah keras banget, Aa. Aku izin buat kulum ini boleh ya?”

Nayaka urut pelan penis Radit dengan tangannya, mainkan dua bola kembar disana, berikan stimulasi awal sebelum ia akan kesetanan dengan benda panjang nan berurat milik kekasihnya.

Radit mendesis ketika ujung kejantanannya mulai masuk ke dalam rongga mulut si cantik, hangat yang ia rasa ketika Nayaka mulai maju mundurkan kepalanya mengikuti irama.

“Ah . . . Enak Nay, iya di situ sayang! Pelan-pelan, nanti kesedak.”

Nayaka semakin semangat ketika telinganya mendengar Radit terus-terusan mendesah menyebut namanya, hingga detik berikutnya Nayaka bisa rasakan kejantanan Radit membesar di dalam mulutnya.

“Berdiri, copot celana kamu terus nungging, sayang. Aa gak akan nyuruh dua kali, Aa tau kamu pinter!”

Maka Nayaka hanya menurut, ia lepas celana tidur pendek yang ia pakai. Nayaka bertumpu pada kitchen set di depannya, menungging agar Radit bisa lihat lubangnya yang sudah berkedut sejak tadi, meminta untuk di isi.

Come on! I miss your dick, Aa!” Nayaka goyangkan pantatnya dengan sensual, undang hasrat Radit yang berdiri di belakangnya.

“Jangan nangis kalo sakit, karena ini yang kamu mau kan, sayang? siap-siap ya!”

Radit kocok penisnya terlebih dahulu sebelum ia lesatkan benda itu pada lubang surgawi milik Nayaka, Radit akan masukan penisnya dengan satu dorongan. Jarang sekali ia bermain kasar, namun penampilan Nayaka sekarang seperti ingin ia kasari.

“AHHH . . SAKIT . . PELAN AA . . AHHH!” Nayaka bertumpu pada kitchen set di hadapannya ketika Radit dengan secara tiba-tiba masukan kejantanannya dalam sekali dorongan.

Seolah tak peduli dengan rasa sakit yang di rasakan pihak bawah, Radit terus mendorong penisnya hingga Nayaka kewalahan. Kedua kakinya sudah lemas dan tak kuat menahan beban tubuhnya sendiri.

“Ahhh . . Nghhh . . Kamu enak banget, Aa. Selalu enak!” Nayaka coba raih bibir sang kekasih, yang senang hati di sambut oleh Radit yang kini tersenyum dalam ciumannya.

Saat keduanya tengah menikmati penyatuan yang begitu panas, tiba-tiba ponsel Nayaka berdering menandakan ada seseorang yang menelpon. Radit dengan terpaksa harus melepas kejantanannya dan membantu Nayaka mengambil ponsel yang berada di atas meja makan.

Mamah.

“Siapa A yang nelfon? penting nggak? kalo nggak mending kamu masukin aku lagi sekarang, telfonnya di tutup aja! ayo Aa cepetan!” Nayak merekangek.

“Yakin mau di tolak aja? coba kamu liat siapa yang nelfon.”

Nayaka meraih ponselnya dari tangan Radit, membuka matanya lebar-lebar untuk membaca siapa yang menelfon pada saat-saat dirinya hampir mencapai klimaksnya.

“Loh Mamah?” Tangan lentik Nayaka perlahan menggulir tombol jawab pada telfon yang terus-menerus masuk dari calon mertuanya. “Halo, mamah? ada apa?”

Nayaka melirik Radit yang kini mencoba memasukan penisnya pada lubang Nayaka kembali. Buat Nayaka menutup mulutnya rapat, Radit menekan tombol speakers pada ponsel Nayaka agar ia juga bisa mendengar apa yang tengah kekasihnya dan ibunya bicarakan.

*“Halo sayangnya mamah, papa ternyata hadiahin mamah tiket buat jalan-jalan ke thailand. Mamah seneng banget, nanti kamu ikut ya ke thailand ajak Radit juga. Eh, dia mungkin udah tau sih soalnya tadi mereka kan jalan bareng. Mamah juga belum bilang makasih sama kamu sayang, karena tadi udah temenin mama beliin hadiah buat papa.”

“I-iya sama-sama mama—ahhh . . .” Nayaka tidak sengaja mendesah ketika Radit secara jahil gerakan penisnya maju mundur.

Nayaka merengut sebal sementara Radit hanya berikan cengiran yang buat Nayaka ingin memukulnya dengan keras.

“Kenapa sayang? kamu nggak apa-apa kan?” terdengar nada khawatir dari mama Radit, perempuan itu menyernyit heran ketika sang calon menantu tiba-tiba menjerit.

“Nggak apa-apa ma, tadi tangan Nayaka luka kena pisau. Nayaka lagi masak buat Aa soalnya!”

“Oh yaudah sayang, lain kali hati-hati ya! Mama juga mau bilang makasih karena kamu udah mau sembunyiin hal ini sama Radit, yaudah Mama tutup ya telfonnya. Kamu fokus masak gih, dadah sayang”

Nayaka menghela nafas lega ketika telfon sudah terputus, ia bisa rasakan pinggangnya semakin di tarik ke belakang hingga penyatuan mereka berdua semakin intens, dan tak bisa di tahan Nayaka mulai memaju mundurkan tubuhnya.

“Oh kalian main rahasia-rahasiaan nih, curang banget akunya nggak di ajak!” Radit jilat telinga Nayaka sensual, buat desahan merdu kembali keluar.

“Shhhh . . Ahhh . . kamu juga punya rahasia sama papa, jadi impas! Ahhh kencengin Aa, enak!”

Radit lepas kejantanannya, kemudian ia angkat tubuh kekasihnya dan menggendongnya ala koala, Radit masukan kembali kejantanannya, lalu mendorong baju mundur. Makanan yang sudah matang kini tidak buat Radit keroncongan, makanan yang bisa ia buat mendesah jauh lebih membuatnya keroncongan.

Radit mempercepat sodokannya hingga Nayaka tak kuasa menahan desahan, bahkan ia hampir berteriak keenakan jika saja Radit tidak cepat membungkam mulut manis cantiknya dengan bibirnya sendiri.

“Ahhh . . Ahhh . . Ahhh . . Enak Aa, terus masukin penis kamu Ah! Ah! Enak!”

“Cantik sayang, desah lagi yang kenceng!”

“AHHHHHHH! TERLALU DALEM!! AA!!!” Nayaka menjerit keenakan ketika tubuhnya di bawa ke sofa dan kembali Radit sodok hingga titik sensitifnya tersentuh terlalu dalam.

“Aa! Ahh . . Nay udah mau keluar!”

“Bareng sayang!”

“AHHHHH—ENAK!”

Keduanya keluar bersamaan. Radit yang kini berada di atas tubuh Nayaka mulai gencar mencumbui semua titik sensitif Nayaka, sementara Nayaka hanya mampu menutup matanya pasrah dengan adegan apa selanjutnya yang akan kekasihnya berikan.

“Aa lepasin penisnya! Nay mau packing buat lusa, ayo cepetan!”

“Packing bisa besok lagi sayang, genjot kamu kapan lagi. Sampe pagi ya? jangan di lepas, nanti kalo ngantuk tidur aja!”

“Enak aja, nggak mau ah nanti Nay gak bisa jalan!”

“Bisa sayang. Ayo Aa genjot lagi!”

“NGGAK MAUUU!”

Nayaka mulai menjerit ketakutan ketika tubuhnya yang sudah lemas kembali di gendong dan di bawa ke kamar. Radit akan memakannya hingga habis dan tak tersisa malam ini, impiannya untuk menghangatkan burung kebanggaannya seharian akan terkabul, meski tidak di setujui oleh si cantik.

Persetujuan itu tidak penting jika si cantiknya saja terlihat keenakan saat ia masukan penisnya.


halo, udah ya guys udah lunas. maaf kalo kurang hot narasinya soalnya aku gak terlalu mahir buat cerita NSFW.

maybe if you are old enough, you can see the video as an illustration of the position of nayaka and aa ngesex, here ;

https://twitter.com/ggukdilff/status/1657078502502326280?t=LvcBz5cCZrx-W1tgsQFc1Q&s=19


thanks guys.

Nayaka who had trouble dealing with raditya's spoiled attitude, which doubled that day.

cw // bxb, kissing scene, dirty words, harsh words, minor dni please, mention of mature stuffs.


Dahulu, ketika Nayaka masih berumur sepuluh tahun, ia selalu bermain sebuah kisah romansa anak belia dengan anak-anak seumurannya di desa, berlaga sebagai sepasang kekasih yang menjalin asmara dab berakhir dengan mengikat janji suci di altar yang mereka buat dari bahan seadanya. Nayaka sangat senang bermain lakon sebagai seorang pembawa bunga, ia senang menjadi bagian terpenting dalam sebuah upacara pernikahan, mereka semua bermain bersama. Anak perempuan dan anak laki-laki tergelak sepanjang waktu tanpa memandang gender masing-masing dengan aneh dan berbeda.

Waktu demi waktu berlalu, namun impian Nayaka untuk menikah dengan seseorang yang ia cinta tanpa paksaan selalu ia simpan di ingatan. Dulu, ketika umurnya baru menginjak tujuh belas tahun Nayaka pernah merasakan menyukai seseorang, namun perasaannya kandas begitu saja ketika orang yang ia sukai secara gamblang menyebutnya menjijikan karena memiliki perbedaan dengan kebanyakan lelaki lainnya. Perasaan Nayaka luar biasa sakitnya ketika beberapa orang langsung mencemooh dan menghakimi jika ia adalah bibit virus di masyarakat. Namun, jatuh cinta bukanlah sebuah kesalahan. Nayaka hanya jatuh cinta, dan ia juga tidak merugikan orang yang ia suka, namun kenapa orang-orang menganggapnya gila.

Tepat ketika umurnya menginjak dua puluh tahun, Nayaka rasakan perasaan itu kembali. Awalnya ia takut, takut jika ia kembali di benci karena memiliki perasaan pada sesama jenis, namun ternyata manusia tidak semuanya sama. Dengan Raditya, Nayaka bisa ungkapkan secara gamblang bahwa ia jatuh cinta, tanpa harus takut hatinya terluka untuk kedua kalinya.

Bagi Nayaka, Raditya adalah sebuah hadiah yang datang tiba-tiba seperti sebuah kejutan dari semesta, yang di bungkus dengan rapi berhiasi pita merah dengan berbagai bentuk dan corak yang indah. Terlalu istimewa, bila semua orang deskripsikan Raditya sebagai penyelamat hidupnya, maka Nayaka terlampau sepakat.

Nayaka tersenyum ketika mengingat pertemuan pertamanya dengan Raditya, bahkan ia hampir lupa dengan masakan ayam kecap yang ia buat untuk makan malam dirinya bersama pujaan hatinya. Nayaka lirik jam dinding yang terpasang apik di dapur, dan menunjukan pukul tujuh malam. Kenapa kekasihnya

belum sampai juga?

“Macet kali ya? nggak biasanya Aa telat pulang kaya gini, wajar sih sekarang jam-jamnya orang kantor pulang pasti Aa kejebak macet,” Nayaka bergumam pelan. Detik selanjutnya Nayaka bisa mendengar bunyi pin yang di tekan, senyumnya merekah bak bunga yang baru mekar, sepersekon Nayaka hanya diam menanti seseorang dari balik pintu keluar. Ah, Nayaka rasakan hatinya lega ketika lihat senyuman kekasihnya terbit menyapa.

“Sayang, Aa pulang!” Raditya rentangkan tangannya

sambil berjalan mendekat ke arah dapur, ia bisa

mengetahui kekasihnya ada di sana karena bau harum

yang menguar saat ia masuk.

“Selamat datang di rumah, Aa. Kok pulangnya terlambat?

macet ya di jalannya?” Nayaka bertanya sambil kembali

mengaduk ayam yang tengah ia masak, tanpa

memperdulikan tatapan memangsa Radit yang di

tujukab padanya.

Nayaka terkesiap ketika kedua tangan kekar milik si

taurus melingkar pada pinggangnya yang ramping,

Nayaka tahan nafas ketika hidung bagir kekasihnya

menempel apik pada perpotongan lehernya.

mengendus dan membelai kulit lehernya hingga buat

bulunya meremang.

“Maksudnya pake baju kebuka gini apa, hm? sengaja mancing kepunyaan Aa biar berdiri ya?” “Gerah, kamu tau sendiri Jakarta panas, jadinya yaudah aku pake tanktop doang. Lagian kamu liatnya juga suka kan?” tanpa menoleh sedikitpun Nayaka berikan senyuman mengejek pada Radit.

“Ya suka, makannya Aa langsung cium-cium pundaknya.

Cantik banget sayang, punya siapa kamu?”

“Punya kamu, Aa. Eh bentar, Nay baru sadar baju kamu

beda sama pas berangkat main golf tadi. Mandi di

rumah Mama sama Papa?” Radit tidak menjawab, ia hanya fokus melingkari pinggang Nayaka dengan

tangannya, tak lupa Radit juga terus ciumi pundak si

cantik saat sang empunya sedang fokus memasak.

Nayaka bisa rasakan gelenyar aneh saat bahunya dikecup dengan lembut, saat perpotongan lehernya di endus dan dicium oleh Radit, saat pinggang rampingnya di elus pelan, Nayaka bisa rasakan seluruh sendi di

tubuhnya tidak berfungsi, Nayaka lemas.

“How come you're born so handsome, aa. “Nayaka terkejut

ketika rasakan tubuhnya melayang, kakinya tak menapak lantai, ia rasakan pinggangnya di rengkuh erat oleh Radit, bawa tubuhnya untuk duduk di atas kitchen set yang ada di apartemen milik Radit. Tak lupa pria taurus itu matikan kompor yang masih menyala. “Cantik, Aa udah lapar. Makannya udah bisa dimakan sekarang?” Radit tatap kedua mata bulat bertabur kerlap-kerlip bintang milik Nayaka, selami kedua bola mata itu hingga ia puas, tak lupa ia berikan stimulasi dengan elus paha bagian dalam milik sang kekasih.

“S-sure.. selamat menikmati!” semburan merah merona

bisa Radit lihat dari pipi sang kekasih, senyum manis

malu-malu yang Radit tunggu akhirnya bisa ia tangkap

oleh kedua matanya lagi. Oh, Radit rindu.

Rumi meletakan ponselnya ke dalam saku celana setelah berbalas pesan dengan Varel, hembusan nafas berat dapat Rayyan dengar dari pemuda di sampingnya.

Rumi masih enggan mengajak Rayyan berbicara ngomong-ngomong.

Melihat calon 'suami kecilnya' terlihat prustasi sekaligus bersedih, sebuah ide mendadak melintas di kepala Rayyan. Dengan sigap, ia memutar arah mobil menjadi ke jalan yang berlawanan dengan jalan utama yang seharusnya mereka tuju untuk pulang ke rumah keluarga Rumi.

Rumi yang sedang melihat jalanan di luar langsung menoleh ketika ia rasakan mobil yang di kendarai Rayyan berbelok dan memutar arah, alisnya menyernyit merasa tidak suka karena pria di sampingnya itu tidak meminta persetujuannya terlebih dahulu.

“Loh . . Om mau bawa saya kemana? jangan macem-macem ya om, atau saya teriak biar semua orang tau kalo om mau nyulik saya!”

“Saya gak bakal macem-macem sama kamu Rumi, jadi tenang aja.”

“Saya gak percaya! tempo hari kalo om masih inget, om mau cabulin saya di bilik toilet mall dan om pikir saya bakalan percaya gitu aja kali ini? enggak ya om, puter balik! saya mau pulang!”

Rayyan tidak menggubris, ia membiarkan Rumi bertindak semaunya. Toh, dirinya tidak mau berbuat aneh, jika orang-orang mengeroyoknya dirinya punya alasan kuat untuk membela diri. Saya sama calon suami kecil saya mau jalan-jalan malam, cuman kita lagi marahan jadinya yah begitu cukup masuk akal kan?

“Om . . denger saya gak sih? saya gak main-main loh!” Rumi membuat dirinya menghadap samping, membuat Rayyan bisa dengan jelas melihat wajah marah milik calon suami kecilnya lewat ekor mata.

“Denger, tapi saya gak mau nurut sama kamu. Orang saya bener kok gak bakal macem-macem kali ini, lagian untuk kejadian di mall waktu itu saya memang sengaja dan saya minta maaf kalo udah bikin kamu takut . . . .” Rayyan sempat menolehkan kepalanya ke arah Rumi.

“Seenggaknya om kasih tau saya kita mau ke mana? saya gak suka ya di bawa pergi ke suatu tempat tapi sayanya gak tau tempatnya dimana!” Rumi masih marah.

“Kita mau nyari tempat makan, kamu belum makan apa-apa tadi di restoran. Saya masih cukup waras untuk tidak membiarkan anak orang lain kelaparan, jadi cukup nurut dan ikuti apa yang saya katakan, jelas?”

Rumi membuang muka, cukup kesal dengan pria di sampingnya. Apa-apaan barusan itu? Rayyan baru saja memintanya untuk menurut, punya hak apa hingga Rumi harus menurut. Asal kalian tau, Rumi tidak suka di perintah, ia lebih suka memerintah.

“Terserah Om, saya capek.”

. . .

Selang beberapa menit akhirnya Rayyan memarkirkan mobilnya di parkiran umum yang ternyata ramai mobil dan motor. Ketika Rumi melihat ke arah luar jendela mobil, bisa ia lihat kepulan asap yang keluar dari salah satu tenda tempat orang menjual makanan pinggir jalan.

Omong-omong perihal makan di pinggir jalan, Rumi jadi teringat dengan Kavin kekasihnya. Sudah dua hari dirinya tidak berbalas pesan dengannya, dua hari juga Rumi tidak pernah berpapasan dengan Kavin.

“Yuk, sudah sampai. Kita turun.” Rayyan sudah siap untuk membuka pintu mobil dan keluar, namun ketika tangan mungil menahan ujung jas kantornya, Rayyan urung.

Rayyan menoleh ke belakang, tepat kepada Rumi yang masih menarik bajunya. Rayyan duduk kembali dan tatap Rumi heran, kenapa tiba-tiba pria manis itu menjadi seperti seekor anak anjing yang tidak ingin di tinggal oleh induknya.

“Kenapa? kamu gak mau makan sate?” Rayyan bertanya.

“Sate itu, enak enggak om? soalnya saya baru pertama kali makan di pinggir jalan kaya gini.”

Rayyan melongo sejadi-jadinya. Sate itu salah satu makanan favoritnya, menurut Rayyan sate adalah makanan paling enak setelah rendang, nasi goreng, martabak manis, dan ketika mendengar calon suaminya bahkan belum pernah memakan makanan enak seperti ini, Rayyan jadi heran sendiri.

“Kamu seriusan belum pernah makan sate?” Rayyan bertanya untuk memastikan.

Rumi menggeleng, “Belum, makannya saya nanya.”

“Bagus kalo gitu, malam ini kamu harus ngerasain gimana enaknya makan sate. Apalagi di pinggir jalan kaya gini.” Rayyan bersiap untuk turun, namun kini di ikuti oleh Rumi yang mengekor di belakangnya.

Ketika netranya menangkap beberapa pasang mata yang melihat ke arahnya, Rumi jadi ciut sendiri. Ia menarik ujung baju Rayyan kembali, Rayyan menyadari itu dan ia berinisiatif untuk menggandeng tangan mungil Rumi untuk ia genggam di tangannya yang lebih besar.

Keduanya memasuki salah satu tenda yang mengeluarkan kepulan asap harum khas daging yang sedang di bakar, mencium aromanya saja Rumi jadi lapar.

“Om, ini makanannya bersih gak?” Rumi berbisik-bisik, takut pelanggan lain menatapnya seperti tadi karena terganggu.

“Seratus persen bersih, saya jamin. Lagipula ini sate langganan saya sama Mommy saya kalo bingung harus makan apa, saya jamin kamu juga pasti suka.”

Rumi hanya mengangguk-angguk saja, penasaran juga dengan rasa sate. Seumur dirinya hidup, Rumi tidak pernah mengenal apa itu makanan pinggir jalan seperti sate, martabak, dan teman-temannya yang lain karena keluarganya tidak pernah mengajak.

Ketika dirinya beranjak dewasa pun, dirinya tidak tahu bagaimana rasa makanan itu jika saja saat itu Laras tidak menyumpal mulutnya dengan sesuap nasi goreng abang-abang, itu adalah makanan pinggir jalan satu-satunya yang pernah Rumi makan, dan rasanya pun enak. Jadi Rumi percaya saja ketika Rayyan menyebutkan rasa sate enak.

“Kamu mau sate apa? ayam, kambing, atau sapi?” Rayyan kembali membuyarkan lamunan Rumi.

“Varian satenya banyak banget, Om? saya ikut Om aja deh, saya gak tau yang mana yang enak soalnya.” Rumi menatap Rayyan pasrah, sesekali juga ia melirik pelanggan lain yang sedang memakan sate.

“Yaudah kamu tunggu di sini, biar saya pesen dulu satenya. Mau pake lontong atau engga?”

“Terserah, saya ikut Om aja.” lagi-lagi Rumi pasrah, mungkin malam ini ia akan mempercayakan asupan perutnya pada Rayyan saja karena jujur ia tidak tahu menahu apa itu lontong.

Rayyan mengangguk dan mulai beranjak dari tempat duduknya, Rumi bisa lihat bapak penjual sate itu tersenyum ramah ketika Rayyan menghampiri dirinya. Rumi juga melihat kepala Rayyan di usap pelan oleh sang penjual sate, mungkin karena sudah jadi langganan mereka sudah saling kenal.

Tak lama Rayyan kembali dan duduk di kursi yang sebelumnya ia duduki, Rumi menatap Rayyan bermaksud ingin bertanya, tapi ia merasa enggan, jadi Rumi putuskan untuk urungkan niatnya. Namun sayangnya Rayyan terlalu peka.

“Kenapa kamu natap saya kaya gitu? saya tau kok saya ganteng jadi gak usah di liatin mulu nanti kamu malah suka sama saya lagi,” Rayyan terkekeh ketika melihat perubahan ekspresi Rumi yang awalnya tenang berubah menjadi merengut, lucu sekali.

“Apasih Om, Pd banget!” Rumi kembali membuang muka, enggan melihat wajah Rayyan yang menurutnya sangat menyebalkan kali ini.

Rayyan hanya terkekeh. Tak berselang lama, pesanan mereka akhirnya datang. Semerbak aroma sate yang sudah matang langsung menyerang indra pembau milik Rumi, buat perutnya kembali keroncongan.

“Boleh langsung makan?” tanya Rumi polos kepada Rayyan, buat Rayyan menggigit pipi dalamnya karena menahan gemas.

Ekspresi Rumi saat ini seperti seekor anak anjing dengan puppy eyes, Rayyan lemah dengan ini asal kalian tau.

“Boleh, tapi makannya jangan langsung soalnya masih panas.”

Rumi mengangguk, ia mengambil satu tusuk sate dan meniupnya terlebih dahulu sebelum sampai pada mulutnya. Ketika lidahnya mengecap rasa dari sate, Rumi otomatis menggumam.

“Enak, kok bisa enak kaya gini? kenapa juga gue baru tau ada makanan enak kaya gini!” Rumi mengoceh sendiri, lupa akan presensi Rayyan yang kini menatapnya dengan senyuman puas.

“Kalo enak makan yang banyak, lontongnya juga di makan. Kamu saya pulangin ke rumah harus dalam keadaan kenyang, oke?” Rayyan dapati Rumi yang mengangguk dengan pipi penuh oleh lontong dan sate.

“Nwanti di bwungkus bwoleh gak? mawu saya mwakan lagi pas di rumwah,” Rumi berbicara dengan mulut penuh, buat Rayyan terkekeh kembali.

“Boleh, tapi abisin dulu yang ini. Kalo yang ini abis, nanti kita pesen seratus tusuk lagi buat kamu sama kakak-kakak kamu di rumah.” Rayyan julurkan tangannya untuk menghapus noda kecap di pipi Rumi, karena sangat lahap Rumi jadi tidak sadar wajahnya belepotan dengan kecap.

“Owke, mwakasih Om!”